PROBLEMATIKA ASUMSI DUNIA (2)
Pdt. Sutjipto Subeno
 

Setelah menyoroti beberapa hal di dalam bagian pertama, kembali kita bisa menyoroti beberapa problema asumsi dunia yang seringkali menyulitkan Kekristenan dan merusak konsep iman orang Kristen.

Dalam bagian kedua ini, kita akan secara khusus menyoroti kesalahan-kesalahan asumsi

 

A. MAN IS GOOD (manusia pada hakekatnya baik)

Salah satu anggapan dasar yang senantiasa berusaha dipertahankan oleh manusia adalah bahwa manusia itu baik. Kalau ada yang tidak baik itu hanyalah karena pengaruh lingkungannya. Karena itu, manusia sulit menerima fakta kejahatan yang ada di sekelilingnya. Yang lebih berbahaya lagi, konsep ini bisa berlanjut lebih jauh sampai pada kesimpulan bahwa Allah itu tidak ada. Mereka langsung mempertanyakan, jika Allah ada, mengapa masih ada kejahatan, mengapa ada cacat, peperangan, bahkan kematian. Mereka beranggapan bahwa mereka hanyalah "menjadi korban" dari lingkungan atau situasi di sekelilingnya.

Sepintas lalu, asumsi di atas seperti benar dan masuk akal. Namun, jika kita telusur lebih dalam lagi, kita segera sadar bahwa asumsi itu bukan hanya salah total, tetapi bisa berdampak bahaya bagi manusia itu sendiri.

Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa setelah Adam jatuh ke dalam dosa, maka setiap manusia sudah berdosa dan tidak ada yang benar (Kej 3; Rom 3:9-23). Dan Tuhan Yesus mengkonfirmasikan bahwa tidak ada yang baik, kecuali Allah (Mat 19:16-17). Ide ini mendobrak ilusi manusia di atas. Manusia beranggapan bahwa manusia itu baik, padahal Tuhan sendiri menegaskan bahwa manusia berdosa itu tidak baik. Di sini terjadi kontras pandangan. Di dalam kasus ini, jelas kita harus melihat kebenaran firman sebagai presuposisi utama (band. dengan artikel "Presuposisi Teologi"). Jadi jelas asumsi dunia berdosa, bahwa manusia berdosa itu baik, tidak mungkin benar.

Namun, penjelasan seperti ini tidaklah mudah diterima oleh para penganut paham atau asumsi diatas, sebelum meyakini sungguh, bahwa asumsi itu memang benar-benar tidak benar. Kita mungkin bisa melihat beberapa aspek untuk menunjukkan bahwa apa yang Alkitab katakan memang mutlak benar.

Pertama, kita mencoba menelusur asumsi itu dari dalam asumsi itu sendiri. Jika manusia itu memang baik, maka apa yang dilakukan oleh manusia akan baik. Tetapi pada faktanya, kita perlu menguji kembali, apa yang manusia lakukan. Benarkah mayoritas manusia itu baik. Dunia menyatakan bahwa tidak ada satu negara di dunia ini yang tidak memerlukan polisi dan pengadilan. Juga tidak ada satu negara yang penjaranya sama sekali kosong, karena orang-orang ditempat itu baik semua. Itu menunjukkan bahwa kejahatan, yang merupakan fakta riil yang melawan kebaikan, ada di seluruh dunia. Maka dari dalam diri asumsi itu sendiri, yaitu bahwa manusia pada hakekatnya baik, sudah terlawan oleh fakta yang menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia jahat (tidak ada kambing jahat atau buah pepaya jahat, atau batu yang jahat, karena mereka tidak beretika) ada di mana-mana. Manusia memerlukan pendidikan moral dan pengajaran etika yang keras untuk bisa bermoral dan tidak jahat. Sebaliknya, untuk manusia menjadi kurang baik, tidak perlu dilakukan usaha apapun secara serius. Semua ini hanya membuktikan bahwa pada hakekatnya manusia berdosa itu jahat, bukannya baik. Manusia yang baik hanya terjadi ketika Allah mencipta Adam, tetapi keadaan ini sudah berubah sejak dosa masuk ke dalam diri manusia. Itulah yang Alkitab nyatakan kepada dunia.

Kedua, asumsi bahwa kalau manusia menjadi jahat adalah akibat pengaruh lingkungan, sebenarnya membuktikan bahwa manusia itu secara mayoritas jahat (paling tidak dari lingkungan itu). Siapakah yang disebut sebagai lingkungan yang menjadikan manusia itu jahat? Jawabnya adalah manusia juga. Jadi kalau manusia menjadi jahat karena produk lingkungan, berarti ia sendiri merupakan bagian dari pembentuk kejahatan, karena ia sendiri adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai "lingkungan." Kalau ia mau mengatakan bahwa ia tidak jahat, tetapi semua manusia lain yang jahat, sikap itu sendiri sudah sangat jahat, karena mempersalahkan begitu banyak orang untuk tidak mau mengakui kejahatan diri sendiri. Kita yang mengatakan bahwa saya jahat karena lingkungan saya jahat, hanyalah usaha untuk melempar kesalahan kita pada pihak lain untuk mau melepaskan tanggung jawab. Sikap itupun pada dirinya sendiri sudah tidak baik, dan membuktikan bahwa kita pada hakekatnya tidak baik.

 

B. MAN AS THE MEASURE OF EVERYTHING (Manusia sebagai pengukur ultimat)

Ada dua alasan penting yang sangat urgen yang menyebabkan asumsi ini dipandang sebagai asumsi yang tak-terelakkan. Yang pertama adalah manusia tidak bisa tidak membutuhkan acuan untuk pengambilan keputusan. Jika manusia adalah robot yang mutlak diatur dan tidak ada pertanggung-jawaban yang harus dipikul. Alasan kedua adalah manusia tidak memiliki pilihan lain (kecuali Tuhan yang ditolaknya) untuk menjadi acuan pengambilan keputusan itu, sehingga pilihan terbaik adalah diri sendiri menjadi acuan ultimat bagi pengambilan keputusan itu. Untuk itu, manusia harus dianggap cukup layak menjadi dasar pijak dan pengukur dari segala keputusan yang harus diambil. Benarkah demikian?

Alasan pertama memang alasan yang sangat penting. Memang tidak ada kemungkinan bagi manusia untuk bisa melakukan pertimbangan pengambilan keputusan tanpa adanya acuan pokok sebagai dasar pijaknya. Untuk kita mengambil keputusan, perlu ada reference point. Dengan kata lain, reference-point (titik referensi) ini merupakan acuan yang dimutlakkan dan dianggap sebagai standar kebenaran untuk menentukan kebenaran atau kesalahan hal-hal lainnya. Tanpa referensi ini, tidak ada pertimbangan yang bisa diambil.

Namun masalahnya, seringkali manusia tidak lagi menyadari adanya titik referensi ini, karena sudah menjadi pola dalam hidupnya, tidak pernah dipertanyakan keabsahannya, dan terus-menerus dipakai secara otomatis. Akibatnya, seringkali pula seseorang menjadi bingung ketika ia harus mulai mengevaluasi ulang titik referensi ini. Ia harus mulai kembali menelusuri pola berpikir dan cara dia mengambil keputusan. Ketika ia memperhatikan dengan seksama, segera ia akan menyadari setiap pengambilan keputusannya didasarkan pada satu pertimbangan tertentu yang sama/tetap. Inilah titik-referensinya. Dan yang paling sering menjadi titik referensi adalah diri sendiri (self). Dari sini kita memasuki alasan kedua.

Prinsip homo-mensura (manusia sebagai pengukur ultimat) sudah disodorkan kepada manusia sejak dari jaman pra-Aristotle di era filsafat Gerika kuno. Demikian pula, filsafat Timur sudah melakukan tindakan yang sama namun dengan cara yang lebih tidak langsung. Dalam dunia Timur, pandangan yang dipakai adalah panteisme dan humanisme mistik. Manusia harus menuruti jalan alam, dan melakukan apa yang selaras dengan alam. Tetapi apa yang dikatakan ini pada hakekatnya tetap ditentukan kembali oleh manusia itu sendiri. Apa yang selaras dan apa yang tidak selaras, apa yang dianggap baik atau dianggap tidak baik, bukan ditetapkan oleh penentu luar, tetapi ditetapkan oleh manusia itu sendiri. Akibatnya, tetap manusia itulah yang menjadi penentu terakhir dan menjadi standar dari keputusan dasar yang ditegakkannya. Hal ini terlihat bahwa ketika sama-sama berpandangan bahwa langit yang menetapkan, tetap manusia-manusia itu menetapkan apa yang langit tetapkan atau tidak. Dengan kata lain, baik di Timur maupun di Barat, penentu terakhir adalah manusia itu sendiri.

Alkitab justru mengajarkan prinsip yang berbeda. Ketika manusia membutuhkan standar atau acuan dasar (titik referensi), itu pada dirinya membuktikan bahwa manusia itu sendiri bukanlah acuan dasar. Manusia adalah makhluk relatif yang membutuhkan relasi untuk menjadi patokan. Itu sebab, manusia satu dan manusia lain akan berbeda-beda di dalam mempertimbangkan satu masalah. Tidak ada kesamaan seragam seluruh manusia di dalam menetapkan sesuatu. Jadi, jika si A menetapkan ini, maka B akan menetapkan itu. Itu menunjukkan bahwa A dan B bersifat relatif, karena keduanya adalah manusia. Jadi yang namanya manusia tidak memiliki referensi mutlak pada dirinya sendiri. Jika manusia A memutlakkan diri, maka sebenarnya ia sedang melanggar naturnya sebagai manusia dan melecehkan semua manusia lainnya, seolah-olah mereka semua bukan manusia. Tetapi kalau semua manusia memutlakkan diri, itu hanya membuktikan bahwa kemutlakkan itu palsu, karena ternyata yang sama-sama mutlak itu tidak mutlak kebenarannya, karena kebenaran sejati tidak pernah bisa bertentangan seperti itu.

Alkitab menegaskan bahwa yang berhak menjadi titik referensi adalah Dirinya Kebenaran itu sendiri. Hanya Kebenaran yang berhak menyatakan apa benar dan apa salah. Kalau yang salah mengatakan sesuatu benar, maka yang dinyatakan benar oleh si salah, pada dirinya adalah salah.

Karena manusia mencari kebenaran, dan dengan demikian pasti ia bukan dirinya kebenaran, maka kebenaran itu harus ada di luar dirinya dan di atas dirinya. Kebenaran itu harus ditaati dan diikuti oleh manusia, maka tidak mungkin kebenaran itu berada di bawah manusia, sehingga bisa diatur oleh manusia. Kalau demikian, pasti ia tidak layak untuk ditaati. Kalau kebenaran itu harus di atas manusia, padahal manusia itu adalah makhluk yang hidup dan berakal budi, maka jelas Kebenaran itu tidak mungkin merupakan benda mati dan tak berakal budi. Dengan kata lain, Kebenaran sejati haruslah Kebenaran yang berpribadi. Dan memang inilah yang diberitakan oleh Alkitab, yang tak mungkin diberitakan oleh siapapun juga dalam spekulasi pikiran manusia. Alkitab menegaskan bahwa hanya Tuhan Yesus Kristus yang adalah Dirinya Kebenaran itu sendiri. Ia adalah Kebenaran yang hidup, yang berpribadi dan yang berhak menguasai manusia, karena Ialah Firman, yang mencipta manusia dan alam semesta ini.

Dengan demikian sangatlah salah apabila manusia menganggap dirinya sebagai dasar kebenaran ultimat, dan semua kebenaran tergantung apa yang ia anggap benar. Yang benar adalah ia harus kembali kepada Firman, karena memang Firman itulah dasar kebenaran yang pantas dan layak disandari, karena Ia adalah kebenaran yang sejati. Hanya dengan kembali kepada Firman kita mendapatkan reference-point yang sejati.

 

C. MAN SHOULD DETERMINE HIS OWN DESTINY (Manusia penentu nasibnya)

Sebagai kelanjutan dari asumsi kedua, maka manusia akan lanjut dengan beranggapan bahwa tidak ada siapapun yang bisa menolong manusia kecuali manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia harus bisa menentukan nasibnya sendiri, atau lebih tepat, kalau manusia tidak mau melakukan, maka iapun akan menjadi korban dari nasibnya sendiri. Anggapan ini bukan hanya dipegang oleh para Ateis, tetapi juga oleh para Deis, yaitu orang-orang yang masih percaya ada Tuhan, bahkan percaya bahwa Tuhan itu yang mencipta manusia, tetapi mereka meyakini bahwa Tuhan itu tidak bisa berbuat apa-apa atas manusia, atau dengan kata lain, setelah mencipta, maka Allah melepaskan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.

Sepintas, pikiran ini sepertinya mengharuskan manusia betul-betul memikirkan bagaimana kita harus hidup efektif dan berani berjuang untuk tidak sekedar menerima "nasib" dan hidup secara skeptis. Namun jika dilihat dari sudut pandang Kristen, asumsi ini memiliki bahaya yang sangat besar, karena ditegakkan di atas pra-asumsi yang salah.

Pemikiran ini mempunyai dua dasar pikir, yaitu: (a) Tuhan hanya bisa mencipta, tetapi tidak kuasa atas sejarah dan pergerakan alam, sehingga mau tidak mau, manusialah yang menentukan semuanya. Dan (b) manusia adalah makhluk yang mampu dan mempunyai kekuatan untuk menjalankan nasibnya sendiri secara totalitas. Padahal justru kedua pra-asumsi itulah yang salah.

Pertama, Allah bukan hanya bisa mencipta, tetapi Ia juga penopang dan pemelihara alam semesta. Alkitab menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah. Hal ini dinyatakan dengan berbagai fakta dan penjelasan Alkitab, seperti seluruh sejarah berada di dalam kurun waktu, sedangkan waktu itu sendiri dicipta oleh Allah yang sendirinya berada di luar waktu. Dengan demikian, seluruh sejarah tidak mungkin lepas dari kontrol Allah. Alkitab juga menegaskan bahwa Allah adalah Allah yang Mahakuasa. Itu berarti, tidak ada kuasa apapun yang lebih besar dari kuasa-Nya sendiri, sehingga tidak ada apapun yang bisa membatasi diri-Nya kecuali diri-Nya sendiri. Dengan demikian, jika manusia merasa dia lebih hebat dari Allah, itu satu asumsi yang sangat memalukan, karena menyatakan arogansi manusia sebagai makhluk yang dicipta.

Kedua, manusia bukan hanya dicipta, tetapi sebagai ciptaan, ia menjadi makhluk yang terbatas. Ia terbatas secara ruang dan waktu, ia juga terbatas secara kemampuan dan tenaga. Manusia tidak pernah bisa menetapkan apa yang akan terjadi satu jam dimukanya. Ia juga tidak bisa berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama. Banyak hal yang ia tidak ketahui dan tidak mampu lakukan. Dengan demikian sungguh sombong jika ia menyatakan (eksplisit atau implisit) bahwa ia adalah penentu nasibnya sendiri. Dalam banyak aspek memang kita turut bekerja di dalam menggarap nasib kita. Kita memang bukan robot yang diprogram, tetapi kita harus tahu bahwa masih ada kuasa yang lebih besar dari kita, dan mau tidak mau kita harus bergantung kepada-Nya. Kesadaran ini adalah kesadaran yang justru wajar. Itulah kesadaran sebagai makhluk yang bergantung (dependent-being). Maka Alkitab menyatakan bahwa kita harus bersandar pada Tuhan, dan nilai serta perjalanan hidup kita harus dikonfirmasikan di hadapan Tuhan. Itulah cara terbaik dan pola hidup yang sesungguhnya dari satu makhluk yang bernama "manusia."