IMAN KRISTEN dan RELATIVISME

Pdt. Sutjipto Subeno

 

PERMASALAHAN

Kita berada di tengah abad Post-Modern yang berpijak di atas pikiran Relativisme ini. Bahkan Relativisme ini yang menjadi senjata dasar menegakkan konsep Dekonstruksionisme dalam Post-Modern. Akibatnya konsep bahwa segala sesuatu relatif, tidak ada yang mutlak, sangatlah disukai dan menjadi semangat zaman, dan dengan sendirinya dianut oleh banyak orang dan dianggap sebagai kebenaran.

Iman Kristen sendiri ternyata tidak kebal terhadap pengaruh ajaran Relativisme ini. Begitu banyak tokoh Kristen sendiri yang terjebak dan sadar atau tidak sadar sudah menjadi penganut, bahkan pemrasaran dari pikiran Relativisme di dalam Kekristenan. Oleh karena itu, kita tidak bisa berpangku tangan. Adanya ucapan: "Semua agama kan sama saja..." atau "Janganlah kita ribut-ribut soal perbedaan yang ada, lihat aja samanya, jangan lihat bedanya..." dll. merupakan fakta masukkan Relativisme di dalam Gereja.

PERTANYAAN UTAMA

  1. Apakah benar semua di dunia ini bersifat relatif? Kalau begitu, apakah tidak ada kebenaran yang mutlak, yang benar-benar benar? Atau lebih tepat, apakah pikiran Relativisme itu memang benar?

  2. Jika A berlawanan dengan B (bukan komplemen), apakah bisa A dan B sama-sama benar? Kalau begitu, jika seseorang berpegang pada ajaran A, dan kemudian orang lain berpegang pada ajaran B, apakah keduanya bisa mengatakan mereka sama-sama punya ajaran yang sama benar?

  3. Jika tidak mungkin sama-sama benar, apakah yang benar-benar itu bisa dicari? Bagaimana cara mencarinya?

  4. Apakah manusia itu sendiri relatif atau mutlak? Mungkinkah yang relatif bisa menemukan yang mutlak? Jadi bagaimana yang mutlak benar itu dapat diperoleh? Apakah memang kebenaran mutlak itu tidak dapat diketahui dan dicari?

MENGENAL RELATIVISME

Relativisme sebenarnya bukan ajaran baru. Ia sudah dimulai dari sejak ratusan tahun sebelum Masehi, baik di Timur (dalam pikiran Lao Tze, Konfusius, Buddha dll), maupun pada pikiran Barat (dalam pikiran Heraklitos, Sofisme dll.), yang beranggapan bahwa di dunia ini tidak ada yang mutlak. Segala sesuatunya bersifat relatif, tergantung pada pengukurnya. Jadi sesuatu harus direlasikan dengan pengukurnya untuk mendapatkan kebenaran relatif, dan bukannya kebenaran mutlak. Pikiran ini didasarkan pada pemikiran bahwa segala sesuatu itu berubah dan tidak tetap. Dari sini muncul filsafat yang dikenal sebagai Philosophy of Becoming. Ajaran ini di Barat tidak dapat berkembang pesat sejak Kekristenan menguasai Barat. Tetapi di Timur, filsafat itu terus berjalan dan berkembang.

Dipelopori oleh Sir Henry Huxley dan Sir Herbert Spencer, pemrasaran Evolusionisme, pikiran Relativisme diangkat kembali. Pecahnya Perang Dunia I dan II meruntuhkan seluruh pikiran Absolutisme Barat, dan itu memberikan angin segar untuk Relativisme berkembang di bawah payung Post-Modernisme. Apalagi dengan perkembangan era komunikasi dan semangat globalisasi, maka filsafat Timur mulai menanamkan pengaruhnya terhadap filsafat Barat, yang menjadikan Relativisme mendapatkan dukungannya. Manusia mulai berpegang pada pikiran bahwa memang di dunia ini tidak ada yang mutlak, termasuk banyak orang Kristen yang juga berpandangan seperti itu. Akibatnya, setiap ide kemutlakkan dilawan dan berusaha dihancurkan.

CARA PEMASARAN RELATIVISME

Relativisme masuk dan mempengaruhi dunia (termasuk Kekristenan) melalui beberapa tahapan:

Mempropagandakan tidak adanya kemutlakkan. Usaha untuk terus-menerus melawan semua ide kemutlakkan dan memberikan contoh-contoh keburukan kemutlakkan (yang biasanya diidentikkan dengan kediktatoran). Menyatakan bahwa di tengah dunia yang bersifat plural, kita juga harus bersifat pluralistik, tidak boleh eksklusif dan memutlakkan diri, karena memang tidak ada yang mutlak. Yang ada adalah keragaman dan di dalam keragaman tidak ada kemutlakkan.

Pelunturan/degradasi perbedaan. Usaha kedua yang dikerjakan adalah selalu mengintimidasi semua usaha melihat perbedaan, dengan menyatakan bahwa yang perlu dilihat adalah kesamaan dan bukan perbedaan. Melihat perbedaan dianggap sebagai usaha memecah-belah dan merusak, sebagai pemicu pertentangan dan pertikaian. Untuk itu harus hanya memandang kesamaan saja dan meniadakan semua ide perbedaan.

Pembentukan format-format baru. Usaha ketiga justru para pemrasaran Relativisme akan memaksakan (atau bahkan memutlakkan) format-format baru yang dijadikan alat atau senjata pelaksana dari relativisme tersebut. Seperti usaha untuk memaksakan kemutlakkan teori Evolusi sebagai kebenaran mutlak yang harus diterima, ketimbang percaya kepada Allah Pencipta dari berbagai macam agama yang berbeda-beda, atau di dalam Kekristenan muncul pemaksaan penerimaan format Oikumene di dalam gereja untuk menggantikan format ajaran gereja-gereja yang sudah berjalan berratus bahkan beribu tahun. Melawan konsep itu akan dianggap sebagai Sektarian dan Eksklusif, dengan ancaman pengucilan atau dianggap kurang ilmiah.

PROBLEMATIKA RELATIVISME

Ajaran di atas kelihatannya sedemikian logis dan cocok dengan realita yang kita temui di dunia kita. Sepertinya, memang kita harus mengikuti ajaran Relativisme barulah kita bisa berelasi secara baik di tengah dunia pluralistik ini. Tetapi benarkah demikian? Ternyata jika kita perhatikan dengan seksama, Relativisme yang kelihatannya begitu baik, sebenarnya adalah penipuan besar yang jahat sekali terhadap pemikiran manusia. Di dalamnya terkandung unsur bom waktu yang akan meledakkan penganutnya sendiri. Hanya orang-orang bodoh di luar Kristus yang seharusnya terjebak di dalam pemikiran seperti ini (band. Rom 1:21-23; 1Kor 1:18-21). Orang yang bijak seharusnya segera mewaspadai tipuan ini. Di dalam ajaran itu sendiri terdapat konflik logika yang jika tidak cermat, kita sepertinya menyetujui logika Relativisme di atas.

1. Mutlaknya Relativisme.

Ketika meneriakkan "tidak ada yang mutlak", Relativisme justru menggunakan semangat kemutlakkan. Jika memang tidak ada yang mutlak, berarti ajaran relativisme-pun tidak mutlak dan mungkin yang justru paling salah. Para pemrasaran ketika meneriakkan ajaran Relativisme tidak pernah dengan semangat relatif, yaitu ajaran itu sendiri belum tentu benar, dan ajaran yang melawan relativisme juga mungkin benar. Mereka selalu menegaskan dengan begitu mutlak bahwa Relativisme itulah yang benar, dan semua ajaran yang berlawanan dengan Relativisme mutlak salah. Itu berarti sebenarnya ajaran Relativisme itu sendirilah yang mutlak salah. Maka, inilah "defeating factor" (faktor perusak diri) yang terjadi dalam ajaran Relativisme. Itu berarti para penganut ajaran Relativisme sebenarnya sedang menipu diri sendiri dan sedang merusak semua gagasan kebenaran di dunia ini. Ajaran dan pikiran mereka sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Oleh karena itu, kita perlu melawan dan menentang ajaran Relativisme. Alkitab dengan tegas membicarakan segala kebenaran Allah dengan semangat kemutlakkan. Allah tidak pernah setuju dengan Relativisme model dunia ini. Allah justru tidak pernah mengatakan bahwa ajaran firman Tuhan bisa suka-suka, ditafsir sembarangan, tergantung pembaca dll. (band. 1Pet 1:20-21). Alkitab menuntut akurasi pengertian dan kesalahan terhadap hal itu dianggap sebagai kesesatan dan penyesatan yang dituntut hukuman yang berat di dalam kekekalan (Gal 1:6-10). Terlalu banyak bahaya dan perusakkan yang akan terjadi apabila dunia jatuh ke dalam pikiran Relativisme. Hanya kembali kepada Allah dan Alkitab kita mendapatkan prinsip-prinsip yang mutlak, yang tidak tergantung ruang dan waktu, yang tidak tergantung pada pengukurnya. Itulah semangat kemutlakkan yang disodorkan oleh Firman Tuhan. Untuk itu, setiap orang percaya perlu menguji ajarannya (1Tim 4:13-16). Setiap orang Kristen harus bisa memberikan pertanggungjawaban pengharapan yang ia percaya dan yakini kepada setiap orang yang memintanya, bukan malah marah-marah dan mengelak (1Pet 3:15). Ia diharuskan menguduskan Kristus di dalam hatinya sebagai Tuhan satu-satunya, sebagai Penguasa tunggal atas hidupnya, tidak ada unsur kedua dan ketiga, karena Allah sangat cemburu. Inilah semangat kemutlakkan yang Alkitab ajarkan dan tuntut dari setiap umat Allah.

2. Perlunya Realita Perbedaan.

Ajaran Relativisme menuntut untuk meniadakan perbedaan, karena adanya perbedaan dan kesadaran adanya perbedaan menyulitkan pergerakan ajaran Relativisme. Tentang hal ini, perlu pertama-tama kita membedakan antara menyadari dan mengerti secara tajam akan adanya perbedaan, dengan mempertentangkan dan memakai perbedaan untuk memicu keributan. Hal yang pertama mutlak diperlukan, sedangkan hal kedua seringkali merupakan ekses yang perlu dihindari. Mengerti perbedaan adalah keharusan mutlak. Seorang yang tidak mengerti perbedaan akan menjadi korban penipuan. Jika seseorang tidak bisa membedakan antara Mercedes Benz 320E dari Suzuki Carry, tidak bisa membedakan antara Rolex dan Casio, lalu menganggap itu semua sama, adalah orang-orang yang akan menjadi korban penipuan. Semakin seorang menguasai sesuatu hal, semakin ia mengerti perbedaan yang sekecil mungkin. Semakin orang tidak tahu perbedaan, dia adalah orang yang bodoh, paling tidak, bodoh di bidang tersebut. Ajaran Relativisme adalah ajaran yang membuat orang menjadi bodoh. Manusia kehilangan "Discerning Power"-nya (Kekuatan kemampuan

membedakan). Orang yang menganggap semua komputer sama saja (ada keyboard, ada CPU dan ada monitornya) adalah orang yang tidak mengerti komputer, demikian juga orang yang mengatakan semua ajaran Kristen sama saja atau semua agama sama saja, ketahuan bahwa ia adalah orang yang bodoh atau tidak belajar, sehingga tidak mengerti perbedaan-perbedaan hakiki yang ada di dalamnya. Manusia dicipta untuk melihat realita perbedaan, bahkan penganut Relativisme-pun membedakan antara penganut Relativisme dari yang bukan atau kontra penganut Relativisme. Ketika ada seorang yang mengatakan kepada saya, "semua ajaran kan sama saja, tidak perlu dibedakan," maka saya akan segera ajak dia ke gereja saya. Biasanya dia menolak dan justru kalimatnya itu untuk membujuk orang ikut ke gereja atau persekutuannya. Saya heran, kalau memang bagi dia sama saja, mengapa dia tidak mau ikut ke tempat saya???? Bagi saya memang berbeda, sehingga saya harus pilih-pilih dan melihat dimana yang benar dan dimana yang tidak benar. Tetapi bagi dia, ketika dia mengatakan "sama saja", dia sebenarnya sedang menipu, karena di dalam pikiran dan hatinya sebenarnya "tidak sama saja." Istilah "sama saja" adalah kalimat penipuan, dan ternyata banyak sekali korbannya. Korbannya adalah orang-orang yang tidak mengerti, yang mudah terjebak dengan cara-cara pemasaran Relativisme di atas. Di sini kita melihat jahatnya ajaran Relativisme masuk di dalam citra agama dan memanipulasi ajaran agama. Bahkan kalau ditanya ajarannya apa, mereka berusaha mengelak dan menggunakan is tilah-istilah yang bersifat umum. Orang Kristen yang bijak justru adalah orang Kristen yang bisa membedakan mana yang benar, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rom 12:1-2). Inilah ciri orang Kristen yang beres.

BAHAYA RELATIVISME

Seperti telah sedikit disinggung di atas, Relativisme tidak bisa dibiarkan begitu saja merebak di tengah dunia Post-Modern, tetapi perlu dengan segera diperangi oleh setiap orang Kristen, karena ajaran ini sangat berbahaya. Ajaran ini bersifat sangat merusak, bukan hanya bagi orang Kristen, tetapi kepada seluruh dunia, seluruh umat manusia dan jika diteruskan akan sulit ditanggulangi lagi dampak negatif yang dihasilkannya.

1. Bersifat anti-otoritas

Ajaran Relativisme berusaha untuk membuang semua kemutlakkan, dan dengan sendiri akan berdampak pada pola sikap anti-otoritas, karena setiap otoritas akan diidentikkan dengan kemutlakkan. Yang dikehendaki adalah semua sama rata dan semua berhak yang sama. Dengan demikian tidak ada yang lebih benar dan lebih tinggi dari yang lain.

Namun, sikap ini akan menjebloskan manusia pada kondisi antinomian yang sangat berbahaya. Manusia menjadi orang-orang yang menegakkan otoritas dirinya sendiri menjadi sumber kemutlakkan. Yang terjadi bukan lagi sektarian, tetapi individualisme yang liar. Dampak ini nantinya akan membawa manusia masuk ke dalam pertikaian yang luas dan tidak ada habisnya. Setiap orang yang memutlakkan diri mau tidak mau akan mengalami konflik interes dengan orang yang lain, dan ide relativitas mau tidak mau akan membawa manusia pada kondisi barbarian modern (seperti diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno). Jika pola ini masuk ke dalam Kekristenan, maka akan timbul krisis kebenaran dan epistemologi. Alkitab akan mengalami permasalahan serius. Manusia akan jatuh pada pola Hermeneutika Postmodern, yang be rdiri di atas pola linguistik analysis dari AJ Ayer, Wittgenstein, Derrida dll. Setiap orang berhak menafsir sesuka kita tanpa ada lagi verifikasi kebenaran yang mutlak. Dalam kasus seperti ini, apa yang ditegakkan oleh Ayer, yaitu konsep "The Death of the Author" menyebabkan iman Kristen menjadi semrawut. Akibatnya banyak orang Kristen yang bingung dengan berbagai macam ajaran yang simpang siur . Dan itu membawa orang Kristen dan manusia pada umumnya jatuh pada Kebingungan Global (Global Confuse). Betapa ngeri kalau orang Kristen jatuh dalam situasi seperti ini. (Dan mungkin sudah banyak ya ng jatuh dan tidak bisa bangun lagi).

2. Memperluas dosa dan semua eksesnya

Dampak Relativisme yang kedua adalah sifat yang persuasif sekali terhadap kejahatan dan kemerosotan moral. Di saat manusia jatuh pada Relativisme, maka muncul satu prinsip ikutan dan konsekwensi logis dari pola pikir ini, yaitu manusia harus berdiri sendiri-sendiri dan tidak mengurus orang lain. Akibatnya, segala bentuk relasi dan kontrol sosial diusahakan untuk ditiadakan. Padahal di lain pihak , Alkitab sudah memberitahu kita bahwa manusia tidak netral seperti yang diasumsikan dunia, apalagi baik. Manusia adalah manusia berdosa, yang kalau tidak ada kontrol, pasti akan jatuh dalam pengumba ran nafsu dan dosa. Maka, dimana kontrol sosial melemah, prinsip kebenaran tidak bisa ditegakkan, otoritas tidak ada, yang pasti terjadi adalah kejahatan meningkat dan moralitas amburadul. Dan inilah memang tujuan setan di dalam membisikkan ajaran Relativisme masuk ke dunia. Dan betapa celakanya jika orang Kristen termasuk menjadi pemrasarannya. Untuk menegakkan moral dan menekan kejahatan, perlu ada patokan kebenaran yang harus diterima dan diakui bersama, di mana semua harus tunduk ke bawahnya. Dan itu berarti bukan sesuatu yang relatif tetapi mutlak. Dan untuk tiba di pola ini, perlu ada kemutlakkan yang diakui terlebih dahulu. Membuang kemutlakkan berarti memberi angin pada dosa dan semua eksesnya. Dan pada akhirnya, tidak ada dosa yang tidak menghancurkan. Maka dunia pasti akan semakin rusak, ketika setiap manusia mau berbuat secara relatif, ditinjau hanya dari kepentingannya masing-masing. Jangan heran terjadi krisis ekologi, krisis ekonomi, krisis moralitas, krisis kepercayaan pemerintahan dan berbagai krisis lainnya. Itu terjadi karena setiap orang memang mengkondisikan untuk boleh berbuat semaunya. Slogannya adalah: "This is my business. My business is not your business. Don't bother my business and I will not bother your business too." (Ini adalah urusanku. Urusanku bukan urusanmu dan urusanmu bukan urusanku. Jangan urus urusanku dan aku tidak urus urusanmu.) Tetapi, benarkah slogan ini? Benarkah apa yang seorang lakukan, sama sekali tidak ada urusan dengan orang lain atau lingkungannya? Kalau seorang membakar hutannya sendiri dengan uangnya sendiri, oleh pegawainya sendiri. Bukankah dampaknya tetap terkena pada orang lain. Kalau kita "mengatur" bisnis kita sedemikian rupa, sehingga kita bisa untung, mengapa orang lain musti ribut. Kalau ada orang lain dirugikan, mengapa dia mau dirugikan? Kalau tidak mau, ya jadilah seperti kita. Kalau tidak bisa seperti kita, ya apa boleh buat, betapa malangnya nasibmu, dan itu bukan urusanku. Celaka sekali bukan konsep-konsep seperti ini. Tetapi untuk bisa keluar dari sini, mau tidak mau harus terlebih dahulu mengakui adanya kemutlakkan yang harus diterima, dan kemutlakkan itu haruslah kemutlakkan yang benar , bukan diri kita yang dianggap sebagai kemutlakkan. Betapa ngeri dunia yang seperti ini.

3. Menyebabkan Kebingungan Global

Menghancurkan semua prinsip berarti membawa semua orang masuk ke dalam kebingungan global seperti terungkap di atas. Dampak relativisme sangat berbahaya, karena setiap orang akhirnya kehilangan pegangan. Sekali pun sepintas lalu, sepertinya enak bisa memutlakkan diri, tidak diganggu orang lain, tidak perlu takut ditegur sekalipun salah, bisa berbuat dosa semaunya, dsb., tetapi dalam hati nurani dan dalam kehidupan konkrit, secara hakekat manusia tidak bisa hidup tanpa pegangan. Akibatnya, relativisme akan membawa manusia pada kebingungan karena tidak adanya pegangan yang bisa manusia andalkan. Kondisi kebingungan global seperti ini menyebabkan manusia mudah berbuat kesalahan. Berbagai spekulasi muncul, berbagai usulan, pandangan, pikiran yang sedemikian simpang siur, menyebabkan manusia menjadi rumit, karena tidak tahu lagi bagaimana harus menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Format untuk itu sudah tidak lagi biasa diverifikasi (diuji) dengan kecermatan tinggi. Efeknya, muncul banyak sekali kesalahan-kesalahan langkah, yang itupun tidak mau dan tidak bisa diakui sebagai kesalahan (karena format Relativisme tidak mengenal kesalahan, hanya mengenal keberbagaian, yang tidak ada yang salah atau benar). Akibatnya, bisa lebih parah apabila lingkaran seperti ini terus berputar. Sampai pada suatu saat akan jatuh pada kondisi lumpuh total (total collapse). Pola kebingungan global seperti ini sudah banyak dirasakan oleh manusia modern, dan sudah mulai disadari dan mulai dikomentari. Tetapi sejauh manusia tidak mau kembali kepada kemutlakkan yang sejati dan tetap memutlakkan dirinya sendiri, tidak akan pernah ada perbaikan. Celakanya, format Relativisme tidak memperkenankan terjadinya perbaikan itu. Hanya dengan kembali pada format Absolutisme manusia bisa terlepas dari masalah kebingungan global ini.

 

KEKRISTENAN MENGHADAPI RELATIVISME

1. Kembalinya Posisi Kemutlakkan yang benar.

Bagi iman Kristen, kita perlu menyadari posisi relatif dan mutlak. Kita perlu secara cermat memilah antara yang mutlak dan relatif. Kita perlu menempatkan secara tepat mana yang mutlak dan mana yang relatif. Seperti telah dibahas di atas, Relativisme dipopulerkan dan dipaksakan dengan semangat kemutlakkan. Itu berarti Relativisme itu sendiripun memegang kemutlakkan, tetapi yang terjadi adalah salah menempatkan kemutlakkan itu pada posisi yang tidak benar. Inilah yang perlu kita kembalikan ke posisinya yang tepat. Semangat Relativisme pada hakekatnya adalah merelatifkan segala sesuatu untuk bisa memutlakkan diri sendiri sebagai penentu relativitas itu. Ketika kita mengatakan segala sesuatu relatif, sebenarnya kita sedang mengatakan bahwa hanya kitalah yang mutlak, karena kita telah secara mutlak menilai dan menghakimi segala sesuatu sebagai relatif. Persoalannya, benarkah kita yang mutlak? Jawabannya: Salah! Pada hakekatnya manusia itu relatif, dan manusia tidak pernah berdiri sendiri secara mutlak. Tuhan memang mencipta manusia dengan format relatif, bukan mutlak. Sejak lahir kita sudah dicipta menjadi makhluk yang bergantung pada orang lain (dependent-being). Kita bukan makhluk mandiri, yang bisa menentukan dan hidup tanpa bergantung pada hal atau orang lain. Itu merupakan natur dan hakekat kita. Itu berarti, kitalah yang relatif dan harus merelatifkan diri. Dan itu berarti kemutlakkan bukan berada di dalam diri manusia, tetapi di luar manusia. Maka salah besar jika Relativisme menempatkan manusia (diri sendiri / self) sebagai basis kemutlakkan dan merelatifkan segala sesuatu yang di luar manusia.

2. Kembali pada Kedaulatan Allah

Lalu sebagai tahap kedua, jika kita telah menempatkan posisi manusia pada tempatnya, yaitu sebagai yang relatif, dan yang mutlak berada di luar manusia, maka kita perlu melangkah lebih jauh menempatkan posisi kemutlakkan pada Person yang tepat, yaitu Diri Allah sendiri. Hanya Allah yang mutlak berdaulat, karena Dia adalah Pencipta alam semesta dan pemilik dunia ini, termasuk seluruh isi, dan itu berarti termasuk manusia juga. Jelas berdasarkan hukum relasi Pencipta-ciptaan, maka setiap ciptaan selalu dibuat berdasarkan maksud dan tujuan pencipta, direncanakan dan dirancang sesuai dengan maksud tersebut oleh penciptanya, dan setelah selesai akan dipakai oleh si pencipta untuk maksud semula. Hukum ini berlaku di semua kasus dan bersifat universal, termasuk dalam penciptaan manusia. Maka tidak ada alasan bagi manusia untuk menolak kedaulatan Allah atas dirinya. Dan inilah yang ditegaskan berulang kali di dalam buku Loraine Boettner, Reformed Faith. Kita perlu kembali kepada Allah dan mengakui kedaulatan Allah, barulah segala sesuatu bisa dilihat secara proporsional. Selama manusia masih memutlakkan dirinya, manusia tidak mungkin bisa mengerti realita secara tepat. Cornelius van Til membagi kedua kategori ini sebagai orang-orang yang mengakui dan menjalankan kedaulatan Allah dan orang-orang yang menegakkan otonomi dirinya sendiri ("between the Sovereignty of God and Human Autonomous"). Maka titik kemutlakkan ada di dalam diri Allah.

3. Kembali pada Otoritas Firman

Hal ketiga yang harus dibereskan adalah bagaimana kita merelasikan diri kita yang relatif dengan Allah yang mutlak, yaitu melalui firman Tuhan. Disini kita menghadapi situasi paradoks, yang perlu secara hati-hati kita pelajari dan perhatikan. Kita pertama-tama harus mengerti bahwa disini terjadi pertemuan antara kemutlakkan dan kerelatifan. Firman Allah adalah wahyu yang mutlak, tetapi sedang didekati dan dipandang oleh manusia yang relatif dan tidak mutlak.

Jika posisi ini tidak dilihat secara proporsional akan terjadi kesalahan. Jika keduanya dimutlakkan, akan terjadi konflik yang berkepanjangan di dalam masalah teologis; jika keduanya direlatifkan, terjadi kebingungan di dalam kekristenan; jika manusianya dimutlakkan dan Alkitabnya direlatifkan, akan terjadi kesemrawutan ajaran dengan semangat yang sangat mutlak tetapi salah dan sesat; dan yang tepat adalah firman Tuhan yang mutlak, perlu dipelajari dengan ketelitian dan kerendahan hati, serta keseriusan penuh akan kesadaran bahwa kitalah yang relatif, dan kita perlu selalu mawas diri untuk menjadi murid kebenaran. Disini terjadi semangat belajar yang sangat mendalam. Otoritas Firman akan dihargai secara tegas, dan setiap orang Kristen berusaha kembali mendiskusikan semua permasalahan dengan basis firman yang digumulkan terus dan dipertanggungjawabkan keakuratannya. Maka tidak lagi menegakkan subyektifitas diri, tetapi juga tidak jatuh pada relativisme total atau agnostisisme.

4. Kembali pada Epistemologi yang Benar.

Dan di dalam proses paradoks ini, hal keempat ini harus dengan setia diperkembangkan oleh setiap orang Kristen, yaitu bagaimana setiap orang yang sama-sama mendekati Alkitab yang sama yang berotoritas mutlak, bisa mendapatkan kebenaran yang mendekati kemutlakkan itu.

Seharusnya, Alkitab yang merupakan kebenaran, perlu didekati dengan pola epistemologi yang tepat. Epistemologi adalah pendekatan metodologis untuk mencari kebenaran yang paling benar, atau yang benar-benar benar. Hal ini penting, karena jika tidak kita akan jatuh pada epistemologi dunia yang bersifat rasionalistis, empirisistis, subyektifistis dan otoritarianistis. Semua ini hanya bisa menjadi dasar yang rapuh untuk menjadi basis epistemologi kita. Kita perlu

kembali pada pendekatan Alkitab yang benar.

Untuk ini, maka bagi iman Kristen, masalah Hermeneutika menjadi permasalahan yang sangat serius. Sekalipun kita sama-sama mengakui kedaulatan Allah dan Alkitab, tetapi jika cara kita menafsir Alkitab sudah keliru, maka seluruh kesimpulan yang kita dapatkan pasti keliru, dan itu membentuk satu pemikiran teologis yang keliru pula.

Itu berarti kita sudah sesat. Dan seringkali bukan hanya kita sesat, tetapi kita menyesatkan orang lain juga. Oleh karena itu, pendekatan Hermeneutika yang sangat cermat dan mutlak perlu digali. Misalnya, kata Yunani: agape, filia, eros dan storge, semua diterjemahkan dengan kata "love" (Inggris) dan "kasih" (Indonesia). Jadi jika kita hanya menggunakan Alkitab LAI atau satu versi Alkitab Inggris, kita sudah sangat potensial jatuh dalam kesalahan penafsiran, karena setiap kata Yunani itu berbeda artinya, tetapi perbedaan itu hilang ketika kita tiba di bahasa Inggris dan Indonesia. Itu sebab, mutlak bagi kita untuk membandingkan beberapa terjemahan, dan alangkah baiknya kita punya sedikit (tidak banyak, kalau banyak jauh lebih bagus) akan pengetahuan bahasa Yunani dan Ibrani jikalau kita mau menjadi pemimpin PA atau pengkhotbah firman. Alangkah nekadnya kalau hanya dengan bermodalkan Alkitab LAI kita berani sembarangan mengambil kesimpulan dan mengkhotbah satu ayat. Semangat sembarangan ini yang merusak iman Kristen. Masih banyak contoh lain yang bisa kita sama-sama kemukakan untuk menunjukkan betapa pentingnya

Epistemologi Kristen ditegakkan melalui Pengujian pola Hermeneutika Kristen yang bertanggung jawab. Inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama di dalam kita menjadi murid-murid kebenaran di hadapan Allah yang sangat membenci pengajar-pengajar dan ajaran-ajaran sesat.

Soli Deo Gloria.