Ringkasan Khotbah : 09 Januari 2000

KERINDUAN AKAN ALLAH

Nats : Mzm 42:2-3; 63:2

Pengkhotbah : Ev. Rusdi Tanuwidjaya

 

Suatu kali seorang hamba Tuhan yang telah melayani di satu gereja mampu me­­ngem­bangkan jemaatnya dari 187 hingga mencapai 800 dan akhirnya ia diundang di ba­­nyak tempat untuk membawakan satu tema mengenai pertumbuhan gereja. Tetapi di da­­lam pergumulannya dengan Tuhan, ia merasakan masih terdapat satu hal yang ku­rang dalam pelayanannya yaitu seakan-akan Tuhan me­nga­ta­kan bahwa gerejanya gemuk dan bu­kannya bertumbuh karena hanya banyak pendengar-pen­de­­ngar yang setia dalam gere­ja. Tuhan mengutus kita pergi bukan untuk men­­ja­di­kan semua bangsa anggo­ta jemaat­Nya melainkan menjadikan mereka murid Tuhan. Me­­mang untuk menjadi mu­rid tidak mu­­­dah. Di dalam pergumulan bersama Tuhan, saya tahu akan menghadapi tan­­tangan yang selama belum saya alami dan kalau salah melangkah, itu akan mempengaruhi pu­luh­­­­­an bahkan ratusan orang yang dipercayakan untuk men­­jadikan orang itu jauh dari­pa­da Tuhan. Kelihatannya kita dapat menangkap esensi gereja dan sudah membangun tu­buh Kristus te­ta­pi sesungguhnya kita sudah mem­­­­­­buangnya dan meruntuhkan daya gerak tu­­buh Kristus. Karena seringkali apa yang keli­hat­­an itu bukan realitanya dan ini yang akan kita gali hari ini.

Ketika kita melangkah waktu demi waktu setiap hari, bagaimana perjalanan ke­­rohanian dan pergumulan hidup kita di hadapan Tuhan, yang terus memimpin dan mem­­proses hidup kita? Itu sebabnya saya rindu kita mengumulkan bagian firman Tuhan da­­­lam Mazmur 42 dan 63. Pada waktu saya membaca kitab mazmur tersebut, jujur saya ka­­­takan bahwa pengalaman dalam tokoh yang kita baca jauh daripada apa yang kita alami. Berapa banyak kita berkata pa­da Tuhan bahwa jiwaku haus, jiwaku rindu akan Tuhan? Hatiku bagai tanah yang ger­sang, mencari Engkau? Adakah gema ini setiap hari da­­­lam perjalanan hidup kita? Ketika di hari minggu ada pem­bacaan Mazmur, berapa ka­­­­li kita masuk ke dalam esensinya memahami ayat tersebut? Itu sebabnya ketika me­li­hat hal ini, sa­ya takut kalau sebagai ham­ba Tuhan tahu banyak teologi, me­layani begitu di­­namis sehingga ke­lihatannya hamba yang aktif tetapi pa­da saat yang sa­ma se­sung­guh­nya saya adalah ham­ba Tuhan yang kering di hadapan Tuhan dan esensi aga­ma yang se­ja­­ti sudah kehilangan kekuatannya untuk mem­bakar dan menjadikan kita orang yang di­na­­mis da­lam dunia ini. Marilah se­ka­rang kita melihat beberapa hal yang menyebabkan ke­­rinduan jiwa kita yang ha­us akan Tuhan menjadi dangkal. 1). Adanya suatu penga­lam­an. Seorang hamba Tuhan mempunyai satu pe­nga­lam­an yang unik dalam hi­dup­nya. Pa­da masa kecilnya ia begitu bangga dengan ayah­nya sehingga papanya men­jadi idola satu-satunya dalam hidupnya. Sampai akhirnya, ketika ayah­nya melakukan bu­­nuh diri, dan juga papa dari mamanya meninggal di tahun yang sama, itu me­nimbul­kan ke­ke­ce­wa­an luar biasa dan ia mengambil tekad bahwa perasaanya tidak akan diper­ma­­in­­kan oleh situasi serta tidak mau di­pe­nga­ruhi oleh siapapun.

2). Adanya pengaruh lingkungan. Setelah bertobat, banyak orang yang rindu be­­­lajar firman Tuhan dengan sungguh-sungguh namun karena mungkin saya masuk da­lam lingkungan gereja yang menyingkirkan emosi dari kehidupan gereja sehingga wak­tu saya mendengar khotbah yang luar biasa maka saya dipacu untuk berpikir. Namun itu me­nyebabkan perkembangan dari pe­mikiran tidak sejalan dengan perkembangan emosi yang makin dangkal dihadapan Tuhan, sehingga akhirnya secara tidak sadar saya sudah di­bentuk oleh satu ling­kungan. Saya percaya bahwa gereja hingga sekarang tetap mene­kan­kan satu hal yang seimbang antara pikiran, perasaan dan kemauan, tetapi ketika me­nde­ngar firman Tuhan, seolah-olah saya mengeser emosi menjadi sesuatu hal yang ter­sing­kir dari ke­hi­dupan pengalaman rohani saya. Sehingga melalui lingkungan se­perti itu kita menjadi orang yang berpikir bahwa perasaan tidak dapat dipertanggung­ja­wab­kan, yang benar-benar objektive itu adalah kembali kepada firman, kasih bukan di­pe­nga­ruhi oleh emosi. Tetapi bagi saya waktu dikatakan yang obyektive ada­lah firman dan emosi tidak mendapat tempat di dalam kekristenan, itu adalah pernyataan yang harus kita pertanggungjawabkan. John Calvin dalam buku Sistematik Teologinya yang per­tama mengatakan hikmat yang sejati adalah mengenal Allah dan megenal diri. Me­nge­nal bukan hanya tahu di dalam otak tetapi pengenalan yang in­tim antara Sang Pencipta de­ngan ciptaanNya dan dari hikmat itu menyebar ke hal yang lain. Karena lepas dari­pada itu maka teologi dapat berbahaya dan tidak membawa manusia semakin dekat pa­da Tuhan serta me­nying­kirkan esensi yang utama dari hidup beragama. 3). Adanya pe­nga­ruh Temperamen. Sebagai contoh orang melankolis dengan kolerik, me­reka sama-sa­ma sulit mengasihi tetapi seperti tokoh Yohanes dan Paulus, mereka da­pat menulis ten­tang kasih yang sangat dalam sekali. Itu sebabnya antara temperamen ham­ba Tuhan yang satu dapat berbeda dengan yang lainnya. Karakter tem­pe­ra­men yang berbeda me­nye­babkan apa yang ia beritakan menjadi berbeda, itu sebabnya ki­ta harus menyadari bah­wa setiap orang itu unik dengan kelebihan dan kekurangannya.

Inilah ketiga hal yang dapat menjadikan kerinduan seseorang akan Tuhan itu men­­jadi dangkal. Tetap orang yang memiliki kerinduan yang dangkal pada saat tertentu orang lain dapat melihat bahwa orang tersebut kerohaniannya hebat dan aktif karena ki­ta hanya melihat dari fenomena luar dan tidak dapat masuk dalam esensi yang ter­dalam da­ri hidup orang itu (Yoh 5: 37-40). Tetapi orang yang menyukai firman be­lum tentu me­ngasihi Allah. Ia suka karena firman itu memuaskan apa yang ingin ia ta­hu. Itu di­sebut dengan kecanduan di dalam rasio, dimana ia rindu mendapat se­suatu yang me­muas­kan pikirannya dan yang baru. Itu tidak salah kalau tidak hanya ber­henti pada se­ke­dar saya tahu. Kita dapat mem­pelajari firman dan mendapat sesuatu yang baru tetapi pa­da saat yang sama sebenarnya kita tidak pernah mau berelasi dengan Allah. Dan ka­lau firman itu lebih tinggi daripada Allah yag memberi firman maka itu berbahaya ka­re­na itu se­perti yang terjadi pada orang farisi. Belajar dan tahu tetapi kehadiran esensi ki­tab suci ia tolak dan akhirnya ia bunuh. Jadi tanpa sadar timbul kesombongan dan pada sa­at yang sama kita tidak pernah mau meninggikan Kristus karena yang diucapkan pe­nge­­ta­hu­an dan doktrin-doktrin Alkitab dan tanpa sadar yang terpenting dan menjadi esensi da­ri seluruhnya yaitu Allah disingkirkan, seperti yang terjadi di dalam Mat 22:34-40. Me­reka belajar tentang kitab suci tetapi mereka tidak mengasihi Allah dan se­samanya ma­ka dikatakan sudah kehilangan esensi yang sejati. Itu sebabnya kita dapat ke­lihatan men­cintai Allah tetapi sesungguhnya kita lebih mencintai gereja atau doktrin. Pdt. Stephen Tong pernah berkata, “Jangan cinta gereja Reformed dan hamba Tuhan le­bih dari­pada cinta kepada Allah, karena hamba Tuhan tetap hanya “hamba.” Esensi yang sejati, ka­sih akan Allah dan sesama sudah mulai sirna, getaran kasih yang menuju ke­atas dan kepada sesama itu mulai sirna. Tidak heran banyak orang datang kegereja dan men­dengar firman namun pulang tidak pernah berdoa bagi orang lain. Ini yang men­­jadi pergumulan saya karena saya adalah orang yang Tuhan berikan posisi sebagai hamba Tuhan sehingga tuntutannya tidak mu­dah. Hanya satu yang saya ingin walaupun su­sah, dapat mengasihi Allah dengan sege­nap hati jiwa, kekuatan dan akal budi dan me­nga­sihi orang lain seperti diri kita sendiri. Itu satu tuntutan hukum taurat yang begitu agung dan sampai mati kita su­lit mencapainya tetapi bukan berarti kita tidak dimotivasi un­tuk mencapainya. Namun bagai­mana kita dapat mencapainya kalau perasaan dan ke­rin­duan akan Allah, menyenangkan hati Tuhan dan keinginan mengenapi apa yang Ia mau tdiak pernah ada da­lam hidup kita? Dalam buku: “Orang-orang berdosa dibawah ta­ngan Allah yang murka,” Jonathan Edward mengatakan bahwa religius yang sejati bu­kan hanya di dalam pikiran tetapi ha­rus mencakup kehendak dan perasaan. Ia me­nga­ta­kan, bagaimana mung­­kin orang berdosa dapat rindu memiliki Kristus kalau Allah be­lum menanamkan ke­rinduan di dalam hatinya akan Kristus? Sehingga kerinduan disini ti­dak dapat lepas dari­pada emosi. Tidak ada cinta tanpa satu perasaan dan disini pe­ra­sa­an yang mem­pe­nga­ruhi pikiran sekarang dimotivasi oleh cinta Tuhan yang begitu ajaib se­­hing­ga waktu Roh Kudus mencurahkan kasih Allah, mendorong pikiran untuk selalu me­­mikirkan dan mentaati apa yang Tuhan mau kita pikirkan. Se­hing­ga emosi menjadi un­sur yang utama ketika kita mau dan sama seperti pemasmur ka­ta­kan, “Jiwaku haus akan Engkau, …” itu tidak mungkin tanpa kasih, karena nantinya hanyalah legalistik dan kewajiban saja. Disini terdapat 3 point dimana kita dapat mengembangkan kembali ka­sih yang sejati:

1). Melalui hubungan kita secara intim dengan Tuhan. Seperti Martin Luther, Calvin dan Jonathan Edward, mereka adalah orang yang penuh dengan dinamika doa se­hingga se­tiap kalimat yang keluar bagaikan satu kekuatan yang menegur, merupakan sa­tu spritual yang mengankat hati ma­nusia dan mengkoreksi hidup manusia. Dan disaat ki­ta bergumul, kita ju­ga ingat kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan kita. 2). Ketika ki­ta mengalami ta­war hati maka kita harus memaksa diri untuk tetap dekat dengan Tuhan. 3). Berdoa, minta su­pa­ya Tuhan terus-menerus memberikan kerinduan kepada ki­ta untuk bertumbuh. Mungkin kita tidak merasa bertumbuh tetapi sama seperti dari ke­cil kita makan dan berat kita ber­tambah sehingga akhirnya orang melihat kita sudah de­­wasa. Kerinduan akan Allah yang utama mengakibatkan kita rindu mengali firman, be­­lajar firman yang benar, rin­du melayani sehingga semuanya itu dimotivasi dan di­do­rong akan kerinduan akan Allah.

Hari ini ijinkan saya bertanya, memasuki tahun yang baru ini bagaimana per­ja­­lan­an hidup kita? Mari kita mulai mengembangkan kerinduan akan Tuhan dengan sa­tu mo­tivasi menyenangkan Tuhan dan melalui pemahaman, kita dapat semakin dekat de­ngan Tuhan. Waktu mempelajari doktrin yang benar supaya kita dapat mengajar,  men­jadikan orang bertumbuh lebih mencintai Tuhan dan melalui pengetahuan kita da­pat meng­analisa setiap krisis yang terjadi dengan satu kekuatan cinta akan Tuhan me­mam­pukan kita menjadi terang dalam dunia ini. Biarlah kiranya itu menjadi bagian di da­lam hidup kita memulai tahun ini sampai Tuhan memanggil kita kembali. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)