Ringkasan Khotbah : 16 Januari 2000

PELAYANAN: KEHARUSAN ATAU ALTERNATIF?

Nats : Yoh 4:1-10; 27-34

Pengkhotbah : Rev. Yung Tik Yuk

 

Bagian firman yang akan kita selidiki hari ini adalah tentang percakapan Tuhan Yesus de­ngan perempuan Samaria yang dilatarbelakangi oleh peristiwa yang di­ca­­tat dalam ayat 1-2. Di­ka­takan disitu bahwa orang-orang Farisi telah mendengar bah­wa Yesus membaptis dan men­da­pat­kan murid lebih banyak daripada Yohanes Pem­bap­tis sekalipun bukan Ia sendiri yang mem­bap­tiskannya. Dengan kata lain, sebenarnya wak­­­­tu itu Yesus sendiri sedang “merasakan” adanya sa­tu ancaman karena seka­rang me­re­­­­ka tahu bahwa Tuhan Yesus lebih populer dan ini meru­pa­kan sesuatu yang sangat ba­ha­­­­ya, karena jauh lebih radikal dalam hal pengajarannya bahkan lebih “gila-gilaan.” Mi­­­salnya kalau Yohanes mengadakan KKR, paling tidak ia masih menunjukkan ci­ri se­­orang yang spiritual (berpuasa) sekalipun ia dengan keras juga menegur ahli Taurat dan orang Fa­risi, tetapi Yesus yang bukan dari keluarga imam seperti Yohanes Pem­bap­tis, “hi­dupNya tidak le­bih baik” ka­re­na se­per­­ti pendeta yang mau diundang makan sekali­pun oleh orang berdosa (da­lam bahasa mo­­dern). Maka dengan pengertian ini, kebencian me­reka terhadap Yesus memuncak dan dalam keadaan itu maka dikatakan Tuhan Yesus menyingkir dari Yudea ke Galilea.

Namun dalam ayat 4 dikatakan bahwa Ia “harus” melintasi daerah Samaria. Di­­si­ni kata “ha­rus” tidak bersifat praktikal, tetapi sangat bersifat teologis karena ini me­­nyang­­­kut rencana Bapa yang harus dikerjakan oleh Kristus di dalam kondisi yang se­per­­ti apapun. Alasannya ada­lah: 1). Orang Yahudi mempunyai tradisi tidak akan pernah mau melintasi daerah Samaria. Sebab di­atara keduanya sudah terjadi akar permusuhan yang turun-temurun dan sejarahnya cukup pan­jang, + 700 th lamanya. Pada mulanya, ke­­­rajaan Israel dihancurkan kerajaan Asyur dan mereka mu­lai menyebarkan orang Is­ra­el ke berbagai negeri sehingga penduduk Samaria hanya tinggal be­be­rapa persen.  Aki­bat­nya mereka yang tinggal, membaur dengan bangsa lain dan muncullah bang­sa Sa­ma­ria. Setelah kerajaan Yahudi dihancurkan oleh Nebukadnesar (Ker. Babel) dan me­nga­­lami pembuangan, maka 70 tahun kemudian bangsa Israel yang mengalami pem­bu­angan di­ijin­kan kembali ke negerinya, (peristiwanya  + su­dah 500 tahun SM). Mereka yang di­ijinkan kem­bali ke Yerusalem, men­coba membangun kembali tembok Yerusalem dan ba­it Allah, namun yang men­jadi peng­halang bagi mereka adalah bangsa Samaria. Oleh se­bab itu bangsa Yahudi sangat ben­­­ci pada orang Samaria, demikian bencinya sehingga da­lam doanya mereka me­nga­ta­kan, “Ya Tuhan, pada waktu kami berhak menerima ke­mu­liaan dari padaMu, ja­ngan­lah Engkau mengingat Sa­maria.” Dan demi supaya mereka ti­dak melewati dae­rah Samaria, me­reka rela menempuh per­ja­lanan 4 hari lebih lama.

2). Saat itu dikatakan kira-kira pukul dua belas siang, Yesus dalam keadaan sa­­­ngat le­tih oleh perjalanan, karena itu Ia “ndeprok” di pinggir sumur itu (duduk karena su­­dah ti­dak dapat me­nahan kondisi yang sangat letih sehingga tidak lagi mem­per­hi­tung­kan tem­pat itu layak atau ti­dak untuk ber­is­ti­rahat). Selain itu keletihanNya ditambah kon­­disi emosi yang mungkin tegang ka­re­na tahu bahwa orang Farisi semakin mem­ben­ci­­Nya. Sekalipun Allah 100%, tetapi Alkitab se­ca­ra jelas menegaskan bahwa Ia dapat me­ng­alami keletihan, ketakutan, dan pada “saat tertentu ku­rang dapat me­ngon­trol emo­si­­­Nya (ketika mengobrak-abrik bait Allah), dan itu sangat manusiawi.” Te­tapi justru da­lam ke­adaan inilah kemudian datang seorang perempuan Samaria dan Ia ber­bin­cang-bin­­cang dengannya. Disinilah Yesus melakukan terobosan: pertama, Ia me­la­ku­kan tin­da­k­an yang kontroversial dengan me­lintasi Samaria. Ke­dua, Ia berbicara dengan pe­rem­pu­­­­an Sa­ma­ria. Orang Yahudi laki-laki yang terhormat tidak sepatutnya ber­bicara de­­ngan wanita terutama yang ti­dak dikenal. Apalagi Yesus ada­lah Rabi yang me­nu­­­rut hu­kum­, haram berbicara dengan wanita di­de­­pan umum. Ketiga, orang Ya­­hu­di ti­dak ber­gaul dengan orang Samaria sedangkan Yesus ber­bi­ca­ra dengan mereka (wa­nita pe­la­cur). Yesus ta­hu bahwa pada waktu Ia melintasi Samaria, Allah Bapa­Nya akan mem­­­per­­­­te­mu­kan dengan ob­jek pelayanan yang seperti itu. Dengan meng­abai­kan se­­mua ke­le­tih­an, resiko dan alasan apapun yang dapat di­ka­ta­kanNya pada saat itu untuk ti­dak me­­­­la­yani, Ia justru bertindak sebaliknya. Disi­ni­lah, jikalau se­seorang menyadari bah­­­wa ke­ha­rusan dari­­pada Allah itu sedang ter­jadi dan dinyatakan da­lam hi­dup­nya ma­ka orang itu akan meng­abai­kan segala sesuatu yang menjadi kendala se­ca­ra pri­ba­di. Sehingga dalam hal ini se­be­narnya ada be­berapa hal yang ap­likatif yang dapat ki­ta pikirkan.

Pada waktu kita menyadari bahwa melayani adalah satu keharusan yang ber­si­fat teo­lo­gis maka kita tidak perlu lagi berpikir tentang apakah situasinya aman atau ti­dak. Melayani da­lam situasi tidak aman bukan berarti membabi buta, tetapi dalam kea­da­­an tidak aman bagaimana ki­ta dengan bijak tetapi melayani, ini pointnya! Seperti da­lam Mat 10:16, ka­lau kita mencoba meng­hayati seekor domba di tengah-tengah serigala yang me­nge­ri­kan, itulah kondisi kita se­be­nar­nya. Itu sebabnya Tuhan Yesus dalam ka­li­mat itu me­lan­jutkan, “Sebab itu hendaklah kamu cer­dik seperti ular dan tulus se­per­ti mer­­­­pa­ti,” dimana artinya sama abstraknya dengan kalimat di­atasnya. Yang lebih kon­krit bagi orang percaya adalah licik seperti ular dan jinak-ji­nak merpati, da­lam arti wak­­­tu aman melayani berkobar-kobar tetapi wak­tu bahaya ti­dak ada yang mau me­la­yani. Mari kita belajar dari Yesus yang tahu bahwa pelayanan itu adalah soal ke­harusan da­­lam kon­disi se­per­­ti apapun.

3). Hal ketiga pada waktu kita berbicara bahwa pelayanan adalah soal ke­ha­rus­an, itu se­sungguhnya sedang berbicara tentang bagaimana kita secara sungguh-sung­guh me­la­­kukan pe­la­yanan itu. Seorang yang melayani bukan berarti harus memberikan se­­lu­­ruh waktunya untuk me­la­yani Tuhan. Dalam arti, sekalipun misalnya “hanya seba­gai guru se­kolah minggu” kita me­layani de­ngan kesungguhan. Saya memberi contoh dan menga­ta­kan “hanya” gu­ru sekolah minggu ka­re­na gereja seringkali punya konsep yang ke­li­ru ten­­tang se­kolah minggu. Seringkali Persekutuan Re­maja di­ang­gap se­ba­gai anak tiri dan Se­­­kolah Minggu dianggap cucu tiri sehingga tempat ber­ibadah sekaligus me­rupakan gu­dang mereka padahal mereka lebih membutuhkan keadaan kelas yang men­dukung kon­sen­trasi mereka yang mungkin hanya be­berapa menit. Tetapi jikalau se­orang yang me­nya­dari bahwa itu merupakan pe­layanan yang karena keharusan maka ia akan men­jadi gu­ru sekolah minggu dimana ingin selalu memberikan yang terbaik bagi mu­­rid-mu­rid­nya. Ka­rena secara hakekat, ia menyampaikan sebuah khotbah ke­pa­da anak-anak de­ngan wadah se­bu­ah cerita. Tuhan Yesus melakukan hal yang seperti ini. Itu sebabnya dalam keadaaan yang be­gitu le­tih Yesus jus­tru mengabaikan semuanya dan melayani perempuan yang hanya seorang sam­­­pah mas­ya­ra­kat (bdk. dengan Luk 5). Terkadang dalam melayani, kita lebih mudah lang­sung me­ng­e­luarkan uang daripada memberikan waktu kita untuk melayani.

4). Seseorang yang menyadari bahwa pelayanan adalah keharusan dari Tuhan ma­­ka ia tidak lagi melihat objek yang dilayani adalah yang se­per­­ti apa. Memang kita de­ngan latar be­la­kang, kebiasaan dan kepekaan ma­­sing-masing, lebih mudah terbeban pa­da bidang pelayanan ter­ten­tu tetapi ada saat-saat tertentu dimana Tuhan mem­­berikan pa­da kita satu bentuk pe­la­yan­an yang mungkin sama sekali berbeda de­ngan beban dan tu­gas pelayanan kita. Dalam Injil Matius Tuhan Yesus per­­nah berkata, “Anak manusia di­­­­utus di­ka­langan domba-domba yang terhilang dari o­rang Yahudi.” Dengan kata lain prio­­­ritas pelayanan Tuhan jelas di kalangan o­rang Ya­­hudi saja se­hingga pernah mung­kin “dengan be­gitu ketus” Tuhan Yesus berkata kepada se­­orang pe­rem­puan Siro-Fe­ni­sia bah­­wa tidak baik dan tidak boleh memberikan ma­kan­­an yang seharusnya di­be­ri­­kan ­­pa­­da seorang anak kepada anjingnya. Tetapi se­ka­li­pun demikian ketika keharusan da­ri­­pa­­da Allah Bapa harus membawa Ia melayani hanya kepada seorang perempuan Sa­ma­­ria yang bah­kan seorang pelacur, maka Kristus meng­abai­kan keletihan, resiko dan be­ban uta­manya untuk me­­la­­yani. Melayani bukan soal, apa yang kita suka dan menjadi be­­ban ba­gi kita tetapi me­­layani ada­lah soal apakah yang Tuhan minta untuk kita ker­ja­kan. Yunus pernah tidak me­ma­­­hami hal ini di­mana sebagai seorang nabi ia terus me­la­yani dan menyampaikan nubuat di­­­tengah bangsanya dan digenapi. Namun ketika Tuhan se­­­ca­ra jelas me­nga­ta­­­kan bahwa ia harus pergi ke Niniwe, ia me­nolak bahkan ketika se­lu­­­ruh orang di kota Niniwe bertobat, ia ti­­dak bersukacita tetapi justru jeng­kel karena ia le­­­bih se­­nang kota itu hancur sebab mereka adalah musuh Israel. Saudara, mung­kin da­lam saat seperti ini kita harus mencoba berpikir keluar dari tem­­bok yang selama ini me­n­­­jadi dunia kita dan memberikan kenyamanan kepada kita.

Sewaktu di SMA saya mempunyai beban pelayanan kepada orang yang saya ra­­­sa se­dang hidup dalam kekurangan namun baru pada dua tahun ter­­akhir ini saya mem­punyai ke­sem­pat­an melayani mereka. Dengan beberapa rekan saya melayani salah sa­tu­nya tukang parkir di Sta­siun Gam­bir. Disaat-saat itu kami hanya menjadi teman me­ngobrol dan kadang membawa ro­ti ba­gi mereka, walaupun di tempat tersebut sangat bau dan tidak nyaman untuk me­ngo­­brol. Akhir­nya bebe­rapa bulan kemudian, ka­mi mu­lai mencoba me­ngajarkan Firman dan me­nawarkan ke se­kolah minggu. Namun timbul prob­lem baru di­mana kami harus me­­mandikan mereka satu-per­sa­tu selama dua jam dan mem­belikan mereka masing-ma­sing kaos untuk dipakai. Satu minggu ke­mudian ketika ka­mi menjemput me­­reka, ka­os itu sudah kotor dan bau karena dipakai selama sa­tu ming­­gu sedangkan baju lama me­re­ka buang. Itulah mereka, da­lam banyak hal kita me­nga­­lami kesulitan te­tapi kapan lagi ki­ta dapat me­layani orang seperti ini? Pa­da saat se­per­­ti itu saya ber­­sy­u­kur kalau Tuhan me­­­ngi­ngat­kan kembali pada beban yang lama. Pa­da waktu se­se­orang me­nyadari ke­ha­rus­an pelayanan, kita mulai melihat ada sesuatu yang belum per­nah terpikirkan, Tuhan bu­kakan pada kita bentuk pela­yan­an yang baru. Ma­ri kita mu­lai belajar menyatakan ke­per­du­lian kepada orang-orang yang seolah-olah be­gitu kecil dan tidak ada artinya, se­per­ti seorang pe­rempuan pelacur Sa­maria. Kita ti­dak boleh melupakan bahwa me­reka juga mempunyai gambar Allah dimana kita harus me­nyatakan kasihan dan keperdulian. Itu sebabnya Tuhan Yesus pada wak­tu datang dan me­layani dia, Ia menyatakan bahwa Ia akan memberikan air hidup, sekalipun ia se­orang pe­­lacur namun tetap memiliki hak­ untuk men­da­pat­­kannya. Mereka miskin secara harta na­­mun belum tentu moralnya semiskin orang-orang kaya yang kita hormati.

Ketika seseorang menyadari bahwa pelayanan adalah suatu keharusan yang da­ripada Tuhan maka ia dapat menyatakan bentuk keperdulian ba­ik berupa hal-hal yang ber­sifat jasmaniah mau­pun religius termasuk orang-orang yang di­anggap sampah mas­ya­rakat dan tidak perlu di­per­du­likan. Oleh sebab itu, ketika ak­hir­nya perempuan itu ber­tobat dan meninggalkan tempayannya un­tuk masuk kekota, mem­bawa banyak orang da­tang kepada Yesus. Dan pada saat yang sama mu­rid-murid Yesus sudah datang de­ngan membawa makanan. Itu kesempatan bagi Yesus untuk ber­­is­­tirahat, makan dan mi­num namun Ia berkata kepada murid-muridNya, “Ada padaku ma­­kanan la­in yang eng­kau tidak mengerti yaitu melakukan dan menyelesaikan pe­ker­ja­an yang Allah Bapa per­­ca­yakan kepadaNya.” Karena Ia tahu keharusan ini bukan ke­ha­rus­­an yang bersifat prak­ti­kal yang dapat ditunda kapan saja tetapi merupakan keharusan te­o­­logis yang saat itu ju­ga harus di­ker­­jakan, sebab akan ada saat dimana ke­sem­pat­an itu sudah tidak akan ada. Melakukan pe­ker­ja­­an Bapa adalah keharusan bagi kita, maka bo­leh ada hal-hal prak­tis yang kita lakukan supaya ken­dala itu tidak menjadi alasan yang berlebihan dan ak­hir­nya kita tidak me­la­yani sama sekali. Kiranya firman ini boleh menjadi berkat bagi se­ti­ap kita. Amin. ?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)