Ringkasan Khotbah : 23 Januari 2000

IMAN YANG SEJATI

Nats : Yoh 8:30-36; 43-47; 59

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

   

Suatu kali seorang hamba Tuhan yang telah melayani di satu gereja mampu me­­ngem­bangkan jemaatnya dari 187 hingga mencapai 800 dan akhirnya ia diundang di ba­­nyak tempat untuk membawakan satu tema mengenai pertumbuhan gereja. Tetapi di da­­lam pergumulannya dengan Tuhan, ia merasakan masih terdapat satu hal yang ku­rang dalam pelayanannya yaitu

Hari ini kita akan membahas satu bagian yang sangat kritis dari pergumulan iman yang men­jadi masalah di akhir abad 20 ini. Pada suatu hari, dalam kebaktian di sebuah gereja di Ame­ri­­ka, ada dua orang bersenjata laras panjang masuk dan mengajukan satu pertanyaan dimana ba­gi mereka yang tetap tinggal ditempat berarti mau mati buat Tuhan dan akan mereka tembak, se­dang yang lain boleh keluar. Akhirnya hingga pe­ri­ngatan terakhir diberikan, ada 20 orang lebih yang masih tinggal dengan ketakutan namun tidak beranjak. Selanjutnya, salah seorang dari orang yang bersenjata itu berkata kepada pendeta disitu untuk melanjutkan kebaktian ter­sebut ka­re­­na semua orang munafik sudah keluar dari ruangan itu. Kadangkala saya bertanya dalam hati, orang yang bagaimanakah yang disebut sebagai orang Kristen itu? Apakah yang mengatakan, “Orang Kristen, yang penting percaya Yesus pasti selamat dan masuk surga, selesai.” Terkadang kita terlalu sederhana memandang hal itu.

Saya harap hari ini kita dapat mempelajari secara serius siapa sebenarnya orang Kris­ten itu. Ditengah-tengah pergumulan situasi yang semakin hari semakin memanas di Indonesia, sa­ya rasa ayat ini seharusnya menjadi ayat yang sangat serius bagi kita. Siapa diantara saudara yang ketika membaca dialog dalam Yoh 8, hati saudara bergetar dan luar biasa terkejut? Ketika mem­­­baca ayat-ayat itu, hati saya gentar dan terkejut luar biasa. Ayat tersebut di­mulai dari Yoh 8:30 dimana terdapat satu dialog antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Ya­hudi. Mereka ada­lah orang-orang yang melihat apa yang telah Yesus lakukan dan kemudian tak­jub sekali, lalu mu­lai timbul satu dialog hingga berakhir pada keputusan percaya kepadaNya. Disitu dikatakan, “Se­te­­­­lah Yesus mengatakan semuanya itu, (bandingkan dengan Yoh 8:1-29) banyak orang (Yahudi) per­­­­­caya kepadaNya. Maka Yesus selanjutnya berkata kepada orang-orang Yahudi yang percaya ke­­padaNya: “Ji­ka­lau kamu tetap dalam firmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu.” Disitu ter­ja­­di dialog yang dimulai dari kalimat biasa yang tambah lama bertambah panas, keras dan ka­li­mat­­­­nya tajam yang akhirnya, mereka yang percaya kepadaNya mengambil batu untuk mem­bu­nuh Yesus. Mengapa dapat terjadi perubahan seperti itu? Masalah apa yang membuat hal ini ter­ce­tus? Kalau hal ini pernah terjadi di dalam Yoh 8 maka bukankah ini rentan terjadi diantara kita hari ini? Mungkin kita tidak mengambil batu dan melempari Yesus tetapi secara esensial kita da­pat ber­­­­tindak membunuh Yesus atau iman Kristen melalui tindakan kita. Kalau demikian, apa se­be­nar­­­nya pengertian percaya yang dikatakan sebelumnya? Inilah pergumulan Kristen yang hari ini ter­­­lalu banyak diabaikan oleh manusia! Hari ini kita tidak terlalu banyak menggumulkan karena su­­dah diterpa dengan pengertian filsafat yang mulai masuk tahun 40-an yaitu semangat re­la­tivis­me, sehingga kita menjadi orang-orang yang pragmatis sekali.

Disini saya melihat ada 4 problem yang sangat se­rius dimana perkataan, “Saya per­caya Yesus,” dapat mengakibatkan orang meng­­ambil tindakan mau membunuh Tuhan Yesus.  Ma­­­sa­lah tersebut mulai muncul ketika ada satu dialog diantara mereka. Disepanjang 4 kitab Injil, Alkitab mencatat dimana Yesus secara eksplisit mengungkapkan kepada orang yang mau meng­ikut Dia bahwa “Bu­­rung punya sarang, serigala punya liang te­tapi Anak ma­nusia tidak mempunyai tem­pat untuk me­le­tak­kan kepalaNya; barangsiapa mau mengikut Aku dan me­nengok kebelakang ma­ka ia tidak layak untuk kerajaan surga.” Dan di dalam bagian ini kita kembali menemukan orang-orang demikian. Yesus berkata,“Jikalau kamu tetap dalam firmanKu, kamu benar-benar ada­­lah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Kalimat pendek inilah yang menjadi perdebatan rumit dan akhirnya menjadi keseriusan me­­­reka untuk membunuh Yesus. Disini kita tahu bahwa percaya kepada Yesus menimbul­kan ma­sa­­­lah yang sangat berat sebagai eksesnya dan kalau kita tidak mengerti, terkadang kita dengan mu­­­dah menerima orang lain atau bahkan diri kita sendiri yang menganggap telah percaya ke­pa­da­Nya. Adapun 4 problem diatas adalah: 1). Pro­blema Iman/ Kepercayaan (Problem of Faith); 2). Pro­blema Kebenaran (Problem of Epistemology); 3). Problema Kemerdekaan/ kebebasan (Pro­blem of Fredom); dan 4). Problema Ketaatan/ perhambaan (Problem of Obedience). Kalau kita ti­dak mampu menyelesaikan 4 masalah ini, berarti kitapun sangat rawan untuk dapat jatuh dalam kon­­sep yang kita gumulkan dalam iman kita saat ini. Dalam bagian pertama yaitu Problema Iman, di­­katakan bahwa problem tersebut muncul karena mereka mengatakan percaya kepadaNYa. Ber­arti disini, istilah percaya tidak dapat sesederhana dimengerti tanpa kita menelusur kedalaman ke­­­percayaan itu sendiri. Cornelius Vantil mengatakan bahwa kita seringkali terjebak dalam kon­sep prereligiusitas padahal itu berbeda sekali dengan konsep daripada iman. Konsep keaga­ma­wi­an itu berbeda dari konsep kepercayaan. Kita seringkali mengidentikkan bahwa kita orang Kristen ka­­re­na agama kita Kristen tetapi waktu saya beragama Kristen, itu sebenarnya belum tentu iden­tik dengan iman saya adalah iman Kristen. Karena waktu saya beragama Kristen, disini masa­lah­nya adalah iman Kristen tersebut sejati atau palsu? Vantil mengatakan bahwa kalau kita sudah ma­­­­­suk kedalam sub struktur daripada pemikiran seseorang, yang bukan sekedar apa yang di­ke­mu­­­­kakan didepan maka kita akan mengerti iman sesungguhnya orang tersebut. Disitu ia membagi men­­­­jadi 2 kategori: Pertama, Orang yang berpijak pada kedaulatan Allah sebagai basis iman­nya. Orang tersebut percaya mutlak Tuhan berdaulat meng­­atur, memiliki dan menjalankan hi­dup­nya dan ia sebagai alat Tuhan dalam seluruh per­ja­lanan hidupnya. Kedua, Orang yang bertindak di da­­­­lam otonomi manusia sebagai basis pijakannya. Manusia yang berhak me­mutuskan, yang meng­­­­­­­ambil kepercayaan, mengambil segala pertimbangan dan akhirnya kembali un­­tuk ke­pen­ting­an manusia itu sendiri.

Secara politis orang Yahudi bukan orang merdeka te­ta­pi merupakan jajahan Romawi. Se­­hingga apa yang mereka katakan itu hanya merupakan sa­­tu cetusan kesombongan bahwa me­re­­ka tidak mau diatur oleh siapapun. Inilah problema iman! Banyak agama dunia, khususnya agama timur se­­benarnya menjadi cetusan keinginan diri yang sedang dilempar kepada apa yang di­­katakan iman lalu ditangkap kembali untuk mencetuskan keinginan dan kepuasan di­ri kita sen­diri. Sehingga kepercayaan adalah apa yang kita inginkan dan yang menjadi objek ke­per­cayaan ada­­lah objek manipulasi,objek yang dapat mencukupi apa yang saya mau dapat. Itulah iman pal­su yang sedang ber­kem­bang di dalam pemikiran dunia kita dan itu sangat mengerikan. Banyak ge­­reja dan orang Kristen yang sebenarnya sedang mempermainkan kekristenan sendiri, karena me­­reka pikir dengan demikian mereka sedang beriman. Ini adalah satu sikap iman yang tidak se­suai dengan firman dan bukan seperti yang Yesus mau. Kalau kita per­ca­ya kepada Yesus maka se­harusnya saya menyerahkan seluruh hidup saya masuk kedalam diri Kristus dan biarlah Kristus yang mengatur hidup kita seluruhnya. Orang-orang Yahudi tersebut ti­dak siap hati untuk percaya dalam arti yang sesungguhnya dengan menye­rah­kan hidup mereka pada Kristus. ini beda se­kali dengan apa yang dikerjakan oleh murid-murid Yesus dimana mereka rela me­ning­gal­kan seluruhnya demi Yesus. Itu adalah ketotalitasan iman dimana saya menyerahkan hidup saya tun­­duk mutlak diatur oleh Kristus, itulah sikap murid yang sejati. Dan mungkin sekali kita harus me­relakan cita-cita kita yang tidak sesuai dengan cita-citaNya dibongkar. Reformed Theology ber­bi­­cara praktis dalam arti yang paling praktis dan yang paling inti. Tidak ada yang lebih praktis da­ri­pa­­da bagaimana kita menggumulkan apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus menjadi dasar iman dalam hidup kita sehari-hari. Apa artinya kita mengerjakan praktika dan berjuang bagi se­mua namun akhirnya kita masuk neraka? (seperti yang diungkapkan dalam Mat 7:21-23). Mari kita mulai melangkah praktis kita dari iman yang sejati. Bahkan Alkitab kita pun disusun dengan for­mat yang sangat praktis di dalam cara hidup yang sangat konkrit. Saya mengharapkan ini da­pat menjadi pergumulan kita, iman seperti apa yang saudara dan saya miliki yang mendasari hi­dup kita? Satu hal yang paling praktis adalah merefleksi diri, seperti lagu “Oh Tuhanku selidiki ha­ti­ku yang dikutip dari Mzm 139, dimana kita mencoba menyelidiki, uji diri dan biarlah kita ber­cer­min di hadapan Tuhan, siapa kita di hadapan Tuhan dan iman seperti apa yang kita miliki? Saya ha­­rap iman kita jangan dipermainkan! Iman sejati adalah adalah iman yang dipertanggung­jawab­kan dihadapan Tuhan dan bukan dihadapan manusia lagi.

Bagian kedua adalah Problem Epistemologi. Yesus berkata bahwa barangsiapa berada dalam firmanNya, fir­manNya itu adalah kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kita. “FirmanKu adalah ke­­benaran,” itu adalah patokan yang paling dasar, tetapi mereka menolak dan meng­anggap ke­be­nar­­an mereka sendiri yang benar. Memang harus diakui bahwa orang Yahudi ada­lah satu ke­lom­pok suku bangsa di dunia yang mempunyai pemikiran yang sangat tajam, tetapi itu bukan berarti mem­­­buat mereka harus mempunyai satu kesombongan diri bahwa mereka tidak ber­hak tunduk ke­­­pada firman Tuhan. Mereka adalah manusia yang begitu pandai tetapi juga be­gi­tu bodoh ka­re­na mereka sebenarnya tidak kembali kepada kebenaran. Itulah problem kebenaran! Di tengah ma­­­­­nusia, kita seringkali begitu sombong dan menganggap bahwa kitalah yang me­nen­tu­kan ke­be­nar­­­­an. Itu adalah kesalahan besar karena seperti yang lain bahwa kita bukanlah penentu ke­­be­nar­an. Bagi saya ini suatu hal yang sangat serius, satu pergumulan yang perlu kita uji kem­ba­li di da­lam pola epistemologi kita. Disitu Yesus menggunakan bahasa retorik dengan menga­ta­kan, “Apa­kah sebabnya kamu tidak mengerti bahasaKu? Sebab kamu tidak dapat menangkap firmanKu.” Di­­­sini berarti bahwa setiap kali mendengar firman kita membuat suatu me­ka­nis­me per­ta­hanan me­­­­lalui konsep yang selama ini kita pegang sehingga mengakibatkan firman Tuhan sulit ma­suk. Ini merupakan masalah epistemologi yang paling berat yang kita alami. Relakah kita mem­buka ha­­­­ti kita untuk mau belajar firman yang di­ajarkan kepada kita? Sangat mungkin firman itu ber­la­wan­­­an dengan pemikiran kita karena melalui khotbah kita dikoreksi, belajar dan di­per­baiki, dan itu ber­­­arti ada sesuatu yang masih tidak cocok dan berbeda yang perlu dibongkar dan di­ubah, di­kem­ba­­­likan kepada kebenaran sejati. Untuk itu kita harus rela melepas kebenaran yang sa­lah yang selama ini kita pertahankan sehingga kebenaran Tuhan dapat masuk melalui firman.

Se­be­ra­­pa jauh kita rela dibongkar oleh Tuhan sehingga kebenaran firman dapat mem­po­les kita. Dalam ka­­sus ini Reformed memang paling sulit karena satu-satunya yang meng­gu­na­kan pre­sa­posisi ter­balik yaitu yang disebut sebagai teologi dari atas. Satu-satunya teologi di­mana se­mua yang kita pi­kirkan itu berdasarkan kedaulatan Allah. “Kembalilah kepada firmanKu ma­ka eng­­kau men­jadi murid­Ku dan firman itulah kebenaran.” Waktu kalimat itu muncul, disitulah pe­ngu­ji­an epis­temologi ba­gi kita satu-persatu. Bagaimana sebenarnya sikap kita dihadapan Tuhan, re­la­kah ki­ta kembali pa­­da firman, tunduk dan diajar oleh firman sehingga hidup kita di­ko­rek­si perlahan ser­­ta di­per­ba­ha­rui. Iman Kristen bukanlah iman yang percaya Yesus lalu selamat, bukan seseder­ha­na demikian karena istilah didalamnya perlu diperhatikan lagi. Seringkali kalimat itu men­­ja­di satu slogan yang hanya dilempar tanpa pengertian esensial dibelakangnya. Kita se­olah percaya Yesus lalu seolah kita sudah mengerti, padahal dibelakang itu terlalu banyak ma­sa­lah yang belum ter­selesaikan. Mari kita belajar sungguh-sungguh supaya akhirnya hidup, perjuangan dan prak­tika ki­ta ti­dak sia-sia dan akhirnya Tuhan dapat menarik kita dan mengatakan, mari kem­ba­lilah ham­ba­ku yang baik dan setia. Kiranya ini menjadi anugerah bagi kita. Amin. ?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)