Ringkasan Khotbah : 04 Juni 2000

KESIA-SIAAN HIDUP SECARA ATHEISTIC

Nats : I Petrus 3:15; Mzm 14:1-3

Pengkhotbah : Ev. Solomon Yo

 

Didalam Mazmur 14 ini kita membaca bahwa orang ‘bodoh’ atau ‘bebal’ berkata dalam ha­ti­nya bahwa tidak ada Allah. ‘Bodoh’ disini bukan sekedar secara intelek tetapi berkaitan de­ngan moral atau rohani. Ketika saya membuat satu skripsi yang membahas mengenai teori ilmu ma­ka saya melihat bahwa ada hubungan yang erat antara hati dengan otak. Ketika seseorang mem­­buat suatu argumentasi dan menyimpulkannya dengan begitu masuk akal (bagi mereka) ten­tang hal-hal yang melawan Tuhan, itu semua sebenarnya berakar dari hati yang mem­beron­tak ke­­­­­pada Tuhan, sehingga kita melihat disini pentingnya hati yang bersih dihadapan Tuhan. Pe­no­lak­­an adanya Tuhan itulah yang akan mengakibatkan satu kehidupan yang bejat, busuk dan jijik.

Se­karang, bagaimana hal­nya dengan kehidupan orang Kristen? Sangat mung­kin orang Kristen yang mengaku beriman ke­pa­­da Tuhan ternyata hidupnya tetap sama seperti orang atheis (atheis prak­tis). Sebab seringkali apa yang kita wujudkan melalui sikap itu lebih jujur dari­pa­da apa yang kita sampaikan lewat kata-kata. Yesus pernah mengatakan, “Bukan setiap orang yang berseru ke­­pa­da­Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam kerajaan Sorga, … Aku tidak per­nah mengenal ka­mu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Hari ini mari kita be­lajar untuk me­ngevaluasi diri sebagaimana nasehat dari rasul Paulus: “Periksalah dirimu, apa­kah kamu te­guh dan jangan sampai kamu goyah! Sebab aku sendiri berusaha untuk memeriksa, me­ngawasi dan mengekang diriku supaya setelah aku memberitakan Injil, aku sendiri tidak di­tolak.” Rasul Paulus dengan jelas mengetahui bahwa kedaulatan Tuhan didalam menyelamatkan kita tidak ber­tentangan dengan teguran yang keras bahwa kita juga harus mengawasi diri kita. Dan justru ka­rena kita adalah orang yang sungguh-sungguh diselamatkan Allah maka kita seha­rus­­nya me­meriksa diri kita supaya jangan sampai hidup kita tidak sesuai dengan apa yang kita imani. Manusia didalam segala sesuatu yang ia lakukan selalu melakukan apa yang disebut de­ngan rasionalisasi dimana ia selalu mempunyai alasan untuk membenarkan diri. Sejauh manakah kita mengerti apa artinya percaya pada Tuhan, meng­­­hargai iman kita pada Yesus Kristus dan meng­­hayati, menjalankan serta menikmatinya. Ja­ngan sampai kita berada di lumbung yang pe­nuh dengan makanan tetapi kita mati kelaparan. Ja­ngan­­lah kita dalam persekutuan Kristen/ anak-anak Tuhan tetapi ternyata kita bukan menjadi orang yang dijamah, dibakar dan diberkati, dan itu da­pat terjadi jika kita tidak mawas diri.

Hari ini saya mengajak kita menelusuri satu jalan yang disebut dengan ‘jalan negatif.’ Di­sini kita akan melihat satu kontras bagaimana kehidupan orang-orang yang tidak memiliki Tuhan, dengan demikian kita mampu menghargai apa yang ada dalam diri kita. Kadangkala saya me­­­lihat bagaimana anak dari keluarga yang berkecukupan dengan makanan yang berlimpah jus­tru tidak mensyukuri dan membuang-bu­ang makanan bahkan marah ter­hadap orang tua. Ada sa­at­nya kita lupa akan anugerah yang ada pada diri kita dan menjadi begitu biasa se­hing­ga kita mung­­kin perlu ber­cer­min dan belajar dari orang berdosa, supaya kita dapat lebih meng­hargai. Ji­ka­lau dalam kehidupan ada Allah berarti ada pembatasan, peraturan dan banyak ke­kangan serta penghakiman yang membuat kita gentar. Dan bukankah terdapat hal yang sulit se­­kali untuk tidak kita lakukan, tetapi jika kita lakukan maka itu berarti kita telah meng­kom­pro­mi­kan hati nurani dan mengingkari Tuhan. Tidak semua orang menyadari apa artinya hidup tanpa Tuhan! Seorang Atheis yang sangat konsisten dan konsekuen dengan kepercayaannya yang atheis, Frederich Nietzsche (1844-1900) membuat satu perumpamaan yang sangat terkenal yaitu Mad Man (orang gila). Dikisahkan disana bahwa pada suatu pagi yang cerah, seorang buta menya­la­kan lentera lalu pergi ke pasar sambil berseru, “Aku mencari Tuhan!” Disitu terdapat se­ke­lompok orang yang sudah modern (atheis) menertawakannya dan mengejek, “Kamu mencari Allah? Apa­kah Allahmu se­dang tertidur, hilang, ber­emi­gra­si, atau takut dengan kami?” Ketika me­nde­ngar ejek­an itu, o­rang tersebut meloncat ke tengah mereka dan berkata, “Apa yang kalian tertawakan? aku men­ca­ri Allah, apakah kalian tahu dimana Allah?” “Kita sudah mem­bu­nuh Allah, kamu dan aku, tetapi ta­hu­kah kamu apa arti semuanya itu?” Kemudian ia mem­ban­ting lenteranya hingga be­ran­takan dan pa­dam. “Itu artinya suatu malapetaka akan ter­ja­di pa­da diri kita. Sesuatu yang be­gi­tu ber­kua­sa dan indah yang pernah ada dalam sejarah te­lah kita bunuh. Tetapi kita tidak mungkin sang­gup un­­tuk menerima konsekuensinya!”

Bagi Nietzsche fakta Allah ada itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah materi. Ia me­ma­kai bahasa sastra untuk mengatakan bahwa ke­per­ca­ya­an Allah yang adalah ciptaan (khayalan ma­nusia) sekarang su­dah dikenali dan dipahami se­ba­gai sesuatu yang bodoh, bohong dan ke­per­cayaan itu sudah kita bunuh atau tanggalkan. Namun ia me­ma­hami bahwa jikalau manusia tan­pa Allah akan mengalami apa yang di­se­but dengan nihilisme (ke­ko­songan/kehampaan). Dan hal ini sama seperti apa yang dikatakan Pengkhotbah bah­wa se­mua­­­nya adalah sia-sia. Ba­gai­ma­na manusia hidup tanpa makna ke­benaran, ke­adil­an, kebajikan dan keagamaan yang sungguh-sung­guh, dan itulah ke­hidupan mo­ralitas jaman se­karang. Bagi sa­ya inti pencarian makna hidup ma­­nusia ada di hati, dan kesimpulan tidak ada Allah bagi Nietzsche itu ber­akar dari masalah aga­ma. Tetapi satu hal yang sa­ya kagumi dalam dirinya ada­­lah dimana ia mempunyai satu ke­tun­tas­an, untuk menjadi orang yang tidak tanggung-tang­gung. Tulisannya bukanlah bagi para teolog te­ta­pi bagi para atheis yang tidak ber­tang­gungjawab dan hidup sem­ba­rang­­­an. Pengaruh dari se­ku­lar­isme yang sangat atheis akan membuat manusia tidak akan pernah dihargai dengan sungguh-sung­­guh.

Kita harus mengevaluasi bagaimana iman kita bekerja dalam diri kita. Jikalau tidak ada Allah, apa yang menjadi tujuan hidup manusia? Adanya peng­harap­an dan tujuan itulah yang mem­­­­­­buat se­se­orang memiliki satu dinamika dan motivasi untuk hidup. Mungkin kita berpikir lebih ba­ik tidak ada Allah namun para atheispun tahu jikalau tidak ada Allah maka hidup ma­­nusia akan se­perti kapal yang karam. Kita lihat bahwa mu­­rid-murid Nietzsche seperti Hitler dan Stalin begitu ke­­jam membunuh. Dalam tulisan yang ditempelkan disuatu tempat di Auschwitz, yang menjadi tem­­pat orang-orang Ya­hu­di ditangkap dan bu­nuh dengan gas beracun dikatakan: “Aku mem­be­bas­­­kan Jerman dari buah pi­kir­an yang keliru dan bo­doh yang menurunkan derajat yaitu hati nu­ra­ni dan mo­ralitas. Kami akan me­la­tih kaum muda dan di­­hadapan mereka dunia akan gemetar. Aku me­ng­­­ingin­kan agar kaum mu­da sanggup melakukan tin­­dak kekerasan, sombong, telengas dan kejam.”

Ketika manusia mencoba mengatur dirinya maka ia hanyalah mengatur untuk meng­han­curkan sesama. Inilah konsekuensi daripada Atheisme dimana tidak ada suatu dasar mo­rali­tas dan kebajikan serta sumber otoritas yang disetujui semua orang sehingga kepadanya setiap kita harus taat. Seperti dalam kitab Samuel dikatakan bahwa semua orang melakukan apa yang ia anggap benar. Be­nar­lah apa yang dikatakan oleh mantan sekjen PBB, Dag Hammarskjöld bah­wa ke­­tika manusia mengatakan Allah mati maka waktu itu Allah tidak mati tetapi manusialah yang ma­­­ti karena tidak lagi me­ne­ri­ma karunia Tuhan yang memberikan hidup didalam diri mereka. Pa­da abad 20 moralitas hancur dan kita melihat beberapa perang dunia yang besar terjadi, ke­mu­di­an mulai munculnya kembali paganisme (kekafiran seperti jaman Yunani yang dulu sudah di­ka­lah­­­kan oleh kekristenan). Sehingga Kekristenan dan agama-agama sepetinya terdesak oleh se­ga­­­la kekafiran, kekotoran, kenajisan dan hal-hal yang busuk yang dengan bebas masuk dalam ta­yang­­an TV dan film yang menjadi budaya populer atau santapan masyarakat setiap harinya. Se­mua itu merupakan akibat logis manusia meninggalkan Tuhan. Disini pentingnya kita meng­ko­rek­si kembali iman kita dan apakah kita sudah memberikan tempat bagi Kristus sebagai Tuhan dan Raja secara pribadi dalam hidup saudara!

Selanjutnya kita melihat bahwa di dalam kekristenan juga terdapat satu permasalahan yang sulit dideteksi yaitu adanya satu kehidupan yang suam-suam kuku dimana seringkali me­re­ka berada didalam konflik diri antara dua hal yang saling bertentangan, yang sepertinya ber­si­fat sa­kit jiwa. Disatu pihak kita sadar bahwa kita tidak dapat hidup tanpa Allah, kita percaya Allah dan me­­merlukan ke­se­la­mat­an namun dilain sisi ada keinginan untuk bebas dan tidak ingin secara to­tal berserah pada pimpinan Allah. Sehingga banyak agama se­ku­ler yang mem­be­ri­kan ja­wab­an bah­wa Allah hanyalah merupakan sarana untuk memuaskan ke­bu­tuh­an manusia, dan itulah aga­ma yang an­troposentris yang sangat berbahaya. Ma­ka pe­nga­­­jar­an Re­for­med menegaskan ada­nya satu kontras antara agama yang ber­si­fat theo­sen­tris dan an­tro­po­sen­tris. Suatu agama yang theo­­sentris akan menjadikan manusia menyadari ke­pa­pa­an­­nya se­hing­­ga mereka ha­nya meng­gan­dalkan kasih karunia Tuhan. Iblis tidak takut kepada mere­ka yang me­­nyerahkan hidupnya pa­da Tuhan, namun ia tidak akan pernah mem­be­ri­kan kesem­pat­an se­se­orang membuat satu ko­mit­men yang sungguh dan total kepada Tuhan. Seperti halnya de­ngan is­ti­lah ‘monyet ditangkap oleh kacang’ demikian pula halnya dengan manusia yang di­tang­kap iblis. Ia memberi kita kacang, kita meng­ambilnya dan kemudian tidak mampu me­lepas­kan­nya kem­bali ka­rena kita tetap ingin me­me­gang erat dosa yang me­nyebabkan kita hancur. Bu­kan­kah ke­hi­dup­an orang Kristen itu se­per­ti ke­hidupan bangsa Israel di padang gurun yang hanya ber­putar-putar an­tara bertobat dan kem­bali ber­buat dosa lagi? Seringkali kita melakukan aktivitas ro­hani, tetapi mung­kin secara rea­lita­nya ti­dak berbeda de­ngan orang lain yang hidupnya tanpa mak­­na, penuh de­ngan ke­bo­san­an dan ter­ob­sesi dengan hal-hal duniawi, sehingga yang terpen­ting dalam hidup me­reka bu­kanlah Tuhan.

Ada dua cara orang dapat sungguh-sungguh belajar menghayati betapa indahnya Yesus: 1). Jalan kesucian. Disini orang akan berusaha hidup sungguh-sungguh suci. Seperti Martin Luther, ia akhirnya menyadari bahwa kesuciannya tidak dapat menyelamatkan sehingga ia me­­merlukan tangan yang lebih berkuasa yaitu tangan anugerah, pembenaran oleh iman. 2). Ja­lan ke­bia­dab­an, dosa yang begitu mengerikan. Itu se­bab­nya banyak orang yang du­­lunya rusak na­mun ketika sadar mereka menjadi hamba Tuhan yang le­bih bersungguh-sung­guh karena me­nya­dari apa artinya hidup yang hancur dan be­tapa indah hi­dup keselamatan. Kita me­­lihat bahwa jus­tru orang yang hanya suam-suam kuku itulah yang paling ber­ba­ha­ya. Seperti ketika kita me­mi­num obat antibiotik, apabila dosis yang dianjurkan ti­dak ki­ta habiskan maka itu a­kan berakibat se­sua­tu yang sangat resisten dan semakin mem­buat kebal tu­buh kita. Demikian ju­ga halnya dengan ke­hidupan rohani kita, masalah dan ko­mitmen kita harus tuntas diselesaikan. Da­lam Yak 1:8 di­ka­ta­kan, “Se­bab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.” (li­hat Yak 4:4). Ketika saya merenungkan mengenai kejahatan yang seringkali ter­jadi, timbul pe­mi­kiran tentang di­ma­na­kah orang Kristen yang boleh bangkit melihat hal seperti ini? Mereka se­per­tinya sudah diumpani de­ngan kacang, dilumpuhkan didalam kenyamanan diri dan do­sa.

Apakah ki­ta akan membiarkan ke­hidupan kita berlalu dengan sia-sia? Saya meng­un­dang, meng­himbau dan mendesak, mari kita mem­persembahkan hidup kita dalam satu komitmen sung­­guh-sungguh pa­da Tuhan! Dunia ini milik Tuhan, mari kita bekerja untuk melaksanakan man­dat Tuhan didalam bi­dang kita masing-ma­sing. Musa ti­dak pernah menyesali telah memimpin umat Israel yang begitu de­gil, sebab ia ta­hu bahwa hidupnya bukan demi manusia tetapi demi pang­­gilan Tuhan, dan ia te­lah memilih yang ter­­­baik. Jikalau jen­dral dan prajurit dunia rela mati ba­­gi pe­mim­pinnya, ba­gai­mana dengan orang Kris­ten yang telah mengalami keindahan kese­la­mat­­an dari Allah? Marilah kita kembali ke­pa­­da iman yang se­jati, yang mula-mula dengan men­cin­tai dan meng­ikut Dia lebih sungguh. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)