Ringkasan Khotbah : 25 Juni 2000

DINAMIKA HIDUP ABRAHAM

Nats : Kej 12:2-4; 16:16; 17:1; 18:1-33

Pengkhotbah : Ev. Thomy J.Matakupan

 

Kita telah banyak mengetahui tentang tokoh iman Abraham dengan dinamika iman yang begitu luar biasa, dan saat ini kita akan lebih memfokuskan pada tanda-tanda seorang yang te­­­­­­­lah dewasa rohani dalam kaitan dengan tokoh Abraham. Dalam Kej. 12 kita melihat bahwa Tuhan berfirman kepada Abraham dan mem­berikan janji bahwa ia akan menjadi bang­sa yang be­sar, bang­sa yang akan me­me­nuhi seluruh bumi. Usia Abraham sudah mencapai 75 ta­hun ke­tika ia be­rang­­kat dari Haran menuju ta­nah perjanjian dan akhirnya janji itu baru tergenapi ketika Abra­ham berumur 100 tahun. Di dalam kurun waktu 25 tahun tersebut di­na­mika iman Abra­­ham sangat lu­ar biasa.

Kita melihat bahwa respon Abraham maupun Sara me­­­nun­juk­kan respon yang sa­ma-sa­ma negatif namun tetap ada satu penekanan yang berbeda an­tara ke­dua­nya. Salah satu­nya di da­­lam Kej. 16 diceritakan bahwa Sara karena telah de­mi­ki­an pu­­tus asa, sehingga ia me­ngijinkan Abra­ham menghampiri Hagar supaya Abraham boleh mem­­pu­­nyai anak daripadanya. Di­sini se­per­­ti­nya Sara mencoba mem­­bantu Allah su­pa­ya Abra­ham ce­pat men­­­dapat anak, se­hing­ga aki­bat­­­­nya Tuhan tidak ber­ke­nan ke­pa­da­nya. Sebab bu­kan dari Hagar te­­tapi dari kan­dungan Sara­-lah, anak yang dijanjikan itu akan la­hir. Dan kita melihat bah­wa mu­lai terdapat ketidak­cocok­kan an­­­tara apa yang Tuhan janji­kan dengan respon kedua orang tua ini karena mereka hanya mem­fo­kus­­­kan kepada apa yang mung­kin atau tidak mungkin yang di­ha­sil­kan pada diri sehingga fo­kus me­­­reka bukan pada anak yang akan Tuhan beri. Disini ki­ta melihat betapa pen­ting­nya pe­­­ran se­orang kepala ru­­mah tangga, bagaimana menjadi seorang imam dalam keluarga yang me­­me­liha­ra dan men­sya­ring­kan jan­ji Tuhan kepada seluruh anggota ke­luarganya untuk ber­sa­ma-sa­ma ber­ju­ang maju di da­lam me­­nge­napi rencana Tuhan dalam ma­sing-masing keluarga. Se­orang sua­mi bu­­kan sekedar se­­ba­gai ke­pa­la rumah tangga atau raja te­tapi ia juga harus se­ba­­gai imam dan na­bi da­ri­ Allah yang hidup dalam rumah tangga tersebut. Ke­tidakpercayaan Abra­­­ham dan Sara me­ru­­pakan ke­ga­­galan un­­tuk memahami ke­mam­pu­an dan janji setia Allah di da­­lam pe­ker­jaan­Nya.

Selanjutnya kita akan melihat bagaimana sikap dan tindakan Abraham yang boleh men­­­­­­­­­­­­cerminkan hidup iman yang dewasa. Ba­nyak orang Kristen yang ber­usaha men­ja­di orang yang dewasa secara rohani tetapi terlewatkan di dalam me­mahami tanda-tanda de­wasa tersebut. Di­­­­­sini paling sedikit ada 6 hal yang akan kita pikirkan: 1). Seorang Kristen yang dewasa akan se­ma­kin sedikit ketergantungannya kepada hal-hal yang bersifat spektakuler, tetapi ia akan le­bih me­ng­­inginkan dan menikmati keintiman relasi dengan Tuhan. Ka­lau kita melihat dalam pe­ristiwa Abra­ham, sebelum ketiga orang tersebut datang kepadanya ma­ka ada banyak hal yang sudah per­­­­­­nah Tuhan bicarakan kepada Abraham sebelumnya dalam ben­tuk yang spek­ta­ku­ler sekali. Te­­ta­pi dalam Kej 18 ini kita melihat bahwa ketika Allah bertemu de­ngan Abraham, mereka di­da­lam wu­jud manu­sia biasa (istilah ‘TUHAN’ di dalam ps. 18 menggunakan hu­ruf kapital be­sar se­mua­­­nya, yang dalam PL me­ru­pa­kan terjemahan dari ‘Yahweh’) sehingga sangat mungkin itu ber­­arti Tuhan Yesus di dalam tubuh pra-inkarnasi. Terdapat satu prinsip penting dalam Alki­tab bah­­wa ti­dak ada sa­tu orangpun yang per­nah melihat pribadi pertama dan ketiga dari Allah Tritunggal se­­­bab Allah ada­lah roh dan ba­rang­siapa menyembahNya, ia harus menyembah dalam roh dan ke­­­be­naran (bnd. Yoh 1:18). Namun Abraham mulai mengerti bahwa orang tersebut bukanlah orang bia­sa karena mereka me­ngetahui apa yang ada dalam hati Abraham dan apa yang sedang ter­jadi di­seberang tenda yaitu ter­ta­wanya Sara, yang bahkan Abraham sendiri tidak mende­ngar­nya. Da­lam hal-hal yang sepele se­ma­cam itu, Abraham melihat bahwa bertemu dengan ketiga orang ter­se­but baginya sudah cukup dan ia mulai menikmati bagaimana menjamu mereka. (bnd. Luk 22:14-15; 24:30-31; Why 3:20) Disini bukan dalam hal makannya, tetapi ini lebih kepada hal ba­­­­gai­­­mana intimnya persekutuan antara ma­nu­sia dengan Tuhan, dan itulah yang menjadi fo­kus uta­­ma, hal yang dike­jar te­rus-menerus sebagai orang yang dewasa rohaninya. Ada atau tidaknya sua­­tu hal yang spek­­ta­­kuler, itu tidak mengganggu keintiman dari­pa­da relasinya.

2). Seorang Kristen yang dewasa, ia bukan hanya fokus kepada diri tetapi akan me­nun­­­­­jukkan perhatiannya kepada orang lain. Ketika ia sudah me­nga­lami cinta Tuhan dalam hi­dup­nya maka iapun menginginkan orang lain mengalami pe­ngalam­an yang sama seperti yang telah ia alami. Mungkin saat pertama ia mene­ri­­ma Tuhan Yesus ia akan mengatakan bahwa ia adalah orang yang paling bahagia karena itu saat ia ber­pin­­dah dari ke­­ngerian kekal menuju pada ke­ba­ha­­giaan kekal, tetapi selanjutnya ia mulai memikirkan orang lain, apakah orang tua dan sau­da­ra­nya yang lain juga me­ngalami hal yang sama. Kalau kita mau me­­­ne­­lusuri doa syafaat Abraham un­­tuk Sodom dan Gomora, maka kita akan mengerti mengapa ia memohon kepada Allah untuk ti­dak memusnahkan jikalau terdapat sepuluh orang benar dalam ko­ta tersebut. Itu semua dika­re­na­­kan yang menjadi per­ha­ti­an Abraham pada saat itu adalah ke­po­­nakannya yang bernama Lot dan sepuluh merupakan jumlah yang paling aman seruan Abra­ham kepada Tuhan agar Lot dan ke­­­­luarganya diselamatkan. Hal ini ti­dak dapat diartikan bahwa kita dapat mengubah ren­­cana Tuhan dengan tawar-menawar de­ngan Tuhan, karena tan­pa ada­nya tawar-menawarpun Tuhan pas­­­­­­ti akan se­la­mat­kan paling sedikit sepuluh orang. Sehingga pe­nga­jaran yang mengatakan bah­wa doanya da­pat mengubah Tuhan sama se­­­kali tidak Alkitabiah. Su­dahkah kita sebagai orang yang sudah diselamatkan mem­punyai kerinduan untuk memikirkan saudara kita yang lain supaya me­­reka boleh me­­n­dengar Injil paling sedikit satu kali dalam hidup mereka? Pikiran se­ma­cam ini men­­jadi satu tanda orang yang dewasa rohani dan itulah yang dikatakan dalam Alkitab sebagai hi­­dup yang berke­lim­pah­an. Seperti dalam Yoh 10:10, waktu Tuhan Yesus datang, Ia menga­ta­kan, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mem­pu­nyai da­­­­lam segala kelimpahan.” Ma­ka disana diartikan bahwa pada diri sendiri masih kurang tetapi ia te­­­tap mau menolong orang lain karena masih ada orang yang lebih membutuhkannya. Itu juga yang dikatakan oleh Yesus ke­tika ada seorang janda yang mempersembahkan dua keping uang.

3). Orang Kristen yang dewasa akan seimbang di dalam hal aktif dan pasifnya. Ketika kita melihat Abraham dan pergumulannya berkenaan dengan janji Tuhan maka ada beberapa kali ia pasif, mis: ia tidak langsung berangkat ke mesir ketika ada bencana kelaparan besar, demikian juga ketika ia harus mengikuti Sara untuk menghampiri Hagar, sebab disini kita melihat bah­wa ak­­tif­nya rencana itu muncul dari pikiran Sara. Namun kita melihat dalam ps 18 Abraham ak­­tif da­tang menyambut dan melayani tiga orang tersebut, demikian juga ketika Tuhan mem­be­­rita­­hukan ren­cananya untuk menghancurkan sodom dan Gomora. Orang yang dewasa rohani ma­­­­ka ia tahu mem­bedakan dimana harus bertindak aktif dan dimana harus diam atau pasif. Dan ia mempunyai ke­yakinan bahwa Allah akan me­nger­ja­­­kan ren­cananya berdasarkan karakter daripada Allah sen­di­ri dan keaktifannya dikaitkan dengan ka­­­­pa­bility yang Allah miliki, dan ketika ia pasif ia tahu bah­wa bukan bagiannya untuk me­nger­ja­kan­­­nya. Dengan demikian anugerah Tuhan tidak diboros-bo­ros­kan melainkan ada banyak hal yang boleh di­selamatkan.

4). Orang Kristen yang dewasa melihat perihal nubuatan dalam relasi dengan doa dan pe­­layanannya dan bukan sekedar hal yang berkaitan dengan intelektual belaka. Istilah nubuatan da­­lam PL ini berkaitan dengan hal yang akan terjadi di depan dan itu semua telah digenapi dalam diri Kristus, namun dalam PB hanya satu hal yang belum tergenapi yaitu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua. Sehingga saat ini perihal nubuatan sudah menjadi rancu dengan istilah ramal­an. Da­lam PB istilah nubuatan bukan lagi berarti seperti dalam PL tetapi berkaitan dengan hal men­­je­las­kan isi Alkitab. Orang yang bernubuat adalah orang yang berdiri dan menjelaskan isi firman Tuhan se­hing­ga dimengerti oleh banyak orang, seperti halnya pendeta atau penginjil yang ber­­khotbah dan disitu ia se­dang menjalankan fungsi nabi dan rasul. Peran seorang suami ter­uta­ma sebagai nabi da­lam keluarga, bagaimana ia mengerti firman kemudian menjadikan firman ter­se­but menjadi to­pik pembicaraan di rumah setiap kalinya, yang menguasai hidup rumah tang­ga­nya. Itu sebab Paulus mengatakan bahwa biarlah pikiran Kristus dan segala kekayaanNya me­ngu­asai pikiran dan hati kita (Kol 3:10).

5). Orang Kristen yang dewasa mengerti dengan jelas akan dua hal kebenaran penting yaitu berkaitan dengan kebesaran dan keadilan Allah. Kebesaran Allah dalam konteks Abraham da­pat kita lihat dimana Tuhan menegur Abraham dengan mengatakan, “Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk Tuhan?” Dan disitu kita melihat bahwa Allah juga adil di dalam menunjukkan si­­kap berapa orang yang akan Ia selamatkan. Ini merupakan ba­gi­an doa syafaat Abraham yang dia mengerti tentang Allah, kebesaran dan keadilanNya. Ketika kita memikirkan bagaimana ke­de­wa­­­saan hidup rohani dikaitkan dalam hal keluarga, kita akan melihat kebaikan Allah itu menjadi ke­­­baikan yang terus-menerus dipikirkan dalam hidup suatu keluarga dimana seluruhnya dapat me­­­rasakan bagaimana Tuhan sudah memimpin kehidupan mereka. Alangkah mengerikan se­­kali ka­­­lau konsep kebaikan Allah sudah tidak dapat dimengerti lagi oleh karena kita sudah ter­la­lu bia­sa menerima kebaikan Allah yang dapat kita jumpai tiap kali dalam hi­­dup ki­ta, sehingga akibatnya ti­dak akan ada satu ucapan syukur yang keluar lagi. Kita dapat ba­yang­kan kalau pada malam hari kita tidur dan selanjutnya pagi harinya kita tidak dapat bangun kem­­ba­li untuk seterusnya. Banyak orang Kristen yang hidup dalam anugerah Tuhan yang terlalu besar dan itu sudah terlalu biasa se­hingga tidak melihat lagi sebagai suatu mutiara yang indah, bagaimana pemeliharaan Allah da­lam hidupnya.

6). Orang Kristen yang dewasa ditandai dengan pikiran dan hatinya makin menyerupai Allah. Apa yang Allah pikirkan, kesusahan dan sukacita Allah itu menjadi hal yang dialaminya ju­ga,membenci apa yang dibenci dan mencintai apa yang Allah cintai, disini yang menjadi tanda bah­­­wa kita mau tunduk dibawah kehendak Tuhan. Setiap kali sebelum saya memimpin suatu KKR, yang selalu menjadi doa utama saya adalah biarlah kasih Tuhan menguasai hati saya se­hing­­­ga apabila berkhotbah maka kasih itu yang mendorong saya untuk melihat setiap orang de­ngan kasih Tuhan. Bukankah ini juga yang dikatakan dalam Ef 4:13, “Sehingga kepenuhan Kristus ada padamu.” Satu kali ada pembicaraan antara seorang ayah dengan anaknya yang ba­ru per­ta­ma kali masuk sekolah. Maka anaknya dengan penuh sukacita menceritakan pengalaman de­mi pe­­nga­­laman yang ia jumpai disekolah, dan akhirnya ia bercerita tentang cita-cita setiap anak da­lam ke­lasnya. Begitu ditanya oleh ayahnya tentang apa yang menjadi cita-cita anaknya, ma­ka anak­­nya langsung menjawab bahwa yang hanya ia inginkan adalah menjadi seperti ayah­nya. Oleh ka­re­na ia melihat cerminan sosok ayah menjadi cerminan pribadi yang benar-benar da­pat di­­­­per­ca­ya, yang memperhatikan dan memberikan kehangatan serta cinta kasih yang se­pe­nuh­­nya. Se­orang anak tidak mungkin mengatakan demikian jikalau ayahnya tidak mencerminkan si­fat Allah da­lam hidupnya. Demikian juga halnya dalam kisah Abraham ketika ia harus mem­per­sem­­­­­bahkan anak­nya. Ia saat itu sudah berusia diatas 100 tahun dan itu berarti sudah sangat tua, dan beda usia dengan anaknya sudah terlalu jauh. Tetapi ketika ia membawa Ishak ke atas gu­nung, Ishak de­ngan sepenuh hati menyerahkan dirinya untuk dipersembahkan. Hingga disitu kita me­­lihat bah­wa iman Abraham tidak berubah sehingga memberikan arti bahwa itu merupakan pro­ses terus-me­nerus me­nuju kedewasaan rohani. Proses seperti itu mem­butuh­kan banyak sekali wak­­­­tu, mung­kin keluhan dan bahkan airmata.

Saya berharap apa yang telah kita pelajari hari ini men­­jadi cer­­minan sam­pai seberapa de­wasakah hidup rohani kita dan kiranya Tuhan tolong su­pa­ya kita bo­­­leh makin dewasa lagi. Kira­nya firman Tuhan ini bo­leh menjadi berkat ba­gi kita semua. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)