Ringkasan Khotbah : 30 Juli 2000

WHO WILL BE INVITED?

Nats : Lukas 14:7-9; 15-24

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Disini kita melihat sebuah kisah yang konkrit dimana Tuhan Yesus diundang oleh se­orang pe­mimpin dari orang-orang Farisi untuk ikut dalam perjamuan di rumahnya. Pa­­da saat itu Tuhan Yesus duduk dan mulai mengamati tingkah laku orang-orang Yahudi yang ada di tempat itu. Dan Ia melihat satu gejala yang begitu unik yang saya rasa sangat manusiawi yai­­tu dimana mereka se­dang berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan. Ketika Yesus melihat hal demikian ma­ka Ia mengatakan satu perumpamaan yang sangat baik, yang ter­da­­­pat di ayat 8: “Kalau seorang me­ngundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mung­kin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat da­ri padamu.” Kalimat itu untuk me­nyadarkan orang Yahudi pada saat itu, dan sekaligus dipakai un­tuk melihat pada satu realita per­jamuan yang ada di dunia ini. Namun selanjutnya, peristiwa ini di­jadikan sebagai titik pijak oleh Tuhan Yesus untuk membahas satu prin­sip spiritual yaitu ba­gai­ma­na kita mengerti Tuhan bekerja di dalam prinsip kese­lamat­an kita. Sebab kalau kita melihat ayat 12-14, dikisahkan ada seorang dari tamu tersebut yang berkata kepada Yesus, “Ber­ba­ha­gialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.” Jadi, Yesus memakai peristiwa di dalam bagian ini untuk men­je­las­kan prin­sip ke­se­lamatan yang jauh dari apa yang seringkali manusia pikirkan.

Kita dapat melihat bahwa hal diatas merupakan citra atau model dari setiap orang, khu­sus­nya kalau kita menyorot kembali pada orang Yahudi. Dan peristiwa konkrit ini dilihat bu­kan ha­nya oleh Tuhan Yesus, melainkan juga oleh para murid dan bahkan semua orang yang da­tang di da­lam perjamuan itu. Orang Yahudi adalah orang yang selalu merasa dirinya paling tinggi, mereka me­nganggap hanya orang Yahudi-lah yang merupakan manusia sejati karena mereka memiliki ba­­nyak kemampuan di ber­­bagai bidang. Hal tersebut men­jadi bumerang yang membuat mereka begitu sombong dalam hidup me­reka. Dari ke­jadian ini kita disadarkan akan satu prinsip. Apabila saudara datang ke sebuah pesta dan du­duk di tempat VIP karena merasa sebagai orang penting, na­mun ketika itu juga pemilik pesta da­tang bersama orang yang be­nar-benar dianggap olehnya se­bagai orang penting dan ia akhir­nya mengatakan pada saudara bah­­wa tempat tersebut sudah di­sediakan bagi orang penting ter­se­but, maka tidak dapat diba­yang­­kan bagaimana saudara harus per­gi dan duduk di tempat yang tidak terhormat dengan malu. Hal ini sa­ngat mungkin terjadi dan ini­lah efek yang paling mengerikan ketika seseorang salah mem­posisikan dirinya (disposisi), yang ak­hirnya menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.

Kalau kita melihat apa yang diungkapkan oleh Tuhan Yesus di dalam ayat ini, maka ada dua hal yang olehNya hendak dikritik. Dua hal ini menjadi dua hal yang sangat membahayakan ka­rena tidak men­da­tang­kan kebaikan tetapi justru menghancurkan hidup kita sendiri. Adapun dua hal itu adalah:

1) K­e­sombongan. Mereka mengejar tempat paling terhormat karena mereka merasa bahwa mereka la­yak untuk itu dan harus dihormati. Kesombongan seringkali justru menjadi bume­rang bagi kita dan itu diawali karena merasa diri kita terlalu penting, perlu dihormati dan dibu­tuh­kan. Di da­lam iman Kristen hal ini menjadi suatu sorotan yang penting sekali untuk boleh me­ngerti di­mana posisi kita yang seharusnya dan bagaimana kita memposisikan diri secara tepat se­bab ke­ti­ka itu sa­lah, maka itu justru akan memukul balik kepada kita.

2) Kemampuan untuk mau melihat diri dari pandangan orang lain. Kesombongan kita se­­ring­­­­kali disertai dengan satu egoisme yang besar sehingga itu membuat kita memandang dan me­­­mikirkan sesuatu hanya dari sudut pandang kita, dan bukannya sudut pandang orang lain juga. Sama halnya ketika para tamu datang dan berlomba mencari tempat pa­ling ter­hor­mat maka me­­reka tidak memikirkan sama sekali apa yang dipikir oleh pemilik pesta. Dan pada saat itu sa­ngat mungkin pemilik perjamuan justru mempunyai pandangan yang sama se­ka­li ber­be­­da dari apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka. Seringkali di dalam suami istri kita juga diajarkan de­­mikian. Jika kita hanya me­mi­kir­kan dari sudut pandang kita dan tidak memikirkan dari sudut pan­dang suami atau istri kita ma­­ka itu akan mengakibatkan kesulitan. Jadi, suatu keharmonisan ter­jadi ke­­tika dua belah pihak mu­lai me­mi­kir­­kan dari sudut pandang partnernya, sehingga dengan de­­mi­ki­­an mereka boleh men­co­ba sa­ling me­ngerti satu sama lain. Tetapi ada hal yang jauh lebih pen­­ting daripada saling mengerti di dalam hubungan suami istri saja, yaitu bagaimana relasi an­ta­ra kita dengan Tuhan kita. Bagaimana saya memikirkan bukan dari sudut pandang sa­ya melain­kan dari sudut pandang Tuhan, apa yang Ia inginkan dan bagaimana saya me­ngerti isi hati­Nya, men­jadi satu hal yang paling penting dalam hidup kita tetapi sekaligus merupakan hal yang paling sulit dikerjakan karena kita ter­la­lu egois dan memikirkan hanya da­ri su­dut pandang kita sendiri.

Dua hal ini yang seringkali muncul ditengah masyarakat kita dan men­­ja­di masalah yang oleh Tuhan Yesus dibawa menjadi satu pelajaran rohani yang sa­ngat be­­sar. Tuhan Yesus mulai menge­ser peris­ti­wa perjamuan ini menjadi satu berita tentang doktrin keselamatan Kristen, yang dimulai dalam Lukas 14:15-24. Ketika Tuhan memberitakan keselamatan, seringkali ke­se­lamatan itu tidak di­tang­­gapi secara tepat oleh manusia. Banyak orang yang ketika men­dapat­kan berita ke­sela­mat­an Kristen, disatu pihak ia dapat mengerti bahwa berita itu penting, namun di­lain pihak ia me­ra­sa­­kan dirinya lebih penting dari berita itu. Sebagian besar orang tahu akan berita dimana kita bo­leh mengenal Tuhan, diselamatkan dan boleh masuk di dalam persekutuan Kerajaan Allah, te­­­ta­pi seringkali kemudian muncul satu sikap ke­som­bong­an pribadi dimana be­rita itu menjadi sa­tu per­­tim­bangan bisnis di kepala kita. Dan pada saat itu kita sedang masuk dalam sa­tu ke­bo­­doh­an dan kesombongan yang akhirnya membinasakan kita. Cara berpikir dan hal-hal yang kita ang­gap begitu penting itulah yang seringkali jus­tru merusak kita. Ketika kita menjadi orang Kristen, mung­kin kita seperti orang-orang tersebut yang ke­ti­ka diundang, kita merasa cukup pen­ting sehingga kita merasa berhak menen­tu­kan untuk da­tang atau tidak, dan bahkan lebih berpikir bah­wa bisnis ki­ta jauh lebih penting. Pada saat se­perti inilah kita harus merefleksi diri kita dan me­ngetahui sia­pakah diri kita! Apakah sedemikian he­bat dan pentingnyakah diri kita sehingga kita ber­hak tawar-me­nawar dengan Allah? Keselamatan haruslah selalu berpusat pada Kristus. Tuhan Yesus me­la­lui hal ini menunjukkan bahwa justru kehancur­an iman kita terkadang ter­ja­di karena kita ber­pikir bah­wa kita terlalu hebat untuk dapat bertindak se­suka hati kita. Saat itu­lah ketaatan dan ke­rin­duan kita untuk kembali berelasi dengan Allah hilang sama sekali.

Hal ke­dua yang Tuhan Yesus kemukakan, yang jauh lebih mengejutkan orang Yahudi ada­lah ketika Yesus berkata dalam perumpamaan tersebut bahwa tuan itu akhirnya murka dan me­me­­­rintahkan ham­banya untuk membawa orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh untuk ikut dalam perjamuan. Pemikiran ini sama sekali tidak ter­­­pikirkan oleh orang Yahudi karena bagi mereka sangat tidak mungkin jikalau seorang ter­hor­mat akan meng­­­undang orang gembel dan cacat ke dalam perjamuan. Namun kita melihat bahwa Tuhan bukan mengundang orang-orang yang sombong, yang berpikir bah­wa mereka hebat atau pen­­ting, tetapi justru Ia meng­undang orang sakit. Ini merupakan satu figurasi lagi yang Tuhan pa­kai, Tuhan mengundang me­reka yang sadar be­nar-benar akan kepapaan dirinya dan dimana po­sisi mereka sebenarnya, orang-orang yang ber­do­sa, hancur, kotor dan najis.

Banyak orang yang tidak mampu mengerti ten­­­­tang hal ini sehingga mereka berpikir, siapa orang yang dapat datang kedalam Kerajaan Allah? Justru pa­da saat kita merasa berdosa, hancur dan menyadari siapa diri kita yang se­sung­guh­­nya, maka itu­lah saatnya Tuhan mengulurkan ta­ngan kepada kita. Bukan karena kita memiliki hak te­ta­pi jus­tru ke­tidak­pu­nya­an hak maka anu­ge­rah Tuhan turun atas kita. Ketika orang-orang tersebut ter­bu­ang dan tidak me­miliki tempat maka saat itulah anugerah itu turun. Itu bukan saatnya ia me­lari­kan diri dari Tuhan tetapi itu saat ia bo­leh menerima anugerah keselamatan dari Tuhan, pertobatan, dan kesadaran keberdosaan yang Tuhan inginkan dari setiap kita. Tuhan mau kita menjadi orang-orang yang rendah hati dan ta­hu siapa kita dihadapan Tuhan, sadar kita adalah orang ber­­dosa yang membutuhkan kesela­mat­an dari Tuhan, sadar bahwa kita membutuhkan dicuci dan dibersihkan oleh darah Tuhan dan itu­lah yang boleh membawa kita kembali kepada Dia.

Pa­da saat kita boleh melihat hal ini maka kita mengerti cara kerja Tuhan yang jauh berbeda da­ri­­­pada apa yang dunia pikirkan, cara Tuhan beranugerah yang tidak pernah dipikirkan oleh o­rang di seluruh dunia dengan cara pikir mereka yang sangat berlawanan dengan cara Tuhan ker­­ja. Jus­tru pada saat itulah kita boleh tahu bahwa Tuhan mengasihi kita. Kita mengadakan per­ja­­­mu­an dan mengingat Dia yang mencurahkan darah dan memecahkan tubuhnya di kayu salib bu­­­kan un­tuk mencari orang yang merasa dirinya hebat dan paling penting tetapi untuk me­ne­bus orang berdosa dan para penyamun supaya boleh bertobat dan kembali pada Tuhan. Saat itu­lah orang-orang gelandangan, timpang dan buta akan diperbaharui dan disucikan untuk hidup kem­ba­­li di dalam anugerah dan masuk di dalam perjamuan Allah, pemelihara hidupnya. Dan disitulah ke­­selamatan menjadi anugerah yang menyangkut satu nilai tertinggi.

Tiga: Ketika tuan itu mendengar dari hambanya bahwa semua sudah masuk tetapi masih ada tempat, maka tuan itu minta para hambanya agar pergi ke semua jalan dan memaksa orang-orang yang ada di situ untuk masuk dan tidak seorang pun dari yang telah diundang itu akan me­nik­mati jamuanKu (ay. 23). Disini Kristus sudah memberikan peringatan supaya kita tidak main-ma­in, karena mereka yang bermain-main dengan undangan itu tidak akan mendapat tempat lagi. Prin­sip anugerah disertai dengan konsep kedaulatan. Allah rela menolong orang yang hancur dan pa­ling berdosa tetapi jangan bermain-main dengan anugerahNya, karena ia akan mengatakan bah­wa tertutuplah tempat bagimu. Kedaulatan Allah adalah kedaulatan Allah sehingga jangan kita ber­­pi­kir ketika kita berurusan dengan keselamatan kita di hadapan Allah maka kita dapat ber­main-main karena keselamatan adalah menyangkut relasi yang tertinggi. Maka teologi Reformed melihat ini secara komposisional, yaitu bagaimana anuge­rah Tuhan di­tawarkan dan dapat men­jang­kau siapapun juga tanpa terkecuali. Tetapi kedaulatan bu­kan di tangan kita melainkan di ta­ngan Tuhan dan ketika ditutup maka tidak ada tempat lagi bagi kita.

Disini Tuhan dengan tajam sekali mengungkapkan satu doktrin keselamatan yang begitu ru­pa untuk kita boleh semakin hari semakin menyadari berapa besar anugerah yang Tuhan berikan. Saya ingin setiap kita mulai memikirkan siapa kita dihadapan Tuhan. Ketika kita boleh menyadari be­rapa berdosanya kita, itu saat kita bertobat di hadapan Tuhan. Biarlah pada hari ini kita diuji kem­­­­bali dan mencoba merefleksi diri kembali, siapakah saya dihadapan Tuhan. Dan biarlah anu­ge­­rah Tuhan masih boleh tiba ke atas kita, jangan sampai terlambat dan jangan sampai ke­sem­pat­­an itu ditutup dari kita. Berani bermain-main dengan kedaulatan Allah ber­arti bermain-main de­ngan pribadi Allah. Maka bagi saya, itu merupakan peringatan yang diung­kapkan dengan ke­ta­ja­m­an sehingga setiap kita boleh mengingat kembali. Berita seperti ini sudah cukup bagi orang Ya­hu­­di untuk memicu cara berpikir mereka dan mereka tahu apa yang disampaikan. Hal ini bu­kan­lah berita kosong melainkan telah dibuktikan dalam sejarah. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)