Ringkasan Khotbah : 06 Agustus 2000

WISDOM AND THE WILL OF GOD

Nats : Efesus 5:15-17

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Tuhan meng­ingin­kan supaya kita hidup di dalam bijaksana yang se­­ja­ti. Manusia harus memiliki hidup yang ber­beda dari semua mahkluk yang la­in karena Tuhan memberikan padanya hati nurani dan akal bu­di de­ngan ka­­pasitas yang unik, sehingga manusia mempunyai kemungkinan un­tuk ber­­­­­bijak­sa­na. Adapun beberapa perbedaan manusia dengan mahkluk yang lain: Pertama, ma­nu­sia mempunyai kualitas hidup dan mengerti ada­nya kua­litas yang diperlukan untuk mencapai; hal yang kedua, yaitu nilai hi­dup. Nilai yang paling mahal yang harus kita miliki, tempuh dan per­ju­ang­kan. Sedangkan hal yang ketiga adalah makna hidup. Ti­ga hal itulah yang suka atau tidak suka harus digumulkan oleh semua manusia.

1. Kualitas hidup. Alkitab dalam bagian ini mengatakan: “Perha­ti­kan­lah dengan sek­sama ba­gai­­mana kamu hidup.” Hidup bukanlah sekedar hi­­dup, hidup adalah memperhatikan ba­gai­ma­­na kita hidup dan itu menun­juk­kan bagai­mana kualitas hidup kita harus dikejar dan di­ker­ja­kan. Kalau kua­litas itu tidak dapat kita kejar maka seluruh pengharapan kita akhirnya run­tuh. Apalagi ditengah jaman pragmatis ini dimana kita tidak lagi di­ajar un­­tuk mengejar kualitas maka itu menjadi satu kondisi kontra­dik­tif dengan di­ri kita, karena di­sa­­tu pihak kita sadar bahwa kita butuh hidup ber­kua­li­tas tetapi dilain pihak kita seperti dijepit oleh du­­nia ini, sehingga seolah-olah kita diajak hidup tanpa kualitas dan manusia tidak lagi merasa ma­­lu ka­­­lau ia tidak mencapai kualitas yang seharusnya ia ca­pai. Itulah yang ak­hir­­­ya membuat kita gagal mengerti inti kehidupan yang tertinggi.

Kita seringkali ditipu, seolah ka­lau kita hidup me­nurut trend du­nia maka itulah yang dikatakan hidup berkualitas. Disini su­dah terjadi pe­nge­­­seran dan kerusakan konsep quality yang se­dang terus dipaparkan ke te­­­ngah dunia. Dan waktu orang-orang seperti ini dibawa kembali pada kua­li­­­tas yang sejati maka ia tidak dapat menerima­nya lagi. Sebagai contoh: se­se­­­orang yang pernah naik bajaj kemudian merasakan naik mercy, tetapi un­tuk selanjutnya ia lebih memilih un­tuk kembali naik bajaj. Itu berarti orang ter­sebut sudah ti­dak tahu lagi cara menentukan kualitas, dan hal ini tidak da­­pat kita pung­ki­ri merupakan kon­disi serius yang terjadi di tengah dunia. Sa­­at seperti itu sa­ngat berbahaya karena ke­bo­doh­an itu dapat men­jadi ke­bo­­dohan yang tak da­pat ditolerir. Kita benar-benar tidak lagi mengejar kua­li­­tas yang terbaik te­tapi justru mengejar hal-hal bermutu rendah dan hidup ber­­pola rendah.

2. Nilai Hidup: Kita seringkali gagal di dalam konsep nilai kita. Tuhan memberi­kan akal budi (wisdom/bi­jak­sana) kepada manusia, yang ber­kaitan dengan bagaimana kita mengejar nilai yang terbaik ba­gi hidup ki­ta. Bijak­sana adalah tahu pilihan di depan kita dan bagaimana memilih yang terbaik diantara se­mua pilihan. Mungkin jikalau kita diperhadapkan pa­da pilihan antara yang baik dengan yang je­lek itu lebih mudah, namun un­tuk memilih yang terbaik diantara yang baik, ma­ka itu bukanlah hal yang mudah dan sangat diperlukan bijaksana. Alangkah bodohnya ka­lau ki­ta akhirnya bu­kan membandingkan antara yang bernilai tinggi dengan yang nilainya cu­kup tetapi justru kita mem­buang nilai yang tertinggi lalu me­ngambil nilai yang rendah. Kita mencari sesuatu yang mu­rah dengan mem­buang sesuatu yang begitu mahal. Tetapi kita melihat bahwa orang yang me­milih nilai yang rendah sulit sekali kita sadarkan bahwa ia sedang me­milih hal demikian, bahkan se­ringkali mereka dengan begitu yakin me­nger­jakan hal itu. Jadi, disini kita melihat bahwa ca­ra pengkonsepan nilai se­ringkali men­jadi sesuatu yang membuat kita bingung karena se­be­nar­nya ki­ta tidak tahu nilai tertinggi apakah yang harus kita kejar di dunia ini.

Disini jalan satu-satunya adalah belajar dari Tuhan Yesus. Ketika Tuhan Yesus da­tang ke dalam dunia ini, ia mengatakan dalam Mat 20:28 bah­wa Ia datang bukan untuk di­la­yani melainkan untuk melayani dan me­nye­rahkan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang me­lalui kemati­an­­Nya di kayu salib. Kristus datang dalam dunia bukan berjuang supaya men­jadi raja, konglomerat atau profesor yang paling hebat tetapi untuk me­nge­jar nilai tebusan (nyawa) yang akan Ia ambil bagi setiap umat pilihan­Nya. Ini merupakan satu upaya perjuangan seluruh hi­dupNya yang diarah­kan pada satu konsep nilai tertentu yang Ia kejar sepenuhnya.

Namun me­nga­pa Ia mengejar nilai itu begitu rupa? Jawabannya mun­cul dari konsep nilai yang di­bi­ca­ra­kan oleh Tuhan Yesus dalam Mat 16: “Apa artinya engkau mendapatkan seluruh isi dunia ini tetapi kehilangan nya­wamu, dan berapa yang dapat diberikan ganti sebuah nya­wa?” Tuhan Yesus tahu apa yang termahal dan paling bernilai dalam hidup­Nya. Kita se­ring­kali mengejar hal yang sekunder dan meloloskan hal yang primer. Ka­lau kita lihat justru setan sangat pandai dan ta­hu tentang kon­sep nilai se­per­ti ini. Setan rela memberikan semua yang kita mau asal­kan ia men­da­pat­kan nyawa kita.

3. Arah/ sasaran hidup kita: Dalam Alkitab dikatakan bahwa hari-ha­ri kita adalah jahat se­hingga ketika kita gagal menebus waktu kita maka sa­at itu waktu sedang memakan kita, dan pada saat itulah kita gagal men­ca­pai waktu yang paling efektif, mencapai arah ter­de­kat yang seha­rusnya da­pat kita capai. Kalau kita da­pat menarik garis lurus dan men­ja­laninya da­­ri titik awal sampai menuju tujuan terakhir yang dite­tap­kan Tu­han ma­ka itu berarti seluruh waktu-waktu hidup kita akan menjadi efektif.

Kita harus memperhatikan baik-baik bagaima­na waktu-waktu itu ki­ta ke­jar de­ngan tepat supaya setiap langkah berarti dan menjadi efektif, ka­re­na ketika kita menyesali arah yang telah salah kita ambil maka itu ber­ar­ti wak­tu yang telah kita pakai untuk menyeleweng tidak akan pernah da­pat ki­ta tebus kembali. Itu alas­an alkitab berkata bahwa, “The time is evil.” Ha­ri-hari ini jahat sehingga ke­ti­ka kita gagal mencapai garis secara efektif ma­­ka saat itu hidup kita sedang dimakan dan di­ru­sak oleh waktu. Untuk itu­­lah Paulus mengatakan, “Janganlah kamu bodoh, tetapi usaha­kan­­lah su­pa­ya kamu me­nger­ti kehen­dak Tuhan.” Kalimat itu ia tekankan be­gitu rupa ka­rena itu merupakan pengalaman hidupnya, di­mana ia sem­pat mengalami ba­gaimana ia begitu bodoh sehingga tidak mampu mengerti. Kita perlu was­pa­da supaya tidak jatuh dalam ke­bo­doh­an seperti itu.

Biarlah kita mulai belajar menjadi bijaksana, mempunyai hik­mat dan hidup seperti yang Tuhan inginkan. Dan konsep pertama yang sangat pen­ting un­tuk kita mengerti di dalam mempelajari tentang hal ini adalah bah­wa mereka yang hidup bijaksana ha­rus mulai dengan kesadaran bahwa ia bodoh. Disini kita lihat adanya sikap paradoks yang mun­cul dimana orang yang merasa dirinya pintar adalah orang yang bodoh. Orang yang bo­doh ada­lah kalau ia tidak tahu kalau dirinya bodoh. Ke­ti­ka kita merasa pan­dai maka saat itu sebenarnya kita tidak dapat lagi dididik oleh Tuhan. Dalam firman Tuhan dikatakan bahwa untuk menjadi bijaksana kita harus me­ngerti ke­hen­dak Allah dan seringkali kita kesulitan mengerti kehendak Allah karena kita merasa ter­lalu pandai untuk perlu tahu kehendak Allah.

Waktu saya mengajar sesuatu kepada seseorang, ia mengeluh bah­wa pelajaran ter­se­but begitu susah ia mengerti. Itu sebenarnya tidak susah te­tapi karena otak kita melawan, ma­ka itu menjadi susah. Kita susah bela­jar firman Tuhan bukan karena kita tidak mengerti setiap kata­nya, me­lain­kan karena kita tidak dapat menerima faktanya. Sebagai contoh ketika kita di­ajar: “Ber­­bahagialah kamu yang miskin,” kita tidak mau menerima hal itu karena bagi kita itu sangat ber­ten­tangan dengan konsep kita selama ini. Te­tapi ketika kita mendengar kalimat: “berbahagialah ka­mu yang kaya,” ki­ta lebih setuju dengan hal tersebut. Kita tidak dapat mengerti kebenaran/ ke­­hen­dak Tuhan karena kita tidak rela untuk dididik taat oleh firman Tuhan, kita tidak rela mem­bong­kar konsep yang salah yang ada di dalam pi­kiran kita dan itu saatnya membuktikan bahwa kita bodoh.

Kita menjadi bijak waktu kita sadar kita terlalu bodoh. Itu sebab­nya Tuhan lebih me­li­hat orang yang remuk hatinya, karena saat itulah ia si­ap untuk diajar oleh firman Tuhan. Me­ngerti kehendak Allah bukan ber­ar­ti tahu secara kognitif (teks yunani: hendaklah kamu berusaha untuk me­nun­dukkan dan memasukkan dirimu ke dalam kehendak Allah lalu ber­ja­lan bersama dengan ke­hendak Allah). Tuhan tidak mau kita mengerti seca­ra otak lalu kita seperti kon­sul­tan mempertimbangkan apakah hal tersebut pa­tut kita jalankan atau tidak. Tetapi orang yang bodoh dan han­cur, yang mau diajar oleh kehendak Tuhan akan mengerti kehendak Tuhan dalam ar­ti yang sesungguhnya. Seringkali kita sulit mengerti kehendak Tuhan ka­re­na hati kita tidak siap untuk dipimpin oleh Tuhan. Kita mau mengerti ke­hen­dak Tuhan hanya secara ra­sional supaya kita dapat tawar-menawar de­ngan Tuhan. Maka Alkitab mengatakan, jangan bodoh tetapi belajarlah un­tuk berjuang, mau me­ngerti kehendak Allah. Itulah bijaksana yang sejati ka­re­na disitulah kita baru benar-benar men­capai kualitas tertinggi dalam hi­dup kita, mencapai nilai yang paling mahal dan arah yang paling efek­tif ba­gi hidup kita. Maukah saudara? Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)