Ringkasan Khotbah : 01 Oktober 2000

Tujuan Keluarga I: Kebaikan

Nats : Kej 2:18; Mat 19:12; I Kor 7:17; 25-26; 38

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Dua minggu yang lalu kita sudah menekankan bagaimana konsep keluarga yang sejati ti­dak dapat dimulai dengan case study (berdasar relativisme), karena jika demikian maka setiap orang berhak mempunyai ide, menginterpretasi serta mengarahkan pada apa yang ia inginkan, yang akhirnya akan menghancurkan diri mereka sendiri. Maka tidak ada basis sah kecuali kem­ba­li pada struktur kebenaran firman Tuhan, taat kepada apa yang Alkitab katakan dan dari terang pe­ngertian firman Tuhan yang tepat kita menganalisa realita.

Dalam Kej. 2 kita akan melihat bahwa ketika suatu keluarga dijadikan oleh Tuhan, Ia meng­­inginkan adanya tiga si­fat uta­ma ada di dalam suatu keluarga yang baik: 1). Sifat baik/ bajik. Allah ti­dak pernah menginginkan ke­lu­ar­ga dibentuk untuk menjadi satu bagian yang susah, seng­sa­ra, men­­derita, hancur, dsb. Namun kita akan pesimis kalau melihat hubungan orang tua-anak, re­lasi sua­mi-istri, kehidupan seksual, moralitas dan trend mas­ya­ra­kat di dalam format keluarga ha­­ri ini. Ka­­limat pertama dalam Kej. 2:18 jelas mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan ma­nu­sia, dan ketika itu hanya terdapat satu (pria) saja, maka Ia berfirman, “Tidak baik, kalau ma­nu­sia itu se­orang diri saja. Aku akan menjadikan pe­no­long baginya, yang se­pa­dan dengan dia.” Ber­arti Allah tidak meng­inginkan yang tidak baik! Keluarga dicipta un­tuk menjadi ke­luarga yang baik, te­­ta­pi di dalam kenyataannya jauh daripada apa yang Allah inginkan.

2). Sifat tanggungjawab. Ketika Allah melihat manusia itu belum terbentuk menjadi sa­tu keluarga yang baik (sebelum Allah menciptakan Hawa bagi Adam), maka Ia melakukan se­rang­kaian penciptaan, yaitu dibentuk-Nyalah dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara (binatang dicipta dengan cara yang sama seperti manusia, hanya ti­dak diberikan nafas hidup). Namun di dalam struktur menggumulkan keluarga bagian ini seringkali dilewatkan. Ba­nyak agama lain maupun agama sesat jaman ini (hypercalvinistic) yang menganggap bahwa ma­nu­sia berkeluarga secara predestinasi, sehingga mereka menganggap Allah yang salah ketika ia sa­lah menetapkan pilihannya. Suatu keluarga bukan dicipta menjadi keluarga robotik melainkan ha­rus ada pemilihan, berproses dan berjuang se­hingga akhirnya ia harus mempertanggung-ja­wab­kan pilihannya. Sehingga ketika seseorang ingin membangun keluarga ma­ka ia harus berani mem­­bangun tanggungjawabnya se­cara tepat, dengan demikian keluarga itu da­pat diproses se­perti yang Tuhan inginkan.

3). Sifat kekudusan. Allah bukan sekedar menginginkan manusia berkeluarga secara ba­ik dan bertanggungjawab melainkan juga harus secara kudus. Alkitab mengatakan, “Sebab itu se­­­orang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga ke­­­­duanya menjadi satu daging. Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka ti­dak merasa malu.” Hi­dup di dalam kekudusan yang sejati mempunyai dua aspek: ke­khususan (spe­­sifik, satu pria-satu wanita) dan kesucian se­cara keseluruhan (tidak ada cemar/dosa). Se­hing­­­ga ketika kekudusan itu dilanggar maka ma­nu­sia telah mencemarkan na­ma Allah yang kudus dan mengalami disharmonis karena keluarga merupakan minia­tur Allah Tritunggal. Ke­ti­ka salah sa­­tu hal di­atas dilanggar maka keluarga akan mengalami kerugian karena ti­dak lagi men­­capai apa yang seharusnya didapatkan se­cara maksimal dalam Tuhan Allah.

Satu kontras yang se­dang terjadi saat ini dimana banyak orang yang membuka ke­sak­­si­an rea­­lita yang akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa hidup berkeluarga itu akan me­­nyu­litkan, banyak masalah dan penderitaan sehingga itu tidak baik. Demikian juga di dalam Ke­­kris­­ten­an, ketika menikah maka kita dianggap lebih bersifat duniawi/ kedagingan, tidak mem­per­ha­tikan ke­rohanian kita dan tidak suci. Maka timbul bias seolah pernikahan itu adalah suatu lem­ba­ga yang tidak ba­ik dan tidak bersifat rohani. Namun Alkitab dari awal menegaskan bahwa ke­tika Adam seorang diri maka saat itu dikatakan tidak baik karena sebagian natur yang menyem­pur­­na­kan manusia masih belum ada (Haish & Haishshah). Maka ketika pria atau wanita saja ber­arti ia ba­­­ru mempunyai separoh na­tur keutuhan semua kesempurnaan kemanusiaan karena ada un­sur-un­­­sur manusia yang tidak di­mi­liki oleh pria dan demikian pula sebaliknya, dan masing-ma­sing me­­­miliki kelebihan serta ke­ku­rang­an yang ketika keduanya disatukan baru mencapai ke­sem­pur­­na­­an. Itulah integrity of hu­man being!

Satu ide yang harus dimengerti adalah bahwa ketika kita mengarap sebuah per­nikah­an, itu justru mengarap satu keindahan dimana kita boleh mendapatkan satu keutuhan bersama yang tidak untuk dipertentangkan melainkan untuk dikomplementasikan. Di dalam perjalanan ma­nu­­­sia jatuh dalam dosa, aspek yang pertama kali dirusak oleh Iblis adalah aspek keluarga (relasi an­­­tara Adam dan Hawa). Sehingga relasi yang seharusnya menjadi relasi komplementasi men­ja­di relasi yang destruktif dan disharmonis dan akhirnya satu sama lain saling menghancurkan dan men­­­­jadi musuh bagi pasangannya sendiri. Dan keindahan pernikahan yang harusnya dapat ter­­ja­di hari ini telah mengalami distorsi pemikiran, realita, sosiologikal, psiko­lo­gi­kal, dsb., yang semua me­ng­a­­­­kibatkan dunia kita mempunyai image yang tidak tepat tentang keluarga.

Selanjutnya di dalam Mat 19:12 Yesus mengemukakan tiga hal yang me­nye­bab­kan per­­­­­­ni­kahan tidak dapat dijalankan: Kasus pertama, orang yang tidak dapat menikah karena ia me­­­mang lahir de­mikian dari ra­him ibunya (cacat secara lahiriah/ cacat bawaan). Tetapi di dalam se­­­lu­­­­ruh catatan me­dis, orang yang cacat sejak lahir (mis: ketidakadaan alat ke­lamin, ke­aneh­an di da­­­­­­lam struktur genetika, dsb.) itu menjadi sangat minoritas di dalam dunia. Dan hal ini me­mang ter­­­­­­jadi di dalam dunia sebagai efek dosa. Namun ini bukanlah general under­standing yang dapat di­­­­­­­jadikan alasan untuk tidak menikah. Kasus kedua, ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain. Efek pe­lak­sa­na­an­nya sangat banyak, baik secara fisical, sosiological, hingga politik. Se­cara fisikal terjadi pada sida-sida yang sengaja dikebiri supaya mereka tidak da­pat me­ni­kah. Ada­pun efek pelaksanaan secara sosiologikal terjadi karena pembentukan ke­luarga dan mas­yarakat yang tidak beres. Be­be­ra­pa data me­nunjukkan bahwa jikalau dalam satu ke­lu­ar­ga, struk­tur keluarga tersebut ter­ba­lik (istri lebih dominan dan suami men­jadi submisif), itu akan meng­­­­­ha­sil­kan anak yang menga­lami problem da­lam kehidupannya, kehilangan figur diri dan ak­hir­­­­­­nya ke­su­litan men­ca­ri teman hidup. Ada juga anak-anak yang dididik secara berbeda dari yang se­ha­rus­nya (anak pe­rempuan dididik dan di paksa menjadi laki-laki, demikian pula se­balik­nya), se­hingga aki­batnya ia tidak dapat bergaul lagi dengan pria secara wajar karena sudah ter­la­lu mas­kulin. Ada­pun sa­lah satu efek pelaksanaan secara politik yang hari ini sangat relevan adalah ke­pin­cang­­­­an yang di­aki­batkan terlalu banyaknya peperangan yang terjadi di dunia. Pe­pe­rang­an ini te­lah me­nye­bab­kan berjuta-juta pria di usia per­tumbuhan harus mati di medan pertempuran. Yang aki­­­­batnya, saat ini wanita menjadi dominan secara quantitatif dibandingkan pria, dan akhirnya a­kan banyak wa­ni­ta yang menjadi korban tidak mendapat bagian pria. Tetapi dengan de­mi­kian bu­­­kan berarti setiap pria boleh memiliki istri lebih dari satu. Yang harus dijalankan adalah meng­hen­­­ti­kan perang se­hing­ga tidak banyak pria yang mati di peperangan.

Disini harus ada penyelesaian dengan tuntutan pertobatan yang sungguh dari setiap orang untuk kembali pada kebenaran. Yang ma­nu­sia lihat seringkali hanyalah begitu banyaknya ho­­mo seksual, dan kea­neh­an yang lain, namun me­­reka tidak melihat dari mana semua itu ber­asal. Dan hari ini seolah semua itu disetujui dan men­jadi efek normal manusia. Disini bagai­ma­na ke­­­kristenan harus ber­te­riak keras menya­ta­kan bah­wa hal itu merupakan kekejian dimata Tuhan dan tidak ada ke­mung­kin­an lain selain hukuman mati. Setiap manusia mempunyai bakat defia­si sek­­­sual sejak jatuh da­lam dosa dan hal itu se­ha­rus­nya tidak boleh dibiarkan dan dilampiaskan, de­­­mikian juga free sex, pe­lacuran, dan segala ben­tuk lain yang dikutuk oleh Tuhan sebagai per­ji­nah­­an. Disini gereja harus mengerti ba­gai­mana mengampuni, tetapi juga tidak mempermainkan ke­­su­ci­an gereja, sehingga harus ber­ma­in di tengah secara seimbang dan tepat.

Kasus ketiga, ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Di tengah berjuta manusia, ada orang yang Tuhan panggil untuk meng­­khususkan diri melayaniNya. Bagian I Kor 7:38 seringkali dipakai orang-orang tertentu, di­le­pas­­kan dari konteksnya untuk membenarkan bahwa nikah itu tidak baik. Padahal kalau kita per­ha­tikan, ada dua hal yang harus diperhatikan dan diwaspadai di dalam ayat sebelumnya(ay 24-26). Ketika di­ka­takan: “Hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pa­da waktu ia dipanggil,” itu berarti bahwa kita berjalan bukan menurut apa yang kita ataupun mas­­ya­ra­kat mau tetapi menurut apa yang Tuhan mau di dalam panggilanNya. Kemudian dalam ay. 25-26 terdapat perbedaan qualitatif yang Paulus tegaskan. Sehingga ini harus dimengerti di da­­lam satu konteks situasi tertentu dan di dalam kondisi yang tertentu pula, dan hal itu tidak da­pat di­ja­­di­kan rumus umum yang diterapkan pada semua orang. Alkitab tidak mengatakan bahwa ka­lau se­­lama-lamanya kita tidak menikah dengan gadis kita itu baik, tetapi hal ini adalah di dalam ka­sus ter­­tentu dimana keadaan sudah sangat kritikal sehingga dituntut keadaan seperti itu.

Untuk itu Paulus memakai contoh dirinya, bagaimana akhirnya demi panggilan Allah yang sangat krusial ia harus merelakan hal itu. Bagi orang tertentu dimana Tuhan ingin pakai orang tersebut, ia harus rela menyerahkan segalanya, termasuk mungkin orang yang dicintainya. Di dalam kasus seperti ini Tuhan memberikan satu kemungkinan dimana ak­hirnya orang tersebut di­katakan dalam Alkitab “dinikahkan dengan Allah.” Mungkin di da­lam mela­ku­kan pelayanan misi ia akhirnya harus mengalami ke­sengsa­ra­an, pergi berkelana dari tem­pat ke tem­pat yang sangat su­sah dan bahkan menjadi martir di ha­dap­an Tuhan, sehingga akan sa­ngat rumit ba­ginya kalau ber­keluarga. Namun ke­tika seseorang dipanggil khusus untuk men­ja­lan­kan tugas ma­ka Tuhan yang akan memberikan ke­kuatan khusus bagi orang tersebut. Ini yang menjadi pertentangan di da­­lam gerakan ke­kris­ten­an dalam ge­reja Roma Katholik hari ini, dimana di dalamnya mu­lai ter­da­pat pertentangan keras karena menuntut biarawan/biarawati yang bukan karena panggilan khu­sus supaya mereka diperkenankan menikah. Bah­kan sampai ter­bong­­karnya ba­nyak skandal di da­lam yang me­nun­jukkan bahwa memang bu­kan seharusnya se­perti itu, tetapi sua­tu hal yang di­pak­sakan. Karena justru untuk ke­pen­tingan pastoral di­bu­tuh­kan mereka yang menikah. Hal ke­dua yang perlu di waspadai adalah ketika hal itu ti­dak seharusnya dijalankan ma­ka gereja akan ke­­hi­lang­an potensi bagaimana menjadi saksi. Se­bab ketika tidak ada pendeta yang menikah ma­ka ti­dak ada yang da­pat dijadikan contoh suatu ke­luarga yang baik, karena yang ada hanyalah teo­­ri be­laka.

Sehingga disini kita melihat perlunya bagaimana secara tepat mem­proporsikan pang­gil­an Allah di dalam diri kita. Jangan karena kita terlalu cerewet dalam me­mi­lih pasangan hidup dan kita merasa semua tidak cocok bagi kita, maka akhirnya kita berkata bah­wa Tuhan me­mang­gil kita secara khusus untuk itu. Tuhan tidak menentukan hal seperti itu, te­ta­pi bagaimana kita ha­rus mengarap komplementasi yang tepat sehingga kita tidak mem­per­main­kan ayat ini. Ini menjadi sa­tu gambaran, bagaimana kita boleh memancarkan satu proses dinamis se­bagai manusia yang be­re­lasi, menjalankan kebajikan, tanggungjawab, dan kekudusan yang Tuhan tuntut bagi setiap kita. Dengan format itulah baru kita bisa menyaksikan pada dunia satu ben­tuk relasi yang ter­in­dah yang Tuhan inginkan di dalam hidup kita.

Saya harap ini boleh membangun setiap kita sehingga boleh mengerti secara tepat ba­gai­mana kita memproses hidup kita di dalam satu struktur kekeluargaan yang Tuhan inginkan. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)