Ringkasan Khotbah : 15 Oktober 2000

Tujuan Keluarga III: Be Holy

Nats : Kej 2: 23-25

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Pertama kali membicarakan aspek keluarga dalam serial ini saya telah menekankan ba­­­­­­gaimana keluarga Kristen tidak boleh membangun konsep berdasarkan realita atau studi in­duk­si dari kondisi yang ada di dunia, melainkan kembali pada Tuhan sebagai pencipta keluarga yang mem­­­­punyai maksud dan tu­ju­­­an yang jelas dalam membentuk lembaga pernikahan. Maka ke­luar­­ga dicipta dengan sifat pertama baik (Kej 2:18), yaitu ketika dilihatNya manusia itu seorang diri sa­­­­­­ja, itu tidak baik. Selanjutnya Allah menciptakan komplementasi atau kesepadanan bagi ma­­­nu­sia su­paya tercapai kesempurnaan dan kebaikan. Dan dalam hal ini Tuhan tidak lang­sung men­­cip­ta Hawa, melainkan Ia memberikan hak untuk memilih supaya Adam tahu mana yang te­pat se­pa­dan de­ngan yang tidak, dan di dalam pe­mi­­lihan tersebut ada per­tang­gung­ja­wab­an pe­mi­lih­an. De­­ngan de­mikian Adam mulai belajar bertang­gung­jawab atas apa yang ia putuskan. Maka si­fat ke­dua dari se­­bu­ah keluarga harus dibangun dengan jiwa pertanggungjawaban yang serius.

Dan hari ini kita melanjutkan bagian ketiga dari bagian ini, dalam Kej. 24-25 dimana ke­­­­­luar­ga dicipta dengan sifat kekudusan. Kata kudus dengan suci merupakan dua kata yang sa­ngat ter­ka­it erat sekalipun kudus dengan suci mempunyai pengertian yang berbeda. Kudus mem­pu­nyai pengertian dikhususkan/dipisahkan untuk satu tugas yang Allah ingin kerjakan me­­lalui me­re­ka dan di dalam diri mereka. Sebagai orang kudus kita dipisahkan dan mem­­punyai re­la­si khu­sus dengan Allah, dan spe­cifikasi ini mem­­buat hubungan kita dengan Allah ba­­ik. Namun ketika hu­bungan yang baik ini dirusak atau di­­­­selewengkan (ketika kita memiliki ilah lain), itu disebut se­ba­gai perzinahan rohani. Dan untuk meng­­­hindar dari hal itu, kita meng­ka­­it­­kan­nya dengan ke­su­ci­an, dan inilah yang membuat ti­ga ka­ta itu tercampur menjadi satu. Ma­ka dalam aspek ini ki­ta ha­rus kembali memilah dan mengerti si­fat kudus yang dinyatakan dalam ayat 24.

Ketika seorang laki-laki dipisahkan dan bersatu dengan isterinya, dan ke­dua­­­­nya men­ja­di satu daging, maka mulai muncul sifat kekhususan atau exclusive dalam keluarga ter­­­­­sebut, yang meliputi beberapa aspek: pertama, Two become one (1 + 1 = 1). Alkitab jelas me­ne­­­gaskan bah­wa kon­sep ku­dus per­ni­kah­­an adalah satu pria (tunggal) dan sa­tu wa­ni­ta (tunggal) se­­­­hing­ga ke­duanya menjadi satu da­ging, dan kalimat ini diulang beberapa kali de­­ngan ka­ta dan jum­­­lah ang­ka yang te­pat. Pernikahan Kristen adalah monogami murni dan mut­lak supaya terjadi ke­­sem­pur­naan. Tetapi apabila kesempurnaan itu ditambah ataupun dikurangi akan meng­­aki­bat­kan ke­ru­sakan internal karena menjadi tidak sempurna. Maka monogami di dalam ke­kris­tenan bukan se­kedar re­kayasa ma­nu­sia te­tapi didalamnya ada unsur bagaimana ke­ke­kalan dan kesem­pur­na­an ingin di­genapkan me­la­lui keluarga dan bagaimana manusia, pria dan wanita se­­dang meng­gam­barkan satu komplementasi yang sa­ngat penting untuk menjaga ke­­kudusan me­­reka di dalam men­jalankan misi Allah. Politik di dunia membuat komposisi pria-wanita menjadi ti­dak seimbang ka­rena setiap tahun berjuta-juta pria dikorbankan dalam peperangan. Namun hal ini tidak dapat di­jadikan alasan untuk membenarkan mereka yang poligami, justru yang harus me­re­ka lakukan ada­lah menghentikan peperangan dan komposisi dikembalikan. Tetapi hal itu akan sa­ngat sulit di­lakukan akibat dosa sudah merusak moralitas dunia kita. Di jaman Musa (+ 1600 SM), ide mo­no­gami bukanlah konsep umum yang dapat diimport melainkan konsep murni yang Allah te­tap­kan, yang menjadi perbedaan besar antara iman Kristen dengan seluruh konsep dunia hingga ha­ri ini. Sehingga betapa indah kalau Tuhan mengajarkan suatu pengertian moralitas yang begitu ting­gi untuk menjaga harkat manusia di dalam satu keutuhan supaya keluarga tetap kudus dan di­pa­kai Tuhan sebagai saksi menyatakan kemuliaanNya. Namun sekarang ketika hukum sedang mem­perjuangkan harkat wanita, ada wanita yang senang dimadu. Ini menjadi pertanyaan serius ba­gaimana caranya harkat seorang wanita dapat ditegakkan dengan baik kalau ide seperti itu yang dikembangkan ditengah abad 20 ini?

Kedua, Monolitik eksklusif – suatu ungkapan keutuhan komplementasi. Nuansa eksklusifitas keluarga terjadi ketika suatu keluarga mempunyai bentuk monolitik (mono=satu; litik= sa­­tu batu utuh yang keras dan tidak dapat dipecahkan), yang artinya menjadi satu kesatuan yang unik, kekal dan sangat terikat. Hal yang penting dalam bagian ini adalah ketika seorang pria me­ni­kah, prinsip yang pertama kali yang harus dipikirkan adalah ia harus berani bertanggungjawab men­­­jadi mandiri. Pria yang belum mampu berdiri, belum mampu bertanggungjawab dan tidak ta­hu bagaimana mengurus keluarga maka ia belum layak untuk menikah karena ia belum dewasa! Se­orang pria harus mem­pu­nyai digniti, keberanian dan berjuang sekuat tenaga bekerja ka­re­na ia ber­tanggungjawab atas istri dan anaknya, membangun keluarga menjadi satu keutuhan mo­no­li­tik eks­klusif. Satu jiwa yang tidak boleh cengeng dan lemah melainkan terus berani berjuang di te­ngah hidup.

Ketiga, Independence and Responsibility (meninggalkan ayah dan ibu). Dilain pihak orang tua tidak boleh mengacak-acak keluarga anaknya. Anak setelah dewasa dan menikah ma­ka ia keluar dan lepas dari ikatan ke­­­luarga dengan ayahnya. Seringkali di dalam budaya timur, apa­lagi dalam konsep confusionism aspek ini sangat berbahaya karena tidak mempunyai konsep Allah yang berpribadi dan yang ber­­daulat, sehingga ide seluruhnya ha­nya menegakkan hu­ma­nis­me murni. Sehingga konsep kedaulatan otoritas dipindahkan ke konsep yang paling tua/ paling be­sar dan tim­bul konsep otoritas ditangan yang lebih tinggi dan tidak bisa salah (seperti: raja ber­kua­sa atas bawahannya; orang tua berkuasa atas anaknya). Maka kalau keluarga dikuasai oleh kon­sep confusionism, biasanya yang terjadi: ayah menjadi diktator dan semua yang dilakukan orang tua adalah benar dan tidak ada protes; biasanya istri takut sekali terhadap suami sehingga ba­nyak aspek yang tidak dapat diceritakan pada suami, khususnya yang bersifat negatif. Se­hing­ga hubungan suami-istri tidak dapat “telanjang” lagi; dan anak-anak ketika di dalam rumah ber­si­kap baik karena takut tetapi diluar rumah menjadi minder atau liar (kalau mempunyai jiwa beron­tak). Alkitab mengajarkan bahwa bagaimanapun ayah adalah orang dan dapat berbuat salah se­hing­ga ketika anak mereka sudah menikah maka orang tua tidak berhak turut campur dalam urus­an keluarga anak, sekalipun anak tetap harus hormat terhadap orang tua. Karena hormat bu­kan berarti taat mutlak melainkan bagaimana menghargai orang tua. Disini kita harus sadar bah­wa setiap keluarga mempunyai satu keunikan monolitik yang dijaga oleh firman Tuhan dan firman Tuhan mempunyai satu tuntutan bagaimana keluarga itu nanti akan dipakai oleh Tuhan untuk men­jadi saksi Tuhan dimanapun mereka berada.

Banyak orang yang beranggapan salah bahwa anak merupakan milik mereka se­hing­ga kita merasa berhak menentukan seluruh kehidupannya. Kita harus sadar bahwa setiap anak me­­rupakan milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita sehingga kita harus membesarkan dan men­­didik dengan tepat dan bertanggungjawab pada Tuhan. Banyak keluarga muda harus diam-di­­am menghadapi kesulitan dan pertengkaran dikarenakan harus menuruti orang tua dan tidak da­­pat menjalankan kehendak Tuhan atas pernikahan mereka serta kehilangan otoritas. Maka se­ba­gai orang tua kita harus belajar bagaimana mengerti wilayah kerja, nasehat dan pengaruh orang tua terhadap anaknya. Dan firman Tuhan dalam hal ini melalui Musa menegaskan bahwa ini merupakan satu pengertian umum yang harus diterapkan kepada semua manusia di segala ja­man, dan bukan hanya untuk Adam dan Hawa saja.

Keempat, Holiness/ Kesucian – tidak tercemar vs. Nude. ay. 25 mengatakan: “Ke­dua­nya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Alkitab mem­beda­kan an­ta­ra arom/ naked  (arumim: plural) dengan “’nude”. Kata “arom” le­bih me­nun­jukkan satu ke­ter­bukaan spiritual dimana antara saya dengan orang lain sudah terjadi ke­terbukaan relasi yang tanpa batasan lagi. Kata “telanjang” saat ini sudah mengalami penge­ru­sak­­an mak­na dan diselewengkan sehingga menjadi pe­nger­tian yang sa­ngat duniawi se­ka­li. Disini yang dipermasalahkan bukanlah telanjang-nya melainkan keutuhannya, yaitu suatu gambaran ke­in­timan. Sehingga beda dengan kata “nude” yang lebih mengarah kepada ketelanjangan secara fisik­al/ seksual. Maka ide tidak malu disini tidak sama dengan binatang atau nudisme karena pa­da binatang memang tidak perlu ada malu sedangkan malu yang sejati bukan atar manusia me­lain­kan lebih kepada Allah (band Kej. 3:9). Ketika dikatakan ke­duanya telanjang dan tidak men­jadi malu, yang ditekankan di dalam kalimat ini adalah ke­dua­nya berada dalam satu keterbukaan to­tal sehingga relasi ini berjalan secara polos dan tidak ada hal yang perlu disembunyikan dan ti­dak ada satu ketakutan berhadapan dengan orang lain. Maka ke­tika Adam berdosa dan akan ber­ha­dapan dengan Allah ia merasa malu karena telanjang. Sehingga ide “malu” adalah peng­gam­bar­an suatu kecemaran dimana relasi sudah tidak murni lagi akibat dosa! Demikian juga halnya de­ngan hubungan suami-istri yang sudah tercemar oleh hal-hal yang berdosa akan meng­aki­bat­kan mereka ke­hi­lang­an hubungan relasi pribadi yang sangat eksklusif. Dengan demikian di dalam mem­bicarakan keluarga as a holy family ki­ta harus kembali me­lihat bagaimana sifat kekudusan yang Tuhan nyatakan di da­lam format ke­luar­ga tersebut, dimana hubungan suami-istri yang ter­bu­ka, menjadi satu daging dan satu kesatuan relasi spiritual yang begitu indah.

Kelima, Spirituality vs. Sexuality. Keil dan Delitzsch melihat relasi suami-isteri yang masih dalam kesucian adalah “terbuka” dan “tidak malu.” Sehingga ide “telanjang” disini bukan merupakan ide fisikal me­lainkan spiritual (kerohanian kita) dimana satu hubungan batin antara kita dengan suami/ istri sama dengan hubungan kita dengan Allah yang dapat berjalan dengan baik satu sama lain. Sehingga ini perupakan as­pek yang sangat serius dari arti pengudusan ke­luarga. Namun ketika dosa masuk, maka spiritualitas menjadi rusak dan manusia hanya melihat “ke­telanjangan”/sifat seksualitas dan bukan “keterbukaan” ataupun sifat spiritual. Maka hubungan suami-istri hanya dilihat secara seksual dan bukannya spiritualm yang akhirnya menimbulkan ba­nyak masalah karena sa­ngat bersifat kedagingan. Aspek seksualitas sesungguhnya hanya men­ja­di pelengkap dan bukan merupakan tujuan yang utama dalam pernikahan. Disini tidak heran ke­ti­ka dunia men­dengar kata “telanjang” selalu beridekan seksualitas yang tanpa sadar sudah me­ra­cuni ba­nyak orang, termasuk orang Kristen, sehingga kita tidak mampu lagi melihat apa artinya te­lanjang se­benarnya. Sehingga kita sebagai orang Kristen harus mengembalikan pengertian eks­­klusifitas si­fat kudus yang tidak melanggar kesucian, karena ketika kita kudus, itu bukan ber­arti kesucian kita boleh dicemarkan melainkan kekudusan itu sangat terkait erat dengan sifat ke­su­ci­an di dalam ke­luarga. Saya harapkan keluarga kita mempunyai konsep Kristen yang tepat se­hing­ga relasi spiritual suami-istri juga boleh dipulihkan. Kitab Kejadian ps. 2 telah ditulis sejak 3600 tahun yang lalu, namun seringkali orang Kristen sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk me­nyatakan diri ke te­ngah dunia.

Mari kita belajar baik-baik dan terus memperbaharui diri, dan kembali bertekad mem­bina keluarga, belajar menjadi pengaruh bagi orang lain sehingga kita boleh menjadi berkat di dunia, di abad ini. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)