Ringkasan Khotbah : 12 November 2000

Dinamika Iman Daniel

Nats : Daniel 1:1-8; 18-21

Pengkhotbah : Ev. Thomy J. Matakupan

 

Kitab Daniel mempunyai latar belakang dimana kerajaan Yehuda dikepung oleh bang­sa Babel, dikalahkan, ditawan dan akhirnya dibawa ke Babel sebagai budak. Ini memang hal yang Allah pakai untuk mengajar orang Israel atas dosa yang telah mereka lakukan. Orang Timur Te­­ngah kuno yang hidup saat itu memahami bahwa jikalau terdapat dua bang­sa berperang, maka yang berperang bukan hanya kedua bangsa tersebut melainkan allah mereka pun turut berperang di­­atas. Sehingga kalau dijumpai bahwa sa­lah satu bangsa tersebut kalah maka itu berarti dewa m­e­­reka diatas pun juga kalah. Padahal bangsa Yehuda percaya bahwa di sepanjang catatan se­ja­rah, bang­sa mereka memiliki Allah Yahwe yang maha kuasa dan mampu menga­lah­kan segala-ga­lanya, namun pada kenyataannya Allah Yahwe kalah dan harus tunduk pada dewa baal. Dan bu­kan hanya itu saja, kalau ki­ta mulai melihat ayat 2, ter­nya­ta perkakas-perkakas yang ada di da­lam bait su­ci juga dibawa dan dimasukkan ke dalam rumah dewa baal. Disini kita men­coba me­li­hat bagaimana sulitnya pe­ne­ri­ma­an iman bangsa Yehuda pa­da masa itu untuk dapat men­sin­kron­­kan pengertian yang diwariskan turun-temurun, de­ngan kenyataan kekalahan mereka ter­ha­dap bangsa Babel.

Selanjutnya, Alkitab mencatat adanya beberapa indoktrinasi yang dilakukan raja Nebu­kad­­nezar terhadap bangsa Yehuda. Pertama-tama, kepala istana di­pe­rin­tah­kan untuk memilih be­­­­berapa orang Israel (ter­ma­suk Daniel dan ketiga kawannya) untuk dididik di dalam istana raja. Me­­reka diajar mengenai tu­lis­an, bahasa dan kebudayaan bangsa Babel su­paya identitas mereka se­­bagai orang Yehuda hi­lang. Mereka (menurut beberapa catatan tra­disi yang diwariskan) ke­ti­ka di­­­bawa ke istana raja berumur 15 atau paling tua sekitar 17 tahun dan sangat memenuhi kriteria yang Raja tetapkan yaitu ber­pe­ra­wakan ba­­ik, berpengatahuan banyak dan mempunyai penger­ti­an tentang ilmu. Dan bukan hanya itu saja, setelah mereka dimasukkan ke dalam istana, itu ber­arti me­reka sudah terisolasi dari bangsanya sedemikian rupa sehingga tidak akan ber­te­mu de­ngan orang tuanya, apalagi dengan lingkungan bangsa mereka. Usaha Nebukadnezar meng­hi­lang­­kan identitas tidak hanya dari luar melainkan juga da­ri dalam, yaitu dengan cara meng­ganti na­ma mereka. Perihal nama bagi orang Israel sangat penting oleh karena mencerminkan sifat orang yang percaya kepada Allah Yahwe. Daniel yang artinya God is my judge menjadi Beltsazar (Belt protect his life atau dewa Baal melindungi dirinya); Hananya (God shows His grace) menjadi Sa­drakh (comment of Aku; dewa bulan bangsa Sumerian); Misael (who is what God is) menjadi Mesakh (who is what Aku is); Azarya (Lord helps) menjadi Abednego (the servant of Nebo). Na­mun mungkin sekali walaupun nama mereka diganti, di dalam persekutuan empat orang Yehuda mu­da ini mereka tetap memanggil dengan nama asli mereka, sehingga mereka dapat saling men­du­kung satu sama lain di dalam iman.

Tetapi yang  menarik disini ada­lah dimana Daniel, Hananya, Misael dan Azarya mem­pu­nyai ke­tetapan hati untuk tidak pernah me­­­na­jis­­kan diri dengan mengambil makanan yang su­dah di­per­sem­bahkan pada raja. Walaupun me­reka sudah putus hubungan sama se­kali dengan bang­sa dan orang tua­nya te­tapi fokus iman dan pikiran mereka tetap pada Allah Yahwe dan ka­lau mereka mengambil makanan tersebut, me­re­ka berarti sudah menajiskan diri dan tidak me­nye­nang­kan Allah Yahwe. Ayat 8 merupakan satu ayat yang sangat penting tentang bagaimana prin­sip pen­di­dikan anak diajarkan. Memang Alkitab ti­dak mencatat tentang hal ini, tetapi secara urut­an logis Alkitab, sangat mungkin orang tua Daniel dan ketiga kawannya menanamkan prinsip pen­ting hukum taurat  dan prinsip takut akan Allah Yahwe (yang terdapat dalam Ul 6:4) semen­jak mereka masih bersama-sama. Se­hingga wa­lau­pun mereka harus menjadi orang yang “terhilang,” ma­suk dalam bangsa Babel dan dididik selama 3 tahun, mereka tidak akan per­nah berubah oleh ka­rena fondasi iman mereka sudah tertanam de­ngan begitu kokoh. Dalam kitab Amsal dikatakan, “Di­diklah orang muda me­nurut jalan yang pa­tut baginya sehingga pada masa tuanya ia tidak akan me­nyimpang daripada ja­lan tersebut.” Hal kedua yang perlu kita pelajari disini adalah dimana Daniel dan kawan-kawannya melihat disitu bukan sekedar hal tentang boleh makan atau tidak ma­kan, melainkan dalam budaya tersebut mereka tahu bahwa ketika seseorang mengambil ma­kan­an yang telah dipersem­bah­kan pada raja, maka itu berarti orang tersebut berhutang budi, ber­janji setia dan mau tunduk mut­lak pada raja, yang saat itu dipercaya sebagai titisan dewa mereka (de­wa Babel). Kedua, itu juga berarti bahwa orang tersebut ingin diperkenan oleh dewa baal. Hal se­macam ini pasti sudah dimengerti dengan jelas oleh Daniel

Maka selanjutnya kita akan mempelajari empat hal tentang pergumulan iman Daniel dan ketiga kawannya: 1). Iman sejati berkaitan dengan pengetahuan. Seorang tidak dapat me­nga­­takan bahwa ia beriman tetapi ia tidak mengerti dengan jelas fondasi yang bagaimanakah yang harus ia bangun dan apakah yang menjadi objek daripada imannya. Sebab tidak ada se­orang pun yang dapat mem­ba­ngun iman yang sejati (iman yang dapat menolong dia menghadapi ke­sulitan demi kesulitan) tan­pa adanya fondasi Tuhan dan firmanNya. Alkitab dari awal hingga akhir menjelaskan de­ngan tuntas bahwa diri Tuhan adalah objek iman yang dapat dipercaya. Se­be­lum saudara Tuhan panggil pulang, hal inilah yang menjadi tanggung-jawab kita untuk me­nge­nal siapa diriNya, sebab ada di­mensi dan sifat Allah yang lain yang tidak kita pahami, demikian pula dalam mengenal kehendaknya. Inilah hal yang harus kita pergumulkan seumur hidup kita! Jangan harap eng­kau dapat mengenal dan memahami pribadi dan karakter Tuhan se­leng­­kap-leng­­kapnya dan apa yang menjadi kehendakNya jikalau engkau tidak pernah membaca Alktiab.

2). Iman sejati berkaitan dengan pengharapan. Yang dimaksud pengharapan disini ada­­lah ha­sil yang didapat, walaupun kenyataan sepertinya sangat ber­to­lak be­la­kang dengan apa yang dimengerti. Walaupun secara pemikiran bangsa Yehuda Allah Yahwe ka­lah, te­tapi itu tidak akan pernah menggoncangkan pengharapan Daniel beserta kawan-kawannya karena mereka per­­ca­ya pada sa­atnya nanti Allah Yahwe akan kembali menopang dan memberikan kekuatan. Dan itu menjadi sumber ke­kuatan untuk terus-menerus berjalan di dalam iman dan percaya ter­ha­dap Tuhan. Namun di da­lam realita hidup kita sehari-hari secara pribadi, kita seakan sulit sekali me­nerjemahkan dam me­lihat ta­ngan Tuhan dibalik lembah bayang-bayang maut. Bahkan ak­hir­nya banyak orang yang ke­ce­wa dan menolak terhadap Tuhan. Padahal, kalau kita mau mencoba me­nelusuri, ada banyak hal dimana kita tidak berhak untuk protes terhadap Tuhan, bahkan bagi orang-orang seperti Yeremia, Yesaya ataupun Yunus. Sebab ketika mereka dengan begitu cepat kecewa dan menolak Tuhan, maka mereka tidak dapat melihat sesuatu yang melampaui, yang akan terjadi. Mata iman ada­lah mata yang dapat melihat sesuatu yang melampaui apa yang da­pat dilihat dan dipahami di dalam pertolongan Allah. Alangkah menyedihkan kalau orang Kristen me­lewati kesulitan dengan tanpa memiliki harapan seperti ini!

3). Iman berkaitan dengan hal percaya dan mempercayakan diri. Ini merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat sekali. Kita pasti memiliki percaya terhadap Allah Yahwe dan janji-janjiNya, namun pada kenyataannya kita sulit sekali untuk sungguh-sung­guh percaya. Sung­guh-sungguh percaya dalam arti kita mau hidup di dalam percaya kita, yaitu dengan me­nye­rah­kan hidup kita dibawah diri Tuhan. Ini suatu hal yang sangat berbeda dari se­kedar percaya! Ada ba­nyak hal yang kita tahu tentang Alkitab dan janji Tuhan dalam firmannya te­tapi seringkali kita ber­tindak seperti kita tidak pernah tahu janji Tuhan dalam firmanNya. Disini yang menjadi ma­sa­lah adalah bagaimana kita mempercayakan hidup kita pada Allah, yang memang harus kita sem­bah di dalam Roh.

4). Iman yang sejati berkaitan dengan bijaksana dari Tuhan. Bijaksana hanya da­tang dari Allah yang benar (Ams 3:5-8; Mzm 119:97-100). Bijaksana Tuhan mengandung arti bah­wa hal yang menjadi pemikiran daripada Tuhan itulah yang men­do­minasi pikiran kita. Berapa ba­nyak hal yang kita lewati tiap-tiap kalinya, kita pikirkan dan masukan dalam pertimbangan Tuhan atau kerap kali kita mengambil keputusan tanpa per­duli, hanya berdasarkan hukum dan logika yang ada dalam pikiran kita. Jikalau kita hanya bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan logika dan urutan-urut­an logis maka mungkin sekali ada hal yang tidak menjadi bijaksana Tuhan yang kita ijinkan terjadi. Alktiab mengatakan, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap ha­timu dan jangan bersandar pada pengertianmu sendiri.” Banyak kali kita mengatakan tahu firman Tuhan tetapi yang kita tahu seringkali ti­dak mendominasi pikiran kita, menjadi dasar kita berpijak un­tuk melangkah. Kalau kita mau jujur, ma­ka berapa persen dari semua tindakan yang kita lewati, kita lewati dengan pertimbangan bah­wa itu yang menjadi kehendak Tuhan?

Mari kita mencoba transparan terhadap diri sendiri, apakah itu diwarnai oleh ke­be­nar­an firman Tuhan yang ada di dalam pikiran kita, atau jus­tru kita bertindak berdasarkan urutan lo­gi­ka atau bijaksana kita sendiri? Bijaksana Tuhan hanya bagi mereka yang berani untuk melangkah dan mem­per­ca­yakan hidup tia-tiap kalinya bersama dengan Tuhan! Jangan pernah berharap sau­dara akan melihat kebenaran firman Tuhan dan mengalami kelimpahan berjalan bersama Tuhan ka­lau saudara tidak per­nah berani melangkah mempercayai dan mempercayakan diri masuk ber­pe­gang pada janji Tuhan. Sebab di dalam pengalaman demi pengalaman yang ada, bijaksana Tuhan se­lalu menjadi nyata pada saat kita berani melangkah dan memegang janji Tuhan dalam prak­tek hi­dup tiap-tiap kalinya. Bagaimana kita dapat melihat pertolongan Tuhan itu sungguh nya­ta, wa­laupun ketika orang lain melihat tidak ada pengharapan sama sekali, karena bijaksana Tuhan memberikan pengharapan yang lain. Hanya melalui firman Tuhan kita dapat mem­ban­ding­kan antara bijaksana du­nia de­ngan apa yang Tuhan sudah nyatakan dalam dan me­lalui firman­Nya. Disini kita sebagai orang Kristen harus menganut prinsip pintu ter­bu­ka dan pintu tertutup. Prin­sip bagaimana bijaksana Tuhan selalu menolong kita melihat bahwa ada pintu yang selalu ter­buka yang tidak pernah kita pikir dan per­tim­bang­kan sebelumnya, tetapi jikalau Tuhan tidak ber­­kehendak maka Ia akan me­nu­­tupnya. Rm 10:17 me­ngatakan, “Jadi iman timbul dari pen­de­ngar­an, dan pendengaran akan firman.”

Saya berharap dan berdoa supaya kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan untuk ma­suk dalam pengalaman dan dimensi-dimensi iman bersama dengan Tuhan dalam hidup kita ma­sing-masing secara pri­ba­di, satu demi satu. Tuhan memberkati kita. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)