Ringkasan
Khotbah : 26 November 2000
Meaning
of Life and Living Faith in The True God
Pengkhotbah
:
Ev. Solomon Yo
Tanpa Allah manusia tidak memiliki makna hidup sebab manusia membutuhkan Allah lebih dari apapun juga! Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Kita bergantung pada Allah di dalam segala hal, lebih dari yang dapat kita bayangkan.
Ketika
kita mengalami sakit atau segala kesulitan, ketika kita menengok orang di
RS yang nafasnya sudah tersenggal-senggal dan harus dibantu dengan oksigen,
disitu kita baru menghargai setiap anugerah yang sering kita rasa sudah sewajarnya
kita dapatkan. Kita harus menyadari berapa besar hutang kita pada Tuhan,
dimana kita sudah menerima segala keindahan, kenikmatan dan kelancaran
dari ujung rambut hingga ujung kaki, baik materi fisikal sampai pada suatu
yang bersifat jiwa, keselamatan rohani. Setiap orang menerima anugerah
Tuhan, tetapi tidak setiap orang yang menerima anugerah berbahagia.
Segala berkat Tuhan tanpa pemahaman, apresiasi dan respon yang benar,
seperti anak bungsu yang membawa semuanya untuk menghancurkan dirinya
hingga terdampar di kandang babi dan dihina sebagai manusia. Kadangkala
manusia lebih menghargai babi daripada manusia padahal Tuhan mencintai
dan menghargai manusia lebih dari apapun hingga dua ribu babi
dibuang demi satu orang gila disembuhkan. Maka jikalau kita salah
meresponi kasih Tuhan, kita akan menghancurkan diri kita sendiri.
Saya
senang membaca tulisan orang-orang atheis atau agama lain sebab mereka kadangkala
mempunyai pemikiran yang tajam walaupun kesimpulan mereka seringkali salah arah.
Sebagai contoh orang yang bernama Jean Paul Sartre, ia menyadari betapa
keberadaan Allah itu sangat penting di dalam memberikan landasan makna hidup,
makna bagi moralitas, memberikan arah serta tujuan bagi hidup manusia, serta
memberikan motivasi untuk hidup dan berkarya. Bagi Sartre, manusia diperhadapkan
dengan dua kemungkinan: pertama, jikalau Allah ada maka hidup ini bermakna dan
walaupun dalam hidup terdapat batasan-batasan, seperti orang tua yang membatasi
antara baik-buruk dan agama menjadi relavan. Kedua, jikalau Allah tidak ada maka
agama menjadi tidak relevan dan itu berarti manusia tidak memiliki satu
landasan bagi makna hidupnya. Demikian juga F. Nietzsche, yang meramalkan
bahwa seratus tahun kemudian akan terjadi kehancuran moral, dan memang
inilah dunia yang kita sedang kita hadapi sekarang. Suatu kondisi dimana orang
tidak tahu batasan antara benar dan salah, dan kita sudah masuk di dalam kondisi
moral yang begitu hancur hingga seperti jaman Sodom dan Gomorah. Dunia sudah
terbalik dan moralitas rusak sehingga orang melakukan sesuatu yang jahat dan
buruk dengan wajar, dan orang yang saleh/jujur dianggap tidak normal. Albert
Camus (seorang atheis) mengatakan bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa
makna sebab makna merupakan satu hal yang hakiki, yang melekat dalam diri
setiap orang. Seorang atheispun sadar bahwa jikalau tidak ada Allah maka itu berarti
manusia harus menciptakan makna bagi dirinya, dan itu tidak mungkin dilakukan.
Orang-orang
atheis tersebut memiliki ketajaman dalam memahami esensial manusia namun
sungguh disayangkan ketika akhirnya mereka sampai pada kesimpulan yang salah.
Makna yang melekat dalam diri manusia dan mengharuskan adanya Allah, serta
kondisi moralitas manusia yang semakin hancur sesungguhnya harus semakin
menyakinkan kita bahwa keberadaan Allah adalah sesuatu yang hakiki dan
jelas sekali, walaupun seringkali manusia sengaja menolak Tuhan. Dalam Rm
1:18-32, rasul Paulus dengan jelas mengungkapkan bagaimana sifat manusia
berdosa yang menolak Allah dan menciptakan allah-allah palsu mereka. Demikian
juga halnya dengan manusia di era Postmodern yang tidak mau mengakui
universalitas kebenaran dan ingin menciptakan kebenaran sendiri dan
akhirnya masuk dalam satu kekacauan moralitas. Augustinus mengatakan bahwa
manusia perlu makna, sebab tanpa makna manusia kehilangan arah bagi moral,
landasan, tujuan, motivasi, dan presaposisi hidup. Bahkan dalam bukunya yang
terkenal yang berjudul “My Confession” ia menuliskan perkataan yang begitu
terkenal: “Ya Tuhan, Engkau telah menciptakan kami bagi diriMu dan hati kami
tidak akan pernah mendapatkan kelegaan sampai menemukannya di
dalam Engkau.” Kita memerlukan satu as yang cukup kuat, berdaulat dan benar,
yang tidak dapat diperoleh dengan kebenaran yang kita ciptakan, melainkan
harus dari Allah. Sebagai orang Kristen yang telah mengalami anugerah Tuhan
yang besar, seringkali kita tidak memahami hal ini dan bahkan hidup tanpa makna.
Setelah menerima Tuhan Yesus, kita menganggap semua sudah selesai hidup kita
sudah sangat bermakna. Namun mari kita mengevaluasi danmerefleksikan
kehidupan kita, apakah hidup kita sudah benar-benar bermakna melalui
buah-buah yang dihasilkan.
Apakah
kita telah tahu maksud keberadaan kita di dunia dan maksud Tuhan masih membiarkan
kita di dunia? Dan apa misi hidup pribadi kita yang akan kita realisasikan? Di
dalam setiap orang panggilan Tuhan bersifat sama namun di dalam setiap
pribadi kita panggilan itu bersifat unik dan pribadi. Jangan cepat puas
jikalau saudara sudah menemukan jawabannya karena kita harus menguji jawaban
tersebut apakah sesuai dengan kebenaran-kebenaran firman Tuhan. Stephen Covey
mengatakan, “Apa yang akan kita lakukan jikalau kita telah mencapai posisi diatas
dari suatu dinding namun ternyata tangga kita sudah bersandar pada dinding yang
salah?” Tanpa kembali pada Tuhan kita tidak akan mencapai suatu
penyelesaian dan justru menjadi suatu yang humanis. Ada dua kemungkinan yang
terjadi jikalau saudara tidak memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut: 1).
Saudara mungkin sudah memikirkan makna dan tujuan dari hidup saudara namun
itu masih di dalam satu proses, sehingga belum ada satu formulasi yang jelas dan
tuntas. Saya mendorong saudara untuk terus melanjutkannya, karena sebelum hal
ini saudara dapatkan maka saudara akan memberikan waktu, tenaga dan hidup
saudara hanya untuk sesuatu yang sia-sia dan tidak tepat. 2). Mungkin
saudara tidak dapat menjawab karena saudara belum memiliki makna hidup yang
jelas dalam hidup saudara.
Disini
terdapat beberapa ciri dari kehidupan yang tanpa makna: pertama, orang yang
sering dilanda kebosanan sehingga ia perlu mencari hiburan untuk
menghilangkan kebosanannya. Kebosanan menunjukkan gejala bahwa di dalam diri
kita ada sesuatu yang sangat penting yang belum kita dapatkan. Oleh sebab itu
kebosanan seharusnya tidak boleh membawa kita segera melakukan pelepasan
dengan suatu aktivitas untuk pembiusan diri, karena itu akan berdampak
kita kembali pada problem yang sama yang belum terselesaikan. Ketika kita
mendapatkan suatu wawasan/makna akan apa yang kita lakukan maka semuanya
itu akan menjadi suatu yang indah, walaupun untuk itu kita harus menghadapi
suatu penderitaan. Kedua, Hidup dengan menghabiskan waktu. Seringkali
hidup kita banyak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak berarti dan tidak dapat
kita pertanggungjawabkan. Ketika masih berada di SAAT, saya ingat waktu itu
harus mencuci baju sendiri. Pada mulanya saya berpikir bahwa saya disitu untuk
belajar teologi dan bukannya untuk mencuci baju, namun saya juga tidak
mungkin membuang semua baju itu dan akhirnya saya mengerti bahwa itu juga
merupakan bagian saya melayani dan mengabdi pada Tuhan. Di dalam segala
sesuatu jikalau kita tidak dapat menemukan suatu makna maka itu akan menjadi
sesuatu yang memberatkan kita. Walker Percy mengatakan: “Kendati kita
hidup dalam masa kemakmuran yang tidak pernah ada sebelumnya, tetapi
saat ini kita hidup di dalam jaman “thanatos” (Yunani) atau kematian,
satu masa yang penuh dengan mayat hidup.” Banyak orang yang secara fisik
hidup tetapi secara spiritual, emosional dan intelektual mati. Mereka
menjadi mayat hidup yang tidak ada suatu landasan untuk mengarahkan pada
apa yang benar, bernilai dan berharga untuk diperjuangkan
didalam intelektual, emosional dan spiritualnya. Apakah ini adalah satu gejala
dalam kehidupan kita?
Ketiga,
Kita mungkin mengejar suatu yang jika dievaluasi bukanlah pemenuhan makna kita
yang sesungguhnya. Kita harus kembali pada sesuatu yang basic yaitu Alkitab,
ajaran yang sederhana, kembali pada Tuhan, belajar kebenaran dan taat
kepadaNya. Dalam I Pet 1:18 dikatakan bahwa untuk menebus manusia, Allah
bukan mengirimkan malaikat atau menciptakan satu ciptaan yang baru
melainkan Allah memberikan anakNya yang tunggal, darah pengorbanan yang lebih
daripada apapun yang ada di dunia, dan itu bukan berarti keselamatan yang
dihasilkan adalah suatu yang remeh! Justru keselamatan dengan pengorbanan yang
begitu besar itu akan menghasilkan orang-orang tebusan yang mengenapkan
rencana Tuhan yang agung dan mulia. Bahkan dalam Mazmur 73 dikatakan bahwa
asal ada Tuhan maka itu sudah cukup. Apakah kita telah menemukan kecukupan
tersebut? Keselamatan dari Tuhan akan menghasilkan satu kehidupan yang
dilepaskan daripada kesia-siaan dan akhirnya menghasilkan satu kehidupan yang
baru, yaitu kehidupan yang mulia, agung dan sangat indah. Kita harus memahami
identitas kita yang baru sebagai anak Allah, dengan demikian itu akan
mempengaruhi seluruh pola hidup kita.
Seringkali
kita masih melihat banyak orang Kristen yang hidup sia-sia, tanpa makna dan
rusak secara moral; atau jikalau mereka masih orang Kristen yang baik tetapi
tidak lagi mempunyai satu kemampuan, kecuali sudah baik secara sosial
life, itu sudah cukup. Hal yang demikian akan sangat menyenangkan iblis
karena itu berarti laskar-laskar sudah tumpul dan tidak berbahaya lagi.
Disini saya melihat terdapat beberapa kegagalan karena pengertian yang salah terhadap
iman: pertama, iman harus dimengerti bukan sebagai satu pemberian hadiah/ tiket
nonton film, tetapi iman itu lebih cocok dimengerti sebagai satu pencangkokan
dari satu carang kepada satu pohon/ pokok, sehingga akan ada satu kesatuan
dan pengaliran sumber hidup dari pokok tersebut. Iman yang hidup adalah
dimana hidup kita ada dan berakar di dalam Dia. Yang kedua, iman itu seperti
pernikahan dari dua orang kekasih yang saling mencintai dengan begitu tulus.
Ketika kita melihat seorang bujangan yang setelah menikah dia merasa bahagia
namun kemudian ia tinggalkan isterinya, kita pasti akan merasa bahwa orang
tersebut tidak sewajarnya berbuat demikian. Namun kita seringkali tanpa sadar
telah berbuat hal yang sama di dalam hidup rohani kita! Ketika kita telah
menerima Tuhan Yesus, kita bersukacita karena mendapat keselamatan, namun
setelah itu meninggalkanNya dan hidup tanpa makna. Iman harus dimengerti
seperti pernikahan, dimana didalamnya ada satu kejelasan, komitmen
yang menyatu dan tidak terpisahkan, dan di dalamnya terjadi satu dinamika hubungan
yang akan menghasilkan buah-buah keindahan yang semakin indah.
Ketiga, Iman adalah satu persandaran/satu komitmen pribadi lepas pribadi. Keempat, Iman harus juga dimengerti di dalam aspek yang lebih luas yaitu satu sistem kepercayaan yang kita masuk dan hidup didalamnya. Sehingga iman adalah melihat realita lebih utuh dan tidak terbatas pada hal-hal yang duniawi saja. Kita seharusnya memiliki anugerah yang membuat orang lain iri dan bukannya kita yang iri kepada orang non Kristen, karena kita adalah orang yang paling berbahagia, dilimpahi dengan anugerah. Ketika kita lihat realita kehidupan masyarakat sangat payah, itu menunjukkan bahwa mimbar gereja, fungsi keasinan/garam dan terang dari gereja sudah begitu lemah, sehingga banyak hal yang perlu kita doakan dengan sungguh-sungguh supaya kebenaran Tuhan boleh dinyatakan dan Tuhan membukakan perspektif kita, dan dalam banyak hal yang salah boleh diperbaiki. Orang Kristen boleh tetap hidup dalam dunia dengan satu tujuan utama yaitu pembaharuan pribadi sehingga orang boleh kembali pada Tuhan. Disini kita melihat bahwa keselamatan itu menghasilkan kehidupan yang indah dan memiliki suatu yang lain guna diperjuangkan. Mari kita mencari dan memformulasikan maksud Tuhan di dalam hidup kita masing-masing! Kiranya Tuhan menolong kita sehingga kita boleh hidup memberi satu makna dengan teguh tak tergoncangkan. Tuhan memberkati kita semua. Amin.?
(Ringkasan
khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)