Ringkasan Khotbah : 26 November 2000

Meaning of Life and Living Faith in The True God

Nats : Efesus 4:17-18; Flp 3:13-14; 18-21

Pengkhotbah : Ev. Solomon Yo

 

Tanpa Allah manusia tidak memiliki makna hidup sebab manusia membutuhkan Allah le­bih dari apapun juga! Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa manusia hidup bukan dari ro­ti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Kita bergantung pada Allah di da­lam segala hal, lebih dari yang dapat kita bayangkan.

Ketika kita mengalami sakit atau segala ke­su­lit­an, ketika kita menengok orang di RS yang nafasnya sudah tersenggal-senggal dan harus di­ban­tu dengan oksigen, disitu kita baru menghargai setiap anugerah yang sering kita rasa sudah se­wajarnya kita dapatkan. Kita harus me­­nyadari berapa besar hutang kita pada Tuhan, dimana ki­ta sudah menerima segala kein­dah­an, kenikmatan dan kelancaran dari ujung rambut hingga ujung kaki, baik materi fisikal sampai pa­­da suatu yang bersifat jiwa, keselamatan rohani. Se­ti­­ap orang menerima anugerah Tuhan, te­ta­pi tidak setiap orang yang menerima anugerah ber­ba­ha­­gia. Segala berkat Tuhan tanpa pema­ham­­an, apresiasi dan respon yang benar, seperti anak bungsu yang membawa semuanya untuk meng­han­cur­kan dirinya hingga terdampar di kan­­dang babi dan dihina sebagai manusia. Ka­­­dangkala manusia lebih meng­hargai babi daripada ma­­nu­sia padahal Tuhan mencintai dan meng­­­hargai manusia lebih da­ri­ apapun hingga dua ri­bu babi dibuang demi satu orang gila di­sem­buh­­kan. Maka jikalau kita salah meresponi kasih Tuhan, kita akan menghancurkan diri kita sen­diri.

Saya senang membaca tulisan orang-orang atheis atau agama lain sebab mereka ka­dang­kala mempunyai pemikiran yang tajam walaupun kesimpulan mereka seringkali salah arah. Se­bagai contoh orang yang bernama Jean Paul Sartre, ia menyadari betapa keberadaan Allah itu sa­ngat penting di dalam memberikan landasan makna hidup, makna bagi moralitas, memberikan arah serta tujuan bagi hidup manusia, serta memberikan motivasi untuk hidup dan berkarya. Bagi Sartre, manusia diperhadapkan dengan dua kemungkinan: pertama, jikalau Allah ada maka hidup ini bermakna dan walaupun dalam hidup terdapat batasan-batasan, seperti orang tua yang mem­ba­tasi antara baik-buruk dan agama menjadi relavan. Kedua, jikalau Allah tidak ada maka agama men­jadi tidak relevan dan itu berarti manusia tidak memiliki satu landasan bagi makna hidupnya. De­mikian juga F. Nietzsche, yang meramalkan bahwa seratus tahun kemudian akan terjadi ke­han­curan moral, dan memang inilah dunia yang kita sedang kita hadapi sekarang. Suatu kondisi di­mana orang tidak tahu batasan antara benar dan salah, dan kita sudah masuk di dalam kondisi mo­ral yang begitu hancur hingga seperti jaman Sodom dan Gomorah. Dunia sudah terbalik dan mo­ralitas rusak sehingga orang melakukan sesuatu yang jahat dan buruk dengan wajar, dan orang yang saleh/jujur dianggap tidak normal. Albert Camus (seorang atheis) mengatakan bahwa ma­nusia tidak mungkin hidup tanpa makna sebab makna merupakan satu hal yang hakiki, yang me­lekat dalam diri setiap orang. Seorang atheispun sadar bahwa jikalau tidak ada Allah maka itu ber­­­arti manusia harus menciptakan makna bagi dirinya, dan itu tidak mungkin dila­ku­kan.

Orang-orang atheis tersebut memiliki ketajaman dalam memahami esensial manusia na­mun sungguh disayangkan ketika akhirnya mereka sampai pada kesimpulan yang salah. Mak­na yang melekat dalam diri manusia dan mengharuskan adanya Allah, serta kondisi moralitas ma­­­nusia yang semakin hancur sesungguhnya harus semakin menyakinkan kita bahwa ke­be­ra­da­an Allah adalah se­suatu yang hakiki dan jelas sekali, walaupun seringkali manusia sengaja meno­lak Tuhan. Dalam Rm 1:18-32, rasul Paulus dengan jelas mengungkapkan bagaimana sifat ma­nu­sia berdosa yang menolak Allah dan menciptakan allah-allah palsu mereka. Demikian juga halnya dengan ma­­nusia di era Postmodern yang tidak mau mengakui universalitas kebenaran dan ingin mencip­ta­­kan kebenaran sendiri dan akhirnya masuk dalam satu kekacauan moralitas. Augustinus mengatakan bahwa manusia perlu makna, sebab tanpa makna manusia ke­hi­­langan arah bagi moral, landasan, tujuan, motivasi, dan presaposisi hidup. Bahkan dalam bu­ku­nya yang ter­kenal yang berjudul “My Confession” ia menuliskan perkataan yang begitu terkenal: “Ya Tuhan, Engkau telah menciptakan kami bagi diriMu dan hati kami tidak akan pernah men­da­pat­­kan ke­le­ga­an sampai menemukannya di dalam Engkau.” Kita memerlukan satu as yang cukup kuat, berdaulat dan benar, yang tidak da­pat diperoleh dengan kebenaran yang kita ciptakan, melainkan harus dari Allah. Sebagai orang Kristen yang telah mengalami anu­­gerah Tuhan yang besar, seringkali kita tidak memahami hal ini dan bahkan hidup tanpa mak­na. Setelah me­ne­rima Tuhan Yesus, kita menganggap semua sudah selesai hidup kita sudah sa­ngat bermakna. Na­mun mari kita mengevaluasi danmerefleksikan kehidupan kita, apakah hidup ki­­ta sudah benar-be­nar bermakna melalui buah-buah yang dihasilkan.

Apakah kita telah tahu maksud keberadaan kita di dunia dan maksud Tuhan masih mem­­biarkan kita di dunia? Dan apa misi hidup pribadi kita yang akan kita realisasikan? Di dalam se­­tiap orang panggilan Tuhan bersifat sama namun di dalam setiap pribadi kita panggilan itu ber­si­­fat unik dan pribadi. Jangan cepat puas jikalau saudara sudah menemukan jawabannya karena ki­ta harus menguji jawaban tersebut apakah sesuai dengan kebenaran-kebenaran firman Tuhan. Stephen Covey mengatakan, “Apa yang akan kita lakukan jikalau kita telah mencapai posisi di­atas dari suatu dinding namun ternyata tangga kita sudah bersandar pada dinding yang salah?” Tan­­pa kembali pada Tuhan kita tidak akan mencapai suatu penyelesaian dan justru menjadi sua­tu yang humanis. Ada dua kemungkinan yang terjadi jikalau saudara tidak memiliki jawaban atas per­tanyaan tersebut: 1). Saudara mungkin sudah memikirkan makna dan tujuan dari hidup sau­da­ra namun itu masih di dalam satu proses, sehingga belum ada satu formulasi yang jelas dan tun­tas. Saya mendorong saudara untuk terus melanjutkannya, karena sebelum hal ini saudara da­­pat­kan maka saudara akan memberikan waktu, tenaga dan hidup saudara hanya untuk se­sua­tu yang sia-sia dan tidak tepat. 2). Mungkin saudara tidak dapat menjawab karena saudara belum me­­miliki makna hidup yang jelas dalam hidup saudara.

Disini terdapat beberapa ciri dari kehi­dup­an yang tanpa makna: pertama, orang yang sering dilanda kebosanan sehingga ia perlu mencari hi­­bur­an untuk menghilangkan kebosa­nan­nya. Kebosanan menunjukkan gejala bahwa di dalam diri kita ada sesuatu yang sangat penting yang belum kita dapatkan. Oleh sebab itu kebosanan se­­harusnya tidak boleh membawa kita se­ge­ra melakukan pelepasan dengan suatu aktivitas untuk pem­­biusan diri, karena itu akan ber­dam­pak kita kembali pada problem yang sama yang belum ter­­selesaikan. Ketika kita mendapatkan sua­tu wa­­wasan/makna akan apa yang kita lakukan maka semuanya itu akan menjadi suatu yang in­­dah, walaupun untuk itu kita harus menghadapi suatu penderitaan. Kedua, Hidup dengan meng­ha­­­bis­kan waktu. Seringkali hidup kita banyak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak berarti dan tidak da­­­pat kita pertanggungjawabkan. Ketika masih berada di SAAT, saya ingat waktu itu harus men­cuci baju sendiri. Pada mulanya saya berpikir bahwa saya disitu untuk belajar teologi dan bu­kan­nya untuk mencuci baju, namun saya juga tidak mungkin membuang semua baju itu dan akhirnya sa­ya mengerti bahwa itu juga merupakan ba­gi­an saya melayani dan mengabdi pada Tuhan. Di da­­lam segala sesuatu jikalau kita tidak dapat me­nemukan suatu makna maka itu akan men­­jadi se­­suatu yang memberatkan kita. Walker Percy me­ngatakan: “Ken­dati kita hidup dalam ma­sa ke­mak­­­muran yang tidak pernah ada sebelumnya, te­tapi saat ini kita hidup di dalam jaman “tha­na­tos” (Yunani) atau kematian, satu masa yang penuh de­ngan ma­yat hidup.” Banyak orang yang se­cara fi­sik hidup tetapi secara spi­ritual, emo­sional dan intelektual mati. Mereka menjadi ma­­yat hi­dup yang tidak ada suatu landasan untuk mengarahkan pada apa yang benar, ber­nilai dan ber­har­ga un­­tuk di­per­juang­kan didalam intelektual, emosional dan spiritualnya. Apa­kah ini ada­lah sa­tu ge­ja­la dalam ke­hidup­an kita?

Ketiga, Kita mungkin mengejar suatu yang jika dievaluasi bukanlah pemenuhan makna ki­ta yang sesungguhnya. Kita harus kembali pada sesuatu yang basic yaitu Alkitab, ajaran yang se­­der­hana, kembali pada Tuhan, belajar kebenaran dan taat kepadaNya. Dalam I Pet 1:18 dika­ta­­­kan bahwa untuk menebus manusia, Allah bukan mengirimkan malaikat atau menciptakan satu cip­­­taan yang baru melainkan Allah memberikan anakNya yang tunggal, darah pengorbanan yang le­­bih daripada apapun yang ada di dunia, dan itu bukan berarti keselamatan yang dihasilkan ada­lah suatu yang remeh! Justru keselamatan dengan pengorbanan yang begitu besar itu akan meng­­­­hasilkan orang-orang tebusan yang mengenapkan rencana Tuhan yang agung dan mulia. Bah­­­kan dalam Mazmur 73 dikatakan bahwa asal ada Tuhan maka itu sudah cukup. Apakah kita te­­lah menemukan kecukupan tersebut? Keselamatan dari Tuhan akan meng­­hasilkan satu ke­hi­dup­an yang dilepaskan daripada kesia-siaan dan akhirnya menghasilkan sa­tu kehidupan yang ba­­ru, yaitu kehidupan yang mulia, agung dan sangat indah. Kita harus me­ma­hami identitas kita yang baru sebagai anak Allah, dengan demikian itu akan mempengaruhi se­luruh pola hidup kita.

Seringkali kita masih melihat banyak orang Kristen yang hidup sia-sia, tanpa mak­na dan rusak secara moral; atau jikalau mereka masih orang Kristen yang baik tetapi tidak la­gi mem­pu­­nyai satu kemampuan, kecuali sudah baik secara sosial life, itu sudah cukup. Hal yang de­mi­ki­an akan sangat menyenangkan iblis karena itu berarti laskar-laskar sudah tumpul dan tidak ber­ba­haya lagi. Disini saya melihat terdapat beberapa kegagalan karena pengertian yang salah ter­ha­dap iman: pertama, iman harus dimengerti bukan sebagai satu pemberian hadiah/ tiket non­ton film, tetapi iman itu lebih cocok dimengerti sebagai satu pencangkokan dari satu carang ke­pa­da sa­tu pohon/ pokok, sehingga akan ada satu kesatuan dan pengaliran sumber hidup dari pokok ter­­­sebut. Iman yang hidup adalah dimana hidup kita ada dan berakar di dalam Dia. Yang kedua, iman itu seperti pernikahan dari dua orang kekasih yang saling mencintai de­ngan begitu tulus. Ke­­tika kita melihat seorang bujangan yang setelah menikah dia merasa ba­ha­gia namun ke­mu­di­an ia tinggalkan isterinya, kita pasti akan merasa bahwa orang tersebut tidak se­wajarnya berbuat de­­mikian. Namun kita seringkali tanpa sa­dar telah berbuat hal yang sama di dalam hidup rohani kita! Ketika kita telah menerima Tuhan Yesus, kita ber­suka­cita karena mendapat keselamatan, na­­mun setelah itu meninggalkanNya dan hi­dup tanpa makna. Iman harus dimengerti seperti per­ni­­kahan, dimana didalamnya ada satu ke­je­las­an, komitmen yang menyatu dan tidak terpisahkan, dan di dalamnya terjadi satu dinamika hu­bung­an yang akan meng­hasilkan buah-buah keindahan yang semakin indah.

Ketiga, Iman adalah satu persandaran/satu komitmen pribadi lepas pribadi. Keempat, Iman harus juga dimengerti di dalam aspek yang lebih luas yaitu satu sistem kepercayaan yang ki­ta masuk dan hidup didalamnya. Sehingga iman adalah melihat realita lebih utuh dan tidak ter­ba­­­tas pada hal-hal yang duniawi saja. Kita seharusnya memiliki anugerah yang membuat orang lain iri dan bukannya kita yang iri kepada orang non Kristen, karena kita adalah orang yang paling ber­­bahagia, dilimpahi dengan anugerah. Ketika kita lihat realita kehidupan masyarakat sangat pa­yah, itu menunjukkan bahwa mimbar gereja, fungsi keasinan/garam dan terang dari gereja sudah be­­gitu lemah, sehingga banyak hal yang perlu kita doakan dengan sungguh-sungguh supaya ke­be­naran Tuhan boleh dinyatakan dan Tuhan membukakan perspektif kita, dan dalam ba­nyak hal yang salah boleh diperbaiki. Orang Kristen boleh tetap hidup dalam dunia dengan satu tu­juan uta­ma yaitu pembaharuan pribadi sehingga orang boleh kembali pada Tuhan. Disini kita me­lihat bah­wa keselamatan itu menghasilkan kehidupan yang indah dan memiliki suatu yang lain guna di­per­ju­ang­kan. Mari kita mencari dan memformulasikan maksud Tuhan di dalam hidup kita ma­sing-ma­sing! Kiranya Tuhan menolong kita sehingga kita boleh hidup memberi satu makna de­ngan te­guh tak tergoncangkan. Tuhan memberkati kita semua. Amin.?

 

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)