Ringkasan Khotbah : 03 Desember 2000

The Nature of A Woman

Nats : I Petrus 3: 1-7

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Hari ini saya akan melanjutkan apa yang sudah kita gumulkan dua minggu yang lalu, yai­­­tu The Christ Centered Submissiveness, yang secara khusus lebih kepada implikasi konsep ke­­­taatan yang berpusat kepada Kristus. Di dalam Efesus kita telah melihat bagaimana pe­nger­tian k­e­­luarga mulai dibukakan, konsep ini bu­kan di­ran­cang se­bagai diskrimasi sehingga seolah pria me­miliki hak untuk menindas wanita ataupun pro­duk bu­da­ya Yahudi, melainkan prinsip ini di­ba­ngun dari konsep yang sangat mendasar yai­­­tu firman Allah. Bagaimana keluarga harus men­cer­min­kan satu gambaran re­pre­sentasi yang be­­gitu agung, an­tara Kristus de­ngan jemaat. Dan ide ketaatan kepada Kristus inilah yang menjadi sum­ber dari­­pada ketaatan se­orang wanita ke­pa­da suaminya, sa­tu penundukan diri yang berpusat ke­pada Kristus.

Opi­ni-opi­­ni umum yang begitu kuat meng­hantam konsep pemikiran dan ke­pu­tusan ter­pen­­ting da­­lam hi­­dup kita seringkali menyebabkan suatu tekanan bagi wanita, sehingga akhirnya me­­reka ber­pi­kir­an bahwa ti­dak akan ada pria yang mau menikah dengannya jikalau ia tidak men­dan­­dani diri de­ngan segala macam per­­hiasan duniawi. Dan disitu membuat ide seorang is­teri se­jati yang dicari pria sa­ngat paradoks di­gu­mul­kan di tengah dunia. Dan saat ini kita melihat bahwa konsep penundukan dalam Efesus kem­­bali diungkapkan oleh Petrus di dalam I Ptr 3:1: “De­mi­ki­an juga ka­­­mu, hai isteri-isteri, tun­duk­lah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang ti­dak ta­­at ke­­­pa­­da Firman, mereka ju­ga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.” Kon­sep ketaatan disini bu­kanlah ketaatan yang di­­sa­lahtafsirkan atau yang sengaja ditekankan oleh orang-orang dunia, khu­­­­susnya kaum fe­mi­nis­me. Ayat itu menegaskan de­­ngan sangat prak­ti­ka bagaimana seorang istri tunduk pada sua­mi, bu­kan dengan cara me­nge­pang-ngepang rambut dan segala macam ak­se­­so­ri yang dikenakan me­­lain­­­­kan dengan memiliki ke­indahan batiniah (inner beauty) dan ke­sa­leh­an hi­dup sebagai anak Tuhan.

Apa yang digambarkan di da­lam I Petrus hanya merupakan satu ilustrasi, yang ide­nya ingin memperlihatkan dandanan dan keindahan lahiriah yang tampak diluar saja. Alkitab mem­be­ri­kan satu peringatan keras, bagaimana se­orang wanita dapat men­ja­di se­orang wanita sejati. Dr. Wayne Grudem, seorang profesor yang cukup terkenal saat ini me­nga­­­­ta­kan: “Penundukan se­orang isteri kepada suaminya bukanlah penundukan yang membabi-bu­ta melainkan penundukan yang menjadi naturnya dia untuk mau takut dan taat kepada Kristus.” Ide seperti ini muncul dalam pe­mikirannya sekalipun ia tidak pernah menyebutkan tentang Christ Centered Submissiveness. Ja­di, seorang isteri yang sejati harus kembali kepada esensi yang se­ja­ti, dengan kemurnian hati­nya ia menggarap pribadinya serta memiliki ke­relaan untuk taat kepada Allah. Ketika ia mulai mau menundukkan diri kepada Kristus sebagai pu­sat kehidupannya maka itu akan memunculkan si­kap penundukan kepada suaminya dan kondisi ke­na­turalan kewanitaan itu disebut Woman­hood. Kon­sep ini sudah muncul se­jak di jaman Abraham (sebelum orang Ya­hu­di ada), dimana Sara be­gitu tunduk kepada Abraham dan memanggil suaminya sebagai tu­annya.

Selanjutnya kita akan melihat beberapa hal bagaimana seorang isteri taat kepada sua­mi­nya: Pertama, penundukan yang bukan karena dipaksakan melainkan penundukan dari spi­ri­tual. Ketika seorang wanita hanya memperhatikan aspek eksternal dan gagal membentuk diri ma­ka itu menghancurkan dirinya. Saya mendengar cerita tentang seorang gadis yang kelihatannya ba­ik dan berparas cantik, namun telah membatalkan pernikahannya dengan seorang laki-laki ka­re­na ada lelaki lain yang lebih keren, yang menawarkan rumah dan mobil. Dengan mudahnya ia ber­paling dari pacarnya karena pacarnya tidak mampu memberikan rumah dan mobil kepadanya. Na­mun akhirnya ketika gadis itu sudah dibawa pergi kurang lebih satu bulan lamanya, ia akhirnya di­tinggalkan begitu saja. Maka beberapa orang yang dulunya adalah teman pacarnya bertekad ingin membalas sakit hati temannya dengan mengerjainnya. Maka ketika saya membaca tentang hal ini, saya sekali lagi mengaminkan apa yang pernah dikatakan oleh Pdt. Stephen Tong, yaitu bah­wa cantik itu bahagia sekaligus bahaya. Hal ini bukanlah hal yang boleh dipermainkan tetapi ha­rus kembali kepada esensi yang sejati, yaitu bagaimana kita mempunyai kerinduan me­nun­duk­kan diri, yang di­mu­lai dari ketakutan kita akan Allah.

Kedua, Bagaimana melalui penundukan seorang isteri, ia dapat memenangkan sua­mi­nya. Ayat ini mengimplikasikan bahwa isterinya sudah bertobat dahulu sebelum suaminya ber­to­bat. Berarti di dalam konsep ini kita melihat bahwa ada isteri yang da­pat taat kepada Tuhan dulu dan baru setelah itu bagaimana ia memenangkan suaminya. Da­lam kasus seperti ini kita melihat bahwa ternyata menundukkan diri kepada suami itu bukan sem­ba­rangan (harus tunduk sekalipun diajak berdosa) tetapi tunduk di dalam Christ Centered Sub­missiveness. Sehingga bagaimana ki­ta menundukkan diri dalam arti kita mau mengerti apa yang ia inginkan, pikirkan dan putuskan la­lu kita merespek dan menghormati dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi keputusan sua­mi kita. Hal ini tidak menutup kemungkinan sang isteri memiliki sua­tu pemikiran sendiri. Tetapi ke­ti­ka sang suami mulai memikirkan suatu ide, walaupun mungkin isteri belum setuju (ada baiknya sua­mi menjelaskan hal itu sedapatnya) maka isteri seharusnya ti­dak terus memaksakan idenya te­tapi me­miliki upaya serius untuk mau tahu apa yang sebenarnya di­pikirkan oleh suaminya.

Seorang pria dan wanita pada dasarnya mempunyai kebutuhan yang berbeda karena Tuhan men­­­cipta pria sebagai kepala dan wanita sebagai seorang penolong yang sepadan. Se­orang pria akan sangat membutuhkan dihormati karena bernatur kepala, se­hing­­­ga ketika ia tidak di­hormati maka ia akan mengalami problematik psikologis, identitas dan ak­hir­­nya ia akan meng­am­bil keputusan yang tidak beres. Justru ketika pria itu tidak dihormati, ia akan mengambil tin­dak­an yang drastis terhadap isterinya. Namun jikalau istrinya dapat menghor­ma­ti­nya, ia akan maju ke­­atas dan isterinya akan sungguh-sungguh menikmati cinta kasih yang se­­jati. Seorang wanita mem­­butuhkan cinta kasih, dimanja dan dilindungi, sehingga ia tidak mem­bu­­tuh­kan sanjungan. Ini ada­lah dua hal yang sangat berlawanan namun seringkali di dalam per­ni­kah­­an kita gagal karena ti­­dak sadar akan hal ini sehingga akibatnya kita menduplikasi pasangan ki­ta seperti diri kita sen­diri. Maka akibatnya dua-duanya tidak memenuhi apa yang diharapkan dan kecewa. Ketika se­orang wanita bisa memposisikan dirinya secara tepat terhadap suaminya, itu justru membangun sa­­­tu kebahagiaan di dalam keluarga. Alkitab bukan mengharapkan kita se­perti babi yang hanya me­nun­­­­duk saja melainkan menjadi teman pewaris anu­ge­rah Allah (companion). Dan disini ba­gai­ma­na seorang wanita menampilkan, menyatakan dan memproses diri, taat dan berpusat pa­da Kristus yang direfleksikan kepada suaminya.

Ketiga, seorang istri bukan berarti tunduk secara pasif (semua beban dilempar ke­pa­da suami) karena itu merupakan satu bentuk dari pemberontakan, tetapi tunduk aktif dengan mem­berikan ide dalam mencari pemikiran, yang dipikirkan dari sudut pemikiran suami. Ketika sang suami sedang memikirkan suatu gagasan/masalah, bagaimana sang istri memberikan input yang terbaik buat suaminya, sehingga suaminya dapat mengaktualisasikan apa yang ia gu­mul­kan. Sehingga peran istri disini mengisi, khususnya bagian-bagian detail yang tidak ter­pikir­kan oleh suami. Seorang pria cenderung untuk berpikir secara global, oleh sebab itu seorang istri harus mempunyai ketajaman analisa alternatif, kesulitan dan dampak yang lain yang akan di­hasilkan dari pergumulan tersebut. Dan itu menjadikan seorang isteri support kepada apa yang sua­minya inginkan secara positif. Memang kita akan melihat bahwa suami yang memutuskan te­tapi dibelakangnya ada isteri yang memberikan pertimbangan terbaik bagi keputusan tersebut. Di­dalam otobiografi tokoh-tokoh penting di dunia akan kita dapati bahwa keputusan-keputusan ter­se­but terjadi karena mereka memiliki istri yang sangat mendukung, namun sebaliknya dibalik para penjahat yang hebat juga terdapat isteri yang sangat merusak. Sehingga kita sekarang me­nge­tahui bagaimana posisi seorang isteri akan sangat berpengaruh bagi suaminya. Seperti Sarah yang selalu memberikan input, dan dukungan didalam Abraham menjalankan ide dan pe­layan­an­nya, dan ia tidak pernah menghalangi apa yang menjadi garis perjalanan dan tugas Abraham.

Keempat, di dalam menundukkan diri, seorang isteri harus memperlengkapi diri guna meng­imbangi suaminya (membangun companionship). Banyak orang yang berpendapat bahwa jika­lau isteri akhirnya hanya harus tunduk kepada suami, maka ia tidak perlu capek-capek ber­se­ko­lah atau memiliki suatu kemampuan. Hal seperti ini dapat muncul jikalau kita belum mengerti se­cara tepat akan ide submissiveness dan orang tersebut tidak mampu berpikir secara tajam. Ke­tika kita mengetahui bagaimana sang suami membuat suatu arah besar (global) maka disitu fung­si sang isteri untuk membangun dukungan-dukungan dengan mengisi pertimbangan-pertimbang­an yang cermat dibelakangnya. Sehingga kita dapat membayangkan betapa pentingnya seorang isteri mempunyai ketajaman pemikiran, kemampuan menganalisa dan kemampuan ketrampilan yang memadai bagi perjalanan suaminya. Sehingga makin suami di dalam posisi tinggi maka is­teri juga membutuhkan perimbangan yang cukup tinggi untuk menjalankan keseimbangan, men­jadi penolong yang sepadan (Ams 31).

Kelima, ide penundukan diri bukan ide kemunafikan. Khususnya saat ini, sepertinya ki­ta diajar untuk hidup secara multileveling sehingga akhirnya kepribadian kita menjadi pecah dan ki­­ta selalu harus mempositioningkan diri. Alkitab menekankan bahwa di dalam Christ Centered Sub­­missiveness, itu bukan sekedar penampilan diluar saja tetapi suatu penampilan atau tindakan yang secara natur muncul dari dalam diri kita. Jikalau itu hanya dibentuk dari aspek luar, itu akan men­­jadikan kita orang Kristen ahli taurat dan itu membuat kita akhirnya munafik. Ketaatan yang ber­­pusat kepada Kristus itu adalah ketaatan yang keluar sebagai suatu kerelaan hati dan ke­taat­an yang sungguh, sehingga didalamnya tidak ada kemunafikan dan kepura-puraan sama sekali. Ke­­tika Sara memanggil Abraham “tuan” maka itu menunjukkan bahwa tidak ada satu orangpun yang memaksanya untuk melakukannya dan kecenderungan hatinya untuk benar-benar mau men­­tuankan suaminya.

Selanjutnya ada tiga hal yang harus kita gumulkan supaya hal-hal diatas mampu kita ja­lankan: 1). Sadar mutlak bahwa konsep Alkitab berbeda mutlak dengan konsep dunia. Ada be­be­rapa teolog yang lebih liberal yang mengatakan bahwa surat I Ptr itu hanya mau menunjukkan satu arogansi Petrus yang begitu sombong mau menunjukkan kehebatannya. Kita harus sadar bah­wa konsep seperti ini memang berbeda dan tidak cocok dengan pandangan dunia kita sejak di jaman Alkitab. Seperti dalam kitab Efesus, kita melihat bahwa munculnya satu gejala su­pre­ma­si wanita dikarenakan yang menjadi dewi dan iman-iman di kuil Artemis adalah perempuan dan ke­rusakan moral serta permainan yang mengerikan dengan cara membalikkan natur pria-wanita.

2). Konsep firman Tuhan memberikan esensi yang paling akurat dan tetap tentang na­tur seorang wanita sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerimanya. Keika kita me­la­wan konsep ini berarti kita melawan natur kita sendiri dan merusak hidup kita. 3). Hal ini tidak da­pat terjadi dalam sekejap melainkan ada satu tuntutan pemerosesan se­u­mur hidup kita. Setiap ki­ta harus sadar bahwa kita bukan manusia sempurna dan setiap saat ha­­rus berproses, meng­ko­rek­si dan mengevaluasi diri, sehingga itu berarti ada tuntutan pe­ru­bah­an yang harus muncul di da­lam hidup kita. Dan kita hanya dapat menggarap hal ini dengan kekuatan Roh Kudus dan ber­san­dar mutlak pada Tuhan dan berjuang di dalam rencana Allah untuk mencapai apa yang Tuhan ingin­kan.

Biarlah Tuhan terus membentuk hidup kita dan melalui hal ini setiap kita boleh terus di­pro­ses oleh Tuhan, hari demi hari. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)