Ringkasan Khotbah : 10 Desember 2000

The Nature of A Man

Nats : Efesus 5:25-30

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Minggu lalu kita sudah mencoba melihat bagaimana natur wanita yang men­ja­di se­orang istri seturut dengan firman dan kehendak Tuhan, yaitu yang disebut dengan Christ-cen­tered sub­missiveness (satu penundukan diri yang berpusat kepada Kristus). Maka sekarang ki­ta akan me­lihat kasus ini disertai dengan satu keseimbangan, yaitu ketika dikatakan: “Hai isteri, tun­du­k­­­lah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,” maka dalam ay. 25 langsung dilanjutkan de­ngan, “Hai sua­­mi, ka­­sihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah me­nye­­­­­rahkan diriNya baginya.”

Ke­kris­ten­an sebenarnya ti­­dak memberikan opsi bagi pria untuk me­nin­­das wanita, na­mun ide tersebut muncul di dunia pa­gan (kafir) dan agama yang tingkat mo­rali­tas­­nya tidak men­ca­­pai standar yang Alkitab tuntut dan ingin­kan. Dan ketika standar ini tidak ter­ca­pai ma­ka terjadi sa­­­­tu tindakan yang tidak menghargai sesama manusia yang la­in, khu­­sus­nya per­be­­­­­da­an gender. Pria akibatnya tidak lagi menghargai wanita dan demikian pu­la se­ba­liknya, dan ak­­­­hirnya itu me­mung­kinkan seorang wanita di­­tin­das oleh pria. Alkitab me­mang mengajarkan su­pa­­­­ya wanita tun­duk kepada suaminya namun itu bukan berarti bahwa suami boleh menindas is­te­ri­­nya, sebab ke­ti­ka wanita tunduk ke­­pada suaminya maka pe­nun­­dukan isteri kepada sua­mi ter­se­but harus di­res­poni oleh sikap ke­dua yaitu bagaimana suami men­­cintai isterinya sebagaimana Kristus mengasihi je­­maat. Dengan demikian di dalam bagian ini  kita melihat bagaimana suami-is­teri yang boleh be­re­lasi dengan indah, ditata me­­­nurut satu konsep yang berbeda sama sekali dengan ide yang ada di tengah dunia. Seperti yang digambarkan di Efesus 5, seorang suami se­­jati ketika berelasi de­­ngan isterinya harus kembali kepada esensi the Christ-centered headship yaitu ke­kepalaan yang ber­pusat kepada Kristus. Sehingga bagaimana seorang suami berelasi de­ngan is­trinya, itu ha­rus meng­gambarkan relasi antara Kristus (sebagai kepala) de­ngan jemaat (se­ba­gai tu­buhnya), dan ia ha­rus memperlakukan isterinya seperti mem­­­perlakukan tubuhnya sen­diri. Ide kekepalaan yang ber­­pu­sat kepada Kristus tidaklah sama dengan kepemimpinan yang ber­pu­­­sat kepada Kristus, se­bab ke­pemimpinan akan menggambarkan satu garis otoritas/kedaulatan atas ke ba­wah. Suami ti­dak diidekan menjadi pemimpin di dalam relasi sua­mi-isteri (leadership/direktur ru­mah tangga), te­­tapi suami diidekan sebagai kepala daripada isterinya, sama se­perti yang sering di­sebutkan yai­tu kepala rumah tangga (headship).

Dunia modern sekarang mu­lai memunculkan satu konsep yang disebut sebagai satu ke­­pemimpinan yang manusiawi (Lea­­der­­ship yang hu­manistik). Is­ti­lah “leadership” itu sendiri se­be­­­nar­nya belum menuntaskan ide, karena ba­gai­­manapun di da­lam pemikirannya akan mengan­dung ide bahwa ia mempunyai otoritas, berdaulat, dsb; tetapi di dalam “headship” penekanannya ada­­lah satu pe­­ra­watan, perlindungan, pengarahan dan cinta kasih yang sesungguhnya. Jadi se­ba­­gai seorang ke­­pala rumah tangga seorang suami mempunyai tanggung-jawab menjadi kepala atas selu­­ruh tubuhnya. Dunia selalu mencoba memikirkan bagaimanakah seorang pria sejati itu; ba­­gai­ma­­na seorang pria itu seharusnya berlaku dan siapa yang berhak disebut sebagai pria sejati itu? Plato me­nga­takan bahwa manusia pria adalah orang yang ha­­­rus me­­ngerti de­ngan rasional, sa­ngat berkemampuan dan mengambil keputusan secara ra­sio­nal serta ukur­an kesuk­sesan­nya di­tentukan oleh rasionya. Hal seperti ini menjadi aneh karena se­­ca­ra du­nia faktual, pria dikenal se­bagai manusia yang memiliki rasio lebih, namun di dalam re­la­si suami-isteri as­pek rasional ti­dak pernah ditonjolkan menjadi satu inti natur pria sejati. Se­ring­kali rasio menjadi satu hal yang ter­lalu diagungkan dan seolah tidak ada tempat bagi pe­ra­sa­an dan emosi. Padahal Alkitab justru mengajarkan supaya kita mencintai dan mengasihi istri kita dan bu­kan secara rasional saja melainkan itu merupakan satu keutuhan mulai dari rasio, emosi, pe­ra­sa­­an, ke­hen­dak hingga tindakannya.

Di dalam ide yang sepertinya lebih tinggi lagi, dalam dunia timur (Con­fu­sio­nism) kita men­­dengar istilah “lie” (gentleman), yaitu manusia yang mempunyai cara hidup/tingkah laku yang di­­ang­gap aristokratis, agung, dan mulia dan mampu berelasi dengan baik di tengah masyarakat. Me­­reka berpikir bahwa manusia dapat menjadi munafik demi suatu relasi, oleh sebab itu mereka mem­­­­protek kelemahan teorinya dengan istilah “jen,” yaitu bagaimana mereka menjadi orang yang benar-benar tulus. Hal itu membuat mereka merasa telah suk­­ses menjadi pria, na­mun me­re­ka tidak sadar bahwa satu ketulusan dan jiwa kesetiaan sering­ka­­li tidak disertai de­ngan satu tun­tutan prinsip hidup yang tegas dan keras. Dan didalamnya juga ter­­dapat kelemahan yang fatal di­mana Tuhan tidak ada tem­pat dalam hidupnya. Bahkan ada se­orang filsuf yang me­nga­takan bah­wa konsep “lie” mengakibatkan kon­sep gentleman seorang pria di­tentukan oleh mas­­yarakat di­sekelilingnya dan akhirnya kita hidup untuk menyenangkan semua orang tetapi kita ke­hilangan prin­sip ba­gai­mana kembali pada Tuhan dengan prinsip kebenaran yang sejati.

Unsur ketiga, konsep gentleman menurut Hollywood. Pria sejati modern menurut kon­sep Hollywood adalah pria yang “macho,” yang keren, merokok, badannya ga­gah dan kekar se­perti yang banyak ditanamkan melalui film-film. Dan disini konsep pria men­ja­di sangat rendah ka­re­na ha­nya dilihat se­ba­tas aspek tubuh (jasmaniah saja), sehingga ti­dak he­ran kalau banyak wa­nita yang tidak mencari pria sejati melainkan mencari tukang pu­kul. Dan Hollywo­od mem­berikan dua war­na berbeda dalam dunia en­ter­taiment, disatu format ditampilkan pria yang macho, namun ka­­re­na efek feminisme juga masuk dalam du­nia entertaiment maka tipe pria men­­­­jadi feminim, be­ram­but panjang, baby face dan ka­lau perlu memakai anting-anting. Dan kon­sep pria sejati yang pa­­ling umum adalah mampu menyediakan uang yang banyak. Dunia kita ber­upa­­ya untuk me­na­nam­­kan konsep yang merusak natur kita dan akhirnya para pria men­jadi gila dan berjuang keras me­­menuhi apa yang diidekan oleh dunia dan tidak kembali kepada naturnya yang sejati.

Selanjutnya kita akan mencoba melihat beberapa hal yang menjadi esensi pria sejati da­­lam firman Tuhan: pertama, pria yang takut akan Tuhan dan menjadi kepala yang berpusatkan ke­­pada Kristus (Christ-centered headship). Ketika seorang pria tidak mem­pu­nyai takut akan Tuhan, itu memberi segala peluang bagi dosa dan itu berarti ia sudah masuk ke dalam esensi dosa yang sesungguhnya. Pria sejati ada­lah pria yang tahu siapa dirinya di ha­dap­an Tuhan, Allah­nya dan bagaimana dia me­re­pre­sen­tasikan Kristus di tengah masyarakat. Head­ship sejati ada­lah headship yang berpusat kepada Kristus dan sebuah keluarga yang sejati ada­lah keluar­ga yang dibangun oleh seorang kepala rumah tangga yang takut akan Kristus. Da­lam Korintus di­ka­ta­kan, kepala dari wanita adalah pria/suaminya, kepala dari pria adalah Kristus, dan kepala dari Kristus adalah Allah. Jadi ketika seorang pria ingin menjadi suami/kepala yang ba­ik, ia harus tahu bah­wa diatasnya masih ada kepala yang sejati yaitu Kristus. Itu alasan ketika seorang suami ti­dak takut kepada Allah dan hanya takut kepada manusia maka yang paling kasihan adalah is­teri­nya. Alkitab memandang pernikahan bukan sekedar antara suami-isteri melainkan pernikahan ter­sebut harus merepresentasikan hubungan Kristus dengan je­maat. Dengan kembali pada Christ-centered hidup kita mempunyai standar mutlak dan tidak ter­gan­tung oleh siapapun, ter­ma­suk diri kita maupun orang lain.

Kedua, pria yang sungguh-sungguh mencintai isterinya. Alkitab mengatakan bagai­ma­na se­orang suami mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat. Kata “mengasihi” disini tidak meng­­­gunakan “eros” (sekalipun suami-isteri) tetapi dalam aspek ini menggunakan bentuk “agape” yai­tu sa­­tu kasih yang unconditional. Ketika seorang suami mencintai isterinya, maka ia mencintai de­­ngan sesungguhnya, dengan satu sikap gentleman dan satu hati yang benar-benar mau me­mi­kir­­­kan yang terbaik bagi isterinya. Berarti seorang suami yang sejati ketika isterinya tunduk maka itu bukan kesempatan baginya untuk menindasnya melainkan bagaimana ia memikirkan yang ter­ba­ik yang bisa diberikan bagi isterinya. Bahkan seperti Kristus hingga rela menyerahkan nya­wa­Nya menjadi tebusan bagi jemaat. Suami bukan menunjukkan kekuatannya hanya untuk me­nye­­la­matkan diri tetapi untuk membela isteri dan anak-anaknya karena ia bertanggungjawab untuk me­­­­lakukan yang terbaik bagi isteri dan anak-anaknya. Dan itulah yang menjadikan ke­luar­ga itu akan indah sekali karena seorang isteri yang tunduk mutlak kepada suaminya tidak akan merasa bah­­­wa penundukan dirinya dimanipulasi melainkan ia akan merasa puas untuk tunduk kepada sua­minya. Itu sebab lebih ba­­ik kita mencari orang yang mencintai kita daripada yang kita cintai, ka­rena itu akan membuat kita be­la­­jar bagaimana mengerti seluruh relasi ini dengan baik.

Ketiga, pria itu menguduskan dan menyucikan isterinya sehingga ia nantinya da­pat meng­aktualisasikan dirinya sebagai seorang wanita sejati. Ef 5:26 mengatakan, “Untuk meng­gu­dus­­kannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman.” Pria yang sejati ketika ia benar-benar menjalankan dengan takut dan berpusat kepada Kristus, be­nar-be­­nar mencintai isterinya, maka ada efek ketiga yang menjadi esensi paling besar yaitu ia akan meng­­guduskannya (men-set-apart isterinya/memisah­kan ke­lu­ar), menyucikannya (me­murni­kan/membersihkan), dan memandikannya dengan air dan firman. Be­berapa penafsir mengkaitkan ini dengan budaya Yahudi/Yunani/ bahkan di pulau Jawa, bagaimana seorang isteri yang ke­ti­ka akan me­nikah  dimandikan dahulu. Itu meng­gam­barkan satu kemurniannya yang akan menjadi ba­­gian bersatu di dalam relasi eks­klu­sif dengan suaminya. Dan ketika dikuduskan seperti itu, pe­ngu­­dusan tersebut bukan dikerjakan oleh si is­teri melainkan isteri telah memasukkan diri dan pe­mi­sahan tersebut dikerjakan oleh suaminya. Dengan demikian, jikalau terjadi prob­lem ter­ha­dap is­te­ri­nya maka suami tetap memiliki andil didalamnya. Ketika isteri sudah me­nun­duk­kan diri dan me­­ma­sukkan diri kepada suaminya, maka keberadaan isteri ini berada di dalam sa­tu per­lin­dung­an, pe­­nyucian daripada suaminya. Ini menjadi panggilan yang luar biasa rumit di dalam kita me­ngerti ten­tang pria sejati.

Dalam bagian ini “firman” bukan berarti firman yang tertulis, tetapi se­olah men­ja­di satu ba­gian firman yang hidup, yang termanifestasi di dalam kehidupannya. Artinya: ke­hidupan is­teri­nya menjadi hidup yang benar-benar menggambarkan kehidupan di dalam Tuhan, di dalam firman Tuhan secara praktis. Ketika ia tunduk dan suaminya menguduskannya maka isterinya da­pat hidup takut akan Tuhan secara puas, menjalankan natur se­ba­gai wanita sejati dan benar-be­nar teresistensi secara mutlak. Maka peranan suami di dalam me­ngasihi isteri menjadi bagian yang terbesar supaya si isteri tidak merasa perlu untuk mencari se­suatu diluar lagi. Isteri yang be­nar-benar terpisahkan di da­lam relasi dengan suaminya, maka disitu ia merasa dipuaskan di da­lam seluruh ketotalitasan hidupnya. Isteri tidak akan pernah puas/betah dirumah sekalipun di­lim­pahi oleh banyak material, dipuaskan secara seksualitas, ataupun hal-hal lain. Seorang isteri yang baik, bahkan siapapun dia sekalipun sangat materialistik, di dalam hati nuraninya tidak akan meng­ingkari bahwa ia akan menikmati ke­puas­an tertinggi ketika suaminya mencintainya dengan sung­guh-sungguh. Oleh sebab itu pria yang sejati bukanlah pria yang tidak mempunyai perasaan dan tidak mampu tersenyum melainkan seorang pria yang mampu mengasihi istrinya. Dan  kriteria dasar seorang pria yang sukses adalah pria yang dapat menjadikan isterinya seorang wanita sejati dengan takut akan Tuhan. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)