Ringkasan Khotbah : 31 Desember 2000

Pergumulan Iman Abraham

Nats : Kej 12:10-20

Pengkhotbah : Ev. Thomy J. Matakupan

 

Mengapakah Abraham disebut sebagai bapa orang beriman? Jikalau kita perhatikan maka ada banyak hal yang Abraham lakukan yang justru menun­juk­kan bah­wa ia tidak beriman, dimana Kej 12 merupakan salah satunya. Tetapi Alkitab te­tap men­ye­­butnya sebagai bapa orang beriman. Abraham sama seperti kita yang juga me­miliki per­gumulan-pergumulan iman. Kej 12 ini merupakan langkah pertama Abra­ham sete­lah ia mendapatkan janji Allah. Abraham mendapatkan janji Tuhan di saat ia berusia 75 tahun dan janji itu baru digenapi setelah ia berusia 100 tahun lebih. Jangka waktu yang pan­jang ini memperlihat­kan bahwa Abraham memang patut diberi label sebagai bapa orang beriman, walaupun di dalam jangka waktu ini terda­pat banyak jatuh bangun di da­lam perjalanan imannya, termasuk ketika ia berdusta dua kali tentang status isterinya.

Apa yang kita pelajari pada hari ini merupakan pelajaran pertama bagi Abraham tentang bagaimana hi­dup di dalam pergumulan iman. Tuhan berkata bahwa Abraham akan diberkati dan selanjutnya ia men­di­ri­kan mezbah bagi Tuhan di antara Betel dan Ai. Setelah semuanya ini maka ia berangkat ke tanah Negeb. Ini merupakan suatu catatan yang penting sekali. Dikatakan bahwa setelah itu kelaparan timbul dan Abraham mengungsi ke Mesir. Bukankah ini merupakan hal yang wajar dilakukan oleh seorang kepala rumah tangga karena ia tidak mau keluarganya menjadi kelaparan? Karena ia tahu bahwa di Mesir pasti ada kelimpahan maka bukankah tidak salah jikalau ia kemudian pindah kesana?

Saya pikir Abraham tidak salah namun masalahnya tidak terletak pada hal ke­la­parannya. Masalahnya ada­lah di saat ia menyuruh Sarai untuk mengaku sebagai adik­­nya dan bukannya sebagai isterinya. Disini kita melihat bahwa alasan utamanya ada­lah karena ia takut kehilangan isterinya yang berarti ia akan pula kehi­lang­an ke­turun­an yang dijanjikan. Pergumulan iman Abraham mulai muncul disini. Abraham mulai me­­nga­lami fakta yang riil di depan dan kemudian mulai berkompromi dengan apa yang Tuhan tidak ingin­kan. Orang-orang yang melihat rombongan Abraham masuk berdecak ka­gum di saat melihat kecan­ti­kan Sarai. Punggawa-punggawa Firaun kemudian mela­por­kan kepada Firaun tentang kecantikan perempuan yang berusia 65 tahun ini dan Firaun langsung mengambil Sarai sebagai isterinya.

Ketika Firaun sudah memutuskan untuk mengambil Sarai maka Tuhan lang­sung campur tangan dan memporak-porandakan rencana Firaun. Tuhan tidak meng­ijin­kan Firaun mengambil Sarai walaupun ia berusaha setengah mati untuk mengambilnya. Akhirnya Tuhan menimpakan tulah yang hebat bagi Firaun. Semua ini seharusnya telah menjadi tanda bagi Abraham akan betapa ia tidak mempercayai Tuhan. Saya berpikir bahwa ke­ga­galan ini mungkin merupakan hal yang wajar karena ini merupakan langkah pertama Abraham di dalam memasuki pergumulan iman karena jikalau kita melihat latar be­la­kang Abraham maka ia tidaklah berasal dari keluarga yang telah percaya, tetapi dari keluarga yang menyembah berhala. Bahkan Alkitab mengatakan bahwa Terah ada­lah penyembah berhala. Dengan latar belakang keluarga semacam ini, tentulah pola iba­dah Abraham juga merupakan pola ibadah penyembahan berhala, hingga kemudian Tuhan menyatakan diri kepadanya. Tetapi Abraham ternyata tidak dapat begitu saja ber­­ubah. Apa yang Abraham lakukan tidak mencerminkan bahwa Abraham percaya ke­pa­da Allah yang berkata akan memberkati dia. Mungkin ia berpikir bahwa Allah ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disembah oleh Terah. Ini merupakan dinamika iman yang muncul, yang membuat Abraham berkali-kali membuat jalan pintas.

Allah campur tangan sehingga Firaun tidak sampai mengambil Sarai. Heran­nya, intervensi Tuhan tidak berhenti sampai disini. Alkitab mengatakan bahwa Abraham men­dapatkan hadiah kali kedua. Pertama kali Abraham mendapatkan hadiah di saat ia ma­suk ke Mesir dan Firaun yang mengingini isterinya memberi dia hadiah. Setelah Tuhan campur tangan Firaun sekali lagi memberikan hadiah kepada Abraham sambil meng­usirnya untuk meninggalkan Mesir. Abraham kemudian kembali ke tanah Negeb. Ini menun­jukkan bahwa tempat Abraham memang bukan di Mesir tetapi di tanah Negeb, yaitu di antara Betel dan Ai.

Hal apakah yang dapat kita pelajari dari semua ini:

Pertama: Waktu Tuhan berjanji maka Ia juga akan menyediakan sarananya agar janji itu dapat digenapi. Setelah janji diberikan maka akan ada sarana-sarana yang men­dukung sehingga orang dapat melihat pimpinan Tuhan dan penggenapan janji itu se­­makin hari semakin jelas. Masalahnya adalah kita tidak tahan melewati proses demi pro­­ses ini. Kita ingin tahu awal dan langsung kemudian akhirnya karena mengikuti pro­ses itu mele­lah­kan dan menjengkelkan. Seberapa jauh kita dapat melihat pimpinan Tuhan dalam hal yang sekecil mungkin. Jangan pernah berkata bahwa Tuhan tidak per­nah mem­be­ri­tahu kita. Amsal bahkan berkata bahwa: "Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di la­pangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya" (Ams 1:20).

Kedua: Waktu iman kita gagal maka ini menunjukkan salahnya konsep kita ten­tang Allah. Abraham pada saat itu masih berada di dalam masa peralihan dalam pe­nge­­nalan dia akan Allah sehingga pengalaman dia dengan Tuhan belumlah terlalu ba­nyak. Atau mungkin ada banyak distorsi-distorsi yang berasal dari konsep keperca­ya­an­nya yang lama. Oleh karena itu tidak heran jikalau di saat ada kelaparan atau di saat ia takut Sarai akan diambil maka ia menyingkirkan konsep Allah yang berkuasa dan meng­­­­gantikannya dengan konsep allah yang lain. Pada waktu Abraham masuk ke Mesir, Allahnya mendadak menjadi begitu kecil baginya. Saudara dan saya juga dapat men­jadikan Allah seolah-olah begitu kecil di dalam pikiran kita, meskipun di dalam faktanya hal itu jelas tidak benar. Ini merupakan langkah pertama kegagalan iman kita. Pada waktu Allah menggagalkan rencana Firaun yang pada waktu itu dianggap sebagai dewa, Allah menunjukkan kepada Abraham bahwa Ia adalah Allah yang berkuasa, yang tidak ada di dalam konsep pikiran Abraham.

Ketiga: Waktu Allah memberikan janji dan Ia memimpin kita masuk di dalam pro­ses maka Ia juga tidak pernah membawa kita masuk ke dalam suatu situasi tertentu yang membuat kita harus berdosa. Jikalau kita berkata bahwa kita telah masuk ke da­lam pengalaman iman tetapi itu justru mengharuskan kita untuk berdosa maka itu pas­ti­lah bukan kehendak Tuhan. Itu pastilah merupakan jalan pintas yang telah kita ambil di dalam pikiran kita. Di balik dusta Abraham kita melihat keegoisan bapa orang beriman yang karena perasa­an takutnya menjadikan Sarai sebagai bemper. Tuhan tidak ber­ke­nan akan dusta Abraham yang menunjukkan bahwa ia tidak percaya kepada Tuhan.

Keempat: Tidak ada jalan pintas. Pengalaman hidup beriman harus melewati proses dan langkah demi langkah. Semua jalan pintas pasti akan menjadikan orang ter­se­but matang sebelum waktunya, dan ini justru menunjukkan rapuhnya hidup iman itu sen­diri. Semua jalan pintas pasti akan mencapai kekecewaan. Biarlah kita mengijinkan Tuhan membawa kita ke dalam pengalaman-pengalaman iman. Salah satu tanda jalan pin­tas adalah fokus perhatian kita kepada iman dan bukannya kepada obyek iman! Yang memenuhi pikiran kita adalah berapa besar iman kita. Ini juga merupakan kesa­lah­an para murid di saat mereka meminta kepada Tuhan Yesus untuk menambah­kan iman mereka. Ini merupakan salah satu tanda jalan pintas. Fokus iman kita seharusnya ter­letak pada obyek iman yaitu Tuhan dan firmanNya. Ukuran besar kecilnya iman kita akan mengikuti seberapa intim kita bergaul dengan Tuhan. Kita seringkali ingin mem­pu­nyai iman yang besar tetapi kita seringkali tidak perduli dengan seberapa jauh kita telah mengenal Tuhan.

Pada waktu iman kita gagal bukan berarti Allah gagal. Dari kisah Abraham ki­ta melihat bagaimana campur tangan Allah yang menggenapi janjinya. Bahkan Allah ju­ga mengubah Abraham dan Sarai sehingga Abram berubah menjadi Abraham dan Sarai menjadi Sara. Dari Abraham kita melihat bahwa perjalanan iman kita merupakan sua­tu yang panjang dan merupakan suatu proses yang diwanai oleh jatuh bangun. Te­ta­­pi tidak berarti karena Abraham jatuh bangun maka kita juga boleh jatuh bangun. Pe­nga­­laman Abraham seharusnya menjadi contoh agar kita jangan sampai jatuh bangun se­perti dia. Kita dapat belajar dari kegagalan Abraham, mengapa dia gagal dan ke­mu­di­an menapak di atasnya.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)