Ringkasan Khotbah : 29 Maret 1998
Sebagai orang Kristen kita harus berproses dan bertumbuh baik secara fisik, mental maupun secara rohani. Secara rohani menurut Ef 1:15-23 ada enam elemen yang harus berproses dan bertumbuh di dalam hidup kita. Keenam elemen ini yaitu (1) iman kepada Kristus; (2) cinta kasih pada saudara seiman; (3) Roh hikmat; (4) Roh wahyu untuk mengenal Kristus; (5) pengharapan pada panggilan Kristus yang menjadi sasaran terakhir kehidupan kita; (6) kuasa kebangkitan Kristus yang menopang kita untuk melakukan perjalanan pertumbuhan. Keenam elemen ini tidak boleh satupun berhenti di dalam hidup setiap orang percaya.
Pada minggu yang lalu kita sudah membahas poin kedua. Berikut ini kita masuk pada poin ketiga yaitu Hikmat. Alkitab mengatakan Roh hikmat dan wahyu sebenarnya adalah Roh hikmat dan Roh wahyu. Hikmat yang dimaksud di sini berbeda dengan hikmat yang dimengerti oleh dunia ini. Untuk mengerti hikmat di sini kita harus kembali kepada pengertian yang Alkitab katakan.
Ditengah hidup yang begitu sulit dan rumit ini kita membutuhkan hikmat yang khusus untuk bisa menjalankan hidup kita dengan baik di dunia ini. Kekristenan mengajarkan satu prinsip yang tidak mudah. Itu sebabnya disatu pihak orang Kristen harus tulus seperti merpati namun dilain pihak pada saat yang sama kita harus cerdik seperti ular. Kita harus mempunyai ketajaman, kesungguhan, pengertian dan tidak mudah dipermainkan oleh dunia tetapi pada saat yang sama harus mempertahankan integritas hidup kita.
Dalam situasi seperti ini kita membutuhkan bijaksana. Untuk memiliki bijaksana seperti ini kuncinya adalah kita harus kembali kepada sumber bijaksana. Di sini kita akan menelusuri beberapa ayat mengenai bijaksana. Pertama, Ams 1-8, delapan pasal ini membicarakan hikmat yang sejati. Kita tidak akan membaca seluruhnya namun hanya mengambil beberapa ayat. Pertama, Ams 2:6 "Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA datang pegetahuan dan kepandaian." Ayat ini konsisten dengan Ef 1 yaitu sumber hikmat satu-satunya adalah Tuhan sendiri. Di dalam Ams 8:1, hikmat ini dipersonifikasikan sehingga banyak penafsir yang melihat ayat ini identik dengan Kristus. Kristus itulah bijaksana sejati sehingga hikmat di dalam Ams 1-8 dimengerti sebagai gambaran kita melihat Kristus sebagai hikmat, melihat Kristus sebagai bijaksana karena disitulah sumber bijaksana. Pemikiran ini tidak salah, memang di dalam Ams 1-8 ini hikmat dipersonifikasikan. Kata hikmat ini sendiri sebenarnya adalah kata sifat atau kata benda abstrak. Orang berhikmat dimengerti sebagai mempunyai sifat hikmat. Tetapi di dalam Ams 1:20 dikatakan, "Hikmat berseru nyaring dijalan-jalan, dilapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya." Di sini hikmat digambarkan seperti satu makhluk atau seperti orang yang berseru ditengah-tengah lapangan. Di sini dan banyak ayat lain menggambarkan hikmat seperti satu pribadi yang melakukan sesuatu. Jadi hikmat di sini dipersonifikasikan. Gagasan ini disatu pihak membuat kita mengerti secara tepat yaitu Allah menjadi sumber hikmat. Dengan kembali kepada Allah kita baru mendapatkan hikmat yang sejati. Namun ayat-ayat di dalam Amsal ini juga sekaligus memberikan kemungkinan terjadinya penyelewengan penafsiran hermeneutika.
Jadi prinsip pertama ini mengajarkan jika kita ingin bijaksana sejati maka kita tidak bisa mengandalkan otak kita maupun realita, karena problemnya adalah di dalam interpretasi realita. Realita adalah realita, pada saat realita masuk ke dalam diri kita realita ini mengalami satu tuntutan subyektif dari kita yang menjadi subyeknya. Maka pada saat yang sama kita sedang masuk bukan lagi pada realita obyektif melainkan kita sedang masuk ke dalam realita subyektif. Di sini kita membutuhkan kacamata tertentu untuk melihat realita. Kacamata yang tepat untuk melihat secara tepat. Untuk memilikinya baru bisa terjadi jika kita kembali memiliki hikmat Allah. Karena penafsiran yang tepat dan sejati harus muncul dari sumber hikmat. Ini kunci di dalam Ams 2:6, "Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA datang pengetahuan dan kepandaian." Dari sinilah kita mengerti bijaksana yang sejati. Setiap masalah harus ditelaah dari sudut pandang yang tepat dengan cara yang tepat. Setelah itu baru kita bisa mendapat konklusi yang tepat. Inilah yang namanya bijaksana. Bijaksana tidak sama dengan IQ, EQ dan WQ. Mungkin ada orang yang pintar luar biasa tetapi kalau orang tersebut bersifat close system, maksudnya orang tersebut tetap berkukuh pada kemampuan dan pandangan yang menurutnya paling benar. Orang tersebut tidak pernah tahu yang lain dan tidak pernah mau terima yang lain. Jika orang bodoh tidak tahu bahwa dia bodoh dia rasa dia paling pintar. Ini adalah bodohnya bodoh. Jika dia bodoh dia tahu bahwa dia bodoh berarti dia masih bisa diproses untuk lebih baik. Ini tidak berarti kita menjadi orang yang terlalu terbuka sehingga kita menjadi relativisme. Ditengah kedua ekstrim ini kita harus mengarahkan diri kepada sumber bijaksana. Dengan demikian kita bisa bersifat terbuka disatu pihak tetapi dilain pihak ditengah proses kita tidak mengalami kejatuhan ke dalam proses yang terlalu terbuka. Di sini Amsal mengatakan baliklah kepada Allah yang adalah sumber hikmat. Dialah yang akan memberikan kepada kita hikmat.
Kedua, kita akan melihat dari Ams 4:7 yang mengatakan, "Permulaan hikmat ialah perolehlah hikmat dan dengan segala yang engkau peroleh perolehlah pengertian." Ini adalah kalimat paradoks. Waktu saya meminta hikmat itu menandakan saya berhikmat, karena saya sadar bahwa saya kurang berhikmat sehingga saya membutuhkan hikmat. Tetapi pada waktu saya merasa sudah punya hikmat, saya tidak perlu hikmat maka saya sebenarnya tidak berhikmat. Ini merupakan suatu paradoks yang membuat kita berproses di dalam bijaksana. Orang bijaksana adalah orang yang mulai minta bijaksana. Itulah orang yang sudah punya bijaksana dan membutuhkan bijaksana supaya dia bisa berproses di dalam bijaksana. Jadi orang berhikmat seumur hidup akan menghadapi situasi paradoks. Situasi paradoks inilah yang membuat kita bisa bertumbuh. Ams 4:7 inilah kunci dari hikmat.
Ketiga, dalam Ams 8:1 berbicara tentang hikmat yang bersumber dari Allah. Allah adalah hikmat, demikian juga Kristus adalah hikmat. Ini merupakan gambaran yang luar biasa. Dalam Yoh 1 dikatakan hanya dengan hikmat Kristus alam semesta ini tercipta. Namun bijaksana di dalam Alkitab tidak hanya dimengerti sebagai bijaksana essensial di dalam diri Allah. Tetapi bijaksana juga harus dimengerti di dalam bijaksana turunan. Bijaksana yang diberikan kepada manusia sebagai agen bijaksana. Pada waktu Allah memberikan bijaksana ini tidak sama dengan Tuhan memberikan Kristus. Kristus adalah bijaksana itu sendiri, namun ketika Tuhan memberikan bijaksana itu adalah bijaksana turunan.
Di dalam bagian ini, Kristus menggunakan bentuk maskulin sedangkan bijaksana memakai bentuk feminim. Bijaksana di sini tidak identik dengan Allah. Bijaksana disini merupakan bijaksana turunan yang diberikan kepada manusia. Di dalam Yak 1:5, "Tetapi apabila diantara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah dia memintakannya kepada Allah, - yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit -, maka hal itu akan diberikannya kepadanya." Di sini kita melihat seperti apa yang diungkapkan dalam Efesus. Hikmat di sini bersumber pada diri Allah. Hikmat ini kemudian diturunkan kepada manusia menjadi agen hikmat.
Di sini Paulus berdoa dengan sungguh-sungguh minta kepada Bapa dari Tuhan Yesus yaitu Bapa yang mulia supaya dia memberikan Roh hikmat. Tujuannya agar kita bisa bertumbuh dalam hikmat. Jadi dalam Yak 1:5 ini, bijaksana di sini harus dimengerti sebagai bijaksana yang bersumber dari Allah tetapi bukan Allah. Hikmat perlu berproses dalam pertumbuhan iman kita. Menjadi orang Kristen harus bergumul aktif sehingga menjadi orang yang berhikmat dihadapan Tuhan. Dan hanya melalui proses seperti ini kita bisa memiliki ketajaman pengertian ditengah dunia yang makin lama makin sulit ini. Jika kita tidak memiliki bijaksana kita akan menjadi permainan jaman. Itu sebabnya kita membutuhkan hikmat yang sejati untuk mengantisipasi situasi ini. Kekristenan memiliki pandangan yang jauh lebih tinggi dari apa yang bisa kita lihat. Inilah yang diperlukan oleh dunia ini. Saya harap kita mempunyai pertumbuhan bijaksana yang menjadikan kita tidak hanya berhenti pada apa yang dunia mengerti. Mari kita meminta kepada Tuhan, bukan minta kekayaan, bukan minta kekuasaan, melainkan meminta bijaksana dari Tuhan agar kita dapat hidup dalam dunia ini untuk memuliakan Tuhan. Amin!
?(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)