Ringkasan Khotbah : 14 Juni 1998

Pergumulan Mengerti Realita

Nats : Habakuk 1:1-4

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

Berbagai peristiwa menakutkan terjadi di Jakarta beserta berbagai macam krisis nasional yang menyusulnya, membuat saya bertanya kepada Tuhan: Seperti apakah bangsa yang mengalami penghancuran moral selama 30 tahun ini? Kalau mayoritas sudah sangat rusak, benarlah yang dikatakan oleh Habakuk dalam nats ini dimana orang-orang benar pun dikepung oleh orang-orang fasik dan hukum tidak dapat berbicara lagi. Kalau kita melihat waktu itu, orang-orang Israel bukannya tidak mengenal hukum, bahkan pada saat itu, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya, orang Israel memiliki hukum taurat yang paling ketat. Tapi justru terjadi penganiayaan, mengapa? Karena orang fasik mengepung orang benar! Orang fasik seolah-olah berkata kepada Tuhan: "Kalau Engkau ada, mengapa tidak bertindak?" Saat itu rupanya Tuhan diam, sehingga hukum menjadi hancur & keadilan sudah lenyap. Itulah situasi Habakuk juga situasi kita saat ini. Habakuk hidup pada abad 6 SM sebelum hancurnya kerajaan Yehuda. Habakuk hidup pada zaman 3 raja terakhir yang fasik semua, dimana raja terakhir, Yoyakhin, raja boneka Babel di Yehuda, puncak dari semua kefasikan muncul seluruhnya. Pada saat itulah kita bisa melihat situasi mengerikan yang dihadapi Habakuk. Ketika itulah Habakuk mengeluarkan uneg-unegnya yang bisa kita lihat pada ayat-ayat yang kita baca.

Di dalam oracle yang pertama (1:1-4), Habakuk mempertanyakan situasi ini dengan teriakan yang manusiawi sekali. Lalu dalam ayat 5 dst, Tuhan menjawab Habakuk dengan jawaban yang mengerikan. "Kalau Saya memberitahu engkau cara penyelesaianKu, toh kamu tidak bisa mengerti dan sulit untuk percaya." Setelah kalimat itu dijelaskan, memang Habakuk sulit untuk mengerti, maka dia mulai bertanya dalam ayat 12 dst. kenapa Allah yang Mahasuci dan Mahaadil dapat berbuat seperti itu? Mungkin ini juga menjadi teriakan kita yang sulit untuk menerima realita. Setelah itu Tuhan berbicara mengenai inti dari surat Habakuk di ps 2. Sepanjang ps. ini Tuhan memberikan prinsip-prinsip penting, yaitu bagaimana sebagai orang Kristen, kita melihat realita dunia dan bagaimana hidup dalam dunia seperti ini. Dalam pasal 2 ini juga keluar kalimat yang menjadi center point dari ajaran Kristen yang dipegang habis oleh teologi Reformasi, yaitu ay 4: orang benar akan hidup oleh percayanya. (dikutip dalam Rm & Gal). Pada saat seperti itu orang-orang percaya hanya hidup oleh iman saja, sola fidei. Ini menjadi prinsip penting dalam hidup iman Kristen kita & prinsip ini pertama kali muncul dalam diri Habakuk. Setelah itu Tuhan membukakan konsep menghadapi kondisi realita dunia dimulai dengan kata celaka (2:6-20). Setelah Tuhan membuka semua prinsipNya, Habakuk berhenti bertanya & mulai mengerti realita, waktu itulah dia menutup kitab ini dengan satu doa di hadapan Tuhan (ps. 3) dan dengan komitmen yang luar biasa (ay. 16-19). Di sana dikatakan betapa ngerinya situasi seperti itu, tapi justru pada puncaknya, dia berkata: "Sekalipun pohon ara tidak berbunga…tidak ada lembu sapi dalam kandang...aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan". Kesimpulan ini tidak diambil secara membabi-buta tetapi keluar dari hasil pergumulannya mengerti prinsip Tuhan. Saya ingin iman Kristen kita tidak membabi-buta, kita harus mengerti realita dunia & juga berespon secara tepat. Saya tidak ingin kita menganggap seolah tidak ada masalah & harus pasrah tanpa harapan di dunia ini, tetapi bagaimana kita bersikap harus kembali pada firman & bukan semau kita sendiri.

Mari kita kembali pada Hab 1. Ketika saya melihat situasi saat ini, saya merasa tidak rela menerima dan mungkin akan bertanya seperti nabi Habakuk. Pada saat seperti ini, Habakuk melontarkan 2 pertanyaan yang saat ini juga menjadi pertanyaan kita. Yang pertama dalam ayat 2: Habakuk sudah 3 kali melihat pergantian penguasa & saat itu puncak keliaran sangat meningkat. Proses dimulai dari keadaan biasa sampai keadaan yang mengerikan. Jika keadaan masih sedikit tak beres, kita mungkin dapat menerimanya. Tetapi waktu intensitasnya meningkat dan bertahun-tahun, sampai begitu biadab, Habakuk tidak bisa tahan. Ketika itu kita sepertinya tidak tahan dan berusaha melakukan penghakiman berdasarkan keinginan kita & menuntut Tuhan harus bertindak sekarang. Dari seruan ini saya bisa merasakan suatu keadaan yang begitu putus asa, kecewa dan mengerikan. Apakah pertanyaan ini sangat manusiawi? Ya! Saya rasa setiap orang pasti mempertanyakan hal ini. Kita sebagai orang Kristen menginginkan segala hal berjalan dengan baik dan menuntut dengan konsep moralitas yang tinggi. Ketika kita berhadapan pada situasi ini, kita berkata: Tuhan, cepat-cepatlah bertindak! Kita tidak sadar hak kedaulatan Tuhan melampaui apa yang mesti kita kerjakan seolah-olah kita dapat bertindak melampaui apa yang Tuhan inginkan. Memang normal kalau kita ingin Tuhan segera bertindak, tetapi Tuhan bukanlah budak kita. Seperti yang dikatakan di ayat kelima, kalau Aku (Tuhan) bertindak nanti, kamu tidak mungkin mengerti apa yang Aku kerjakan & akan sulit percaya. Sekarang negeri ini dilanda oleh krisis yang serius & bila kita diperhadapkan pada situasi ini, kita dapat bertanya seperti Habakuk: "Kalau Engkau Allah yang hidup & ada, mengapa Engkau tidak bertindak & terus-menerus menunggu?" Mungkinkah kita juga berteriak: "Tuhan, berapa lama lagi?" Hari ini kita belajar bahwa waktu Tuhan adalah waktu Tuhan, waktu kita adalah waktu kita. Kalau kita mau bertindak, bergumullah dahulu dengan Tuhan, mengertilah kehendak Tuhan, sadarlah realitanya seperti apa, bagaimana Tuhan adalah Tuhan yang berkuasa atas realita. Jangan mendahului Tuhan karena akan terlalu parah nanti hasilnya. Saya harapkan kita belajar seperti Habakuk, yang kembali bergumul dengan Tuhan, yang tahu posisi kita siapa, bagaimana kita bertindak dan taat kepada pimpinan-Nya. Baru kira-kira sekitar 12 tahun kemudian, Habakuk melihat apa yang Tuhan kerjakan. Th 597 BC Tuhan baru menjatuhkan tanganNya atas bangsa Israel, dan Habakuk pun terkena akibatnya. Inilah yang menjadi kesiapan hati Habakuk pada saat-saat sebelumnya: "Aku akan tenang menyongsong datangnya hari kesusahan itu," Itulah sesuatu yang muncul sebagai kesimpulan Habakuk nantinya. Kita mungkin jengkel, panik tetapi sebagai anak-anak Tuhan, kita belajar meneduhkan diri, mengerti dan menyerahkan kedaulatan dalam tangan Tuhan, belajar mendengar & berjalan seperti yang Tuhan mau. Ini bukan berarti kita menjadi pasif, justru pada saat itulah Tuhan menuntut kita untuk proaktif, bukan aktif yang membabi-buta, tetapi aktif yang tunduk di bawah kedaulatan Allah.

Ini adalah bagian pertama. Setelah itu Habakuk melontarkan pertanyaan kedua di ay. 3 yang sangat manusiawi: "Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman?" Kalimat ini muncul dari konsep teologi yang salah yang selalu dipegang orang-orang Kristen: "Seharusnya sebagai anak Tuhan, saya tidak boleh mengalami kejahatan." Jangankan mengalami, melihatpun tidak layak. Tetapi tidak ada jaminan untuk hal ini, Habakuk harus mengerti siapa dia dan realita yang ada, Habakuk tahu bahwa dia adalah orang benar yang berada di tengah-tengah orang-orang fasik yang masih lebih gila dari binatang. Di tengah-tengah lingkungan seperti ini, kita ini seperti domba di tengah-tengah serigala yang siap menerkam. Saat ini, Habakuk tidak rela untuk menerima realita, kenapa dia harus melihat dan mengalami hal ini. Jangan mau ditipu oleh dunia kita, jangan pernah berpikir kalau dunia kita ini baik. Jangan berpikir kalau dunia kita ini akan semakin maju, justru kita sedang melorot menuju kehancuran moral yang luar biasa. Inilah dunia dan realita kita, kalau ada orang benar di dunia ini, mereka hanya minoritas di tengah kefasikan dunia. Wajarkah jika orang Kristen sakit, kecopetan, diperkosa atau dianiaya? Jawaban dari semua pertanyaan ini adalah ya. Kita telah mengerti realita kita, dan sekarang ada dua hal yang menjadi respons kita. Kita harus bersyukur kalau sampai hari ini Tuhan masih memberikan kesehatan, keamanan, pekerjaan dan makanan. Ingat! Tuhan masih memelihara oleh sebab itu bersyukurlah baik-baik. Respons yang kedua: hal ini menjadikan kita jauh lebih waspada di dalam menghadapi situasi, salah satu penyebab jatuhnya korban penganiayaan dan pemerkosaan di Jakarta adalah ketidaksiapan mereka. Ketidaksiapan juga oleh karena konsep teologis dan pengertian masyarakatnya berbalikan dari apa yang dikatakan oleh Alkitab. Pada saat seperti ini, Habakuk bertanya: "Tuhan kenapa saya harus melihat hal seperti ini?’Tuhan mungkin dapat bertanya kembali: "Mengapa tidak harus melihatnya?" Bukan saja melihat, tetapi mengalami! Nanti pada akhir pasal yang ketiga, Habakuk tahu dia bukan cuma melihat, tetapi juga mengalaminya. Saat itu dia mengatakan bahwa seluruh kehidupan sekalipun sudah hopeless, kalau seluruh hasil ladang sudah habis, hasil untuk makanan tidak ada, lembu sapi untuk makanan juga telah terhalau semua, pada saat seperti itu, kalau aku harus mengalaminya, kata Habakuk, aku akan siap bersorak-sorak di hadapan Tuhan. Tetapi sebelum sampai di kalimat terakhir ini, ada pergumulan berat yang dihadapi oleh Habakuk bersama dengan Tuhan. Saat ini kalau kitapun memiliki konsep yang salah akan realita, maka mungkin sekali kita tidak akan siap menghadapi situasi. Akhirnya kita mungkin berteriak sama seperti Habakuk: "Tuhan, mengapa aku harus mengalami ini?" Sampai hari ini banyak sekali orang Kristen, kalau berada dalam keadaan senang dan lancar, tidak pernah bersyukur kepada Tuhan, tetapi jika mengalami kecelakaan, kebangkrutan, mereka mengomel dengan tidak ada habisnya kepada Tuhan. Hal ini sangat manusiawi dan sangat dapat dimengerti, tetapi konsep yang salah perlu diubah. Salah besar kalau menganggap orang Kristen tidak mungkin mengalami apa-apa. Kalau demikian, reaksi apakah yang harus kita keluarkan? Pertama, setiap kita harus memikirkan bagaimana relasi kita di hadapan Tuhan. Kedua, Tuhan meminta kita untuk dapat menjadi alat Tuhan di tengah-tengah situasi seperti ini. Tidak ada cara lain kecuali Injil harus dinyatakan di tengah-tengah dunia. Ini adalah problematik moral & mental bangsa, kalau tidak ada peranan Kekristenan yang memberikan unsur kembalinya manusia kepada ajaran yang sejati, pertobatan, maka tidak ada penyelesaian yang dapat terjadi di dunia ini. Yang ketiga, punya kewaspadaan dan sikap strategis di dalam menghadapi dunia kita. Dengan demikian kita boleh disiapkan oleh Tuhan, ketika kita harus berhadapan dengan situasi sulit dalam hidup kita, kita dapat menjadi orang-orang Kristen yang menjadi berkat dan kekuatan bagi orang lain, yang menyadarkan mereka akan kondisi dari realita manusia yang berdosa, membawa mereka kembali kepada Injil Tuhan & menyadarkan akan perlunya Kristus sebagai Juru Selamat mereka. Kalau belum bertobat, tidak ada problematika moral yang dapat diselesaikan dalam dunia ini. Sehingga hanya dengan cara demikian seluruh problematika moral dapat dipulihkan.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)