Ringkasan Khotbah : 5 Juli 1998

Pergumulan dan Kemenangan

Nats : Habakuk 1:12-17

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

Minggu lalu kita sudah membicarakan pergumulan Habakuk. Habakuk mempertanyakan dua pertanyaan dasar, yaitu mengapa ia harus melihat semua ini dan sampai kapan ia akan melihatnya. Ketika Tuhan menjawab Habakuk, jawabanNya justru berbeda dari konsep yang disukai dan diharapkan oleh Habakuk. Habakuk tidak bisa percaya bahwa Tuhan bertindak dengan cara yang sama sekali asing dan tidak masuk akal.

Tuhan menggambarkan bagaimana orang Kasdim akan menghantam semua bangsa. Pada saat seperti ini Habakuk berkata bahwa ia sungguh tidak bisa mengerti dan dia melontarkan pergumulannya kepada Tuhan. Habakuk bertanya: "Bukankah Engkau, ya Tuhan dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus." Dengan kata lain, Habakuk mau mengatakan bahwa kalau Tuhan adalah Allahnya Habakuk dan Tuhan adalah Mahakudus, maka dia tidak akan mati. Dalam pengertian Habakuk, Tuhan adalah "AKU adalah AKU." Tuhan adalah Tuhan yang mengikat perjanjian dan yang berkuasa. Tuhan yang cukup pada dirinya sendiri, yang tidak bergantung pada siapapun, dan yang berdaulat. Oleh karena itu Habakuk sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak akan mati. Itu sebabnya Habakuk menjadi kaget mendengar jawaban Tuhan di ayat 5-11. Di dalam pikiran Habakuk, kalau Tuhan berdaulat maka Tuhan juga mempunyai kekuatan pemeliharaan. Pemeliharaan Tuhan ia identikkan dengan prinsip providensia, maksudnya kalau Tuhan yang berdaulat adalah Tuhan yang kuat dan saya berlindung pada Tuhan yang kuat ini, maka seharusnya Tuhan yang kuat itu menjaga saya tetapi ini bukan prinsip Tuhan, ini prinsip tukang pukul!

Disini Habakuk sudah mencapai satu prinsip relasi yang linear, satu konsep teologis yang berpendapat bahwa kalau ia percaya kepada Tuhan yang kuat, berdaulat dan Mahakudus, maka ia tidak akan mati. Tuhan seharusnya memelihara, seharusnya ia hidup aman, tidak akan terjadi apapun karena ia berlindung dibelakang gunung batu yang besar. Celakanya, Tuhan yang adalah gunung batu yang besar itu sekarang sudah menetapkan bangsa Kasdim untuk menghancurkan umat Israel. Konsep ini berada di luar pikiran Habakuk. Demikian juga kita seringkali menjadi rusak karena doktrin-doktrin yang salah, yang sudah ditanamkan secara tidak tepat dan berat sebelah. Apakah Tuhan kuat? Ya! Apakah Tuhan memelihara umatnya? Ya! Namun, bagaimana merelasikan Tuhan yang kuat dengan pemeliharaan Tuhan. Ini bukan hal yang sederhana! Disini Habakuk salah di dalam konsep teologi. Seharusnya Habakuk mengerti bahwa kalau Allah adalah Allah yang berdaulat dan Mahakudus, maka Ia bisa bertindak seperti apa yang Ia mau.

Ketika Habakuk mengatakan, "Tuhan, Engkau adalah Allahku," ia sudah mempersonifikasikan Allah menjadi tukang pukulnya. Kalimat ini sebenarnya indah karena disini ada satu hubungan personal antara pribadi Habakuk dengan Allah. Ada satu keintiman antara Habakuk dengan Allah. Tetapi keintiman ini menjadi salah jika kemudian diartikan bahwa Allahku itu menjadi Allah milikku yang harus aku atur dan harus memenuhi keinginanku. Disini Habakuk telah menjadi pusat dan telah menggeser Allah dalam hidupnya. Pertanyaannya seka-rang: Apakah yang dimaksud dengan pemeliharaan Allah? Bagaimana Allah menjalankan pemeliharaan-Nya? Jawabnya adalah Pemeliharaan Tuhan hanya berkait dengan bagaimana Tuhan ingin menggenapkan rencana-Nya yang berdaulat di dalam diri kita.

Kedua, di ayat 13 Habakuk mulai bergumul kembali. Belum selesai pertanyaan pertama, Habakuk sudah melempar kembali pertanyaan kedua. "Engkau tidak dapat memandang kelaliman." Ini pertanyaan teologis dari Habakuk. Habakuk mengerti, Allah adalah Allah yang Mahasuci yang tidak mungkin melihat kejahatan. Mata Tuhan terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Ia tidak mungkin melihat kelaliman. Ini pengakuan iman Habakuk. Namun, jika Allah adalah Allah yang Mahasuci, yang tidak mungkin melihat kejahatan, maka mengapa ketika ada bangsa yang begitu jahat, Ia diam saja? Apalagi bangsa tersebut sedang menghantam bangsa Israel yang tidak sejahat dia? Habakuk harus berhadapan dengan kondisi yang berbeda dengan konsep teologi yang ia pegang. Dalam tahap yang kedua ini, Habakuk masuk dalam pergumulan antara konsep teologi yang dia percaya dengan bagaimana itu direlasikan dengan fakta sejarah. Konsep teologi yang dipegang oleh Habakuk sudah tepat, tetapi ketika konsep ini diterapkan dalam perjalanan sejarah, maka terjadi gap yang Habakuk sulit mengerti.

Konsep kesucian Allah yang tidak memperkenankan adanya kejahatan itu benar. Berulang kali Alkitab mengatakan kesucian Allah, Allah memang tidak mungkin membiarkan kejahatan. Tetapi kalau pemahaman kita hanya berhenti sampai disini, maka kita akan berdiri diawang-awang dan kita tidak akan mengerti bagaimana konsep ini dijalankan dalam sejarah. Kesulitan inilah yang menjadi kesulitan Habakuk ketika dia mau merelasikan konsep teologi yang dia mengerti, dengan perjalanan sejarah yang bersifat linear di dalam dunia ini. Disini Habakuk telah melokalisasikan Allah yang kekal dalam proses perjalanan sejarah. Apakah Allah Mahasuci? Ya! Apakah Allah tidak bisa melihat kejahatan? Ya! Namun, apakah itu berarti Allah harus langsung membersihkan kejahatan? Tidak! Kita juga seringkali salah merelasikan kesucian Allah sehingga menjadi lebih kejam daripada Allah sendiri. Kita perlu mengerti, waktu pekerjaan Tuhan di dalam kekekalan ditetapkan dalam perjalanan sejarah, itu berarti Tuhan sedang menggenapkan keseluruhan sejarah di dalam proporsi yang Tuhan sudah rencanakan. Apa yang Tuhan tetapkan di dalam kekekalan tidak mungkin gagal. Tapi kapan hal itu digenapkan digenapkan dalam sejarah, bukan urusan kita. Tuhan memang adalah Tuhan yang Mahasuci. Tuhan memang tidak akan membiarkan kejahatan. Tuhan memang akan menindak dan menghancurkannya. Tapi bukan Habakuk yang menentukan waktunya. Itu waktu Tuhan!

Didalam kasus yang kedua ini Habakuk sudah mulai menuduh Tuhan dengan cara yang salah. Habakuk menuntut Tuhan bertindak berdasarkan apa yang ia mau. Disini Habakuk sudah menempatkan diri menjadi Tuhan. Puji Tuhan! Tuhan begitu sabar dengan Habakuk. Pada Hab 2:1 dst. diberi tahu prinsip dari Tuhan. Disini Habakuk baru mengerti apa yang Tuhan mau kerjakan dan bagaimana Ia akan mengerjakan. Bukan kita yang menjadi Tuhan. Bukan kita yang mengatur Tuhan. Karena kesalahan konsep ini Habakuk mengalami kesulitan untuk bisa mengerti apa yang Tuhan bisa kerjakan.

Ketiga, sampai ayat 14 dia mulai mengatakan, "Engkau menjadikan manusia seperti ikan di laut. Seperti binatang-binatang melata yang tidak ada pemerintahannya? Sekarang Habakuk sudah betul-betul mempersalahkan Tuhan. Bahkan Habakuk mengatakan Tuhan tidak berdaya. Habakuk sudah tidak mempunyai pengharapan. Pada titik dimana Habakuk sudah tidak berpengharapan, seolah-olah ia mau mengatakan: "Tuhan, kalau Engkau mau menghancurkan kami seperti ini, sebetulnya untuk apa kami harus menyembah Engkau. Kalau Engkau memang adalah Tuhan, mengapa dalam situasi seperti ini Engkau membiarkan kami menjadi korban, seperti binatang-binatang yang dipermainkan begitu rupa." Habakuk telah sampai di titik tiada pengharapan, titik dimana dia merasa Tuhan sudah tidak menolong sama sekali, sudah tidak bisa menjadi batu sandaran bagi dia. Dia merasa Tuhan sudah tidak bisa bertindak apa-apa lagi. Bukan itu saja, di ayat ke 17 Habakuk mau mengatakan bahwa Tuhanlah yang merestui perbuatan kejahatan mereka dan Tuhan berada dipihak mereka. Disini Habakuk sudah sampai dititik pergumulan yang paling bawah. Dia sudah sampai pada titik dimana imannya sudah goncang dan hampir kehilangan pegangan sama sekali.

Namun dalam titik seperti ini, Habakuk tidak mengambil jalan pintas. Justru Habakuk kemudian mengeluarkan kalimat di Hab 2 :1. Ayat ini menjadi titik balik dan menjadi kunci paling penting dalam pergumulannya, yang membuka dua sisi pergumulan Habakuk, yaitu titik kelemahan dan titik kemenangannya. Hab 2:1 menunjukkan apa yang menjadi kondisi dia saat dia hancur dan sekaligus bagaimana dia bisa keluar dan menang. Dan di saat itu dia mengatakan, "Aku mau berdiri ditempat pengintaianku dan berdiri tegak di di menara…"

Di ayat ini kita mulai mengerti apa sebetulnya esensi hakekat kehancuran Habakuk dalam imannya, yaitu mengapa Habakuk sampai harus jatuh ke dalam pergumulan di ps. 1. Jawabannya adalah karena dia sudah tenggelam dibawah realita. Ini merupakan kesalahan fatal Habakuk. Waktu Habakuk menghadapi masalah, ia justru tenggelam di dalam masalah itu, sehingga ia tidak mampu lagi menghadapi realita. Dia kalut dalam realita itu, dan akhirnya penuh dengan pertanyaan "mengapa?". Ia tidak lagi bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Inilah saat Habakuk kehilangan pegangan dan ini juga waktu yang paling berbahaya.

Tenggelamnya Habakuk mengharuskan dia keluar, mulai berdiri di atas dan melihat ke bawah. Mengerti realita sejati bukan dengan cara tenggelam di dalam realita melainkan dengan cara keluar, memandang realita dari sudut pandang Allah. Keunggulan dan kemenangan Habakuk adalah ketika dia keluar dari semua problematiknya dan mulai bertanya apa yang Tuhan akan firmankan dan apa jawaban-Nya. Pada saat Habakuk keluar dan melihat realita dari sudut pandang Tuhan, disinilah Tuhan membuka prinsip yang penting bagi Habakuk, yaitu bukan membangun konsep iman kita diatas pengalaman. Hab 2. mengajar bahwa sesungguhnya orang benar akan hidup oleh iman (ay 4). Kunci inilah yang menjadikan Habakuk mampu melihat semua realita dan menang. Disini Habakuk keluar dari pengalaman dan masuk ke dalam satu pandangan baru. Pandangan itu belum dia alami tetapi sudah menjadi kunci untuk mengerti pengalamannya. Sekarang Habakuk melihat bukan dengan pengalaman semu, melainkan melihat dari sudut Tuhan yang memberikan iman kepada dia. Sepanjang ps. 2, Habakuk mengerti bagaimana Tuhan sekarang akan bekerja. Pengertian ini akan menghasilkan komitmen di ps. 3, yang menjadi doa Habakuk. Doa komitmen dia panjatkan setelah mengerti realita secara tepat.

Saya berdoa agar jemaat mengerti kunci ini secara tepat dan berharap kiranya kita semua juga sampai kepada komitmen Habakuk.Amin!

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)