Ringkasan Khotbah : 19 Juli 1998

Hidup oleh Iman

Nats : Habakuk 2:4-5

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

Minggu lalu kita melihat prinsip dan keluarnya Habakuk dari sistem tertutup ke dalam sistem terbuka. Baru setelah ini Tuhan membuka satu konsep penting yang menjadi inti dari iman Kristen dan dasar daripada kehidupan kita. Inti ini pertama kali dibukakan di Hab 2:4, yaitu: "Orang yang benar akan hidup oleh karena percayanya."

Prinsip inilah yang kemudian juga digunakan oleh Paulus: "Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman" (Rm 1:17). "Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat adalah jelas, karena: ‘Orang yang benar akan hidup oleh iman" (Gal 3:11).

Ini menjadi titik tolak keluarnya Habakuk dari kesulitannya. Kalimat ini indah dimana Tuhan tidak mengatakan: "Orang itu akan hidup oleh percayanya." Tetapi Tuhan berkata "Orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya." Ini berarti di dalamnya ada persoalan yang harus dibuka lagi. Mengapa? Karena Tuhan tahu bahwa Habakuk bukan tidak mempunyai kepercayaan. Setiap orang tidak mungkin tidak mempunyai kepercayaan. Yang menjadi persoalan adalah kepercayaan macam apa yang kita punyai. Setiap kita harus mempunyai dasar kepercayaan. Tetapi, kepercayaan itu belum tentu kepercayaan orang benar. Jadi ada dua masalah: orang benar dan iman yang dipegang oleh orang benar.

1) Apakah orang hidup harus membangun basis iman? Rene Descartes mengatakan bahwa kita harus maju dan untuk maju kita harus meragukan segala sesuatu. Hanya dengan meragukan kita dapat belajar. Kalau kita sudah memastikan maka kita tidak dapat belajar. Hal ini memang benar, tetapi kalau segala sesuatu kita ragukan, maka itu sudah menjadi skeptik dan hal ini tidak pernah dipikirkan olehnya. Sekarang, jika semua sudah diragukan, maka bolehkah diri sendiri juga turut diragukan? Oleh karena itu Rene Descartes berkata bahwa karena kita meragukan, maka itu membuktikan bahwa kita tidak perlu diragukan. Kalau saya dapat meragukan, maka saya pasti ada, karena kalau saya tidak ada maka bagaimana saya dapat meragukan. Pertanyaannya sekarang adalah "Mengapa diri saya tidak dapat diragukan?" Ia tidak dapat menjawab pertanyaan ini karena ia sudah memutlakkan konsep bahwa yang meragukan pasti ada.

Saya tidak mau lebih jauh membicarakan rasionalisme, tetapi saya ingin menyatakan satu hal, yaitu bahkan Rene Descartes dan filsuf-filsuf atesis pun sadar bahwa untuk membangun suatu keputusan, harus ada dasar yang tidak dapat diganggu-gugat. Dasar ini tidak pernah dibuktikan tetapi langsung dianggap mutlak ada. Hanya saja karena kita tidak mau menggunakan istilah iman, maka kita menggunakan istilah yang setara dengan iman: paradigma (hipotesis), presaposisi (pra-asumsi) yang merupakan istilah lain daripada iman.

Jadi, kita melihat bahwa hidup kita sebenarnya berdasarkan iman. Namun, iman seperti ini bukanlah iman Kristen. Masalahnya: "Apakah kepercayaan yang kita pegang itu benar atau salah?" Sehingga kalau saudara mempercayai sesuatu maka kepercayaan saudara adalah kepercayaan yang masih mengandung tanda tanya, betulkah yang saudara percaya itu adalah kebenaran sejati. Oleh sebab itu Alkitab berkata "Kembali kepada kebenaran, firman itulah kebenaran." Hidupku adalah hidup oleh iman karena hidupku adalah saya kembali kepada Injil yang di dalamnya kebenaran Allah. Inilah prinsip Roma 1:16,17.

Oleh sebab itu Tuhan mengajar Habakuk bahwa orang benar hidup oleh iman. Orang benar harus kembali kepada Benar supaya ia dapat benar. Saya harus memakai istilah ini karena bahasa Indonesia tidak mempunyai suka kata untuk menyebutkannya. Disini saya menggunakan tiga kata ‘benar’, namun di dalamnya saya menggunakan dua kata ‘benar’ yang berbeda. Bahasa Yunani mengenal aletheia (Truth) dan dikaeiosune (Rightheousness). Righteousness berarti kebenaran yang harus dibuktikan dan diproses berdasarkan keadilan, sedangkan Truth berarti kebenaran hakiki karena berasal dari dirinya kebenaran yang bersifat mewahyukan kebenaran. Ketika kita berkata bahwa firman adalah kebenaran, maka kebenaran itu adalah kebenaran hakiki (Truth). Namun jika dikatakan "Orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya", maka yang dimaksudkan adalah righteousness, kebenaran yang harus diproses. Maka, ketika kita berkata "Saya orang benar" maka itu berarti saya righteous people, orang benar yang masih harus diuji kebenarannya.

Jadi, Apakah semua iman itu sama? Alkitab berkata tidak! Jika demikian, apakah yang dimaksudkan dengan iman yang sejati itu? Iman sejati adalah kembalinya iman kepada aletheia. Sebelum melangkah ke ayat 4, maka di ayat 3 Tuhan membuka bagaimana kita harus kembali dan percaya kepada firman, karena firman tidak pernah menipu. Inilah bedanya nubuat firman dengan ramalan orang-orang Kristen yang sok tahu. Saya heran sekali melihat begitu banyak orang yang sudah ditipu oleh berbagai macam nubuat, lalu nubuat itu tidak terjadi, tetapi orang yang menubuatkan masih dipercaya. Betapa bodohnya orang-orang semacam ini! Ramalan yang tidak terjadi itu membuktikan bahwa itu pasti dari setan. Kalau nubuat itu sungguh-sungguh dari firman, maka nubuat itu tidak mungkin batal dan tidak mungkin gagal, harus terjadi dan tidak mungkin salah.

Saya selalu mengajar agar kita jangan selalu bersandar kepada manusia. Saya menuntut setiap kita belajar firman. Tidak ada seorang pun berhak menjadi patokan kebenaran, tidak ada seorangpun yang lepas dari kesalahan. Setiap kita mempunyai cacat dan mungkin salah. Satu-satunya yang tidak mungkin salah adalah "Truth". Semua righteous bisa salah, karena righteous masih harus dibuktikan dan masih harus berjalan di dalam proses.

Maka Alkitab berkata bahwa iman harus kembali kepada Aletheia. Iman sejati adalah iman dari kebenaran dan harus kembali kepada kebenaran. Mari kita melihat 1 Tim 1:12-13 "Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku – aku yang tadinya seorang penghujat, seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan, yaitu di luar iman." Ini kalimat yang penting sekali! Apakah sebelum Paulus menjadi orang percaya, ia tidak mempunyai iman? Punya! Paulus adalah orang yang disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, suku Benyamin, orang Ibrani asli, orang Farisi, dan seorang penganiaya jemaat. (Flp 3:5-6). Tetapi Paulus melihat bahwa iman yang sejati adalah iman yang kembali kepada kebenaran. Tidak kembali pada kebenaran berarti tidak mengenal iman yang sejati dan berarti berada di luarnya iman. Banyak orang yang gagal untuk mengerti karena mereka mencoba untuk menyamakan yang tidak sama. Saya beberapa kali berbicara dengan orang yang berkata bahwa semua agama sama karena sama-sama mengajarkan kebaikan. Semua agama memang mau mencoba untuk mengajarkan kebaikan tetapi iman itu sendiri tidak sama. Janganlah kita menyamakan apa yang tidak sama. Orang yang benar kembali pada iman dan percaya yang sejati.

2) Masalah yang kedua adalah masalah kebenaran orang benar itu sendiri. Apakah Habakuk percaya kepada Allah? Ya! Tetapi mengapa hidupnya masih begitu penuh kebingungan? Karena orang benar ini belum hidup berdasarkan percayanya yang sejati, tetapi masih berdasarkan egoisnya sendiri. Ia beriman pada imannya sendiri dan yang ia percayai adalah dirinya sendiri. Pada hari ini banyak orang Kristen yang mungkin berformat sama seperti Habakuk, yaitu lebih percaya pada diri sendiri daripada percaya pada Kristus.

Di dalam gerakan dunia kita, banyak orang Kristen yang gagal untuk mengenal iman secara tepat dan Habakuk tidak terkecuali. Habakuk tidak dapat rela kalau Tuhan membangkitkan orang Kasdim untuk menghantam orang Israel. Saat itu ia ragu dan bertanya "Bukankah Engkau, ya Tuhan, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami." Sekarang giliran Tuhan bertanya, "Kalau engkau percaya kepada-Ku, mengapa engkau bertanya seperti itu dan bukankah seharusnya engkau taat mutlak kepadaKu?" Pergumulan Habakuk mengalami krisis karena terjadi pertentangan antara egoisme pribadi, keinginan manusia duniawi, dengan istilah beriman kepada Tuhan.

Berapa banyak orang Kristen yang hari ini hidupnya seperti ini? Percaya Tuhan? Percaya! Apakah di dalam bisnis juga percaya kepada Tuhan? Ia akan mulai ragu-ragu. Beriman hanya dianggap sebagai suatu slogan. Banyak orang Kristen yang mau percaya Tuhan sejauh Tuhan menolong. Kalau Tuhan menguntungkan saya, saya mau. Kalau Tuhan merugikan saya, saya tidak mau percaya. Saya bertanya-tanya, kalau Tuhan mengatur apa yang buruk bagi saya, bisakah kita menerimanya? Apakah artinya saya percaya kepada Tuhan? Apa artinya saya menggarap pekerjaan Tuhan? Apa artinya saya orang benar yang hidup oleh percaya saya bukan hidup berdasarkan percaya saya?

Di dalam pergumulan saya memilih di antara dua hal, ada pertanyaan yang saya ajukan pada diri saya sendiri. Mana yang lebih menguntungkan bagi kerajaan Tuhan? Nama Tuhan yang dipermuliakan atau keuntungan pribadi saya lebih besar? Ini pertanyaan yang harus kita pergumulkan. Sampai disini Habakuk sadar apa artinya hidup oleh iman. Dia akhirnya sanggup berkata: "Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah,…namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." (Hab 3:17-18). Ini merupakan konklusi surat Habakuk. Hidup oleh iman! Bukan teori oleh iman, namun merupakan satu kehidupan yang termanifestasi di dalam kenyataan. Banyak pergumulan yang tidak dapat kita selesaikan, karena sebenarnya kita tidak hidup berdasarkan iman. Kita penuh dengan pertanyaan, kekecewaan, kemarahan, karena Tuhan tidak bertindak seperti yang kita mau. Akibatnya kita tidak dapat hidup tenang lagi. Hidup oleh iman bukan ditafsirkan secara pasif. Bukan berarti kita tidak perlu berusaha apa-apa, tunggu Tuhan menyuruh apa. Itu berarti kita hidup seperti mekanik, yang baru jalan setelah Tuhan menekan tombol-tombol tertentu. Tuhan mengajar kita untuk berinisiatif, berjalan, tetapi berada di bawah kedaulatan dan pimpinan Tuhan. Itulah berarti hidup dan bukan mati. Kita hidup dan menjadi orang benar. Kita memproses rigteousness sampai kembali pada aletheia. Kembalinya saya kepada Firman, kebenaran mutlak itu. Itulah hidup oleh iman. Amin!

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)