Ringkasan Khotbah : 23 Agustus 1998

Komitmen Habakuk

Nats : Habakuk 3:17-19

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

Pada minggu sebelumnya kita mempelajari bagaimana Habakuk marah melihat situasi hidupnya. Kesalahan ini terjadi karena Habakuk salah menginterpretasi fakta. Menginterpretasi fakta merupakan masalah yang serius karena fakta adalah fakta tetapi melihat fakta itu berbeda dari fakta. Fakta adalah fakta tetapi antara saya dengan orang lain bisa terjadi dua kesimpulan yang berbeda ketika memandang dan mengerti fakta itu. Itu sebabnya fakta harus dilihat secara tepat hingga dapat menghasilkan kesimpulan yang tepat. Banyak manusia akhirnya hidup tidak siap menghadapi realita karena tidak mengerti hal ini dan salah satunya adalah Habakuk. Habakuk berhadapan dengan situasi yang mirip kita saat ini dan dia begitu marah melihat bangsanya yang hidup begitu fasik. Orang-orang benar ditekan habis supaya tunduk dibawah kefasikan mereka. Dalam situasi seperti ini Habakuk begitu emosi, karena menafsirkan realita dengan kaca matanya sendiri. Dia mengeluarkan pertanyaan ‘Mengapa’ berkali-kali kepada Tuhan karena dia tidak mengerti realita yang sedang terjadi.

Namun saat Habakuk berjalan dan melihat kebenaran firman Tuhan sebagaimana kita baca dalam Hab 3, dia justru mengeluarkan satu kalimat indah yang menjadi kalimat yang sulit dimengerti oleh manusia di dunia. Jika kita membaca Hab 3:17-19 dalam pola berpikir interpretasi dunia akan timbul keheranan luar biasa. Mengapa? Sebab bagaimana mungkin sekalipun pohon ara tidak berbunga, … dan tidak ada lembu sapi dalam kandang namun Habakuk berkata, "Aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkanku." Disini ada satu perubahan di dalam hidup Habakuk yang mengakibatkan juga perubahan dalam menafsirkan realita. Faktanya tidak berubah, apakah realitanya berubah? Tidak! Apakah penindasan yang sudah terjadi menjadi hilang? Sekalipun keadaan bertambah parah namun Habakuk memiliki reaksi yang berbeda sama sekali.

Gambaran ini digambarkan sebagai komitmen yang tidak bersyarat, komitmen yang mencapai titik dimana satu kondisi yang sangat eksistensial yaitu berdiri di dalam dirinya sendiri dan berelasi secara tepat dengan realita dan dengan Allah. Inilah juga yang seharusnya menjadi sasaran yang kita bisa capai dalam perjalanan hidup kita. Jika seseorang sudah sampai kepada komitmen seperti Habakuk maka hidup dia akan melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda.

Saudara, setelah Habakuk mencapai kesimpulan ini berakibat Pertama, Ia tidak pernah marah lagi meskipun keadaan boleh tetap buruk. Alkitab mengatakan Habakuk memulai ps 3 dengan doa menurut nada ratapan. Kalau sebelumnya Habakuk marah-marah sekarang justru Habakuk penuh belas kasihan. Ketika Habakuk melihat bahwa Tuhan akan menjatuhkan murka, dia sempat mensisipkan satu kalimat, "Tuhan dalam murkaMu ingatlah akan kasih sayang!"

Perubahan Habakuk terjadi karena perubahan cara melihat dan mengerti realita, ini yang membuat Habakuk memiliki jiwa besar dan menjadikan kita tidak hidup dalam ketegangan dan stress. Ini keuntungan yang pertama. Kedua, komitmen yang tanpa syarat membuat mata kita tidak ditipu oleh fenomena secara palsu. Orang yang bisa mengerti realita dunia secara tepat tidak mudah dikecoh oleh berbagai situasi dunia dan tidak mudah tertipu oleh penampilan luar melainkan dia akan menerobos melihat kebelakang realita. Ini penting karena kalau kita gagal mengerti apa yang ada dibelakang realita maka sebetulnya kita gagal mengantisipasi bahaya yang lebih besar yang timbul dibelakangnya. Kita berusaha menyelesaikan fenomena luar padahal bukan itu penyakit yang sesungguhnya.

Itu sebabnya kita perlu mengerti apa sebenarnya permasalahan yang ada dibelakang kita dan disini diperlukan hati dan pikiran yang tenang, tidak bereaksi secara emosional. Ini membuat kita jauh lebih mudah untuk mengantisipasi sesuatu. Namun untuk memiliki hati yang tenang tidak mudah kecuali berdasarkan satu pengertian yang tepat dari satu komitmen yang tidak berkondisi tetapi ini tidak berarti kita pasrah total. Masalahnya, bagaimana kita bisa melatih diri kita untuk sampai kepada komitmen seperti habakuk?

Saudara, pada jaman nabi Habakuk seluruh kehidupan bergantung pada agriculture seperti pohon ara, anggur, pohon zaitun, hasil ladang, kambing domba dan lembu sapi. Singkatnya pada jaman itu mereka hidup murni hanya dari tanaman dan dari hasil peternakan. Hab 3:17 sudah masuk dalam kondisi yang hopeless total tetapi dalam kondisi seperti ini Habakuk bisa berkata, "Aku akan beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." Kalimat ini merupakan komitmen yang tidak bersyarat.

Masalahnya, mengapa seseorang sulit untuk mencapai komitmen seperti ini? Saya melihat beberapa hal. Pertama, manusia masih dikuasai oleh egosentrik yang sangat besar. Disatu pihak manusia pikir dengan berorientsi pada dirinya dan pada kepentingannya itulah yang akan membuat dia selamat. Ini satu kesimpulan yang ditegakkan oleh para psikolog humanis yang membuat dunia ini justru celaka. Mereka mengajarkan self exsistence, menegakkan aktualisasi diri dan seluruh hak harus dicukupkan baru setelah semuanya itu manusia baru dapat hidup dengan baik. Saya berulang kali mengatakan kalau kesimpulan berpusat pada diri itu mencelakakan seluruh masyarakat. Satu-satunya manusia lepas dari semangat egosentrik seperti ini dengan cara kembali kepada kemutlakan sejati. Ini kuncinya! Habakuk mengerti konsep ini, ditengah situasi realita dia di dunia ini dia melihat ditengah kelompok yang masing-masing mementingkan kepentingannya sendiri merupakan realita dosa. Jika kita bisa menggugurkan kesayaan saya itulah jalan keluar terbaik untuk kita kembali kepada kebenaran mutlak. Ini hal pertama yang Habakuk sudah rela lepaskan.

Kedua, mata yang sering kali melihat fenomena lebih daripada keberadaan dan tindakan Allah. Seringkali kesulitan kita untuk kembali kepada komitmen yang tanpa syarat adalah karena kita masih punya mata. Kita ingin lepas dari situasi yang menjepit kita hanya kita sulit karena mata kita masih bisa melihat, kuping saya masih bisa mendengar dan ini membuat kita kadang-kadang terjebak. Saudara, komitmen Habakuk tidak akan menjadi komitmen kita sejauh mata kita masih melihat kebawah realita. Habakuk ketika dikunci oleh berbagai realita yang ada di depan dia hatinya begitu emosi dihadapan Tuhan. Dalam kondisi seperti ini Habakuk sulit sekali melihat apa yang Tuhan lihat. Ketika Habakuk mulai berhenti dan mulai berdiam untuk melihat apa yang Tuhan kerjakan pada saat itulah wawasan dia mulai berubah. Dengan segala realita yang dia lihat lalu dia mau tahu apa yang Tuhan kerjakan, itu membuat mata dia berubah arah melihat keatas. Dari sudut pandang Allah inilah Habakuk mulai melihat apa yang Tuhan kerjakan, bagaimana Tuhan akan menegakkan keadilan dan bagaimana semua kejahatan ini akan ditindak (Hab 2).

Setelah itu kita melihat bagaimana doa Habakuk berbeda sekali (Hab 3:2), Allah adalah Allah yang berdaulat atas alam yang melampaui ruang dan waktu. Di sini Habakuk sampai kepada komitmennya. Apa sifat komitmen yang Habakuk munculkan? Pertama, muncul komitmen Habakuk yang sungguh-sungguh bersandar mutlak kepada Tuhan, ini kunci pertama. Komitmen yang sejati adalah kesungguhan mau taat dan setia. Mata yang kembali, hanya melihat apa yang Tuhan inginkan. Dengan demikian komitmen kita tidak dikunci oleh apa yang terjadi di sekeliling kita dan tidak bergantung apa yang dunia mau, ini kunci pertama yang harus menjadi tekad kita.

Komitmen Habakuk adalah komitmen yang rela berkorban, rela menghadapi situasi sulit. Saudara, ketika Habakuk mengambil kesimpulan dalam Hab 3, apakah kemudian dengan demikian dia lolos daripada segala sesuatu? Tidak! Sejak Habakuk berteriak-teriak sampai akhirnya Zedekia jatuh, bukan hanya babel yang mempunyai waktu yang cukup panjang kira-kira 8 sampai 12 tahun. Dalam kondisi seperti ini Habakuk sadar jika dia mengambil komitmen dihadapan Tuhan itu komitmen yang tidak tergantung atau tidak terkondisi. Ini membuktikan bahwa orang Kristen pun tidak akan lolos dari penderitaan. Mengapa kita mengambil komitmen? Bukan karena saya tidak melihat masa depan tetapi justru karena saya sudah mendengar dan mengerti firman, ini yang menjadi dasar saya mengambil komitmen. Komitmen sejati bukan komitmen yang membabi buta berdasarkan egoisme atau bijaksana manusia melainkan didasarkan pada firman Tuhan. Semakin kita mengerti firman semakin komitmen yang kita ambil semakin tepat dan semakin cocok dengan kehendak Tuhan.

Kedua, komitmen harus diambil setelah kita mengerti firman dan ada semangat ketaatan untuk mau tunduk kepada firman. Satu-satunya jika kita mau betul-betul ikut Tuhan maka semangat ketaatan itu yang melatih kita mengambil komitmen. Ini kunci kedua agar kita bisa mengambil komitmen yang tepat.

Ketiga, bukan membabi buta tetapi melihat pada konsistensi perjalanan kehidupan dan sejarah (Hab 3:2). Dia tahu itu dalam kehidupan pribadi saya. Habakuk belajar dari sejarah hidupnya, ini penting karena banyak orang tidak belajar dari sejarah. Hegel mengatakan kita perlu belajar dari sejarah karena manusia tidak pernah mau belajar dari sejarah. Ingat setiap kita berjalan keluar dari jalur Tuhan, keluar dari kebenaran Tuhan berarti kita akan menghancurkan diri sendiri. Biarlah waktu kita mengambil keputusan kita tidak mengambil secara membabi buta melainkan karena kita belajar dari sejarah.

Lalu apa yang seharusnya menajdi kunci kita? Jawabannya adalah bertumbuh di dalam komitmen ketaatan kita. Pada waktu kita mengambil komitmen, itu satu pergumulan yang besar. Itu membuat kita bertumbuh di dalam iman. Proses pertumbuhan iman adalah melalui pergumulan maka Tuhan mengajar kita bergumul, berkomitmen, maju selangkah demi selangkah. Prinsip ini berlaku baik di dalam dunia sekuler maupun perjalanan kehidupan rohani kita.

Mari kita belajar bertumbuh seperti Habakuk. Pergumulan tidak salah. Tidak ada orang Kristen yang bertumbuh tanpa pergumulan jadi wajar kalau sebagai orang Kristen kita banyak pergumulan. Hanya masalahnya sesudah pergumulan ada kemajuan atau tidak! Saudara mari kita maju. Mari kita belajar di dalam kesulitan, kita justru belajar bukan menjadi orang Kristen yang pasif, pragmatis, marah, menyesali situasi tetapi justru kita bisa maju secara positif. Kiranya ini menjadi kekuatan bagi kita. Amin!

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)