Ringkasan Khotbah : 22 November 1998

Basis Persatuan yang Sejati

Nats : Efesus 2: 19-22

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

               Kita sudah membicarakan pergumulan orang-orang Yunani yang menjadi Kristen sulit bersatu dengan orang Kristen dari bangsa Yahudi. Bagi orang Yahudi bangsa non-Yahudi adalah bangsa kafir. Ini membuat orang non-Yahudi minder dan membuat persa­tu­an sulit tercapai. Semangat seperti ini dapat muncul setiap zaman. Hari ini banyak orang sulit menjadi Kristen karena batasan-batasan yang menjadi tembok, sehingga menyulitkan dia untuk menjadi orang kristen, misalnya Kristen di identikkan dengan batak. Itu sebab­nya, perlu kesatuan sejati dan ini sudah dibahas dalam Ef 2:11-22.

               Kita sudah membicarakan hal di atas sebagian demi sebagian. Pada saat ini kita memasuki bagian klimaks dari prinsip penyatuan. Apa dasar kita untuk membangun ke­kris­­ten­an sejati? Fondasinya dimana? Jawabnya adalah kembali kepada Alkitab. Jika se­tiap kita kembali kepada Alkitab dan tahu basis kekristenan untuk kesatuan maka kita lebih cepat bersatu. Mungkin kita bertanya, “Mengapa orang Kristen sendiri sulit ber­sa­tu?” Itu semua adalah karena dosa. Prinsip dosa adalah memecah belah dan jika ini terjadi itu berarti salah kita sendiri.

               Jadi agar persatuan sejati terjadi kita harus membangunnya di atas dasar yang benar. Dalam hal ini Alkitab mengatakan, “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluar­ga Allah.” Ini  filosofi utamanya. Di dalam ayat ini kesatuan terjadi, yaitu:

Pertama, kita satu warga kerajaan surga. Jadi siapapun kita? Bagaimanapun kita? Kapanpun kita dilahirkan? Dari suku atau bangsa apapun tidak menjadi masalah, karena ki­­ta sudah disatukan menjadi keluarga kerajaan surga. Implikasinya, jika kita sewarga di dalam kerajaan surga berarti Tuhan adalah Raja kita. Jadi kita harus men-Tuhankan Kristus dalam hidup kita. Jika kita semua tunduk kepada Kristus maka dengan sendirinya kita akan bersatu. Satu bukan karena kita menggalang kesatuan horizontal tetapi satu kare­na kita punya kepala yang satu yang menarik semua jadi satu. Format ini menjadikan kita tidak boleh ada Tuhan atau Raja lain kecuali Tuhan Allah sendiri. Jika hal ini sudah dise­le­wengkan dimana Tuhan sudah diganti posisinya maka bahaya akan terjadi. Dan jika kita gagal menjadi kawan sewarga dihadapan Tuhan, ini yang menjadikan kawan sewarga sulit bersatu.  Itu sebabnya di dalam I Petrus 3:15 mengatakan, “Tetapi kuduskanlah Kristus  di da­lam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi per­tanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.” Di dalam bagian ini mengatakan “Kuduskan Kristus di dalam hati kita sebagai Tuhan.” Jika ini ada di dalam hati kita, barulah kita bisa bersatu. Inilah yang membuat seluruh arah visi tidak menjadi konflik tetapi kembali kepada arah yang sejati. Dan ini baru bisa terjadi jika kita mau menyangkal diri kita dan mengatakan tidak kepada diri kita dan mengatakan ya kepada Tuhan. Konsep pertama ini menjadi dasar bagi bagian kedua.

               Kedua, kita satu keluarga Allah. Disini umat Tuhan digambarkan sebagai satu keluarga. Di dalam satu keluarga lebih mementingkan satu keintiman. Menggambarkan satu relasi yang penuh cinta kasih. Jadi di dalam poin yang kedua ini Paulus mau menga­ta­kan bukan saja membicarakan ketaatan kita kepada Allah tetapi bagaimana kita mengerti cinta kasih sesama. Mengerti bahwa saudara adalah saudaraku dan aku adalah saudaramu. Ini merupakan gambaran yang begitu penting yang menggambarkan satu relasi cinta kasih di dalam keluarga. Sayangnya di dalam jaman yang semakin berkembang menggambarkan relasi cinta kasih di dalam keluarga menjadi sulit, karena banyak hubungan di dalam ke­luarga tidak beres. Kasih bukan tali pengikat yang utama di dalam keluarga. Tidak heran jika mereka mendengar ayat yang mengatakan, “Kita perlu bersatu seperti satu keluarga.” Bagi mereka kalimat ini aneh sekali ditelinga. Ini membuktikan betapa perlunya keluarga kembali kepada firman Tuhan. Membangun keluarga di dalam kebenaran Tuhan. Ini yang membuat keluarga menjadi indah sehingga anak-anak melihat betapa indahnya memiliki keluarga yang indah. Keluarga indah bukan karena tidak pernah berselisih. Perselisihan pasti ada tetapi bagaimana cinta kasih lebih menguasai dibandingkan perselisihan yang ada. Bagaimana cinta kasih, perhatian, dan kerelaan berkorban ada di dalam keluarga.  Melalui gambaran keluarga ini Tuhan mau menggambarkan satu kesatuan yang sejati. Jika dunia sudah dipecah-pecah oleh kebencian satu sama lain bagaimana dia bisa melihat cinta kasih yang sejati. Jika ini terjadi di dalam keluarga Allah betapa rusaknya keluarga Allah. Saya berharap kiranya setiap kita boleh belajar bagaimana di dalam pelayanan dan kehidupan kita boleh mencerminkan satu keindahan keluarga. Dengan demikian kekris­ten­an dapat menjadi contoh bagi dunia. Saya harap gereja ini boleh Tuhan pimpin untuk kita sama-sama bisa saling mengasihi. Inilah gambaran persatuan yang Tuhan inginkan. Di satu pihak tahu otoritas. Tahu Tuhan menjadi pemimpin yang mempersatukan dan di lain pihak cinta kasih relasional ada ditengah-tengah keluarga Allah. Kita berelasi satu sama lain. Kita saling mengasihi satu dengan yang lain sebagai satu keluarga dimana Tuhan menjadi Bapa kita dan kita adalah anak-anakNya. Ini menjadikan kita terikat menjadi satu persau­da­raan yang indah satu sama lain. Persatuan sejati di antara anak Tuhan tentu ada perbe­da­an, yang penting bagaimana di dalam perbedaan tersebut kita bisa saling menghargai dan mengasihi sebagai satu keluarga. Perbedaan yang mempesatukan memungkinkan ter­jadi­nya keindahan kesatuan dalam satu keluarga.

               Sekarang kita perlu memikirkan basis penyatuan yang Tuhan inginkan terjadi. Format mutlaknya seperti apa? Alkitab mengatakan basisnya adalah di atas dasar para rasul dan para nabi dengan Kristus sebagai Batu Penjuru. Urutan disini bukan para nabi le­bih dahulu melainkan para rasul. Tetapi Alkitab mencatat para rasul lebih dahulu baru pa­ra nabi dengan Kristus sebagai dasarnya. Kenapa para rasul diletakkan lebih dahulu bukan para nabi? Di dalam ayat ini ada signifikansi teologis yang sangat penting. Basisnya adalah Kristus. Di atas diri Kristus dibangun para rasul dan para nabi. Secara kronologis nabi ada lebih dahulu sesudah itu baru rasul, tetapi secara prinsip teologis rasul menginterpretasi nabi. Setelah nabi selesai tugasnya maka rasul berbicara. Rasul dipakai untuk menuliskan Perjanjian Baru sedangkan nabi dipakai untuk menuliskan Perjanjian Lama namun basis utama bukan di nabi melainkan di interpretasi PB terhadap PL. Demikian pula ketika Kristus datang, Dia menginterpretasi apa yang diungkapkan di dalam PL dan mensahkan apa yang nanti ditegaskan di PB. Di dalam PL seluruhnya menunjuk kepada Kristus. Kristus­­lah titik pusat yang dituju semua nabi PL. Jadi di dalam PL yang menjadi patokan dasarnya adalah Kristus. Di dalam PL merupakan bayang-bayang yang menuju kepada satu realita sejati. Jadi di dalam PL membayangkan Kristus yang akan datang (Mis: Kej 3:15). Ini nubuat! Nubuat tidak jelas, kecuali nubuat tersebut telah digenapi di dalam PB. Waktu di buka secara jelas itu berarti sejarah sudah lampau. Jadi prinsip yang penting disini bukan nabi menjelaskan rasul tapi rasul menjelaskan nabi. Bukan PL menjelaskan PB tetapi PB menjelaskan PL. itu sebabnya mengapa Paulus menulis “Rasul lebih dahulu kemudian nabi.” Untuk mengerti Yesus sebagai batu penjuru kita harus melihatnya mulai dari rasul menuju ke nabi. Apa yang diungkapkan oleh para rasul di dalam PB di konfir­ma­si­kan oleh nubuatan para nabi. Ini yang menjadi dasar mengapa kita mengatakan iman kristen jauh lebih solid daripada pengertian iman Yudaisme yang memegang PL tetapi menolak PB. Banyak orang yang tidak bertanggungjawab lebih menekankan PL dari PB.

               Bagaimana kita bersatu? Untuk membangun kesatuan, Alkitab mengatakan ba­sis­­­nya diatas fondasi Kristus dengan Firman di atasNya. Persatuan sejati terjadi ketika kita sama-sama men-Tuhankan Kristus dengan basisnya Firman Tuhan dimana PB melihat PL. Ini tidak berarti ketika kita menggarap firman maka kita bisa cocok tanpa adanya perbeda­an. Perbedaan pasti ada tetapi jika kita sama-sama mau kembali kepada Firman, mau bela­jar taat kepada Firman saya yakin persatuan sejati bisa terjadi. Bukan ego kita, bukan pan­dangan kita, bukan keinginan kita melainkan kehendak Tuhan.

               Lalu, tugas siapakah untuk membangun kesatuan sejati ini? Kita sebenarnya tahu bahwa ini bukan hanya tugas pendeta atau hamba Tuhan. Tetapi masalahnya kita malas mempelajari firman Tuhan dengan baik, akibatnya jemaat begitu lemah karena jemaat tidak pernah belajar, tidak mau mengerti kebenaran. Tidak heran kalau jemaat begitu mudah ditipu karena tidak belajar kritis. Saya ingin setiap jemaat boleh belajar kritis, mem­pertanyakan segala sesuatu secara kritis. Semangat kritis ini tidak mungkin terjadi kecuali kita kembali ke Alkitab, mempelajari Alkitab. Mari kita kembali kepada Firman, jika kita kembali kepada Firman kita tahu apa yang kita harus kerjakan, tahu bagaimana menilai jaman, dan kita bisa bersatu dengan setiap orang Kristen dan bersepakat di dalam banyak hal. Tetapi jika kita tidak kembali kepada Firman, kita sulit untuk sepakat dan perpecahan mudah sekali terjadi. Saya ingin ada orang yang betul-betul basis kepada teologi yang kokoh lalu secara tajam menilai semua yang terjadi dari perspektif firman Tuhan. Saya minta, mari kita mulai belajar sungguh-sungguh bergumul baik-baik agar Tuhan pakai kita. Mau saudara? Amin!?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)