Dalam Efesus pasal empat ini Paulus mengajak kita untuk memikirkan bagaimana kita sebagai orang yang sudah dipanggil menjadi orang yang dipanggil di dalam kekekalan kita harus berproses setara dan menuju kepada kesepadanan dengan panggilan tersebut. Berkenaan dengan hal ini maka Paulus pertama-tama masuk ke dalam essensial karakter yaitu sifat dasar utama yang harus dikerjakan atau digarap untuk mendasari kemungkinan yang lain. Ini program utama bagaimana seseorang dapat diubah dan diproses menjadi seperti yang Tuhan mau.
Pertama, wadah harus disiapkan lebih dahulu. Jika hal ini belum dipersiapkan jangan harap kita pernah berpikir bisa berproses karena wadah dan kemungkinan prosesnya sudah ditutup terlebih dahulu. Disinilah kesulitan yang terbesar ketika kita mau memproses kehidupan kita. Mengapa? Karena kita tidak siap untuk diproses. Di dalam Efesus pasal empat ini Paulus setelah membicarakan tentang prinsip kehidupan konsep berjemaat lalu langsung masuk ke dalam konsep manusia baru yaitu bagaimana saya diproses menjadi manusia baru yang dibentuk sesuai dengan yang Tuhan mau. Sehubungan dengan hal ini ada hal yang harus dikerjakan.
Persiapan ini harus dimulai dari diri kita dimana Alkitab mengajarkan 3 (tiga) hal yaitu pertama rendah hati; kedua lemah lembut dan ketiga sabar. Tiga karakter ini menjadi tiga karakter dasar yang memungkinkan seseorang diproses. Jika ketiga hal ini tidak bisa disiapkan atau tidak berproses maka tidak mungkin terjadi proses apapun dalam hidup kita. Orang yang sombong tidak dapat diubah dan dibentuk, karena orang yang sombong akan mengukuhkan apa yang dia anggap benar dan dia tidak mudah mau mendengar apapun dari luar. Demikian pula orang yang tidak mau menjadi lemah lembut dia akan selalu memandang diri sebagai sesuatu dasar yang harus membuat orang lain ikut dia, bukan dia yang mau mengerti orang lain dan tidak rela untuk melihat orang lain menjadi lebih baik. Dia seperti orang yang sudah mati sehingga tidak mungkin terjadinya penggarapan di dalam hidupnya.
Tiga konsep ini pertama-tama harus disiapkan supaya kita bisa berproses di dalam konsep paradoks seperti di dalam Ef 4:1. Untuk ini dibutuhkan waktu, kerelaan, dan kepekaan yang harus menjadi wadah kita diproses terus-menerus kesana. Jika ini tidak bisa maka tidak mungkin atau sulit proses ini terjadi. Itu sebabnya sebelum Paulus membicarakan bagaimana proses hidup kita dibentuk maka tiga karakter dasar di atas perlu dibereskan terlebih dahulu. Tiga sifat dasar manusia ini menjadi sifat dasar yang sangat sulit dibentuk karena sangat kontras dengan keinginan dan tuntutan dunia yang berdosa secara menyeluruh. Ini berarti jika seseorang mau dibentuk dalam tiga sifat dasar ini maka dia harus berlawanan total dengan kondisi ini. Tiga karakter dasar ini berada di bawah satu basis karakter utama yang menjadi karakter inti daripada kekristenan yaitu hendaklah semuanya itu diproses di dalam kasih. Jadi karakter rendah hati, lemah lembut dan sabar semuanya ini diproses di dalam satu karakter utama yaitu hendaklah kamu saling menopang di dalam kasih. Kasih ini adalah kasih agape. Kasih seperti ini tidak mungkin terjadi pada orang-orang yang bukan Kristen kecuali di dalam diri anak-anak Tuhan yang pernah merasakan cinta kasih agape. Kasih agape bukan kasih yang bisa dibentuk dan dididik pada manusia. Kasih agape adalah kasih yang muncul karena bibitnya ditanam oleh Tuhan sendiri sehingga kalau kita tidak di dalam Tuhan. Itu sebabnya jika Kristus ada di dalam kita dan kita di dalam Kristus maka Tuhan mengatakan seharusnya kasih itu muncul di dalam kamu.
Saya tertarik dengan ayat di dalam Yoh 13:31-35 ini, karena ayat-ayat ini merupakan bagian pengajaran Kristus yang bersifat eksklusif yaitu hanya ditujukan kepada sebelas muridNya. Yoh 13:31 dimulai dengan satu kalimat pendek tetapi sangat signifikan. Kalimat itu adalah "Sesudah Yudas pergi." Tuhan Yesus memiliki dua belas murid, tapi satu palsu yaitu Yudas. Yudas adalah yang palsu diantara yang kelihatan asli. Setelah Yudas pergi maka barulah Tuhan Yesus mengajar sampai pasal 16. Di ayat 31 setelah Yudas pergi mulailah Tuhan Yesus berkata, "Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia." Selagi ada Yudas sulit bagi Anak Manusia dipermuliakan karena selalu terjadi perbedaan kepentingan. Ini memberikan pelajaran yang begitu serius buat kita. Begitu juga dengan kita, kita tidak mungkin mempermuliakan Kristus sementara kita masih hidup di dalam semangat humanisme, materialis dan hedonisme. Itu sebabnya jika karakter dasar ini belum dibereskan sulit bagi kita untuk mempermuliakan Allah.
Kemudian pada ayat-ayat berikutnya Tuhan Yesus memberi perintah kepada murid-muridNya agar mereka saling mengasihi (ay 34-35). Pada saat Kristus mengasihi dan mereka saling mengasihi pada saat seperti itu semua orang akan tahu bahwa mereka adalah murid-murid Kristus. Kasih disini adalah kasih agape. Disini karakter yang menjadi basis adalah cinta kasih agape. Jika kita gagal dalam hal ini maka jangan harap kita bisa membangun semua karakteristik, semua sifat-sifat Kristen yang lainnya yang nantinya menjadi bangunan iman kita dan juga membangun konsep praktika kita. Ini baru bisa terjadi jika sifat dasarnya benar. Yang sangat berbahaya justru fondasi yang paling penting yang juga paling mahal ini namun tidak terlihat di depan mata apabila rapuh maka seluruh bangunan diatasnya walaupun kelihatan begitu bagus, begitu indah maka tidak akan berlangsung lama, suatu kali nanti akan hancur.
Sekarang masalahnya, bagaimana kita bisa mengasihi seseorang? Alkitab di dalam bagian ini membuka satu relasi yang tidak pernah dipikir oleh manusia di dunia. Jika saya mengasihi, saya harus mempermuliakan Bapa yang di surga. Berapa banyak relasi seperti ini muncul di dalam hidup kita di dunia. Dunia tidak bisa merelasikan bagaimana ketika kita mencintai berdampak Bapa kita di surga dipermuliakan. Disini kita tidak berorientasi kepada pelaku kasih tetapi berorientasi kepada Tuhan pemberi kasih. Ini menjadi basis pertama. Mari kita mengevaluasi jika kita mengasihi betulkah saya mengasihi seperti yang Tuhan minta dan akhirnya seluruhnya kembali kepada kemuliaan Allah.
Kedua, penyangkalan diri. Disini kita berani berkata tidak kepada diri kita supaya nama Tuhan dipermuliakan. Ini menjadi basis kita menjalankan cinta kasih. Ketiga, setelah saya mempermuliakan Allah dan meniadakan diri maka yang ketiga adalah saling mengasihi. Disini mata kita bukan hanya melihat kepada diri sendiri melainkan melihat ke depan. Mulai melihat kepada orang lain. Jika kita hanya melihat kepada diri, kita tidak mungkin melihat kepada orang lain. Kepekaan kita kepada orang lain menjadi satu hal yang sulit kita kerjakan karena kita hidup di tengah-tengah dunia yang materialistik, hedonistik dan pragmatik dan semangat ini juga masuk di tengah-tengah kekristenan. Tidak heran kalau termasuk orang Kristen, seluruh orientasi pikiran kita cuma di dalam satu pribadi yaitu diri sendiri.
Di tengah-tengah situasi seperti ini, gereja harus memberikan perimbangan bagaimana anak-anak Tuhan saling mengasihi satu sama lain dan saling menopang satu sama lain. Ini baru bisa terjadi jika di dalam hidup kita cinta kasih Tuhan menjadi basisnya sehingga kita mau terus berkembang dan nama Tuhan dipermuliakan. Hal ini mendorong kita untuk semakin hari diri kita semakin dihilangkan atau ditiadakan. Dan yang terakhir kita baru dapat saling mengasihi satu dengan yang lain.
Biarlah ketiga hal ini menjadi kunci kita boleh menerapkan cinta kasih Tuhan secara Alkitabiah. Sehingga di tengah-tengah dunia kita kita bisa mempermuliakan Bapa di surga, dan diri kita ditiadakan serta kepekaan kita terhadap orang lain dibangkitkan. Dengan demikian cinta kasih yang Tuhan inginkan dapat digarap di dalam hidup kita dan melalui hidup kita. Jika ini terjadi maka saya rasa tidak terlalu sulit untuk menjalankan tiga sifat yang dituntut di atasnya yaitu bagaimana kita bisa rendah hati, lemah lembut dan sabar di dalam meninjau segala sesuatu dan mengharapkan segala sesuatu. Mau saudara? Amin!?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)