Ringkasan Khotbah : 9 Mei 1999
Kekristenan yang Dangkal
Nats : Matius 7:21-27
Pengkhotbah : Ev. Rusdi Tanuwidjaya

Terdapat satu ilustrasi dimana suatu ketika ada seorang yang ingin membuat kapal yang terlihat demikian besar, megah dan agung sehingga orang yang melihat akan kagum dan memujinya. Dia berani membayar harga dengan kayu jati yang terbaik, dengan kain yang indah dibuatnya layarnya disertai dengan tali-tali yang kuat untuk layar tersebut dan akhirnya terwujudlah kapal tersebut. Pada suatu saat, bersama-sama dengan beberapa kapal yang lain, mereka akan berlayar menuju ke suatu tempat. Ketika berlabuh di pelabuhan, banyak orang yang hadir disana memandang kapalnya dan kagum karena kapal itu terlihat begitu indah dan megah. Singkat cerita, ketika kapal-kapal itu mulai berlayar, di suatu tempat mendadak ada badai yang mengamuk dan menerpa semua kapal-kapal itu. Karena tidak kuat akhirnya semua kapal kembali ke tempat semula, kecuali kapal milik laki-laki itu. Karena kapal itu telah porak poranda di terjang badai sementara nakhodanya tewas. Banyak orang bertanya-tanya, apa yang salah? Ternyata, walaupun dengan biaya yang sangat mahal, ia membangun bagian kapal yang terlihat oleh mata dan ia mengabaikan dasar kapal yang tidak terlihat. Karena dasar kapal itu tidak kokoh, begitu terhantam oleh badai, kapal itu hancur porak poranda.

Gereja itu seumpama perahu. Masalahnya adalah perahu macam apa? Apakah gereja itu terlihat maju hanya oleh karena banyak aktivitas yang bisa dilihat oleh mata banyak jemaat yang datang, uang persembahannya banyak, banyak anak muda yang melayani dengan setia dan karena banyak orang yang belajar teologia? Inikah gereja yang maju dan berkualitas itu? Memang, gereja Reformed tidak didirikan berdasarkan jumlah, tetapi didirikan berdasarkan kualitas. Tetapi kualitas itu kualitas seperti apa? Jumlah yang banyak seharusnya merupakan bukti dari kualitas yang baik. Aktivitas pelayanan seharusnya merupakan akibat dari orang yang cinta Tuhan dan ingin mendukung pekerjaan Tuhan secara bertanggung jawab tetapi realitanya sering tidak demikian. Banyak aktivitas pelayanan yang hanya sekedar tingkah laku agama dan bukannya masalah spiritual. Orang melayani kadang karena ada orang yang dia segani atau dekat dengan seseorang yang lain, dan bukannya berdasarkan satu relasi dengan Allah.

Bagi saya, Matius pasal 5-7 itulah jawabannya. Lepas dari pemahaman terhadap pasal tersebut, hidup kita akan collapse. Kita bisa mendengar khotbah dan mempunyai pengetahuan teologi yang banyak tetapi seringkali ini justru membentuk close system dalam praktika hidup kita. Kita mungkin tahu betul apa itu open system, tetapi jika hidup kita tidak mau diubah oleh Tuhan, secara praktika kita sebenarnya berada dalam close system. Dalam pasal-pasal itu membukakan suatu hal yang sangat penting yang seharusnya dianalisa oleh umat Kerajaan Allah, karena bagian ini merupakan etika dari anak-anak Kerajaan Allah. Kehidupan kita ditentukan oleh bagaimana etika kita dihadapan Allah. Kita yang mau memahami kebenaran – segala kebenaran adalah kebenaran Allah – tetapi tidak mau kembali kepada Allah, maka kita hanyalah sekedar mengetahui bidang-bidang tersebut tanpa memiliki relasi dengan Tuhan. Ada tiga pelajaran yang dapat dipetik dari nats kita yang dimulai dari ayat 21, yaitu: (1) Adanya pengakuan iman yang dangkal. Pengakuan kita terhadap Tuhan, seringkali hanyalah pengakuan yang dangkal, hanya sekedar satu ucapan di bibir saja. Pengakuan dan isi pengakuan itu memang benar, tetapi apa yang keluar dari mulut seringkali berbeda dengan apa yang ada di dalam hati. Itulah sebabnya Tuhan mengatakan, "Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di Sorga." Karena itu jika mengucapkan satu pengakuan iman, benarkah itu berasal dari hati kita?

Banyak orang yang belajar theologi dan mengutarakan pengertiannya dengan mantap, tetapi pengertian itu hanya berada di kepala saja, dan bukan juga di hati. Di dalam ibadah, pengenalan yang hanya di otak, dan bukan di hati, itu bukanlah satu tindakan menyembah di hadapan Tuhan, melainkan hanya ingin mendengar satu khotbah yang bagus dan bersifat informatif saja. Ibadah seharusnya merupakan satu sikap dimana kita sungguh-sungguh menyiapkan hati untuk mendengarkan firman Tuhan, apa yang Tuhan ingin untuk kita kerjakan dan apa yang Tuhan ingin koreksi terhadap kehidupan kita sehari-hari. Jiwa seperti inilah yang jarang terlihat. Jika semangat semacam ini tidak ada di dalam gereja, tidak heran jika gereja menjadi kering. Mungkin gereja itu memiliki doktrin yang baik, tetapi orang-orang yang ada di dalamnya tetap hidup di luar kebenaran. Bukan berarti kita harus menjadi orang yang sempurna, tetapi kita harus memiliki satu motifasi yakni memiliki kerinduan untuk berubah.

(2) Adanya pengalaman yang dangkal. Istilah "nubuat" dalam Perjanjian Lama (ayat 22), selalu berarti memberitakan firman yang Tuhan pakai untuk menunjuk kepada sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang. Bagi orang-orang yang bernubuat, mengusir setan dan melakukan banyak mujizat demi nama Tuhan seperti ayat 22 ini Tuhan berkata, "Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!" Tuhan mengatakan bahwa Ia akan berterus terang, maksudnya Tuhan akan mengucapkan satu pengakuan di hadapan mereka bahwa mereka tidak dikenalNya dan mereka adalah pembuat kejahatan. Apa sebab? Karena mereka mau membangun iman mereka di atas pengalaman-pengalaman yang spektakuler, dan pengalaman itu bukannya satu pengalaman secara pribadi dengan Tuhan.

Gereja harus berdiri di atas kebenaran firman dan bukan di atas pengalaman hidup seseorang. Tetapi satu hal yang penting ialah, pada waktu kita mau mengenal kebenaran, memang tidak akan lepas dari pengalaman. Pengalaman semacam apa yang harus kita miliki? Yakni pengalaman berelasi dengan Tuhan. Bangsa Israel yang paling banyak mengalami mujizat dan sebagainya, justru adalah bangsa yang paling ditegur keras. Dari ujung kepala hingga ujung kaki sudah penuh dengan borok, sehingga entah di bagian mana lagi Tuhan harus menghajar. Mereka yang tahu dan mengalami pekerjaan Tuhan yang ajaib, justru adalah yang paling berani melawan Tuhan. Jika seseorang mengatakan bahwa pengalaman bisa membawa orang datang kepada Kristus, pengertian ini sangatlah dangkal. Roh Kudus, melalui firman yang kita dengar, itulah yang bekerja dan melahirbarukan kita. Being (keberadaan) kita yang diubah mempengaruhi knowing (pengetahuan) dan doings (tindakan) kita.

(3) Adanya pengetahuan yang dangkal (ayat 24-27). Seringkali antara yang kita dengar dan dengan yang kita lakukan, terdapat satu gap (kesenjangan). Jadi, ada yang banyak tahu dan sedikit yang dikerjakan, ada juga yang sedikit tahu tetapi banyak yang dikerjakan. Celakanya yang dikerjakan adalah mengajar, padahal sedikit tahu. Di dalam Alkitab terdapat 2 macam pengetahuan: 1) Pengetahuan akibat dari sesuatu akumulatif di dalam otak, dan 2) Pengetahuan akibat dari suatu relasi dengan obyek/subyek-nya. Kita yang tahu banyak data diri seseorang tanpa berelasi dengan dia, mungkin bisa menjawab dengan lancar. Tetapi pengenalan ini hanya di otak saja. Berbeda dengan pengetahuan yang kedua (cf. Yoh 17:3; Kej 4:1). Karena di sini ada satu relasi dan persekutuan yang intim. Itulah sebabnya Reformed Theology (Teologi Reformed) perlu Reformed Spirituality (Spiritualitas Reformed). Karena teologi yang benar adalah teologi yang berelasi dengan Allah, yakni teologi yang mengajarkan Allah, yang diajarkan Allah dan yang memimpin kepada Allah. Ayat 24-27 jelas mengatakan, orang yang mendengar firman dan melakukan bagaikan orang yang mendirikan rumah di atas batu, sedang orang yang mendengar firman dan tidak melakukan bagaikan orang yang mendirikan rumah di atas pasir. Maka, apakah berarti iman kita ditentukan oleh kelakuan kita? Tidak! Karena jika kita melihat pasal 5, orang yang miskin secara rohani dan bergantung kepada belas kasihan dan anugerah Allah-lah yang empunya Kerajaan Sorga. Jika demikian, sebagai apakah kelakuan itu? Kelakuan itu sebagai bukti bahwa kita mengalami perubahan.

Ada seseorang yang berasal dari keluarga broken home, hidupnya tidak beres, main pelacur, minum minuman keras, obat-obat terlarang, dsb sementara yang lain berasal agama tertentu, yang terdidik dalam suatu pola tingkah laku agama tertentu; keduanya datang dalam suatu ibadah. Ketika firman diberitakan, mereka sadar bahwa mereka orang berdosa dan membutuhkan Kristus. Merekapun percaya dan menerima Kristus. Dari kedua orang ini, manakah yang mempunyai kelakuan yang baik? Secara penampakan luar, yang berasal dari agama tertentu itu, yang memang sudah terdidik dalam suatu pola tingkah laku agama, akan terlihat lebih suci, lebih saleh dan lebih terhormat daripada orang yang berasal dari keluarga broken home. Tetapi dalam masalah kerohanian, ini susah terlihat, karena ini berkenaan dengan suatu relasi dengan Tuhan, yakni suatu pergumulan di dalam hati dengan Tuhan akibat mendengarkan firman. Seberapa maju sebuah gereja, dapat dilihat dari seberapa dalam gereja itu berelasi dengan Tuhan. Tidak ada seorang hamba Tuhan yang bisa memiliki kuasa di dalam khotbahnya jika dia tidak tidak disertai oleh Tuhan dan bergumul dihadapan Tuhan melalui doa. Doa bukanlah sesuatu yang mekanis. Tetapi, bagi saya, doa yang mekanis itu lebih baik daripada tidak berdoa.

Doa sangat dibutuhkan oleh gereja, tetapi doa sering dianaktirikan oleh gereja. Kita berdoa hanya ketika kita berada dalam kesulitan saja. Pernahkah kita berdoa dalam kesendirian? Hamba-hamba Tuhan yang berhasil, selalu menjadikan doa sebagai satu prioritas yang paling penting, inilah juga yang harus kita kerjakan! Sekolah Teologi didirikan seharusnya menjadi satu pertanggungjawaban bahwa kita sungguh-sungguh mengenal Allah dan isi hatiNya, dan kemudian kita aplikasikan di dalam hidup. Maka, itu merupakan satu tindakan penyembahan yang benar di hadapan Tuhan. Belajar Teologi itu baik, tetapi jangan hanya berhenti di otak saja. Pengalaman itu baik, tetapi diperlukan satu pengalaman yang merubah hati kita. Pengakuan itu baik, tetapi mulut yang mengaku harus disertai hati yang beriman. Sekarang, bagaimana kita melakukan hal-hal yang sesuai dengan kehendak Allah? Kita harus memiliki karakter dari umat Kerajaan Sorga (lihat, Mat 5:4-12), tujuan dan misi dari umat Kerajaan Allah di dalam dunia (5:13-16), ibadah dari umat Kerajaan Allah (Mat 4:17-6:18), ambisi dari umat Kerajaan Allah (Mat 6:19-34), relasi antara manusia dengan sesamanya dan dengan Bapa (Mat 7:1-14), menghadapi pengajaran yang sesat (Mat 7:15-23), dan Matius 7:24-27 merupakan konklusi akhirnya. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah - RT)