Ringkasan Khotbah : 25 Juli 1999

Paradox Ordo dan Kesatuan

Nats : Efesus 4:16-19

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Saudara, pada saat ini kita kembali masuk dalam pembahasan Efesus dimana di ak­hir pa­sal 4:16 kita melihat seluruh konteks masuk kepada klimaks apa yang sebenarnya menjadi tu­juan terakhir yang diharapkan di dalam pengertian konsep eklesia atau gereja yang Tuhan inginkan. Paulus menggunakan satu gambaran yang bagi saya begitu indah dimana ia menjelaskan apa yang dimaksud dengan ek­le­sia atau ek-kaleo (ek: keluar; kaleo: to call/memanggil) yaitu orang-orang yang dipanggil keluar. Mengapa demikian? Karena ge­re­ja pada hakekatnya me­ru­pa­kan sekelompok orang yang dipanggil keluar, disusun secara ra­pi lalu dikirim kem­bali kepada dunia untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan. Hal ini sangat konsisten dengan doa Tuhan Yesus dalam Yoh 17. Dimana Ia berdoa kepada Bapa, “… ketika Engkau memanggil mereka Engkau tidak mencabut mereka dan ti­dak menarik me­reka kembali ke surga tetapi Engkau justru mengirim mereka kem­bali ke tengah dunia ini. Sama seperti Engkau mengutus Aku, Aku juga me­ngu­tus mereka.” Ini merupakan ka­li­mat dimana Tuhan Yesus memberikan pen­je­las­an yang begitu tegas yang menyatakan bah­wa setiap panggilan Kristen adalah pang­gilan untuk bekerja dan melayani Tuhan, me­nga­rap pekerjaan yang Tuhan in­gin­kan untuk kita kerjakan.

Saudara, ketika kita mengerti ini maka baru Paulus menegaskan secara kon­­sep­tu­al bagaimana pekerjaan itu digarap. Selama kita membahas pasal 4:1-16, ki­ta sudah me­li­hat satu-persatu tentang prinsip karunia Roh Kudus bagaimana Tuhan mengabungkan se­mua bagiannya menjadi satu tubuh dimana setiap bagian men­jadi bagian-bagian di dalam sa­tu tubuh yang akhirnya mencapai keseluruhan dari­pada misi pekerjaan Tuhan. Satu tu­buh bukan berarti sama tetapi juga bukan­lah merupakan keperbedaan yang begitu terlepas sa­tu sama lain. Post Modernism saat ini telah menerpa gereja Tuhan dengan satu istilah yang kita kenal dengan ‘jeja­ring’ atau ‘networking.’ Networking merupakan satu gam­bar­an kaitan satu de­­ngan satu yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam networking ti­dak ada ordo atau urutan atas ke bawah tetapi kebersamaan dan kesejajaran. Satu ke­ber­ada­an yang tidak mem­pu­nyai otoritas lain selain diri kita yang berhubungan di dalam satu kait­an ke­se­ja­jar­an dengan yang lain. Maka dengan semangat ini seluruh garis otoritas se­dang di­buang oleh dunia kita dan ini adalah satu bahaya besar. Hari ini rumah menjadi tem­­pat dimana filsafat sedang dikembangkan dan menjadi pola relasi kita di du­nia. Kalau pada jaman ini kekristenan tidak memberikan satu model dalam satu ben­tuk kehidupan kon­krit yang sangat sesuai dengan iman kristen maka kita akan ren­tan dan rapuh untuk di­terpa dengan semangat filsafat dunia.

Paulus mengajarkan di dalam bagian ini yaitu biarlah setiap orang ber­ada di da­lam garis otoritas yang tepat lalu bernetwork dalam otoritas yang tepat. Ini satu pola ber­pi­kir paradox yang harus mulai digarap di dalam rumah tangga, ge­reja, persekutuan kita dan di semua tempat yang memungkinkan kita meng­am­bil satu kebijaksanaan untuk satu pem­ben­tukan relasi yang akan menjadi contoh ba­gi dunia. Paulus mengatakan, “Biarlah semua ba­­gian rapi tersusun.” Yang di da­lam­nya mengandung unsur: 1). Unsur Ordo atau urutan atas ke bawah. Unsur or­do disini ditegaskan bahwa pada urutan paling atas adalah Kristus se­­bagai ke­pa­la di dalam seluruh ordo yang kita kerjakan. Hari ini berapa banyak kasus ke­ter­balikan ordo dalam rumah tangga. Ka­lau di dalam satu keluarga dimana keluarga kita sudah tidak beres maka dam­pak­nya terlalu besar dan kalau terjadi seperti itu maka jangan salahkan, kalau itu mu­lai dari kepala keluarga dan struktur rumah tangga yang sudah tidak da­pat ber­ja­lan secara tepat. Sama halnya juga kalau dalam gereja strukturnya terbalik di­ma­­­na yang seharusnya Tuhan sebagai pimpinan gereja lalu para hamba Tuhan yang belajar teo­logi yang menjadi pimpinan gereja, penatua, diaken, pengurus komisi, aktivis gereja dan baru jemaat. Ini merupakan ordo yang disusun rapi. Namun se­ka­rang gereja dikelola ti­dak lebih dari sebuah P.T. sehingga menjadi gereja yang ma­terialis dan kehilangan injil ka­rena gereja tidak lagi memikirkan kebenaran, ga­gal mengarah kepada misi dan gereja tidak berani berkorban di tengah dunia.

2). Networking. Diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, ti­ap-tiap ang­­­gotanya menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam ka­sih. Satu kaitan ke­bersamaan dimana setiap unsur di dalam ordo itu terikat men­jadi satu oleh semua ba­gi­an­nya. Mengapa seringkali ketika menjalankan oto­ri­tas pada saat yang sama relasi antar ba­gian menjadi tidak dapat berjalan dengan baik. Ini merupakan satu pertanyaan serius! Ba­nyak keluarga yang mulai memi­kir­kan order lalu pada saat yang sama hubungan antar ke­luarga menjadi sangat me­kanis, otoriter, diktator dan sangat menekankan kekuasaan ser­ta penekanan. Te­ta­pi Alkitab mengatakan, biarlah semua bagian saling mengikat satu sama lain se­­lu­­ruhnya menjadi satu keutuhan dimana setiap bagian mengambil bagian dan se­mua­­nya akhirnya mengarap bersama-sama. Berarti di dalam bagian ini disatu pihak adanya or­der dan dilain pihak adanya kesamaan kebersamaan. Maka se­ha­rus­nya bagaimana order tersebut dijalankan, dibangun dan digarap di dalam sua­sa­na kasih.

Dalam ayat 17 Paulus menegaskan beberapa hal supaya kita sebagai tubuh Kristus tidak hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah, yaitu: 1). Pikirannya sia-sia. 2). Pengertiannya yang gelap atau seluruh kon­sepnya rusak. 3). Jauh dari hidup persekutuan dengan Allah atau relasinya ru­sak sehingga efeknya mereka akan menjadi bodoh secara otak dan kehidupan me­re­ka akan menjadi degil. Akibatnya perasaan mereka menjadi tumpul, sehingga me­re­ka menyerahkan diri kepada hawa nafsu atau cara hidup yang rusak dan me­nger­jakan dengan serakah segala macam kecemaran.

Sau­dara, waktu Pau­lus mulai melihat ayat 16, ia sampai di klimaks memaparkan gereja Tuhan harus kembali ke­pada esensi yang seharusnya berarti setiap kita ha­rus mengevaluasi dan melihat kembali, su­dah­kah kita bersekutu menjadi satu ge­re­ja. Urgensi ini menuntut satu kalimat se­lan­jut­nya yaitu “Sebab itu kukatakan dan kutegaskan …” istilah dua kata dalam bahasa In­do­ne­sia ini saya rasa dibuat ri­ngan supaya tidak terlalu tajam dan orang yang membaca merasa ti­dak enak. Ka­ta sebab itu kukatakan sebenarnya merupakan satu pernyataan yang me­ngan­­dung satu kenyataan yang dibukakan. Jadi waktu saya mengatakan, itu bukanlah per­ka­taan mulut tetapi pernyataan yang cocok dengan yang saya saksikan. Se­dang­kan kata sa­ya menegaskan kepadamu, Paulus mau menceritakan bahwa ke­kris­tenan hidup mulai dari sa­at seseorang berubah di dalam pengertiannya ten­tang Tuhan dan hal itu juga mengubah se­luruh cara hidupnya.

Paulus adalah seorang yang sebelumnya begitu giat membunuh dan me­nganiaya anak-anak Tuhan serta memegahkan dirinya sendiri. Dalam semangat me­ngejar orang Kris­ten Paulus sangat gigih karena buat orang Yahudi berjasa dan mendapatkan nilai lebih ba­gi prestasi dia di dalam perjuangan agama Ya­hu­di. Itu alasannya mengapa Paulus se­te­lah bertobat pertama-tama yang dia ker­ja­kan adalah mengubah namanya menjadi Paulus yang artinya si kecil yang lang­sung mengingatkan dia bahwa ia telah berubah.

Kalau kita mengevaluasi, sebenarnya apa yang mengisi dan menguasai pikir­an dan hidup kita sehingga kita mengabdikan hidup kita untuk apa yang kita ke­jar? Benarkah itu yang Tuhan mau? Benarkah kita sedang memperjuangkan ke­be­nar­an atau kita sedang mem­perjuangkan keegoisan kita? Dalam Kis 20 Paulus me­­ngatakan, “Aku tidak menghi­rau­kan nyawaku sedikitpun asal saja aku dapat mencapai garis akhir menyelesaikan pe­la­yan­an yang ditugaskan Tuhan Yesus ke­pa­daku untuk memberitakan Injil kasih karunia Allah.” Itulah visinya yang me­ngisi dan menguasai pikirannya dimana ambisi me­nye­lesai­kan pekerjaan Tuhan yang dibebankan kepadanya untuk diselesaikan. Se­ring­kali kita mu­dah sekali mengkritik orang tetapi begitu sulit melihat diri kita sen­diri. Saya ingin me­nga­jak kita untuk belajar berkata pada diri kita dengan perka­ta­an yang ditunjang dengan fakta hi­dup kita. Itu memang tidak mudah tetapi kita mau untuk di proses. Mulai dengan mer­ubah diri kita sendiri dengan satu ko­mit­men untuk mau hidup diubah oleh Tuhan. Kuasa per­­ubahan itu mulai dari Roh Kudus. Dalam Ef 4:30 dikatakan, “Dan janganlah ka­mu men­dukakan Roh Kudus Allah yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penye­lamat­an.” Kalau kita merelakan diri diubah maka baru unsur kedua da­pat terjadi yaitu dalam ka­li­mat kedua Paulus mengatakan aku memerintahkan ke­pa­da­mu dan bukan sekedar mene­gas­kan. Di dalam kalimat tersebut dikatakan, “I am insisted,” yang berarti saya minta de­ngan serius dan tuntut kamu untuk ber­ubah. Kuasa tuntutan perubahan dapat terjadi ketika kita berubah dan dibentuk ma­ka kuasa itu menjadi kuasa yang besar untuk membuat orang lain berhak kita tun­tut untuk berubah. Kalau kita sendiri tidak berubah maka kita tidak mem­­pu­nyai kuasa untuk mengajak orang lain berubah.

Ini merupakan aspek kedua yaitu berani berkata kepada orang lain yang men­jadi resiko menghantam balik kepada diri kita. Kita belajar dituntut untuk me­­nun­tut dan pada sa­at yang sama kita sedang dituntut untuk menuntut diri. Ini dua hal yang Paulus kerjakan men­­jadi asumsi perubahan hidup. Saat kita me­la­yani disitu ada double tuntutan dimana orang lain akan merasakan adanya pe­ne­kan­an dari kita dan waktu itu orang lain akan me­li­hat kita sehingga kita dapat ma­was diri lebih hati-hati hidup. Daripada kalau kita tidak me­layani maka kita akan lebih mudah jatuh karena pada saat yang sama tidak ada risiko dan tuntutan balik yang mental ke kita. Ini yang saya harapkan dari kita. Tuhan mengajak, wak­­tu kita saling melayani terjadi satu timbal balik dna ikatan yang saling me­ngi­si satu sa­ma lain sehingga disaat itu kita dapat saling menuntut dan saling di­tun­tut. Paulus me­nga­jak kita dua unsur ini harus digabung dan digarap didalam diri kita. Di tengah-tengah Indo­ne­sia ini masih terdapat 25.000 suku di Indonesia yang belum pernah kenal injil. Salah as­pek pertanyaan misi adalah bagaimana ke­sak­sian hidup orang Kristen. Mari saudara, Tuhan pakai kita untuk boleh dipakai Tuhan ditengah jaman ini. Mari kita mulai me­nga­rap, Paulus mulai mengajak ki­ta masuk dalam pasal 4 bahwa kekristenan bukan satu teori te­tapi suatu aplikasi prak­tis yang harus hidup mengubah mulai dari diri kita, kita mem­puyai komitmen mau dibentuk dan diubah seperti apa yang Tuhan inginkan. Sehingga Tuhan da­pat pakai kita untuk melayani dalam seluruh misi yang Tuhan inginkan untuk kita ker­jakan. Mau saudara? Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)