Ringkasan
Khotbah : 09 Januari 2000
KERINDUAN
AKAN ALLAH
Pengkhotbah
: Ev.
Rusdi
Tanuwidjaya
Suatu
kali seorang hamba Tuhan yang telah melayani di satu gereja mampu mengembangkan
jemaatnya dari 187 hingga mencapai 800 dan akhirnya ia diundang di banyak
tempat untuk membawakan satu tema mengenai pertumbuhan gereja. Tetapi di dalam
pergumulannya dengan Tuhan, ia merasakan masih terdapat satu hal yang kurang
dalam pelayanannya yaitu seakan-akan Tuhan mengatakan bahwa gerejanya
gemuk dan bukannya bertumbuh karena hanya banyak pendengar-pendengar
yang setia dalam gereja. Tuhan mengutus kita pergi bukan untuk menjadikan
semua bangsa anggota jemaatNya melainkan menjadikan mereka murid Tuhan. Memang
untuk menjadi murid tidak mudah. Di dalam pergumulan bersama Tuhan, saya
tahu akan menghadapi tantangan yang selama belum saya alami dan kalau salah
melangkah, itu akan mempengaruhi puluhan bahkan ratusan orang yang
dipercayakan untuk menjadikan orang itu jauh daripada Tuhan.
Kelihatannya kita dapat menangkap esensi gereja dan sudah membangun tubuh
Kristus tetapi sesungguhnya kita sudah membuangnya dan
meruntuhkan daya gerak tubuh Kristus. Karena seringkali apa yang kelihatan
itu bukan realitanya dan ini yang akan kita gali hari ini.
Ketika
kita melangkah waktu demi waktu setiap hari, bagaimana perjalanan kerohanian
dan pergumulan hidup kita di hadapan Tuhan, yang terus memimpin dan memproses
hidup kita? Itu sebabnya saya rindu kita mengumulkan bagian firman Tuhan dalam
Mazmur 42 dan 63. Pada waktu saya membaca kitab mazmur tersebut, jujur saya katakan
bahwa pengalaman dalam tokoh yang kita baca jauh daripada apa yang kita alami.
Berapa banyak kita berkata pada Tuhan bahwa jiwaku haus, jiwaku rindu akan
Tuhan? Hatiku bagai tanah yang gersang, mencari Engkau? Adakah gema ini setiap
hari dalam perjalanan hidup kita? Ketika di hari minggu ada pembacaan
Mazmur, berapa kali kita masuk ke dalam esensinya memahami ayat
tersebut? Itu sebabnya ketika melihat hal ini, saya takut kalau sebagai
hamba Tuhan tahu banyak teologi, melayani begitu dinamis sehingga kelihatannya
hamba yang aktif tetapi pada saat yang sama sesungguhnya saya adalah
hamba Tuhan yang kering di hadapan Tuhan dan esensi agama yang sejati
sudah kehilangan kekuatannya untuk membakar dan menjadikan kita orang yang dinamis
dalam dunia ini. Marilah sekarang kita melihat beberapa hal yang
menyebabkan kerinduan jiwa kita yang haus akan Tuhan menjadi dangkal. 1). Adanya
suatu pengalaman. Seorang hamba Tuhan mempunyai satu pengalaman
yang unik dalam hidupnya. Pada masa kecilnya ia begitu bangga dengan ayahnya
sehingga papanya menjadi idola satu-satunya dalam hidupnya. Sampai akhirnya,
ketika ayahnya melakukan bunuh diri, dan juga papa dari mamanya meninggal
di tahun yang sama, itu menimbulkan kekecewaan luar biasa dan ia
mengambil tekad bahwa perasaanya tidak akan dipermainkan oleh situasi
serta tidak mau dipengaruhi oleh siapapun.
2).
Adanya pengaruh lingkungan. Setelah
bertobat, banyak orang yang rindu belajar firman Tuhan dengan
sungguh-sungguh namun karena mungkin saya masuk dalam lingkungan gereja yang
menyingkirkan emosi dari kehidupan gereja sehingga waktu saya mendengar
khotbah yang luar biasa maka saya dipacu untuk berpikir. Namun itu menyebabkan
perkembangan dari pemikiran tidak sejalan dengan perkembangan emosi yang makin
dangkal dihadapan Tuhan, sehingga akhirnya secara tidak sadar saya sudah dibentuk
oleh satu lingkungan. Saya percaya bahwa gereja hingga sekarang tetap menekankan
satu hal yang seimbang antara pikiran, perasaan dan kemauan, tetapi ketika mendengar
firman Tuhan, seolah-olah saya mengeser emosi menjadi sesuatu hal yang tersingkir
dari kehidupan pengalaman rohani saya. Sehingga melalui lingkungan seperti
itu kita menjadi orang yang berpikir bahwa perasaan tidak dapat dipertanggungjawabkan,
yang benar-benar objektive itu adalah kembali kepada firman, kasih bukan dipengaruhi
oleh emosi. Tetapi bagi saya waktu dikatakan yang obyektive adalah firman dan
emosi tidak mendapat tempat di dalam kekristenan, itu adalah pernyataan yang
harus kita pertanggungjawabkan. John Calvin dalam buku Sistematik Teologinya
yang pertama mengatakan hikmat yang sejati adalah mengenal Allah dan megenal
diri. Mengenal bukan hanya tahu di dalam otak tetapi pengenalan yang intim
antara Sang Pencipta dengan ciptaanNya dan dari hikmat itu menyebar ke hal
yang lain. Karena lepas daripada itu maka teologi dapat berbahaya dan tidak
membawa manusia semakin dekat pada Tuhan serta menyingkirkan esensi yang
utama dari hidup beragama. 3). Adanya pengaruh
Temperamen. Sebagai contoh orang melankolis dengan kolerik, mereka sama-sama
sulit mengasihi tetapi seperti tokoh Yohanes dan Paulus, mereka dapat menulis
tentang kasih yang sangat dalam sekali. Itu sebabnya antara temperamen hamba
Tuhan yang satu dapat berbeda dengan yang lainnya. Karakter temperamen
yang berbeda menyebabkan apa yang ia beritakan menjadi berbeda, itu sebabnya
kita harus menyadari bahwa setiap orang itu unik dengan kelebihan dan
kekurangannya.
Inilah
ketiga hal yang dapat menjadikan kerinduan seseorang akan Tuhan itu menjadi
dangkal. Tetap orang yang memiliki kerinduan yang dangkal pada saat tertentu
orang lain dapat melihat bahwa orang tersebut kerohaniannya hebat dan aktif
karena kita hanya melihat dari fenomena luar dan tidak dapat masuk dalam
esensi yang terdalam dari hidup orang itu (Yoh 5: 37-40). Tetapi orang yang
menyukai firman belum tentu mengasihi Allah. Ia suka karena firman itu
memuaskan apa yang ingin ia tahu. Itu disebut dengan kecanduan di dalam
rasio, dimana ia rindu mendapat sesuatu yang memuaskan pikirannya dan yang
baru. Itu tidak salah kalau tidak hanya berhenti pada sekedar saya tahu.
Kita dapat mempelajari firman dan mendapat sesuatu yang baru tetapi pada
saat yang sama sebenarnya kita tidak pernah mau berelasi dengan Allah. Dan kalau
firman itu lebih tinggi daripada Allah yag memberi firman maka itu berbahaya karena
itu seperti yang terjadi pada orang farisi. Belajar dan tahu tetapi kehadiran
esensi kitab suci ia tolak dan akhirnya ia bunuh. Jadi tanpa sadar timbul
kesombongan dan pada saat yang sama kita tidak pernah mau meninggikan Kristus
karena yang diucapkan pengetahuan dan doktrin-doktrin Alkitab dan
tanpa sadar yang terpenting dan menjadi esensi dari seluruhnya yaitu Allah
disingkirkan, seperti yang terjadi di dalam Mat 22:34-40. Mereka belajar
tentang kitab suci tetapi mereka tidak mengasihi Allah dan sesamanya maka
dikatakan sudah kehilangan esensi yang sejati. Itu sebabnya kita dapat kelihatan
mencintai Allah tetapi sesungguhnya kita lebih mencintai gereja atau doktrin.
Pdt. Stephen Tong pernah berkata, “Jangan cinta gereja Reformed dan hamba
Tuhan lebih daripada cinta kepada Allah, karena hamba Tuhan tetap hanya
“hamba.” Esensi yang sejati, kasih akan Allah dan sesama sudah mulai
sirna, getaran kasih yang menuju keatas dan kepada sesama itu mulai sirna.
Tidak heran banyak orang datang kegereja dan mendengar firman namun pulang
tidak pernah berdoa bagi orang lain. Ini yang menjadi pergumulan saya karena
saya adalah orang yang Tuhan berikan posisi sebagai hamba Tuhan sehingga
tuntutannya tidak mudah. Hanya satu yang saya ingin walaupun susah, dapat
mengasihi Allah dengan segenap hati jiwa, kekuatan dan akal budi dan mengasihi
orang lain seperti diri kita sendiri. Itu satu tuntutan hukum taurat yang begitu
agung dan sampai mati kita sulit mencapainya tetapi bukan berarti kita tidak
dimotivasi untuk mencapainya. Namun bagaimana kita dapat mencapainya kalau
perasaan dan kerinduan akan Allah, menyenangkan hati Tuhan dan keinginan
mengenapi apa yang Ia mau tdiak pernah ada dalam hidup kita? Dalam buku:
“Orang-orang berdosa dibawah tangan Allah yang murka,” Jonathan Edward
mengatakan bahwa religius yang sejati bukan hanya di dalam pikiran tetapi harus
mencakup kehendak dan perasaan. Ia mengatakan, bagaimana mungkin orang
berdosa dapat rindu memiliki Kristus kalau Allah belum menanamkan kerinduan
di dalam hatinya akan Kristus? Sehingga kerinduan disini tidak dapat lepas
daripada emosi. Tidak ada cinta tanpa satu perasaan dan disini perasaan
yang mempengaruhi pikiran sekarang dimotivasi oleh cinta Tuhan yang begitu
ajaib sehingga waktu Roh Kudus mencurahkan kasih Allah, mendorong pikiran
untuk selalu memikirkan dan mentaati apa yang Tuhan mau kita pikirkan. Sehingga
emosi menjadi unsur yang utama ketika kita mau dan sama seperti pemasmur katakan,
“Jiwaku haus akan Engkau, …” itu tidak mungkin tanpa kasih, karena
nantinya hanyalah legalistik dan kewajiban saja. Disini terdapat 3 point dimana
kita dapat mengembangkan kembali kasih yang sejati:
1).
Melalui hubungan kita secara intim dengan Tuhan. Seperti Martin Luther, Calvin
dan Jonathan Edward, mereka adalah orang yang penuh dengan dinamika doa sehingga
setiap kalimat yang keluar bagaikan satu kekuatan yang menegur, merupakan satu
spritual yang mengankat hati manusia dan mengkoreksi hidup manusia. Dan disaat
kita bergumul, kita juga ingat kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan kita.
2). Ketika kita mengalami tawar hati maka kita harus memaksa diri untuk
tetap dekat dengan Tuhan. 3). Berdoa, minta supaya Tuhan terus-menerus
memberikan kerinduan kepada kita untuk bertumbuh. Mungkin kita tidak merasa
bertumbuh tetapi sama seperti dari kecil kita makan dan berat kita bertambah
sehingga akhirnya orang melihat kita sudah dewasa. Kerinduan akan Allah yang
utama mengakibatkan kita rindu mengali firman, belajar firman yang benar,
rindu melayani sehingga semuanya itu dimotivasi dan didorong akan
kerinduan akan Allah.
Hari
ini ijinkan saya bertanya, memasuki tahun yang baru ini bagaimana perjalanan
hidup kita? Mari kita mulai mengembangkan kerinduan akan Tuhan dengan satu motivasi
menyenangkan Tuhan dan melalui pemahaman, kita dapat semakin dekat dengan
Tuhan. Waktu mempelajari doktrin yang benar supaya kita dapat mengajar, menjadikan
orang bertumbuh lebih mencintai Tuhan dan melalui pengetahuan kita dapat menganalisa
setiap krisis yang terjadi dengan satu kekuatan cinta akan Tuhan memampukan
kita menjadi terang dalam dunia ini. Biarlah kiranya itu menjadi bagian di dalam
hidup kita memulai tahun ini sampai Tuhan memanggil kita kembali. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)