Ringkasan
Khotbah : 06 Februari 2000
IMAN
YANG SEJATI (3)
Pengkhotbah
:
Rev. Sutjipto
Subeno
Saudara,
seperti kita sudah renungkan dalan dua minggu ini, kita mempelajari satu bagian
ayat pergumulan yang begitu serius antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Yahudi
yang percaya kepadaNya. Ketika mereka berkata, “Saya percaya
kepada Engkau, Tuhan Yesus,” maka perkataan itu ternyata tidak demikian
sederhana, karena begitu Yesus melanjutkan perkataanNya, maka hal itu
mendapatkan reaksi yang sangat berlawanan dimana akhirnya mereka mengambil
batu dan ingin membunuh Yesus.
Berdasarkan
itu kita kemarin telah melihat adanya 4 problem dimana 3 diantaranya telah
kita selesaikan selama dua minggu yang
lalu: 1). Problem
of believe (problem kepercayaan itu sendiri). Percaya itu menyangkut pada
satu obyek percaya dan bagaimana subyek percaya itu berelasi
dengan obyek percaya. Ketika saya percaya kepada, maka bagaimana
saya merelasikan diri saya dengan obyek percaya saya. Disini kita melihat bahwa
ketika orang Yahudi mengatakan "saya percaya Yesus" ternyata
mereka bukan percaya kepada Yesus melainkan hanya beriman sejauh
Kristus dapat mengikuti apa yang mereka mau. Sehingga ketika Kristus mengeluarkan
kalimat yang bertentangan dengan apa yang mereka mengerti dan
pikirkan maka langsung mereka tolak dan lawan. Maka kalau kita menelusur
kedalam, memperhatikan aspek dan pergumulan keimanan seseorang,
maka kita akan melihat bahwa ternyata persoalan yang diucapkan
Tuhan Yesus di dalam ayat ini menjadi satu masalah yang sangat serius di
dalam prinsip keagamaan, karena sebenarnya kita hanya rela sejauh Yesus
dapat kita tungangi demi mencapai maksud, ide dan keyakinan kita. Mengerti kebenaran
bukan begitu sederhana dan diterima begitu saja tetapi waktu kita percaya,
kembali kepada firman harus membuat kita taat melihat siapa obyek iman kita.
Seringkali kita megatakan, “I
believe to (saya
percaya kepada),” tetapi itu berbeda total dengan “saya
percaya kedalam” karena kalau saya percaya
kedalam, itu berarti memasukkan seluruh hidup saya ke dalam obyek
kepercayaan saya. Itulah relasi yang sejati dari iman yang sejati! Kalau
saya percaya Yesus tetapi tidak mau diatur olehNya, berarti sebenarnya saya
bukan percaya “kedalam Kristus” tetapi “kepada Kristus" dan Ia
hanya sebagai Eksternal Faith (iman diluar diri kita) yang tidak berhubungan
dengan diri kita.
2).
Problem kebenaran.
Ketika manusia sudah jatuh kedalam dosa maka kebenaran menjadi
sesuatu hal yang begitu serius karena kita harus masuk kedalam konsep epistemologi
atau pencarian kebenaran yang sesungguhnya, sebab di tengah dunia terlalu
banyak kebenaran semu yang sedang disodorkan kepada kita. Apa yang
dikatakan benar, itu
masih harus dipertanyakan lagi karena terlalu banyaknya
unsur bukan kebenaran yang masuk didalamnya. Ketika seseorang
tidak sadar dan akhirnya kejeblos, maka ia akhirnya memilih dirinya sendiri sebagai
penentu kebenaran. Dan ketika ia mulai menganggap bahwa dialah yang
menentukan kebenaran maka ia sedang bermain-main seolah-olah
menjadi Tuhan dan itu berarti ia sedang meresikokan dirinya hancur
seluruhnya, karena sebenarnya tidak ada satu manusia pun yang menjadi
penentu kebenaran. 3). Problem
Kemerdekaan. Waktu dunia berteriak “Bebas!” itu selalu
mempunyai ide ingin bebas berbuat dosa. Referensi dosa menjadi
referensi terpenting di dalam membicarakan kebebasan.
Selama berbuat dosa maka kita akan menjadi hamba dosa dan itu artinya kita perlu
dimerdekakan dari dosa. Maka ketika Kristus meng-idekan
kemerdekaan, itu berarti kita merdeka dari belenggu dosa, tidak lagi berbuat
dosa dan kembali kepada kebenaran. Bagian ketiga ini kemudian harus
disertai dengan bagian yang keempat: 4). Problem
of Obedience (problema ketaatan/perhambaan). Melalui buku
yang berjudul Social Contract
(1762), J.J. Rousseau mencetuskan satu ide yang melawan semua
otoritas yang ada yang memang pada saat itu terlalu lemah sehingga
akhirnya mencetuskan terjadinya Revolusi Perancis (1778). Banyak tuan tanah pada
saat itu yang mempunyai kastil (istana) dan tentara sendiri lalu menindas
rakyat serta menjadikannya budak. Mereka kaya dan menjadi
raja-raja kecil diseluruh Eropa sehingga rakyat menjadi marah sekali.
Akhirnya semua jajaran otoritas dihabiskan dan mereka merasa bahwa itulah
kemerdekaan kaum bawah (rakyat jelata) dengan
menganggap tidak ada otoritas lagi. Gerakan itu menjadi
arus besar diseluruh Eropa yang disebut gerakan abad pencerahan, dengan
slogan “Kami sudah dewasa.” Sehingga sejak itu mereka
menganggap kalau merdeka berarti tidak ada otoritas di atas mereka.
Inilah yang kemudian memang secara positif menjadi gerakan yang
disebut demokrasi dan semangatnya mulai muncul didunia namun
akhirnya berkembang menjadi anti otoritas. Itulah yang
menjadikan dunia rusak dan masuk ke dalam keos total. Ketika kita sudah
tidak dapat mengakui otoritas diatas kita, itu menjadi kecelakaan besar
yang menghancurkan kita sendiri.
Kalau
demikian, bagaimana kita mengerti arti merdeka/bebas? Disini saya harap kita
kembali kepada esensi. Alkitab mengatakan, waktu kita dikeluarkan dari
perbudakan dosa, itu bukan berarti kita merdeka yang mana diatas
kita tidak ada otoritas sama sekali. Kalimat Tuhan Yesus begitu tegas,
“Jikalau kamu tetap dalam firmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu,” ini
kunci pertama! Jadi jikalau kita kembali pada firman maka firman
itulah yang menundukkan kita, dan itu menjadikan kita murid Kristus. Baru
berdasarkan kondisi tersebut maka kalimat kedua muncul
yaitu, firman itu akan membuat kamu mengerti kebenaran dan kebenaran itu
memerdekakan kamu. Berarti keluarnya kita dari perhambaan dosa
membuat kita harus masuk di dalam perhambaan kebenaran
dan tanpa saya menjadi hamba kebenaran, saya tidak akan pernah keluar dari
perhambaan dosa, karena untuk keluarnya saya dari perhambaan dosa saya
terlebih dahulu harus masuk kedalam perhambaan
kebenaran. Maka Alkitab dalam Rm. 6 menjelaskan bahwa pilihan yang
ada hanyalah menjadi hamba dosa atau hamba kebenaran, dan tidak
ada pilihan ketiga. Kalau demikian, mari kita mulai menyadari bahwa
merdeka tidak identik dengan tanpa otoritas tetapi
kembalinya saya kepada perhambaan kebenaran. Itu semua karena: 1).
Terlalu banyak jajaran diatas kita yang kita butuhkan dan itu ordo/
urutannya harus dihargai. Manusia bukan mahkluk yang bebas murni tetapi
yang bebas bergantung sehingga naturnya kita memang harus tunduk dibawah
kebenaran yang sejati. Waktu peristiwa gempa bumi besar di Kobe, sepertinya
Tuhan menunjukkan kekuatanNya dan mempermainkan kesombongan manusia, dan
saat itu seluruh jajaran di Jepang tidak punya kemampuan untuk
mendeteksi terjadinya hal tersebut, sekalipun mereka mempunyai
peralatan yang super canggih, sehingga kehancuran, kematian dan kecelakaan
tidak dapat dihindarkan. 2). Kita harus sadar bahwa Allah adalah satu-satunya
altimate being yang sah dan hanya kembali kepada Tuhan, maka disitulah
altimate being yang berhak menundukkan kita. Dalam Rm 1:18-32 Paulus
berbicara mengenai hal ini secara teliti dan ketat dengan ayat yang
sangat pendek, yaitu problematik permainan agama oleh manusia. Mari
kembali kepada Allah yang sejati, kembalilah kepada firman karena
hanya dengan demikian engkau mendapatkan tempat bergantung
yang tepat. 3). Hal ini mengembalikan satu ide yang sangat praktis kepada
kita yaitu dimana kita kembali mentuhankan Kristus dan mengembalikan
relasi antara Tuhan dengan kita. Relasi ini menjadi relasi yang seharusnya
ada dalam setiap kita. Kalau dalam doa kita menyebut “Tuhan” yang artinya
“Lord” (kurios/
Tuan diatas segala tuan), berarti secara implikasinya kita
adalah hambaNya. Seringkali ketika kita berdoa terjadi konfliks relasi
yang sangat fatal, sebab disaat kita menyebut nama Tuhan, antara sebutan
Tuhan dengan implikasi Tuhan di dalam ucapan dan hati kita tidak berelasi sama
sekali. Kalau kita mengatakan “Lord”
seharusnya kita sadar bahwa kalau kita merdeka, inilah yang mengharuskan
kita dengan sungguh mengerti bagaimana kita masuk kedalam relasi hubungan
antara Tuhan dan hamba yang seharusnya tunduk mutlak. Saya rindu,
setiap kita dapat mengevaluasi diri bagaimana ketika kita berkata
“Tuhan” kemudian kita dapat mengerti apa yang seperti Tuhan Yesus
ajarkan. Mari relasi kita dipulihkan kembali sehingga kita dapat
berkata, dikuduskanlah namaMu, datanglah kerajaanMu (pemerintahan
dan otoritasMu nyata diatas hidupku) Dia adalah Tuhan, raja dan pemilik hidupku
dan jadilah kehendakMu, di bumi seperti di surga. Biarlah itu yang kita
doakan! Biarlah setiap kita boleh belajar berdoa seperti format yang
Tuhan Yesus ajarkan dalam doa Bapa Kami. Doa dimana Allah dipertuhankan dengan
sungguh-sungguh, Dialah otoritas atas hidup kita. 4). Perhambaan
dalam kebenaran tidaklah sama konsepnya dengan menjadi hamba dosa. Alkitab
membedakan dengan tajam sekali dimana ketika kita berada dalam
perhambaan dosa maka kita dicengkeram oleh dosa dan dosa bersifat memperbudak,
sehingga seluruh kemampuan, kapasitas dan kesadaran kita dirasuk dan
tunduk mutlak dibawah pengawasan yang merasuk, seperti yang
dikatakan dalam Yoh 8:43-44. Sedang Roh Kudus tidak pernah dikatakan merasuk
tetapi memimpin orang sehingga dengan demikian kehendak/kesadaran kita
tidak dihilangkan dan karena itu kita diminta rela memperhamba
diri. Dan jikalau kita menyeleweng maka kita akan mendukakan Roh Kudus.
Di
dalam Perjanjian Lama ada satu contoh dimana kalau seorang Yahudi mempunyai budak
maka budak itu hanya boleh menjadi budak maksimum 7 tahun dan selama itu seorang
tuan Yahudi diajar untuk tidak memperlakukan budaknya semena-mena, sebab
mereka adalah budak di dalam umat Allah. Sehingga setelah mereka dibebaskan,
mereka mungkin tetap ingin tinggal karena tahu bahwa tuannya
memperlakukan dirinya dengan baik. Maka kalau ia tetap ingin menjadi
budak, ia harus dengan rela memperbudak diri kepada tuan tersebut dan
sebagai tandanya akan ditindik telinganya. Sehingga inilah gambaran budak
yang lain, yang rela memperhambakan dirinya sendiri. Demikian
juga, Tuhan minta kita dengan rela menjadi hamba kebenaran, menundukkan
diri masuk dalam kebenaran sehingga dengan demikian kita benar-benar masuk
di dalam kesadaran siapa diri kita dan bagaimana kita menyerahkan
diri kembali kepada kebenaran yang sejati. Tuhan tidak ingin kita menjadi
robot dan memprogram seluruh hidup kita dan seolah-olah kalau kita berbuat
dosa, Tuhan yang salah karena tidak melarang kita berbuat. Itu terlalu jahat
karena seolah-olah kita tidak mau bertanggung jawab untuk dosa yang kita
kerjakan. Mari kita sadar Tuhan menginginkan kita dengan rela menjadi hamba
kebenaran dan tunduk di dalam firman berdasarkan apa yang Tuhan berikan, itulah
yang namanya merdeka. Karena firman itulah kebenaran yang menjadikan
hidup kita menjadi beres dan yang akan memerdekakan kita. Mari kita
membereskan konsep-konsep yang tidak benar dalam pikiran kita tentang
kemerdekaan sehingga tidak ada kekacauan di dalam pikiran kita yang
membuat akhirnya kita tidak dapat mengikut Tuhan dengan lepas, bebas
dan sukacita. Tuhan katakan, “Jikalau kamu tetap dalam firmanKu, kamu
benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran
itu akan memerdekakan kamu.” Biarlah kalimat ini menjadi kalimat yang terngiang
senantiasa dalam pikiran kita dan memotivasi seluruh hidup
kita. Kita telah membereskan empat problem besar yaitu: Problem
Iman (kepercayaan kita), Problem
Epistemologi (kebenaran), Problem
Kemerdekaan (kebebasan), dan Problem
Perhambaan (ketaatan) yang harusnya muncul. Kalau 4 problem ini kita bereskan
maka hidup kita akan menjadi hidup yang mengerti dan berada di dalam iman
yang sejati. Kiranya Tuhan
menguatkan dan menjadikan kita anak-anak Tuhan yang setia serta mengerti
kepada siapa kita percaya. Amin.?
(Ringkasan
khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)