Ringkasan Khotbah : 06 Februari 2000

IMAN YANG SEJATI (3)

Nats : Yoh 8:30-36; 43-47; 59

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Saudara, seperti kita sudah renungkan dalan dua minggu ini, kita mempelajari satu ba­gi­­an ayat pergumulan yang begitu serius antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Yahudi yang per­­­­­­­­caya kepadaNya. Ketika mereka berkata, “Saya percaya kepada Engkau, Tuhan Yesus,” ma­ka perkataan itu ternyata tidak demikian sederhana, karena begitu Yesus melanjutkan perkataan­Nya, maka hal itu mendapatkan reaksi yang sa­ngat berlawanan dimana akhirnya mereka meng­am­­­­­bil batu dan ingin mem­bunuh Yesus.

Berdasarkan itu kita kemarin telah me­­lihat adanya 4 prob­­lem dimana 3 diantaranya te­lah kita se­lesai­kan selama dua minggu yang  lalu: 1). Problem of believe (problem kepercayaan itu sendiri). Percaya itu menyangkut pada satu obyek per­­­­caya dan bagaimana subyek percaya itu be­­r­elasi dengan obyek percaya. Ketika saya percaya ke­­­pada, ma­­­­ka bagaimana saya merelasikan diri saya dengan obyek percaya saya. Disini kita melihat bah­wa ketika orang Yahudi me­­­nga­ta­kan "saya percaya Yesus" ternyata mereka bu­kan per­ca­ya kepa­da Yesus me­lain­kan hanya beriman se­­jauh Kristus dapat mengikuti apa yang mereka mau. Se­hing­­ga ketika Kristus me­ngeluarkan ka­li­­mat yang bertentangan dengan apa yang me­re­ka me­nger­ti dan pikirkan ma­­­­ka lang­sung mereka to­lak dan lawan. Maka kalau kita me­ne­lu­sur ke­dalam, mem­­per­­­hatikan aspek dan pergumulan ke­iman­an seseorang, maka kita akan melihat bah­wa ter­nyata per­­­soal­­­­an yang diucapkan Tuhan Yesus di dalam ayat ini menjadi satu masalah yang sa­ngat se­ri­us di dalam prinsip keagamaan, ka­­­rena sebenarnya kita hanya rela se­jauh Yesus dapat kita tu­ngangi demi mencapai maksud, ide dan keyakinan kita. Mengerti ke­­be­nar­­­­an bukan begitu se­der­ha­na dan diterima begitu saja tetapi wak­­tu kita per­ca­ya, kembali ke­pada firman harus membuat kita taat melihat siapa obyek iman kita. Seringkali kita megatakan, “I believe to (saya percaya ke­pa­da),” tetapi itu berbeda total de­ngan “saya percaya kedalam” ka­re­na kalau saya percaya ke­da­lam, itu berarti memasukkan se­lu­ruh hidup saya ke dalam ob­yek kepercayaan saya. Itulah re­­­la­si yang sejati dari iman yang sejati! Ka­­lau saya percaya Yesus te­tapi tidak mau diatur olehNya, ber­arti sebenarnya saya bukan per­ca­ya “kedalam Kristus” tetapi “ke­pada Kristus" dan Ia hanya se­ba­­gai Eksternal Faith (iman diluar di­ri kita) yang tidak ber­hu­bung­an dengan diri kita.

2). Problem kebenaran. Ke­ti­ka manusia sudah jatuh kedalam dosa maka ke­be­nar­­an men­­­jadi sesuatu hal yang begitu se­rius karena kita harus masuk kedalam konsep epis­te­mo­­logi atau pencarian kebenaran yang sesung­guh­nya, sebab di tengah dunia terlalu banyak ke­be­naran se­­­­­mu yang sedang disodorkan kepada kita. Apa yang dikatakan benar, itu masih harus di­­per­ta­nya­­­­­kan lagi karena terlalu ba­n­yaknya unsur bukan kebenaran yang masuk didalamnya. Ke­ti­ka se­se­­­­­orang tidak sadar dan ak­hirnya kejeblos, maka ia akhirnya memilih dirinya sendiri se­ba­gai pe­nen­­­­­tu kebenaran. Dan ketika ia mulai menganggap bahwa dialah yang me­nentukan ke­be­nar­­an ma­­­­­ka ia sedang bermain-main seolah-olah menjadi Tuhan dan itu berarti ia se­dang me­re­sikokan diri­­­nya han­cur se­lu­ruhnya, karena sebenarnya tidak ada satu ma­nusia pun yang menjadi penentu ke­­­­­be­­nar­an. 3). Problem Ke­mer­deka­an. Wak­tu dunia berteriak “Bebas!” itu se­­lalu mempunyai ide ingin be­­­bas berbuat dosa. Referensi do­sa men­jadi referensi terpenting di da­­lam membicarakan ke­­­­­be­bas­­­an. Selama berbuat dosa maka kita akan menjadi hamba dosa dan itu artinya kita perlu di­­­­­­mer­de­kakan dari dosa. Maka ketika Kristus meng-idekan kemerdekaan, itu ber­arti kita merdeka da­­ri be­lenggu dosa, tidak lagi ber­bu­at dosa dan kembali kepada ke­benar­an. Bagian ketiga ini ke­mu­dian ha­­rus di­­­sertai de­ngan bagian yang keempat: 4). Problem of Obedience (problema ke­taat­an/­per­­­ham­ba­an). Melalui buku yang berjudul Social Con­tract (1762), J.J. Rousseau men­ce­tus­­kan satu ide yang melawan se­­­mua otoritas yang ada yang me­mang pa­­­da saat itu terlalu lemah se­­­hingga akhirnya mencetuskan terjadinya Revolusi Perancis (1778). Banyak tuan tanah pada sa­at itu yang mempunyai kastil (istana) dan tentara sendiri lalu me­­­nin­das rak­yat serta men­ja­di­kan­nya budak. Me­­reka ka­­­ya dan menjadi raja-raja kecil di­se­lu­ruh Eropa se­­hingga rak­­yat menjadi ma­rah se­kali. Akhirnya semua jajaran otoritas dihabiskan dan mereka me­ra­sa bah­wa itulah ke­mer­­­de­­­­kaan ka­um ba­wah (rakyat jelata) dengan  menganggap ti­­dak ada oto­ritas la­­gi. Gerakan itu men­­­­ja­­­di arus be­sar diseluruh Eropa yang disebut gerakan abad pen­ce­rah­an, de­­ngan slogan “Ka­mi su­dah de­­­­wa­sa.” Sehingga sejak itu mereka menganggap ka­­lau mer­de­ka ber­arti tidak ada oto­ri­tas di atas me­­­reka. Inilah yang ke­­mudian me­mang secara positif men­ja­di ge­rak­an yang disebut de­­­­­mok­rasi dan semangatnya mu­lai muncul di­dunia namun akhirnya ber­­kem­bang menjadi an­ti oto­ri­­tas. Itu­­lah yang menjadikan dunia ru­sak dan masuk ke da­­lam keos to­tal. Ke­­tika kita su­­dah ti­dak da­pat meng­­akui otoritas diatas kita, itu men­jadi kecelakaan be­sar yang meng­han­cur­­­kan kita sen­diri.

Kalau demikian, bagaimana kita mengerti arti merdeka/bebas? Disini saya ha­rap kita kem­­bali kepada esensi. Alkitab mengatakan, waktu kita dikeluarkan dari perbudakan dosa, itu bu­­­­­­­­kan berarti kita merdeka yang mana diatas kita tidak ada otoritas sama sekali. Ka­­­­limat Tuhan Yesus begitu tegas, “Jikalau kamu tetap dalam firmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu,” ini kun­­­­­ci pertama! Ja­di jikalau ki­ta kembali pada firman ma­ka firman itulah yang menundukkan kita, dan itu menjadikan kita murid Kristus. Baru berdasarkan kondisi tersebut maka kali­mat ke­­dua mun­­­­­­­cul yaitu, firman itu akan mem­­­­buat kamu mengerti kebenaran dan kebenaran itu me­mer­de­­ka­kan kamu. Berarti ke­luar­nya kita dari perhambaan dosa membuat kita harus ma­suk di da­lam per­­­­ham­­­baan ke­be­nar­an dan tanpa saya menjadi hamba kebenaran, saya tidak akan per­nah ke­­luar da­­­ri perhambaan do­sa, ka­­­re­na untuk keluarnya saya dari perhambaan dosa saya ter­lebih da­­hulu ha­­­­­­rus masuk ke­da­lam per­­­hambaan kebenaran. Maka Alkitab dalam Rm. 6 menjelaskan bahwa pi­lih­­­­­an­ yang ada hanyalah menjadi hamba dosa atau ham­ba ke­be­nar­an, dan ti­­­­­dak ada pilih­an ke­ti­ga. Ka­­lau demikian, mari kita mulai menyadari bahwa mer­deka tidak iden­tik de­­­­­­ngan tanpa otoritas te­­­­tapi kembalinya saya kepada perhambaan kebe­nar­an. Itu semua ka­re­na: 1). Terlalu banyak ja­jar­­­­an diatas kita yang kita butuhkan dan itu ordo/ urutannya harus di­har­gai. Manusia bukan mah­kluk yang bebas murni tetapi yang bebas ber­gantung sehingga natur­nya kita memang harus tun­duk dibawah kebenaran yang sejati. Waktu peristiwa gempa bumi besar di Ko­be, sepertinya Tuhan menun­juk­­kan kekuatanNya dan mempermainkan kesombongan manusia, dan saat itu se­lu­­­­­ruh jajaran di Je­­pang tidak punya kemampuan untuk mendeteksi terjadinya hal ter­sebut, se­ka­li­pun mereka mem­­punyai peralatan yang super canggih, sehingga ke­han­cur­an, kematian dan ke­ce­la­­ka­an tidak dapat dihindarkan. 2). Kita harus sa­dar bahwa Allah adalah satu-satunya altimate being yang sah dan hanya kembali ke­pa­da Tuhan, maka di­situ­lah altimate being yang berhak me­nun­­duk­kan kita. Dalam Rm 1:18-32 Paulus berbicara me­nge­nai hal ini se­ca­ra teliti dan ketat de­ngan ayat yang sangat pendek, yaitu problematik per­main­an agama oleh ma­nusia. Mari kembali ke­­pada Allah yang se­jati, kembalilah kepada firman karena  hanya de­­ngan demikian engkau men­da­­­pat­kan tempat bergantung yang tepat. 3). Hal ini mengem­ba­­­likan satu ide yang sangat prak­tis ke­­pada kita yaitu dimana kita kem­ba­li men­tuhan­kan Kristus dan mengembalikan relasi an­ta­ra Tuhan dengan kita. Relasi ini menjadi re­lasi yang seha­rus­nya ada dalam setiap kita. Kalau dalam doa ki­ta menyebut “Tuhan” yang artinya “Lord” (kurios/ Tuan di­­­atas se­ga­la tuan), berarti secara impli­­­kasinya kita adalah hambaNya. Seringkali ke­tika kita berdoa ter­­jadi konfliks re­lasi yang sa­ngat fa­tal, sebab disaat kita menyebut na­ma Tuhan, antara sebutan Tuhan dengan implikasi Tuhan di dalam ucapan dan hati kita ti­dak berelasi sa­ma sekali. Kalau ki­ta mengatakan “Lord” se­ha­­rusnya kita sadar bahwa kalau kita merdeka, inilah yang meng­haruskan kita dengan sungguh me­­ngerti ba­gai­mana kita masuk kedalam relasi hu­bung­an an­tara Tuhan dan hamba yang se­ha­rus­­nya tunduk mutlak. Saya rindu, setiap kita dapat meng­eva­­luasi diri bagaimana ketika kita ber­ka­­ta “Tuhan” ke­mu­di­an kita dapat mengerti apa yang se­per­ti Tuhan Yesus ajarkan. Mari re­la­­­si kita di­pu­lih­kan kem­bali sehingga kita dapat berkata, di­kudus­kan­lah namaMu, datanglah kera­ja­an­­Mu (pemerintahan dan oto­ritasMu nyata diatas hidupku) Dia ada­lah Tuhan, raja dan pemilik hi­dup­­ku dan jadilah ke­hen­dakMu, di bumi seperti di surga. Biar­­lah itu yang kita doakan! Biar­­­lah se­tiap ki­ta boleh belajar berdoa seperti for­mat yang Tuhan Yesus ajarkan dalam doa Bapa Kami. Doa di­mana Allah dipertuhankan de­ngan sung­­­guh-sungguh, Dialah otoritas atas hidup kita. 4). Per­­­­­­­hambaan dalam kebenaran tidaklah sa­ma kon­sepnya dengan menjadi hamba dosa. Alki­tab mem­bedakan dengan tajam sekali dimana ke­­­ti­ka kita berada dalam perhambaan dosa ma­­­ka kita di­cengkeram oleh dosa dan dosa ber­sifat mem­­­­­perbudak, sehingga seluruh ke­mam­pu­an, kapa­si­tas dan kesadaran kita dirasuk dan tunduk mut­­­l­ak dibawah pengawasan yang me­rasuk, se­­­perti yang dikatakan dalam Yoh 8:43-44. Sedang Roh Kudus tidak pernah dikatakan merasuk tetapi me­mimpin ­orang sehingga de­ngan demikian ke­hendak/kesadaran kita ti­dak di­hi­lang­­­­­­kan dan ka­re­na itu kita diminta rela mem­per­hamba diri. Dan jikalau kita menyeleweng ma­ka kita akan men­du­ka­kan Roh Kudus.

Di dalam Perjanjian Lama ada satu contoh dimana kalau seorang Yahudi mempunyai bu­­­­­­dak maka budak itu hanya boleh menjadi budak maksimum 7 tahun dan sela­ma itu se­orang tu­an Yahudi diajar untuk tidak memperlakukan budaknya semena-me­­na, sebab mereka adalah bu­dak di dalam umat Allah. Sehingga setelah mereka dibebaskan, mereka mung­­kin tetap ingin ting­­­gal karena tahu bahwa tuannya memperlakukan dirinya dengan ba­ik. Maka kalau ia tetap ingin men­­­­­jadi budak, ia harus dengan rela memperbudak diri ke­pa­da tu­an tersebut dan sebagai tan­da­nya akan ditindik telinganya. Sehingga inilah gambaran bu­dak yang lain, yang rela mem­per­ham­­­­ba­kan dirinya sendiri. Demikian juga, Tuhan min­ta kita de­­­­ngan rela menjadi hamba kebenaran, me­nundukkan diri masuk dalam ke­be­nar­an sehingga dengan demikian kita benar-benar masuk di da­lam kesadaran siapa diri kita dan ba­gai­mana ki­ta me­nye­rah­­­kan diri kembali kepada kebenaran yang sejati. Tuhan tidak ingin kita men­jadi robot dan mem­prog­­ram seluruh hidup kita dan seolah-olah kalau kita berbuat dosa, Tuhan yang salah ka­rena ti­dak melarang kita berbuat. Itu terlalu ja­hat karena seolah-olah kita tidak mau ber­tang­gung jawab un­tuk dosa yang kita kerjakan. Mari kita sa­dar Tuhan menginginkan kita dengan re­la men­jadi ham­ba kebenaran dan tunduk di dalam firman berdasarkan apa yang Tuhan berikan, itu­lah yang na­manya merdeka. Karena firman itulah ke­­­benaran yang menjadikan hidup kita men­jadi be­res dan yang akan memerdekakan kita. Mari kita membereskan konsep-konsep yang tidak benar dalam pikir­an kita tentang kemerdekaan se­hing­­­­ga tidak ada ke­kacauan di dalam pikiran kita yang membuat akhirnya ki­ta ti­dak da­pat meng­ikut Tuhan dengan le­pas, bebas dan sukacita. Tuhan katakan, “Jikalau ka­mu te­tap da­lam firman­Ku, kamu benar-be­nar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui ke­be­nar­an, dan ke­be­nar­an itu akan memer­deka­kan kamu.” Biarlah kalimat ini menjadi kalimat yang ter­ngiang se­nan­tiasa dalam pi­­­­­­kir­an kita dan me­­motivasi seluruh hidup kita. Kita telah mem­beres­kan empat prob­­lem besar yaitu: Prob­­­­lem Iman (ke­per­cayaan kita), Problem Epistemologi (kebe­nar­an), Prob­lem Ke­mer­deka­an (ke­be­basan), dan Problem Perhambaan (ketaatan) yang harus­nya muncul. Kalau 4 problem ini kita be­reskan maka hidup kita akan men­jadi hidup yang mengerti dan berada di da­­lam iman yang se­­jati. Kira­nya Tuhan menguatkan dan men­ja­di­kan kita anak-anak Tuhan yang se­­tia serta me­nger­ti ke­pa­da siapa kita percaya. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)