Ringkasan Khotbah : 13 Februari 2000

ETOS KERJA KRISTEN (3)

Nats : Efesus 4:28

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Hari ini kita akan melanjutkan mengumulkan satu ayat yang saya harap dapat menjadi ciri yang membentuk mentalitas dan ethos kerja kita sebagai seorang anak Tuhan. “Orang yang men­­­curi, janganlah ia mencuri lagi tetapi baik­lah ia bekerja keras, dan melakukan pekerjaan baik de­­­­ngan tangannya sen­diri, supaya ia da­pat membagikan sesuatu kepada orang yang berkeku­rang­­­an.” Berhenti mencuri, seperti be­berapa minggu yang lalu telah kita bahas, bu­kan sekedar se­per­­ti maling yang mencuri barang, dan bukan ber­arti pula bahwa orang yang be­kerja keras pasti bu­­­­kan pencuri. Sebab ada juga pen­cu­ri yang mencuri dengan teknologi canggih dan  bekerja ke­ras dengan jam kerja yang kadangkala lebih panjang dari­ orang yang be­ker­ja secara umum di kan­­­­tor-kantor, sehingga dengan demikian mereka justru tidak bermoral da­lam tugas dan etika ker­ja­nya. Oleh sebab itu, etos kerja merupakan upaya bagaimana kita mengerti ha­kekat kerja yang se­­sungguhnya, dan kita tidak cukup hanya melihat secara fenomena tetapi ha­rus masuk ke­da­­lam mo­tivasi dari kerja yang sesungguhnya.

Salah satu hal yang begitu menyentuh ke­tika merenungkan ayat ini, saya mem­ba­yang­­kan Pdt. Stephen Tong waktu kemarin me­mim­pin ra­pat. Seorang yang berusia 60 tahun de­ngan be­­ban yang begitu besar dan be­rat, namun mampu bekerja de­­­­ngan penuh semangat, dan se­telah ia men­da­pat berkat maka berkatnya ia bagi. Bekerja keras, ti­dak ta­kut su­sah dan be­­­ra­ni meng­a­lami pengorbanan de­mi mengerjakan pekerjaan baik dengan ta­ngan­­nya sen­­diri untuk meng­­ha­sil­kan sesuatu. Hal kedua yang saya belajar kemarin adalah di­ma­na kita mengumulkan ba­­gai­ma­na ge­­­re­ja meng­ha­dapi moralitas ja­man? Kalau kita menghadapi si­­tuasi seperti ini, maka ba­gai­ma­na kita masih dapat mengumul­kan panggilan iman kristen kita? Ke­­­kristenan termasuk teo­­logi Re­for­med bukan me­ru­pa­kan doktrin yang hanya di­otak tetapi teologi yang mau me­nya­tu­kan pe­nger­ti­an esen­­­sial iman Kristen yang ha­rus diterapkan di dalam ke­hi­dup­an. Dan hari ini kita akan me­li­hat ba­­gai­mana etos kerja itu dibicarakan. Kita sekarang hidup di­tengah terpaan slogan-slo­gan yang sa­­­ngat humanis, egois dan hedonistik yang disodorkan di de­pan diri kita yaitu tidak mau kerja atau hidup susah tetapi mau hidup nikmat sehingga akibatnya kita menjadi orang yang hidup se­per­ti Garldfield.

Apa sebenarnya etika ker­ja? Kalau di Alkitab dikaitkan antara jangan mencuri dengan pe­­­­­kerjaan baik, berarti disini kita me­lihat adanya etika kerja di dalam kerja. Sonny Keraf, di bagian be­­­lakang bu­­kunya yang berjudul “Etika Bis­nis (tuntutan dan relevansinya),” mengatakan, “Etika bis­­­­­nis adalah tuntutan bah­wa bisnis harus beretika mutlak tidak dapat ditawar jika bisnis ingin ber­kem­­­­­bang dan lestari.” Ka­limat itu sangat tepat, namun sayang di dalam solusinya ia tidak mem­­be­ri­­­­­kan pe­nye­le­sai­an yang tuntas sekalipun ia sangat berusaha menguraikan dari aspek ke­kris­ten­an. Sehingga disini saya merasakan pentingnya kita lebih ta­jam lagi melihat bagaimana etika da­lam satu kehidupan itu merupakan satu kemutlakan. Dan ka­­lau kita masuk di dalam sa­tu etos ker­­ja maka etika kerja merupakan syarat mutlak yang ti­dak boleh ditiadakan atau menjadi hete­ro­nom (tidak boleh tergantung pada individu). Ketika saudara mengabaikan tuntutan etika dan mo­ral­itas da­lam hidup saudara, itu akan menjadi ekses saudara menghancurkan orang lain dan yang pa­­­ling pa­rah menghancurkan diri sendiri tanpa disadari. Etika sekarang justru digeser menjadi eti­ka relatif, yaitu baik dan jahatnya jika hal itu diperhitungkan merugikan orang lain. Se­lama tidak me­­­­­­rugikan orang lain maka seolah-olah itu menjadi hak kita un­tuk me­la­kukan dan mengembang­kan apa saja. In­do­ne­sia ha­­­ri ini me­ngalami kerusakan seperti ini karena kita tidak mempunyai mo­­­­­­ralitas dan ke­mu­tlak­an hu­kum. Kalau dunia sudah mulai masuk dalam semangat dan cara ber­pi­­­­­kir de­mi­­kian, ma­ka betapa rusaknya seluruh cara penyelesaian ini. Dosa yang su­dah diker­ja­kan, pe­langar­an hu­kum dan perusakan etika ketika satu kali saudara lakukan, ingatlah bahwa hari itu saudara se­dang mengalami ke­ru­gi­an yang terlalu besar karena saudara sedang mencacatkan se­­­­­­­­jarah hidup­ yang tidak akan per­nah dapat dihapus kembali, karena itu sudah ditandai dengan tan­­­­­da ke­­kekalan di da­lam dosa. Ketika Paulus be­gi­tu giat meng­­­aniaya orang Kristen maka se­te­lah bertobat se­ja­rah cacatnya tidak per­­nah dapat di­­ha­­­­pus ha­­bis dari sejarah hidupnya, sehingga se­­tiap kali ia pergi ke satu kota di­cu­rigai wa­lau­pun ia su­­dah mencoba membuktikan bahwa ia me­­la­­yani se­­­cara sung­guh-sungguh. Se­hing­ga di­sini etika me­ru­pa­­kan tuntutan tegar yang harus kem­ba­­li di­­te­ngah ke­­hidupan Kristen.

Yang kedua, Etika tidak boleh dipermainkan. Etika merupakan satu tuntutan yang mut­lak ha­­rus kita kerjakan karena etika menyangkut tata hidup seseorang yaitu ba­gai­ma­na ia hidup be­­­­relasi dengan sesama, alam dan Tuhan. Ketika kita hidup di dalam sa­tu ta­tan­an nor­ma etika ma­­ka disitu dapat dan mutlak akan terjadi perbedaan kon­sep dan per­sep­­si ka­re­na ada dua pihak yang akan mencapai satu tuntutan etika yang ber­beda. Dan ka­lau kita berdiri diatas satu re­lati­fi­tas kon­sep dimana re­­lasi ha­rus terjadi di dalam kon­sep etika ma­ka mau tidak mau kita harus mem­­­­­pu­nyai stan­dar mut­lak dan ada satu kemutlakan se­jati yang ha­rus kita terima. Yang berhak me­­­­­nentukan saudara baik atau jahat bukanlah manusia tetapi harus firman yang menghakimi dan men­jadi patokan da­ri semua unsur serta penilaian etika yang harus di­ker­ja­kan di tengah dunia. Ini ada­lah dua basis pe­­­ngertian dasar di dalam kita membicarakan etika. Ba­gaimana kita melihat eti­ka tentang per­main­­­an Falas dan Saham pada jaman ini dimana itu me­rupakan perusakan cara ker­ja yang tidak be­­­­res dan tidak ada bedanya dengan membuka kasino se­banyak-banyaknya. Te­ta­pi justru cara ker­­­­ja dan etika moral seperti ini yang dipromosikan be­gi­tu besar di dunia termasuk da­lam uni­ver­si­­­tas Kristen. Kalau kita memikirkan hal seperti ini ma­ka bagaimana kekristenan mem­­­punyai nilai yang se­ja­ti di dalam membicarakan masalah mo­ral. Bekerjalah keras! Disini ti­dak ada prinsip per­­ju­­di­an ditengah kekristenan, dan ini prinsip ke­ras yang ditekankan oleh firman. Tan­pa kerja ke­ras ma­­ka tidak ada hasil yang boleh dicapai.

Standar kembali kepada firman menjadi basis etika yang menentukan apa yang benar dan itu menjadi satu titik tolak didalam seluruh pola pikir kita. Ketika kita mulai membicarakan eti­ka, maka disini kunci pertama yang dikatakan Paulus yaitu, “Bekerja keras.” Pekerjaan baik harus di­­­­sertai dengan bekerja keras sebab me­nyangkut beberapa aspek: 1). Effort (upaya/ kesungguh­an). Kalau kita mencari pekerjaan yang tidak susah, tidak perlu tenaga dan otak serta meng­­ha­sil­kan uang banyak maka itu pas­ti bad work/evil work. Ketika Kristus datang ke tengah dunia, Ia ta­hu bah­­wa per­jalanan hidupnya adalah perjalanan Via Dolorosa (jalan salib). Dan dari sejak mu­­lai pe­­la­­­yan­annya Yesus dengan sikap tegas mau bekerja keras dari pagi hari sebelum ma­taha­ri terbit hing­­­­ga malam hari ketika matahari sudah terbenam dan akhirnya hingga na­ik ke kayu sa­lib. Orang yang tidak mem­pu­nyai jiwa kerja (perjuangan) tidak akan pernah hidup dan kalau terus di­pak­sa­kan ma­ka ia akan menjadi pelaku ke­jahatan. Kalau kita punya otak dan pe­nger­­tian yang baik ma­ka bagaimana kita dibangun mentalitasnya se­hingga mempunyai se­ma­ngat ker­ja yang beres dan mempunyai jiwa tidak ta­kut susah untuk bekerja dan menghasilkan se­suatu yang baik dengan tangan kita.

2). Good work is an Quality (bekerja adalah menginginkan hasil yang terbaik untuk di­per­­­­­sembahkan kepada Tuhan). Aristoteles mengatakan, “Very difficult to find out what is good.” Ke­­­­­cuali kembali kepada standar sejati daripada kebajikan karena tidak ada kebajikan yang me­­ma­­­­­­dai. Seperti dalam Mat 19:16-26 Yesus menjawab orang muda yang kaya dengan menga­ta­kan, “Hanya Satu yang baik.” Di tengah dunia yang prag­ma­­tis ha­ri ini kita seringkali bekerja de­ngan sembarangan dan semangat pragmatis yang begitu menguasai kita, dimana semua ti­dak me­­mi­­­­­kir­kan ba­gai­­­mana untuk men­capai kualitas yang memadai. Tuhan menuntut kita be­ker­­ja de­ngan kualitas mak­­simum yang Ia bebankan kepada kita dan masing-masing kita di­beri kualitas yang ber­beda oleh Tuhan. Sehingga kualitas di mata Tuhan bukan diperbandingkan dengan orang la­in te­tapi berapa yang dituntutkan kepada kita, itu yang harus kita penuhi. Dengan demikian se­ti­ap kita me­­mikirkan yang terbaik yang dapat kita kerjakan di hadapan Tuhan.

3). Good Work is a Result (hasil). Pekerjaan baik bukan sekedar perjuangan lalu meng­idam­­­­­kan sesuatu yang terbaik tetapi akhirnya tidak dilakukan sama sekali. Seharusnya kita sadar akan anugerah keselamatan yang diberikan Tuhan dengan harga yang sangat mahal dan peker­ja­an baik yang Ia limpahkan kepada kita sehingga apa yang kita kerjakan seharusnya kita per­tang­gung­­­jawabkan kembali kepada Tuhan. Dan kesadaran itulah yang dapat membuat kita untuk tidak ber­­­­henti bekerja keras. Selama Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bekerja ma­­­­ka ingatlah bahwa kerja itu anu­gerah yang Tuhan percayakan dan apabila Tuhan mau ambil ma­­­­­­ka dalam tempo satu haripun itu semua dapat lenyap. Saya harap apa yang menjadi contoh dan per­gu­mul­an para tokoh firman dan sejarah, seperti: John Calvin, dsb. dapat mendorong kita un­tuk berani mengarap dengan baik apa yang Tuhan per­ca­ya­kan kepada kita.

Pekerjaan baik merupakan bagian daripada tuntutan moral yang harus kita kerjakan de­­­­ngan keras. Disinilah kita melihat bahwa pekerjaan baik dikaitkan kedalam diri kita, dan ka­dang­­­­kala kita dapat terjebak masuk kedalam dua konsep yang berbahaya sekali: 1). Kita dapat me­n­­­jadi work alko­holic (orang yang gila kerja dan kalau tidak bekerja, ia akan mati). Dan work alko­­holic dapat menimbulkan satu dampak atau timbal balik dimana seolah manusia tidak perlu ker­­ja sehingga hal itu mengakibatkan dampak yang sangat negatif serta menghancurkan seluruh ke­­­­seimbangan. Paulus memberikan gambaran yang sangat cermat dengan mengatakan, “Bekerja ke­­­ras untuk melakukan pekerjaan baik.” Dan dua unsur itu tdiak boleh dilepaskan. Yesus membe­ri­­­kan contoh yang indah, “BapaKu bekerja sampai hari ini dan itu alasannya Aku bekerja juga.” Se­­­hingga pe­ker­­jaan manusia gambarkan sebagai miniatur pola yang harus kem­ba­li kepada Tri­tung­­gal sebagai dasarnya. Seorang tokoh yang pernah belajar teologi namun menjadi atheis dan ak­hirnya gila yaitu Friedrich W. Nietzsche (abad 19), seorang filsuf yang terkenal dengan istilah The dead of God Theology dimana di dalam seluruh bukunya ia berjuang keras untuk membunuh Allah se­ca­ra konsep. Namun satu hal yang dikatakannya dalam konsep tersebut adalah dimana eti­ka me­ru­pakan satu ilmu untuk menghimbau manusia supaya mempunyai moralitas tuan dan bu­­kan mo­ra­litas budak atau hamba. Sehingga etika bukan berarti kita didikte, dijepit dan di­mati­kan dan aki­bat­nya tidak mempunyai pilihan ya atau tidak. Seperti dalam Yoh 8 dikatakan bahwa di dalam ke­­ta­atan, kebebasan kita kerjakan secara bertanggungjawab. Begitu kebebasan kita di­cabut oleh Tuhan, maka saat itulah kita berada dalam keterjepitan yang dikatakan oleh Agustinus, non posse non peccare (tidak dapat tidak berdosa), yang artinya ia mau tidak mau berada dalam be­­lenggu do­sa dan yang paling parah, kita kehilangan seluruh kebebasan tersebut. Mari kita kem­ba­li pada prin­sip bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik sehingga cara kerja kita sungguh-sung­guh bertanggungjawab dihadapan Tuhan. Dan suatu ketika kita dapat berkata ke­pa­da Tuhan bah­wa ini yang telah saya kerjakan dihadapan Tuhan dan saya pertanggungjawabkan se­­­mua ini diha­da­panNya. Barangsiapa sudah berada di dalam Tuhan maka ia pasti dimampukan un­­tuk menger­ja­kan­nya, sekalipun banyak kesulitan yang akan dihadapi. Mari kita bersama-sama me­­­­ngerja­kan­nya dengan penuh bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)