Ringkasan Khotbah : 27 Februari 2000
PERKATAAN
YANG MEMBANGUN
Pengkhotbah :
Rev. Sutjipto Subeno
Hari
ini kita kembali masuk dalam bagian yang terakhir sebelum merangkum keseluruhan
tuntutan Paulus didalam relasi antar manusia. Dalam bagian Ef 4:17-32, Paulus
mempunyai penekanan yang begitu seimbang yaitu setelah hubungan kita dengan
Allah dipulihkan maka selanjutnya roh pikiran kita diperbaharui sehingga
kita boleh dikembalikan dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati, yang
menjadikan kita mampu berelasi dengan sesama secara baik (ay. 23-24). Maka
waktu Tuhan mengubah hati kita, seharusnya kita boleh menjadi orang-orang yang
dapat mengerti sesama, bekerja dan menjadi berkat bagi orang lain. Seperti
apa yang Paulus katakan dengan sangat keras bahwa orang yang mencuri,
janganlah ia mencuri lagi tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan
pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia boleh mempunyai
kesempatan untuk membagikan sesuatu kepada mereka yang berkekurangan.
Namun
kita tidak hanya berhenti disitu, sebaliknya Paulus mengatakan: “Janganlah
ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik
untuk membangun, dimana perlu, supaya mereka yang mendengarnya,
beroleh kasih karunia.” Bagian akhir ini merupakan bagian yang
begitu serius dan mengerikan dimana di akhir abad 20 menuju abad 21 ini menghadapi
tantangan yang sedemikian hebat. Maka Paulus mengatakan supaya jangan ada
lagi satu komunikasi rusak dan merusak yang keluar dari mulut kita. Disini
timbul satu pertanyaan dalam diri saya, apakah hal ini hanya merupakan problem
orang-orang jaman Paulus yang dianggap sebagai jaman kuno dan tidak
berpendidikan, yang mengeluarkan kalimat yang kasar, kotor dan sia-sia,
ataukah ini juga merupakan problem abad 21 yang super moderen? Saya melihat justru
menjelang abad 21, gejala itu menjadi satu gejala yang begitu merajalela di
sekeliling masyarakat, sampai seolah-olah merekapun sudah tidak bereaksi
lagi ketika mendengarnya. Bahkan koran, tabloid dan film-film tidak
segan-segan dan seolah itu sudah menjadi suatu yang biasa yang layak disodorkan
kepada masyarakat.
Satu
kali ketika saya berbicara dengan seorang teman, ia mengatakan bahwa kalimat-kalimat
demikian seringkali keluar begitu saja tanpa ia dapat mengendalikan, sekalipun
kita tidak menghendakinya. Itu berarti sudah menjadi natur yang tidak dapat
ditahan lagi! Oleh sebab itu, ayat 23-24 menjadi kunci utama tuntutan
perubahan dan perombakan dasar didalam aspek yang terakhir. Disitu dikatakan,
jangan sampai mulutmu dipakai untuk mengeluarkan kalimat yang sia-sia, tetapi
pakailah kalimat yang membangun orang lain dimana perlu sehingga itu
membuat orang tersebut merasakan anugerah dari Tuhan. Ketika seseorang
mengeluarkan kalimat yang kasar, sebenarnya didalam hatinya ada ide ingin
menyakiti dan merusak orang lain, sehingga sebenarnya inti daripada kerusakan
yang terjadi adalah karena ia ingin merusak semua bentuk format relasi dan ia
hanya memikirkan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan yang terjadi didalam
Kej. 3, dimana Setan selalu ingin merusak semua bentuk relasi, mulai dari relasi
kita dengan Tuhan, sesama, alam dan bahkan terhadap diri kita sendiri
sehingga hubungan yang seharusnya dapat menjadi baik, satu-persatu
dihancurkan. Akibatnya ketika manusia mengeluarkan kalimat-kalimat seperti
itu dimana ia ingin menyakiti, merusak dan melampiaskan marahnya terhadap
orang lain, waktu itu ia sedang merusak relasinya dengan orang lain. Itu
berarti orang tersebut secara bertahap mulai disingkirkan didalam
sistem komunikasi dan akhirnya ia hanya dapat berelasi dengan orang yang sama
kotornya, namun disitu tidak akan pernah terjadi relasi yang benar kecuali keduanya
saling membusukkan. Maka sebenarnya ini menjadi satu keutuhan total yang
sedang menghancurkan dunia secara strategis, hanya melalui mulut kita yang
tidak bertanggung jawab. Didalam Yakobus dikatakan bahwa kita harus berhati-hati
dengan lidah kita karena apa yang keluar dari mulut kita merupakan
pancaran dari hati kita. Disini yang saya pikirkan, mengapa masyarakat
modern bukan menjadi semakin peka dan waspada terhadap gejala seperti
ini tetapi justru semakin terbuka dan menerima semua sikap yang
sia-sia seperti ini.
Saya
merasakan bahwa ini satu bahaya besar ketika kita melihat bagaimana terpaan filsafat
yang merusak secara strategis kedalam seluruh sarana dunia. Kalau kita melihat
di abad 15-17, pengembangan seni menjadi wadah dimana kita dapat membaca
seluruh trend yang sedang terjadi menuju abad 21 nanti. Didalam seni lukis
abad 17, dimana perkembangan dari Renaisans masuk dalam lukisan naturalisme,
kita lihat bahwa lukisan menjadi satu bentuk ungkapan seni yang
obyektif. Mereka mencoba menggambarkan satu realita yang sesungguhnya, apa
yang diungkapkan kepada kita, terlukis dengan begitu jelas sehingga
kita dapat menikmati seni itu secara keseluruhan, sekalipun mungkin orang
yang melihat tidak mengerti lukisan. Inilah yang disebut dengan
objective art (seni yang ketika dibuat, si pelukis mempertimbangkan bagaimana
ia mengekspresikan lukisannya sehingga orang yang melihat dapat
mengerti, kagum dan tahu berita apa yang ingin disampaikannya).
Tetapi gejala lukisan seperti ini tidak lama, sebab selanjutnya bergeser
pada format impresionisme yang sudah jauh meninggalkan format natural karena
didalamnya mulai tertuang format subyektivitas pelukisnya. Kita seringkali
kalau melihat lukisan tidak dapat menangkap apa yang ada di belakang
lukisan tersebut karena kita tidak mempelajari perkembangannya
dari sudut filsafat. Disitu ada satu cara yang sedang dibawa Setan untuk
memaparkan sesuatu, meskipun Rembrant seorang Kristen dan ia mau
mencoba menggambarkan bentuk religiusitas namun banyak lukisannya
yang sudah berbeda dari lukisan pra-Renaisans, bersifat humanistik dan
merakyat. Sampai didalam impresionisme, seluruhnya sudah menggambarkan
humanistik. Kemudian pengerakan ini berubah total ketika muncul tokoh yang bernama
Pablo Piccasso, yang dianggap sebagai titik putar dalam dunia seni yang
menggeser dari seni modern menuju kepada seni post modern. Piccasso hidup
dengan membelah bentuk seni menjadi dua format, yaitu sebelum 1907, dimana
lukisannya masih berformat naturalisme dan impressionisme yang setelah
itu menjadi seni yang obyektif dengan sedikit nuangsa subyektif dan selanjutnya
berubah total menjadi seni subyektif (Cubisme), yang sudah tidak dapat dilihat
secara wajar lagi. Hal ini terjadi karena filsafat seni sudah bergeser total
dari yang dulunya saya ingin saudara juga dapat menikmati hasil lukisan
saya, namun akhirnya sekarang berubah terserah pelukisnya ingin
melukis apa sekalipun mungkin orang yang melihat tidak dapat ikut menikmatinya.
Setelah itu seluruh seni di abad 20 berubah total semangatnya menjadi seni
yang total subyektif dimana muncul tokoh yang bernama Salvador Dali dengan
surealisme yang sudah melampaui realisme. Dan akhirnya seni itu berkembang
kepada abstrak dimana lukisan sudah benar-benar tidak dapat dimengerti secara
wajar. Hal inilah yang membuat kita akhirnya jatuh dalam subyektivitas
total dimana sudah terjadi kesenjangan relasi antara si pelukis dengan si penerima.
Inilah format post modern yang disebut sebagai “The Dead of The Author
Principle” yang artinya kalau saudara sudah membuat sesuatu maka
antara saudara dengan karya saudara serta penerima sudah putus hubungan sama
sekali dan setiap kita bebas berinterpretasi, semuanya merupakan
satu ungkapan subyektivitas yang tidak pernah mungkin bisa ditangkap oleh penerima
(metafora). Itu berarti komunikasi dan relasi berhenti secara total.
Semangat ini disodorkan bukan hanya dalam bentuk seni, tetapi
timbulnya gerakan yang mempersoalkan linguistik dan komunikasi didalam
format yang disebut sebagai Linguistic Analysis yang diperkembangkan oleh tokoh-tokoh
post modern seperti H. G. Gadamer, Jacques Derrida dan A.J. Ayer yang mulai mempersoalkan
bahwa bahasa adalah suatu metafora atau simbol yang diungkapkan. Maka ketika
bahasa mengungkapkan satu simbul maka si penerima tidak dapat mengerti apa
yang diungkapkan oleh orang yang berbicara. Jadi antara orang yang berkata
dengan orang yang menerima merupakan dua hal yang berbeda, dan disini yang
disebut dengan problem metafora didalam problem linguistik. Setelah masuk
dalam bagian ini, kita baru mengerti bahwa abad 20 menjadi abad yang mengerikan
sekali karena setan sudah mempersiapkan satu sarana dimana kita akhirnya
masuk kedalam satu Subjective Understanding (pengertian subyektif) terhadap
relasi. Kalau sampai terjadi hal seperti ini maka itu akhirnya menyebabkan
berhentinya semua komunikasi yang berdampak tidak adanya komunikasi. Saudara
dapat membayangkan kalau hal ini terjadi didalam gereja pada saat
ini maka banyak sekali hamba-hamba Tuhan yang terkena format dari prinsip
komunikasi seperti ini, yang membuat gereja rusak. Kalau saudara sampai
dalam format seperti itu bagaimana terjadi komunikasi yang sejati,
bagaimana kita dapat perduli dengan satu bentuk komunikasi yang sesungguhnya.
Saya
teringat Pdt. Stephen Tong waktu berkata, “Ketika engkau berdiri di mimbar maka
yang harus engkau pikirkan adalah bagaimana supaya jemaat dapat bertemu dengan
Tuhan dan bagaimana Tuhan dapat berbicara kepada jemaat.” Komunikasi merupakan
satu tuntutan bagaimana orang boleh menangkap dan mengerti sebab komunikasi
merupakan bentuk dari relasi. Mengingat peristiwa babel, ketika semua
bersepakat untuk melawan Tuhan maka Ia melalui bahasa memecahkan mereka
sehingga komunikasi dan relasi terpecah dan mereka semua terserak. Berarti
bahasa merupakan cara relasi yang sangat kuat yang seharusnya dapat kita pakai
tetapi dengan sengaja saat ini bahasa telah dirusak sedemikian rupa sehingga
mulut mereka mengeluarkan kalimat yang tidak seharusnya. Maka saya
mengajak kita memikirkan apa yang Paulus katakan, sama seperti ayat 28
dimana semangat dan jiwa yang penting adalah jiwa mencintai yang mau berbagi
dan memikirkan orang lain. Komunikasi yang terbaik harus dimulai dengan jiwa
altruistik dan ini tidak dapat terjadi kecuali dengan cinta yang sejati
sehingga seluruh hidup kita diubah dari semangat egois menjadi jiwa yang
mau mengerti, menanggapi dan mau berbagi dengan orang lain. Satu konsep
keluar dari diri demi supaya kepentingan orang lain dapat dipertimbangkan.
2).
Alkitab mengatakan, “… pakailah perkataan yang baik untuk membangun.”
Ketika kita sedang berkata kepada orang yang kita kasihi, kalimat yang akan
kita ucapkan akan kita pertimbangkan dengan baik tetapi mungkin tidak
membangun, karena semuanya masih demi supaya kita tidak dirugikan. Sehingga
akhirnya orang yang mendengar bukan menerima realita yang sejati tetapi justru
menjerumuskan mereka. Kadangkala mungkin kita harus mengatakan sesuatu yang pahit
tetapi kalau itu demi kebaikan mereka, maka itu harus kita katakan dengan cinta
kasih yang cukup untuk menegur. Antara mengasihi dan membangun harus
digabungkan supaya terjalin suatu kalimat yang benar, tulus dan bersifat
konstruktif. Kalau hati kita diubah maka yang keluar dari mulut kita secara
otomatis adalah hal yang membangun dan itu akhirnya yang membuat kita dipakai
Tuhan. Kalau itu dapat kita jalankan maka hal ketiga yang menjadi kunci pengujinya
terjadi, yaitu 3). Supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.
Disini bagaimana kalimat-kalimat yang kita ucapkan dapat dipakai Tuhan
untuk membangun dan menguatkan orang lain sehingga mereka boleh merasakan
anugerah turun atas mereka. Dan dengan demikian kita dapat menjadi saksi
Tuhan dimanapun kita berada. Memang natur kita tidak sedemikian mudah diubah
untuk kembali kepada kebenaran, itu semua membutuhkan ketekunan dan perjuangan
yang seringkali harus sampai menghancurkan kesombongan dan kekukuhan kita yang
sulit diubah. Sehingga itulah saat Tuhan boleh memakai kita dengan lebih baik
lagi, asal kita rela dibentuk. Inilah yang saya harap setiap kita dapat
menjawab di hadapan Tuhan! Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)