Ringkasan Khotbah : 12 Maret 2000

THE POSITIVE RELATIONSHIP

Nats : Efesus 4:31-32

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

 “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang da­­­ri antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang ter­ha­dap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah didalam Kristus te­­­lah mengampuni kamu.” Hari ini kita telah sampai dalam bagian terakhir dari tun­tut­an tegas yang dinyatakan Paulus dalam Ef 4 ini, yaitu ketika kita sudah dibentuk menjadi satu manusia ba­ru didalam Tuhan, hubungan kita dengan Allah yang telah ter­putus boleh dipulihkan. Dan ketika hu­­­bungan kita de­ngan Allah sudah terbentuk kembali, maka aspek kedua yang harus nyata ialah ba­­gaimana hu­bungan kita dengan sesama juga mengalami perubahan. Manusia baru bukan ka­re­­na berganti model atau aksesorisnya, tetapi seperti yang di­se­but­kan didalam ay. 23 yaitu roh pi­kir­­annya diperbaharui dengan kebenaran dan kekudusan yang se­sungguhnya daripada Allah. Di­ma­­na seseorang ketika diperbaharui didalam Kristus, ia di­ubah dari dalam, sehingga cara hidup, si­kap dan relasi seluruhnya bukan merupakan relasi dibawah hukum tetapi dimotivasi keinginan un­tuk mengenapkan apa yang Tuhan kehendaki kita kerjakan dan tidak ingin mendukakan Roh Ku­dus. Dengan demikian cinta kasih itu akan keluar dan memulihkan format relasi. Hal ini kita te­kan­kan karena inilah yang menjadi aplikasi terpenting didalam kehidupan iman Kristen.

Ketika sampai di ayat 31-32, Paulus kembali menutup dengan mengkontraskan secara lang­sung antara ay. 31 yang merupakan format negatif dengan ay. 32 yang merupakan format po­sitifnya. Di bagian 31 ia menggunakan 5 istilah yang sebenarnya terdiri dari 3 bagian, yaitu ke­pa­hitan yang dikontraskan dengan ramah; kegeraman dan kemarahan (marah yang sudah me­le­tup menjadi satu tekanan tinggi) dikontraskan dengan cinta kasih mesra yang seharusnya mun­cul; dan yang terakhir, sudah menjadi satu tindakan yaitu pertikaian dan fitnah yang dikontraskan de­ngan mengampuni. Maka kalau kita melihat tiga hal ini, kita mengetahui bahwa disatu format ter­dapat relasi klimaks yang semakin menghancurkan, sedangkan yang lain satu relasi klimaks yang semakin hari justru semakin membangun orang lain.

Disini ada 2 alasan penting mengapa hal seperti ini diungkapkan dalam posisi klimaks se­sudah, “Jangan engkau mendukakan Roh Kudus Allah.” Karena justru disinilah bentuk dari ke­kris­tenan akan masuk kedalam aplikasi yang paling nyata, dimana letak keindahan atau ke­han­cur­an kekristenan akan terlihat. Yang pertama, gereja yang seharusnya menjalankan format ay. 32 justru seringkali lebih menjalankan ay. 31. Gereja yang seharusnya tempat cinta Tuhan ber­kem­bang dengan indah dan persekutuan anak-anak Tuhan berjalan dengan baik namun justru se­gala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah yang ada diantara mereka. Hal ini ditegaskan karena seringkali tanpa disadari didalam gereja terjebak dalam satu format dimana se­olah-olah kita hidup didalam impian dan ilusi yang tidak tepat. Kita seolah merasa sedang hi­dup didalam cinta kasih namun tidak menyadari bahwa kita masih perlu berubah, bertobat dan mem­buang hal-hal seperti itu. Dan akibatnya timbul satu gap yang harus kita pelajari dan me­ngerti. Kedua, disatu pihak kita ingin membereskan masalah ini tetapi dilain pihak kita justru men­ja­di pelaku, perusak dan pembuat masalah. Saya harap kita sebagai gereja bukan menjadi alat pe­rusak relasi yang dipakai oleh setan tetapi justru menjadi alat Tuhan yang menjadi tempat di­ma­na pembentuk relasi yang baik. Hal itu memang tidak mudah karena sifat kedagingan kita ma­sih berusaha untuk menghancurkannya.

Kalau kita perhatikan, dua bagian tersebut selalu mulai dari hal yang kecil dan satu lang­kah yang sedikit tetapi kalau tidak cemat diwaspadai maka akan berdampak besar. Dr. Martin Lloyd Jones, pengkhotbah besar dari Westminster Chapel ketika mengeksposisikan ayat ini me­nga­ta­kan supaya kita waspada terhadap pola yang dipakai oleh setan sejak Kej. 3. Inti cara kerja se­tan adalah mendisrelasikan atau merusak semua bentuk relasi yang ada. Ketika dosa terjadi ma­ka rusaklah semua relasi yang ada didalamnya. Sehingga seorang yang relasinya dengan Tuhan ti­dak beres maka relasinya dengan sesama juga sulit beres sebab inti terakhirnya hanya ber­putar di­­dalam kepentingannya sendiri. Maka disini terjadi satu sikap yang nantinya menjadi bom ber­ba­ha­ya yang akan meledak. Selama potensi relasi itu tidak dikembangkan dalam format yang tepat ma­ka selalu berpotensi meledak di setiap kita. Untuk ini, ada satu pemikiran yang sa­ngat perlu ki­ta waspadai dari tingkat pertama relasi itu mulai rusak: “Segala kepahitan hendaklah di­buang dari an­tara kamu.” Dan dikontraskan dengan, “hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,” dan mau menjadi orang yang menyenangkan teman ber­bi­ca­ra­nya.

Sebab ketika kita berbicara, tanpa sadar setiap kita berpotensi menimbulkan ke­pa­hit­an. Dan kalau potensi kepahitan ini ditanggapi maka itu akan menjadi kepahitan sesungguhnya. Ke­­tika kita berbicara dengan orang lain, sangat sering terjadi apa yang disebut dengan miss com­mu­­nication (kegagalan komunikasi). Terjadinya hal tersebut adalah wajar didalam pembicaraan ka­­rena berbagai macam alasan, yang antara lain: karena persepsi yang berbeda, karena ke­ter­ba­tas­­an bahasa kita, karena kekurangan pengertian latar belakang dan berbagai macam aspek yang lain. Tetapi ketika miss komunikasi ini tidak ditanggapi dengan sikap ramah, maka itu akan mu­­lai menjadi kepahitan yang berbahaya. Ketika mendengar, seolah kalimat itu kita anggap ingin me­­nyerang atau menyakiti, padahal mungkin si pembicara tidak bertujuan demikian. Ini yang per­ta­makali Paulus waspadai! Pahit dalam hal ini mempunyai dua aspek langsung bersama-sama yaitu kedalam dan keluar, dan ini biasanya selalu terjadi bersama-sama. Waktu kita mulai men­de­ngar seseorang mengatakan dan hati kita mulai pahit maka biasanya kalimat kedua yang di­ucap­kan bukan lagi dengan persepsi yang berbeda tetapi dengan sengaja membuat kepahitan, un­tuk me­nyakiti atau memainkan orang lain. Yang artinya ketika kita mengucapkannya, didalam ha­ti, dan sikap kita sudah mempunyai keinginan untuk mulai membalas melukai. Kalau relasi su­dah mun­cul dengan semangat seperti ini, maka relasi ini menjadi relasi yang pahit dan biasanya men­jadi rusak. Inilah yang perlu dijaga dari titik awal, kalau dari sejak dini kita dapat peka hal se­perti ini maka saya rasa kita dapat menghindari banyak hal. Alkitab mengatakan, “Hendaklah ka­mu ra­mah seorang terhadap yang lain.” Ramah dalam ayat ini mengandung suatu keinginan da­lam hati mau bersahabat dengan orang lain dan seperti laut yang lebar yang siap menampung siapa saja yang masuk kedalamnya, dan dimana kita berupaya bagaimana sebaik mungkin da­pat me­ngerti dan menopang dia. Keramahan yang kita lakukan kalau disaat kita ada maunya, itu bu­kan­lah ra­mah tetapi lebih tepatnya adalah bisnis, karena itu hanya sekedar tutupan topeng da­ri luar de­mi suatu kepentingan diri sendiri/ kebajikan luar. Mari kita belajar bertumbuh dalam as­pek per­ta­ma ini karena justru dalam tahap ini seluruh proses pengerusakan relasi dapat sam­pai ke titik final.

Selanjutnya, jikalau di tahap pertama tidak ditangani dengan baik, maka langkah ke­dua akan segera muncul yaitu ‘kegeraman dan kemarahan.’ Ketika Kain sudah mulai panas ka­re­na persembahannya ditolak oleh Tuhan, maka pada saat seperti itu seharusnya ia meneduhkan ha­ti­­nya. Ketika itu Tuhan telah memperingatkannya dengan jelas tetapi apa yang menjadi kema­rah­an­nya sudah tidak dapat ditahan dan ia tidak mau meneduhkannya. Hari ini kita dapat bersaat te­duh se­­hingga dengan demikian kita mohon pada Tuhan untuk meneduhkan kemarahan yang mung­kin su­dah membara dalam hati kita. Ketika sampai di tahap kedua kita tidak dapat me­ne­duh­kannya maka kemungkinannya ada­lah kita akan masuk dalam tahap ketiga yang sangat fatal, yang hanya akan mendatangkan sa­tu tindakan yang menyakitkan. Disini dapat terjadi dua hal yaitu pertikaian langsung (benar-be­nar secara langsung bertindak) dan fitnah (membunuh secara ti­dak langsung). Sampai pada saat se­perti itu maka hati kita sudah keluar daripada logika yang se­jati dan sudah rusak. Pada saat se­perti ini meningkatnya seluruh kemarahan kita sudah sampai pa­da tindakan yang menuntut kita me­lakukan satu tindak kejahatan. Musuh-musuh Tuhan Yesus me­rasa bahwa tindakan pe­layan­an­Nya dianggap suatu ancaman besar dan me­reka tidak mau me­ngerti serta menangkap apa yang menjadi persepsi Tuhan didalam melayani, sehingga me­re­ka pikir Ia sedang merusak harga diri dan mengganggu pelayanan mereka. Bahkan ketika me­re­ka berhasil membunuh Yesus di atas kayu salib, mereka merasa menang tetapi justru itulah ke­ka­lahan mereka karena kuasa setan sudah menguasai dengan satu jiwa kebencian dan ke­ma­rah­an.

Pdt. Stephen Tong pernah mengajarkan satu hal dimana ketika ada orang yang me­nga­­­­takan suatu kalimat yang menyakitkan terhadap kita maka sebaiknya kita mencoba me­mi­kir­kan dari ­pi­hak orang tersebut, karena mungkin ia merasakan apa yang kita la­ku­kan dan katakan be­­gitu menyakiti dan me­rugi­kan. Mari kita berpikir secara proporsional melihat ma­sa­lah­nya dan men­jadi orang yang mau beramah. Setiap kita mem­pu­nyai kelemahan masing-ma­sing disetiap bi­dang kita tetapi mari kita belajar untuk bertumbuh. Tuhan minta kita ramah satu sa­ma lain, de­ngan demikian kita mau mencoba mengenal orang lain, dan ta­hap kedua diperlukan yaitu mau me­ngasihinya. Se­jauh saudara mau megasihi orang lain maka se­jauh itu saudara mau me­ngerti dan men­jadi seorang yang dalam banyak aspek mau mem­bangun orang lain. Ini sa­tu hal yang mem­buat kita tidak siap untuk ma­rah. Alkitab mengatakan didalam Yoh 13:34-35, “…, Dengan de­mikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu yaitu jikalau kamu saling me­ngasihi.” Dan dengan mo­tivasi bahwa kita tidak mau mendukakan roh kudus Allah. Itu baru me­rupakan cinta yang ber­kua­litas berbeda dan didalamnya tidak ada pen­cemaran sa­ma sekali se­hingga sampai terhadap orang yang memusuhi, kita masih dapat men­cintainya. Kualitas cinta se­perti itulah yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Karena ka­­sih seperti ini ha­nya terjadi ketika orang itu men­da­pat­kan kasih Kristus didalam hatinya. Dan pada tahap ketiga, ketika orang lain me­­nyakiti dan menyalahmengerti kita maka se­ha­rus­nya kita me­ngam­puni­nya. Ini satu hal yang be­gitu in­dah yang Tuhan ajarkan bagaimana kita membentuk re­lasi yang seindah mungkin di­dalam di­ri anak Tuhan.

Banyak yang menyebut bah­wa sekarang ini adalah masyarakat yang sakit ka­­re­na saling menyakiti. Masyarakat seha­rus­nya menjadi satu pembentukan relasi yang terbaik di­­da­lam komunita yang dapat membangun ke­se­jah­teraan. Tetapi ketika masyarakat itu sakit, ma­ka sa­tu sa­ma lain akan saling menghancurkan dan me­nyakiti. Jikalau demikian, apakah masya­rakat Kristen ju­ga menjadi masyarakat yang sakit? Kita memang tidak sempurna, tetapi saya me­rin­du­kan hari ini kita bertumbuh, belajar meng­instropeksi diri dan menggumulkan seberapa jauh kita su­dah di­ben­tuk oleh cinta Tuhan, sehingga ak­hirnya kita dapat mulai belajar ramah, penuh ka­sih mesra dan saling mengampuni. Dan setiap masalah yang timbul untuk memecahkan relasi di­redam dan diredupkan dan akhirnya kita dapat berelasi secara baik. Biarlah ini menjadi satu tun­tutan dalam diri kita, sesuatu yang boleh membangun sehingga akhirnya seluruh relasi dapat di­bangun de­ngan baik. Itulah yang Tuhan inginkan! Mari kita belajar bertumbuh bersama-sama untuk hal ini. Mau saudara? Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)