Ringkasan Khotbah : 19 Maret 2000

HANYA YANG SIAP MENGHADAPI KEMATIAN, DAPAT BENAR-BENAR HIDUP

Nats : Ibrani 9:27-28

Pengkhotbah : Ev. Solomon Yo

 

Beberapa tahun ini saya ba­nyak memikirkan tentang kematian, dimana bagi saya ini me­rupakan satu masalah yang sangat pen­­ting untuk kita pelajari dan mengerti secara tepat. Ke­ma­tian merupakan suatu rea­­lita yang tidak da­­pat ditolak, cepat atau lambat, tua atau muda de­ngan segala cara, sakit, ke­­­celakaan atau­pun karena usia tua. Kita harus siap kapan saja dan di­ma­na saja. Sua­tu realita hidup yang be­gitu tra­­gis sekali dimana sesungguhnya hidup manusia itu be­gitu ren­tan dan singkat. Hans Baldung me­lukis sua­­tu lukisan yang diberikan judul: “Ting­kat-ting­kat kehidupan de­ngan ke­ma­ti­­an.” Ia ingin mengungkapkan mengenai tingkat kehi­dup­an di­ma­na ketika manusia la­hir dengan ke­a­­­­daan secara jasmani begitu indah, kemudian ke­can­tikan yang sem­purna didalam se­orang ma­nu­­sia da­lam kedewasaannya, selanjutnya berubah de­ngan tim­bul­nya keriput karena tua dan ak­hir­­­­nya men­jadi satu mayat yang begitu mengerikan. Se­muanya ini me­rupakan sesuatu yang tidak da­­­pat kita hindarkan sebagai manusia, kita semua men­ja­lani hi­dup dibawah bayang-bayang maut. 

Di­sini terdapat beberapa sikap atau cara orang dalam menghadapi kematian: 1). Sikap yang naif. Orang berusaha menghindari membicarakan hal-hal yang se­­demikian karena itu hanya akan menimbulkan ketakutan/kesialan. Si­kap ini mirip se­perti burung onta yang ketika dalam ba­ha­ya menyembunyikan kepalanya ke­da­lam lobang dan mem­biar­kan tubuhnya masih ada. 2). Si­kap yang sangat “berhikmat.” Epikuros mengajarkan sa­­tu eti­ka yang sepertinya amat indah tetapi di­dalamnya humanistik atheis yang sangat menye­sat­­kan di­da­lam pandangan Kristen. Ia me­nga­ta­kan, “Ketika ki­ta takut mati berarti kita belum mati, dan ke­ti­­ka kita sudah mati, kita sudah tidak bi­­sa takut, karena itu kita tidak perlu takut mati.” Asumsinya adalah ketidakper­cayaan kepada ada­­­­nya Tuhan yang campur tangan mengurus kehidupan manusia seperti didalam kon­sep Kris­ten, ser­­ta adanya jiwa setelah kematian.

Apakah kematian itu, mengapa ada kematian dan bagaimana cara kita menghadapi ma­­­­­salah kematian? Kita akan melihat hal ini dalam dalam perspektif Kristen. Iman Kristen melihat ke­­ma­­­­tian sebagai sesuatu yang abnormal/sesuatu yang buruk sekali. Didalam kematian La­za­rus, di­katakan disitu bahwa Yesus menangis (Yunani: mengandung suatu kesedihan dan ke­ma­rah­­­­an ter­hadap kondisi manusia yang sebenarnya bukan diperkenan Tuhan). Allah menciptakan ma­­­­nu­sia supaya hidup bahagia dalam persekutuan dan menikmati rahmat Tuhan yang limpah, te­ta­­­pi ka­rena dosa manusia, kematian datang kedalam hidup manusia. Kematian harus dimengerti da­lam tiga rangkap arti yaitu bukan hanya ke­­­­matian secara fisik tetapi kematian rohani dan kekal. Ke­­jatuhan manusia dalam dosa meng­aki­bat­­­kan hubungannya dengan Allah terputus dan ia di­kua­­­sai oleh iblis sehingga mati secara ro­ha­ni, dan itu membuat manusia menjadi mahkluk yang di­­­penuhi dengan segala permasalahannya, ka­­­­re­na dosa sudah menghancurkan hidupnya. Maka ke­­­tika kematian fisik ti­­ba, itu berarti ha­bis­nya kesempatan untuk dipulihkan, dilepaskan dari hu­ku­m­­­an Tuhan dan di­se­la­­matkan. Ketika kita ma­­ti maka kondisi dalam do­­sa inilah yang akan kita ba­wa didalam ke­ke­­kalan, kita mati kekal. Inilah yang harus kita takuti! Kita tidak takut ke­­pada ke­ma­tian fisik te­­tapi yang kita takuti ialah kita memasuki kekekalan didalam kondisi yang ce­laka dan di­kuasai oleh dosa.

Semua pengajaran manusia tidak akan pernah membuat manusia lepas dari dosanya. Martin Luther pernah dalam pergumulannya melawan dosa hampir putus asa. Dia ingin selamat dan untuk selamat ia harus mencapai standar kesucian dan pun­caknya adalah mengasihi Tuhan. Na­mun ia tahu bahwa ia tidak sanggup dan kesim­pul­an­­­nya pas­ti binasa sehingga bagaimana mung­kin yang akan binasa dapat mengasihi yang akan mem­­­­bi­na­sakannya. Disinilah justru me­la­lui anugerah Tuhan ia dibenarkan oleh iman. Kristus di­da­­­lam kesempurnaan Allah dan manusia ma­ti menebus dosa ma­nusia. Ia menerima segala hu­kum­­­an yang harusnya ditanggung manusia dan didalam kuasanya Ia memiliki hidup yang tidak ber­­­kebinasaan yang ketika sengat maut mau meng­hancurkan justru kua­sa hidup menhancurkan, me­­­matahkan dan memberikan kemenangan ba­gi kita semua. Bangkit dengan tubuh ke­muliaan yang akan diberikan juga menjadi bagian kita se­hingga Ia akan disebut sebagai yang su­lung, yang pertama bangkit dari antara orang mati. De­mi­kian­lah me­re­ka yang berharap dan percaya ke­­­padaNya mendapatkan janji kebangkitan dari­pa­da ke­ma­tian, hi­dup yang tidak berkebinasaan. Kematian Yesus yang sudah meng­han­cur­kan kua­sa setan dan dosa secara sempurna mem­­berikan jawaban bagi permasalahan kita bahwa ke­­ma­tian bukan lagi menjadi sesuatu yang me­­­nakutkan, karena sengatnya sudah dipatahkan dan hi­­dup kita yang sementara, yang satu hari na­n­­ti akan mati akan dibangkitkan.

Dengan pengertian ini kita dapat meresponi realita ke­ma­­tian dan ba­gaimana kita men­ja­lani hidup ini dengan se­ba­ik dan sebijaksana mungkin. Ada be­be­­rapa point yang akan kita re­nung­kan bersama, yaitu: 1). Ke­­sadaran bahwa kematian me­rupa­kan masalah ter­besar yang ha­rus kita selesaikan mem­ba­wa kita pada urgensinya untuk mem­be­res­­­kan hu­bung­an kita dengan Tuhan. Mungkin ada orang yang sudah giat me­layani bahkan mung­­­kin men­­jadi hamba Tuhan, na­mun apakah se­sungguhnya hidup kita sudah di­lahirkan kem­bali? Paulus me­nga­takan, “Aku me­nga­wasi diri­ku, su­paya jangan setelah aku melayani Tuhan orang di­­se­­la­­mat­kan tetapi aku sen­­diri yang dito­lak.” Orang Reformed harus menjaga antara ke­man­­­tap­an ja­min­­an keselamatan dan sikap rendah hati yang mau mengevaluasi diri. Dua-duanya ti­­d­ak ber­ten­ta­ng­­an dan hal ini ha­rus kita miliki. Blaise Pascal mengatakan bahwa se­ka­lipun ma­­­nu­­sia begitu kecil tetapi manusia te­­tap lebih agung dari­pa­da alam semesta karena ia me­miliki ra­­sio dan sifat yang begitu mulia, na­mun ia begitu bodoh ka­rena jiwanya yang kekal dan ber­sifat sa­­ngat penting tidak sungguh-sung­guh dipikirkan secara se­rius dan dijaga.

2). Pemikiran akan sorga memberikan kita dorongan dan kekuatan yang be­sar un­­­tuk me­lakukan karya-karya besar bagi dunia ini. C.S. Lewis menga­ta­kan, “Jika anda membaca se­ja­rah maka anda akan mendapati bahwa orang-orang yang berbuat pa­ling ba­nyak bagi dunia ini ada­lah mereka yang paling banyak ber­pi­kir mengenai dunia yang akan da­tang. Mereka se­mua te­lah meninggalkan jejak mereka didalam du­nia ini karena pemikiran mereka diisi oleh sor­­ga. Justru ka­rena orang Kristen pada umumnya ti­dak lagi berpikir mengenai dunia yang akan da­tang maka me­reka menjadi tidak efektif dan ber­gu­na didunia ini.” Para pahlawan iman seringkali meru­pa­kan orang yang mempunyai ba­nyak pe­nya­kit, kelemahan dan hambatan tetapi mereka tidak dapat di­ha­langi karena pang­gil­an sor­gawi me­re­ka begitu jelas se­hingga me­reka tidak dapat diam se­ka­li­pun menghadapi ha­lang­an apa saja. Ini­­lah hal yang pa­ra­doks dan se­kaligus ironis! Justru ka­­re­na ki­ta terlalu sehat dan ba­nyak ke­sem­pat­­an untuk menikmati hidup akhirnya hidup kita men­ja­di sia-sia dan tersesali wak­tu tua. Dalam Flp 3:14; 20-21 dikatakan, “Aku melu­pa­kan apa yang telah di­be­lakangku dan me­ng­a­rah­kan diri ke­­pada apa yang dihadapanku, dan ber­lari-lari ke­pa­da tujuan un­tuk mem­per­oleh ha­di­ah, yaitu pang­gilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Paulus ada­lah orang yang teguh sam­­pai pada ga­ris akhir dengan penuh kemenangan (diperjelas dalam II Kor 4:16-18).

3). Kesadaran bahwa setelah mati kita akan memperoleh hadiah atau hu­kum­an dari Allah, itu memberikan pada kita sense of responsibility khususnya didalam kehidupan moral kita. Viktor Frankl melihat arti penting dari kematian didalam kehidupan manusia. Ia mengatakan, “Jika ma­nusia ti­dak dapat mati maka tentunya ia akan dapat dan di­­­be­narkan untuk menangguhkan se­tiap tindakan un­tuk waktu yang lama dan selama-lamanya. Ia ti­­­dak perlu membuat keputusan, ka­re­na apa yang ia putuskan tidak akan mem­be­­ri­­kan perubahan, karena masih ada kesempatan. Na­mun de­ngan adanya kematian sebagai ak­hir mutlak bagi masa depan dan pembatas bagi ke­mung­kinan ma­ka kita memiliki keharusan un­tuk tidak melewatkan satu peluangpun untuk me­la­ku­kan tin­dak­an yang dapat mempengaruhi seluruh hidup kita. Kesadaran akan ke­­­matian mem­buat kita serius dan sadar bahwa kita tidak akan berada terus-menerus dalam du­nia ini, se­hing­ga ke­pu­tusan yang kita buat mempunyai pertanggungja­wab­­an terhadap Tuhan. Dan itu juga mem­­be­ri­kan pada kita satu kerelaan untuk melayani tanpa dilihat ma­nusia. Ke­sa­dar­an inilah yang akan mem­buat mo­ral dan etika kita menjadi berbeda.

4). Pikiran akan sorgawi memberikan pada kita satu perspektif Calvin yang benar un­tuk me­ne­­­tapkan nilai hidup dan hikmat bagaimana membangun kehidupan kita yang paling berarti dan lim­­­pah. Rahasianya sudah ada dalam firman Tuhan yaitu dalam I Kor 7:29-31 dikatakan: “… se­­bab dunia seperti yang kita kenal se­ka­rang akan berlalu.” John Calvin memberikan suatu pan­dang­­an dimana sikap kita mem­pergunakan hal-hal dunia ini se­ha­rus­nya seperti seorang musafir yang pemikirannya terarah pa­da negeri sorgawi yang sedang kita tu­ju. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang mem­punyai sikap siap rela melepaskan se­ga­la milik dan kenikmatan yang kita peroleh dengan tangan ter­buka sebagai persembahan pada Tuhan. Dan ketika kita mem­­­peroleh berkat nikmat, kita me­ne­rimanya sebagai pembangkit selera atas nik­mat sorga yang le­bih tinggi yang akan mengingatkan kita pada suatu ke­lim­pah­an yang lebih be­sar yang sedang me­nanti kita di­dunia yang akan datang. Ini­lah paradoks! Kalau kita tidak memiliki sikap demikian ma­­ka kita berada dalam kondisi ber­ba­ha­ya. Kita hanya mam­pu mengasihi ke­hi­dup­an kita yang se­sung­guh­nya ketika kita sungguh-sung­guh telah belajar meng­anggap rendah du­nia ini. Kita me­ne­­rima anugerah Tuhan ka­rena memberikan kenikmatan un­tuk kita nikmati te­ta­pi kita mengucap syu­­kur pada Tuhan dan itu tidak pernah mengikat lalu ke­tika kehilangan kita ang­­gap bahwa Tuhan kita yang hilang dan Tuhan tidak penting. Waktu itulah ba­ru nyata mana yang penting! Se­orang yang berusia 28 tahun ber­nama Jim Elliot mengatakan sa­tu perkataan yang sangat ter­ke­nal: “Orang yang melepaskan apa yang tidak dapat diper­tahan­kan dan me­me­gang erat apa yang ti­dak dapat direbut darinya bukanlah orang yang bodoh. Kalau kita ti­dak memahami dengan baik akan hal ini maka da­lam kehidupan kita se­ring­kali ter­jadi cekcok ka­re­­na hal-hal yang sepele, se­hing­ga hal yang pen­ting kita korbankan. Biarlah kita me­miliki ke­bijak­sa­­naan untuk melihat hal ini.

5). Selanjutnya kita akan melihat bahwa pemikiran sorgawi ini akan menolong dan meng­­ang­­kat kita mengatasi kehidupan yang tidak mudah dan memberikan kekuatan yang di­bu­tuh­kan un­­­tuk bersabar dalam kehidupan didunia ini sampai tiba waktunya Allah membawa kita kem­bali ke­ sorga. Didalam du­nia ini banyak orang yang susah dan memiliki banyak masalah tan­pa ter­ke­cuali orang yang mem­punyai materi. Sehingga orang baru dapat menerima seluruh rea­lita hidup yang berdosa ini jika ia memiliki satu pengharapan akan mendapatkan sesuatu yang le­bih indah. Ter­­­ka­dang didalam kekurangan orang justru itu menjadi suatu kelebihan/ anugerah yang semua orang se­­be­narnya tidak mau te­ta­pi kemudian setelah menjalaninya ia baru me­nya­dari bahwa itu anu­­ge­rah Tuhan.

Orang yang ti­dak mempersiapkan dan memikirkan kematian, sa­ya pikir ada­lah orang yang tidak siap hidup. Dengan pemahaman mengenai realita kefanaan, pen­­­carian me­nge­nai mak­­na kehidupan dan harapan dari Tuhan akan memberikan ke­pada kita sua­tu sikap di­mensi hi­dup dan satu standar hidup yang akan menjadikan kita ma­nusia se­sung­guh­­nya (Mzm 8). Biarlah kita tidak melupakan akan panggilan sorgawi, harapan sorga supaya ki­ta tahu hidup yang bijak­sana meng­anggap rendah apa yang memang sepele dan me­men­ting­kan apa yang me­mang ber­sifat ke­kal. Biarlah saat ini kita meresponi dan bertekad mem­per­ba­ha­rui hidup se­suai dengan apa yang telah diajarkan Roh Kudus melalui firman yang di­sam­pai­kan ham­ba­Nya. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)