Ringkasan Khotbah : 26 Maret 2000

BE THE IMITATOR OF GOD

Nats : Efesus 5:1-2

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

 “Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hidup­lah didalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menye­rah­kan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” Pemotongan di Ef 5:1 ini dianggap kurang tepat karena bagian tersebut seolah-olah terpecah menjadi dua tema yang tidak berhubungan, padahal Ef 4:17 hingga Ef 6:9 merupakan satu gabungan total yang me­ngam­barkan im­pli­ka­si iman Kristen. Disini perlu ditegaskan sekali lagi bahwa iman Kristen tidak se­kedar menjadi satu kon­sep dan perdebatan teologi tetapi harus nyata didalam kehidupan se­hari-hari. Dr. Francis E. Schaefer, se­orang Prof. Apologetik yang baru meninggal se­kitar 7 tahun yang lalu, mendirikan “L’Abri,” yang merupakan satu lembaga fellowship yang me­re­krut pemuda-pe­mudi (pa­sangan muda dari seluruh dunia) di dalam satu kamp dalam jangka waktu ter­­ten­tu un­tuk dilatih hidup berintegritas, sehingga seolah-olah hidup mereka selama 24 jam di­bentuk se­ba­gai­­mana orang Kristen seharusnya ada didunia. Setelah itu mereka dikembalikan ke ­da­lam ke­luar­ganya masing-masing dan harus hidup seperti yang selama itu telah mereka pe­la­jari. Disini yang memotivasi Schaefer untuk mendirikan L’Abri adalah: “I do what I think and I think what I be­lieve.” Inilah yang seharusnya juga menjadi dasar dari seluruh pola hidup kita se­sung­guh­nya.

Kepercayaan dasar kitalah yang seharusnya menjadi format dari­ apa yang kita pi­kir­­kan, dan semua yang kita pikirkan itu kemudian terlaksana di dalam kehidupan kita. Inilah rang­kai­­an yang tidak dapat dilepaskan, sehingga orang Kristen yang sejati pastilah ting­kah lakunya akan berwarna Kristen karena hal itu tidak terlepas dari selu­ruh pe­mi­kir­annya yang sudah dipe­ngaruhi oleh kekristenan. Disini terdapat dua ke­mung­­­kinan didalam kita berpikir: yang pertama, secara kasus demi kasus (satu pe­mi­kir­an yang kita pikirkan secara pertimbangan logis, dimana pe­mikiran seperti ini mem­bu­tuhkan waktu untuk mencari pemasukan pe­mi­kir­an sebelum akhirnya menghasilkan suatu keputusan un­tuk melakukan sesuatu). Yang kedua, hasil pemikiran yang su­dah dimodel­kan, yaitu pemikiran yang di­lakukan karena adanya suatu pengalaman, yang akhir­nya men­jadi suatu pola kasus. Namun da­ri kedua cara tersebut kita tetap menemukan rumus yang sa­ma yaitu kita melakukan apa yang kita pi­kir­kan.

Oleh karena itu, ketika seseorang menjadi Kristen, seharusnya yang digarap dahulu ada­lah iman­nya maka pemikirannya menjadi berubah dan praktis hidupnya juga berubah. Dalam hal Ini Ef 5 tidak dapat lepas daripada inti ps 4:23 yaitu kita harus diperbaharui didalam roh pi­kir­an dengan kebenaran dan kekudusan yang se­sung­guhnya. Roh pikiran kita diubah oleh Tuhan, dan dengan demikian kita mengalami pembaharuan konsep iman kita. Namun itu tidak ha­nya berhenti disitu tetapi dikatakan: “Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah (be the imitator of God), dimana kata ‘sebab itu’ men­jadi satu akibat logis yang terjadi. Ketika harus menjadi ‘’penurut-penurut,” (dlm. bahasa aslinya: mimetai yang artinya menjadi satu mimik de­ngan Allah/ bukan sekedar mencontoh melainkan sebagai imitator yang mencapai kesamaan atribut an­ta­ra yang mencontoh dengan yang dicontoh) itu karena kita merupakan anak-anak yang kekasih. Secara mendasar hidup kita harus dirombah sehingga kita tahu siapa kita se­sung­guh­nya.

Disini kita harus balik kepada esensi perkataan, yaitu apa yang disebut sebagai ‘anak.’. Be the imitator of God menunjukkan istilah yang sangat serius untuk menggambarkan bah­wa anak itu akan mencontoh ayahnya. Hari ini konsep anak yang hakiki/mendasar harus di­per­­ta­nya­kan dahulu karena sudah mengalami beberapa perluasan. 1). Sebagai contoh, saya ingin mem­be­dakan dua kata dibawah ini, yang pertama: “anak manusia” (menggambarkan satu struktur esen­sial) yaitu satu penggambaran anak dalam arti akibat logis, satu kaitan atribusi yang me­ngikat antara ayah dengan anak. Dan waktu atribusi ini mengikat, maka disitu menjadi satu hu­bung­an yang sangat esensial. Kalau bapaknya/ induknya manusia maka anaknya juga manusia. Ini merupakan pengertian anak yang sesungguhnya. Lain halnya dengan yang kedua yaitu: “Dia anak pejabat,” (mengandung pengertian ekstensial/perluasan dari pengertian kata anak) sebab ba­paknya yang pejabat dan bukan diri anak tersebut. Kalau sampai anak tersebut berlagak se­per­ti pejabat padahal ia bukan pejabat maka akan terjadi kesalahan fatal karena ia sudah men­cam­­puradukkan antara pengertian anak secara hakekat dengan anak secara perluasannya dan aki­­batnya terjadi satu kondisi yang menyeleweng dari hakekat yang seharusnya. Namun sering­kali pe­ngertian anak didalam kekristenan justru dicampuradukkan. Kalau kita diadopsi se­ba­gai anak ma­ka pada saat itu ada satu atribusi yang harus dimengerti, kesamaan figur yang muncul di­­da­lam­nya, inilah yang disebut dengan mimetai. Jikalau saya anak manusia berarti secara ha­ke­kat sa­ya adalah manusia dan kalau anak kambing maka secara hakekat akan menampilkan atri­busi kam­bing. Sehingga anak manusia dengan anak kambing akan beda sekali sebab masing-ma­sing akan menampilkan atribusi dari masing-masing hakekatnya. Banyak orang Kristen salah, me­reka bu­kan mau berubah menjadi imitator karena esensinya diubah melainkan menjadi imi­tator karena for­mat luarnya diubah. Mereka mau menampilkan kekristenan dengan perbuatan yang antara lain ti­dak malu bawa Alkitab, tidak malu berdoa sebelum makan di restaurant, dsb., se­hingga seolah-olah dengan demikian kita sudah berubah menjadi orang Kristen. Padahal ke­kristenan se­ha­rus­nya muncul secara esensial dimana kita sebagai orang yang sudah diadopsi men­jadi anak Allah ma­ka kita harus menampilkan atribusi yang Tuhan ingin turunkan kedalam diri kita. Jikalau Allah kita penuh cinta kasih, adil dan suci maka kita juga seharusnya demikian. Inilah hal per­ta­ma yang saya rasa perlu kita sadari!

2). Konsep anak ini dimengerti secara konsep temporal yaitu anak dengan bapak di­hu­bung­­kan bukan di dalam struktur ordo (urutan secara logik) tetapi secara urutan temporal. Ayah se­­harusnya bukan dimengerti karena ayah ada lebih dahulu daripada anak tetapi lebih kepada re­la­si secara ordologis (urutan logis yang terjadi sebagai bentuk relasi). Ayah memang lahir lebih da­­hulu, tetapi pasti ia belum disebut sebagai ayah sebelum anaknya lahir. Sehingga disini bukan per­­kara siapa yang lebih dahulu atau belakangan tetapi dimana ada ayah maka disitu ada anak, dan urutan itu menunjukkan satu ordo/ satu struktur logis yaitu sia­pa yang boleh menjadi lebih uta­ma dan siapa yang menjadi penurutnya. Dengan demikian ayah se­cara atribusi lebih sem­purna/ hebat dari anak, itu menjadi satu hal yang umum. Didalam kon­sep seperti ini Martin Llyord Jones secara specifik menggambarkan bahwa Teologi Reformed be­gitu tajam memaparkan bah­wa waktu kita menjadi anak Allah, itu adalah satu struktur adopsi dan bu­kannya original. Kita per­lu sadar bahwa waktu kita diadopsi dari orang berdosa maka status anak adop­si ini dibawah Allah se­hingga harus menjadi serupa dengan Allah. Namun ki­ta tidak dapat disama­kan secara kualitas karena kualitas perbedaannya sangat jauh yaitu kua­litas antara pencipta dengan ciptaan.

Dalam firman Tuhan ada atribut-atribut Allah yang di­ko­mu­ni­ka­si­kan dan ada yang tidak di­komunikasikan. Ini yang penting sekali. Atribut yang tidak di­ko­muni­ka­si­kan merupakan atribut yang menjadi hak dan eksklusif milik Allah sendiri, yaitu Allah adalah Allah yang maha ada, maha tahu, kuasa, dsb. Sedangkan atribut moral Allah yang diturunkan ada­­lah seperti mengasihi, suci dsb. Karena Allah demikian adanya maka semua yang diturunkan itu harus berada didalam diri ki­ta sehingga menggambarkan satu imitasi Allah didalam diri kita. Ini me­rupakan satu tuntutan yang ha­rus kita kembangkan dan gumulkan, yaitu bagaimana kita membentuk sa­tu atribusi Allah yang timbul didalam diri kita sehingga kita boleh menjadi seperti yang Tuhan ingin­kan. Dengan demi­ki­an, melalui penurunan ini orang akan melihat Allah secara imitasi di­da­lam diri kita. Maka kalau kita mulai menggambarkan bagaimana seorang anak mengenal Allah, ka­lau anak itu masih kecil dan belum dapat membaca/ menulis, maka jawaban yang paling se­der­ha­na adalah seharusnya melalui ia melihat ayahnya, ia dapat melihat gambaran imitasi Allah di­da­lam diri ayahnya. Se­orang ayah yang baik ia akan berjuang untuk menjalankan satu bentuk atri­bu­si turunan dari Allah sehingga akhirnya anak-anak dapat melihat dia sebagai satu figur/ contoh Allah yang digam­bar­kan secara miniatur dalam diri ayahnya hingga nanti ia bertumbuh dan baru da­pat belajar me­nge­nal Allah yang sesungguhnya. Ini merupakan satu bentuk imitasi yang dia­jar­kan. Bukan hanya anak kecil namun dunia kita juga sangat membutuhkan gambaran Allah yang se­jati yang se­harus­nya akan mereka dapatkan dari setiap anak Tuhan. Bagaimana kita me­nam­pil­kan satu hi­dup se­hingga akhirnya kita boleh menjadikan diri kita imitasi Allah sehingga orang dapat melihat Allah. Ini sudah dicontohkan secara sempurna oleh Kristus sehingga di­dalam Yoh 14 sa­at murid Yesus bertanya bagaimana mereka dapat mengenal Allah maka Ia me­nga­ta­kan, “Barang­siapa me­­li­hat Aku maka ia melihat BapaKu dan barangsiapa mengenal Aku maka ia mengenal Bapa­Ku.”

3). Waktu kita melihat hal ini “menjadi anak” dapat dimengerti se­ba­gai satu relasi yang benar-benar saling mengikat dalam cinta kasih. Di dalam ayat ini, Alkitab me­nga­takan bagaimana kita ditarik di dalam Allah sehingga kita menjadi saksi ba­gi Dia dan menampilkanNya. Seorang ham­ba kebenaran tidak mempunyai hak apapun, yang ia punya ha­nya satu hal yaitu taat mutlak ke­­pada tuannya. Dan didalam Alkitab dikatakan, budak/ hamba ti­dak punya bagian didalam ru­mah, namun Tuhan sudah mengadopsi kita sebagai anak. Ketika se­orang hamba diangkat men­jadi seorang anak, waktu itu seharusnya ada konsekuensi logis dalam diri kita yang sungguh-sung­­guh tidak mau mempermalukan ayah kita. Satu sikap cinta kasih yang begitu besar yang me­motivasi ki­ta sebagai konsekuensi logis dari cinta Tuhan yang sudah men­jangkau, menarik serta meng­ha­rus­kan kita juga mencintai Allah dengan mau menjalankan satu hidup yang sungguh-sung­guh mau menyenangkan hatiNya, meng­gam­bar­kan dan benar-benar menyatakan imitasi. Se­orang anak diharapkan bo­leh menggambarkan keindahan dan menjaga nama baik keluar­ga­nya. Bah­kan di keluarga Tionghwa hal ini begitu keras ditekankan, dimana seorang anak yang mem­­per­malukan nama keluarga kemungkinan besar namanya akan dihapus dari keluarga tersebut.

Jikalau demikian, bagaimana sikap kita terhadap Bapa kita di Sorga yang begitu sem­pur­na mencintai dan re­la mengangkat kita yang seharusnya mati? Ma­sih­kah kita ingin melakukan hal yang menyakiti hatiNya, yang berlawanan dengan sifatNya? Se­ha­rus­nya muncul sikap kesa­dar­­an bahwa kita adalah anak-anak kekasih dari Allah. Istilah the children of God se­ha­rusnya men­­jadi istilah yang begitu mulia, agung dan indah namun justru istilah tersebut hari ini telah di­selewengkan oleh bidat yang hidupnya sembarangan sehingga istilah itu menjadi begitu di­le­ceh­kan. Inilah pekerjaan setan yang luar biasa mengerikan sehingga mulut kita sulit sekali untuk me­nga­­takan I am the children of God dan kita sulit mem­per­muliakan, menye­nang­kan dan tidak men­ce­mari nama Bapa kita. Kekristenan sudah diakui kehidupan etikanya begitu agung dan menjadi basis hukum di banyak negara yang mempunyai mutu tinggi didalam nilai hukumnya, sehingga ti­dak mengherankan ketika ada seorang Kristen atau pendeta berbuat hal yang tidak seharusnya maka hal itu akan menjadi berita yang sangat menggemparkan bahkan diletakkan di berita utama surat kabar.

Kalimat “menjadi penurut-penurut Allah yang benar-benar setia dan mau menyatakan kesaksian bagi Tuhan” menggunakan bentuk imperatif middle deponent (be) yang berarti perintah itu merupakan satu hal yang diubah bukan secara otomatis tetapi dengan satu perjuangan/ ke­ha­rus­an tetapi bukan dipaksa/ ditekan dari luar. Middle deponent artinya harus merupakan satu pe­mak­­saan terhadap diri yang memaksa untuk rela dipaksa. Ini yang disebut oleh Paulus meng­gu­na­kan bentuk resiprok (dorongan/ keharusan) dan bukan orang lain yang memaksa kita. Maukah hidup kita dipakai menjadi imitator Allah? Kiranya ini boleh menguatkan kita. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)