Pengkhotbah :
Rev. Sutjipto Subeno
“Sebab
itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah
didalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah
menyerahkan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum
bagi Allah.” Pemotongan di Ef 5:1 ini dianggap kurang tepat karena bagian
tersebut seolah-olah terpecah menjadi dua tema yang tidak berhubungan, padahal
Ef 4:17 hingga Ef 6:9 merupakan satu gabungan total yang mengambarkan implikasi
iman Kristen. Disini perlu ditegaskan sekali lagi bahwa iman Kristen tidak sekedar
menjadi satu konsep dan perdebatan teologi tetapi harus nyata didalam
kehidupan sehari-hari. Dr. Francis E. Schaefer, seorang Prof. Apologetik
yang baru meninggal sekitar 7 tahun yang lalu, mendirikan “L’Abri,” yang
merupakan satu lembaga fellowship yang merekrut pemuda-pemudi (pasangan
muda dari seluruh dunia) di dalam satu kamp dalam jangka waktu tertentu untuk
dilatih hidup berintegritas, sehingga seolah-olah hidup mereka selama 24 jam dibentuk
sebagaimana orang Kristen seharusnya ada didunia. Setelah itu mereka
dikembalikan ke dalam keluarganya masing-masing dan harus hidup seperti
yang selama itu telah mereka pelajari. Disini yang memotivasi Schaefer untuk
mendirikan L’Abri adalah: “I do what I think and I think what I believe.”
Inilah yang seharusnya juga menjadi dasar dari seluruh pola hidup kita sesungguhnya.
Kepercayaan
dasar kitalah yang seharusnya menjadi format dari apa yang kita pikirkan,
dan semua yang kita pikirkan itu kemudian terlaksana di dalam kehidupan kita.
Inilah rangkaian yang tidak dapat dilepaskan, sehingga orang Kristen yang
sejati pastilah tingkah lakunya akan berwarna Kristen karena hal itu tidak
terlepas dari seluruh pemikirannya yang sudah dipengaruhi oleh
kekristenan. Disini terdapat dua kemungkinan didalam kita berpikir: yang
pertama, secara kasus demi kasus (satu pemikiran yang kita pikirkan secara
pertimbangan logis, dimana pemikiran seperti ini membutuhkan waktu untuk
mencari pemasukan pemikiran sebelum akhirnya menghasilkan suatu keputusan
untuk melakukan sesuatu). Yang kedua, hasil pemikiran yang sudah dimodelkan,
yaitu pemikiran yang dilakukan karena adanya suatu pengalaman, yang akhirnya
menjadi suatu pola kasus. Namun dari kedua cara tersebut kita tetap
menemukan rumus yang sama yaitu kita melakukan apa yang kita pikirkan.
Oleh
karena itu, ketika seseorang menjadi Kristen, seharusnya yang digarap dahulu adalah
imannya maka pemikirannya menjadi berubah dan praktis hidupnya juga berubah.
Dalam hal Ini Ef 5 tidak dapat lepas daripada inti ps 4:23 yaitu kita harus
diperbaharui didalam roh pikiran dengan kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.
Roh pikiran kita diubah oleh Tuhan, dan dengan demikian kita mengalami
pembaharuan konsep iman kita. Namun itu tidak hanya berhenti disitu tetapi
dikatakan: “Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah (be the imitator of God),
dimana kata ‘sebab itu’ menjadi satu akibat logis yang terjadi. Ketika
harus menjadi ‘’penurut-penurut,” (dlm. bahasa aslinya: mimetai yang
artinya menjadi satu mimik dengan Allah/ bukan sekedar mencontoh melainkan
sebagai imitator yang mencapai kesamaan atribut antara yang mencontoh dengan
yang dicontoh) itu karena kita merupakan anak-anak yang kekasih. Secara mendasar
hidup kita harus dirombah sehingga kita tahu siapa kita sesungguhnya.
Disini
kita harus balik kepada esensi perkataan, yaitu apa yang disebut sebagai
‘anak.’. Be the imitator of God menunjukkan istilah yang sangat serius untuk
menggambarkan bahwa anak itu akan mencontoh ayahnya. Hari ini konsep anak yang
hakiki/mendasar harus dipertanyakan dahulu karena sudah mengalami
beberapa perluasan. 1). Sebagai contoh, saya ingin membedakan dua kata
dibawah ini, yang pertama: “anak manusia” (menggambarkan satu struktur esensial)
yaitu satu penggambaran anak dalam arti akibat logis, satu kaitan atribusi yang
mengikat antara ayah dengan anak. Dan waktu atribusi ini mengikat, maka disitu
menjadi satu hubungan yang sangat esensial. Kalau bapaknya/ induknya manusia
maka anaknya juga manusia. Ini merupakan pengertian anak yang sesungguhnya. Lain
halnya dengan yang kedua yaitu: “Dia anak pejabat,” (mengandung pengertian
ekstensial/perluasan dari pengertian kata anak) sebab bapaknya yang pejabat
dan bukan diri anak tersebut. Kalau sampai anak tersebut berlagak seperti
pejabat padahal ia bukan pejabat maka akan terjadi kesalahan fatal karena ia
sudah mencampuradukkan antara pengertian anak secara hakekat dengan anak
secara perluasannya dan akibatnya terjadi satu kondisi yang menyeleweng dari
hakekat yang seharusnya. Namun seringkali pengertian anak didalam
kekristenan justru dicampuradukkan. Kalau kita diadopsi sebagai anak maka
pada saat itu ada satu atribusi yang harus dimengerti, kesamaan figur yang
muncul didalamnya, inilah yang disebut dengan mimetai. Jikalau saya anak
manusia berarti secara hakekat saya adalah manusia dan kalau anak kambing
maka secara hakekat akan menampilkan atribusi kambing. Sehingga anak manusia
dengan anak kambing akan beda sekali sebab masing-masing akan menampilkan
atribusi dari masing-masing hakekatnya. Banyak orang Kristen salah, mereka bukan
mau berubah menjadi imitator karena esensinya diubah melainkan menjadi imitator
karena format luarnya diubah. Mereka mau menampilkan kekristenan dengan
perbuatan yang antara lain tidak malu bawa Alkitab, tidak malu berdoa sebelum
makan di restaurant, dsb., sehingga seolah-olah dengan demikian kita sudah
berubah menjadi orang Kristen. Padahal kekristenan seharusnya muncul
secara esensial dimana kita sebagai orang yang sudah diadopsi menjadi anak
Allah maka kita harus menampilkan atribusi yang Tuhan ingin turunkan kedalam
diri kita. Jikalau Allah kita penuh cinta kasih, adil dan suci maka kita juga
seharusnya demikian. Inilah hal pertama yang saya rasa perlu kita sadari!
2).
Konsep anak ini dimengerti secara konsep temporal yaitu anak dengan bapak dihubungkan
bukan di dalam struktur ordo (urutan secara logik) tetapi secara urutan
temporal. Ayah seharusnya bukan dimengerti karena ayah ada lebih dahulu
daripada anak tetapi lebih kepada relasi secara ordologis (urutan logis yang
terjadi sebagai bentuk relasi). Ayah memang lahir lebih dahulu, tetapi pasti
ia belum disebut sebagai ayah sebelum anaknya lahir. Sehingga disini bukan perkara
siapa yang lebih dahulu atau belakangan tetapi dimana ada ayah maka disitu ada
anak, dan urutan itu menunjukkan satu ordo/ satu struktur logis yaitu siapa
yang boleh menjadi lebih utama dan siapa yang menjadi penurutnya. Dengan
demikian ayah secara atribusi lebih sempurna/ hebat dari anak, itu menjadi
satu hal yang umum. Didalam konsep seperti ini Martin Llyord Jones secara
specifik menggambarkan bahwa Teologi Reformed begitu tajam memaparkan bahwa
waktu kita menjadi anak Allah, itu adalah satu struktur adopsi dan bukannya
original. Kita perlu sadar bahwa waktu kita diadopsi dari orang berdosa maka
status anak adopsi ini dibawah Allah sehingga harus menjadi serupa dengan
Allah. Namun kita tidak dapat disamakan secara kualitas karena kualitas
perbedaannya sangat jauh yaitu kualitas antara pencipta dengan ciptaan.
Dalam
firman Tuhan ada atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan dan ada
yang tidak dikomunikasikan. Ini yang penting sekali. Atribut yang tidak dikomunikasikan
merupakan atribut yang menjadi hak dan eksklusif milik Allah sendiri, yaitu
Allah adalah Allah yang maha ada, maha tahu, kuasa, dsb. Sedangkan atribut moral
Allah yang diturunkan adalah seperti mengasihi, suci dsb. Karena Allah
demikian adanya maka semua yang diturunkan itu harus berada didalam diri kita
sehingga menggambarkan satu imitasi Allah didalam diri kita. Ini merupakan
satu tuntutan yang harus kita kembangkan dan gumulkan, yaitu bagaimana kita
membentuk satu atribusi Allah yang timbul didalam diri kita sehingga kita
boleh menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Dengan demikian, melalui
penurunan ini orang akan melihat Allah secara imitasi didalam diri kita.
Maka kalau kita mulai menggambarkan bagaimana seorang anak mengenal Allah, kalau
anak itu masih kecil dan belum dapat membaca/ menulis, maka jawaban yang paling
sederhana adalah seharusnya melalui ia melihat ayahnya, ia dapat melihat
gambaran imitasi Allah didalam diri ayahnya. Seorang ayah yang baik ia
akan berjuang untuk menjalankan satu bentuk atribusi turunan dari Allah
sehingga akhirnya anak-anak dapat melihat dia sebagai satu figur/ contoh Allah
yang digambarkan secara miniatur dalam diri ayahnya hingga nanti ia
bertumbuh dan baru dapat belajar mengenal Allah yang sesungguhnya. Ini
merupakan satu bentuk imitasi yang diajarkan. Bukan hanya anak kecil namun
dunia kita juga sangat membutuhkan gambaran Allah yang sejati yang seharusnya
akan mereka dapatkan dari setiap anak Tuhan. Bagaimana kita menampilkan
satu hidup sehingga akhirnya kita boleh menjadikan diri kita imitasi Allah
sehingga orang dapat melihat Allah. Ini sudah dicontohkan secara sempurna oleh
Kristus sehingga didalam Yoh 14 saat murid Yesus bertanya bagaimana mereka
dapat mengenal Allah maka Ia mengatakan, “Barangsiapa melihat
Aku maka ia melihat BapaKu dan barangsiapa mengenal Aku maka ia mengenal BapaKu.”
3).
Waktu kita melihat hal ini “menjadi anak” dapat dimengerti sebagai satu
relasi yang benar-benar saling mengikat dalam cinta kasih. Di dalam ayat ini,
Alkitab mengatakan bagaimana kita ditarik di dalam Allah sehingga kita
menjadi saksi bagi Dia dan menampilkanNya. Seorang hamba kebenaran tidak
mempunyai hak apapun, yang ia punya hanya satu hal yaitu taat mutlak kepada
tuannya. Dan didalam Alkitab dikatakan, budak/ hamba tidak punya bagian
didalam rumah, namun Tuhan sudah mengadopsi kita sebagai anak. Ketika seorang
hamba diangkat menjadi seorang anak, waktu itu seharusnya ada konsekuensi
logis dalam diri kita yang sungguh-sungguh tidak mau mempermalukan ayah
kita. Satu sikap cinta kasih yang begitu besar yang memotivasi kita sebagai
konsekuensi logis dari cinta Tuhan yang sudah menjangkau, menarik serta mengharuskan
kita juga mencintai Allah dengan mau menjalankan satu hidup yang sungguh-sungguh
mau menyenangkan hatiNya, menggambarkan dan benar-benar menyatakan
imitasi. Seorang anak diharapkan boleh menggambarkan keindahan dan menjaga
nama baik keluarganya. Bahkan di keluarga Tionghwa hal ini begitu keras
ditekankan, dimana seorang anak yang mempermalukan nama keluarga
kemungkinan besar namanya akan dihapus dari keluarga tersebut.
Jikalau
demikian, bagaimana sikap kita terhadap Bapa kita di Sorga yang begitu sempurna
mencintai dan rela mengangkat kita yang seharusnya mati? Masihkah kita
ingin melakukan hal yang menyakiti hatiNya, yang berlawanan dengan sifatNya? Seharusnya
muncul sikap kesadaran bahwa kita adalah anak-anak kekasih dari Allah.
Istilah the children of God seharusnya menjadi istilah yang begitu
mulia, agung dan indah namun justru istilah tersebut hari ini telah diselewengkan
oleh bidat yang hidupnya sembarangan sehingga istilah itu menjadi begitu dilecehkan.
Inilah pekerjaan setan yang luar biasa mengerikan sehingga mulut kita sulit
sekali untuk mengatakan I am the children of God dan kita sulit mempermuliakan,
menyenangkan dan tidak mencemari nama Bapa kita. Kekristenan sudah
diakui kehidupan etikanya begitu agung dan menjadi basis hukum di banyak negara
yang mempunyai mutu tinggi didalam nilai hukumnya, sehingga tidak mengherankan
ketika ada seorang Kristen atau pendeta berbuat hal yang tidak seharusnya maka
hal itu akan menjadi berita yang sangat menggemparkan bahkan diletakkan di
berita utama surat kabar.
Kalimat
“menjadi penurut-penurut Allah yang benar-benar setia dan mau menyatakan
kesaksian bagi Tuhan” menggunakan bentuk imperatif middle deponent (be) yang
berarti perintah itu merupakan satu hal yang diubah bukan secara otomatis tetapi
dengan satu perjuangan/ keharusan tetapi bukan dipaksa/ ditekan dari luar.
Middle deponent artinya harus merupakan satu pemaksaan terhadap diri yang
memaksa untuk rela dipaksa. Ini yang disebut oleh Paulus menggunakan
bentuk resiprok (dorongan/ keharusan) dan bukan orang lain yang memaksa kita.
Maukah hidup kita dipakai menjadi imitator Allah? Kiranya ini boleh menguatkan
kita. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)