Ringkasan Khotbah : 09 April 2000

LIVE IN HOLINESS

Nats : Efesus 5:1-5

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Dalam Efesus 5 sekali lagi kita melihat bagaimana Tuhan menuntut kita se­ba­gai se­­orang anak Allah hidup mewarisi gambaran atribusi Allah, hi­dup sepadan dengan pang­gil­an ter­se­­­but sehingga me­nyatakan satu keunikan yang terkadang berbeda ja­uh daripada lingkungan di se­­ke­liling kita. Dan salah satu hal yang sangat penting dari atribusi Allah yang diturunkan adalah hen­­dak­­lah kita hidup di­dalam satu berkat dan memberikan ber­kat kepada Allah, sesuai de­ngan se­but­an kita se­ba­gai orang-orang kudus.

Istilah didalam ayat 4, ‘ucapkanlah syukur’ mengandung arti bahwa hendaklah kita mem­­­­be­ri­kan berkat kepada Allah (eukharisteo/bless the Lord). Dalam arti ketika sau­dara me­laku­kan apapun maka akhirnya itu kembali lagi seperti apa yang diucapkan dalam Ef 5:2 yaitu semua men­­­­jadi persembahan dan korban yang harum bagi Allah. Namun sering­kali didalam kekristenan ma­­sih terlihat satu situasi manusia yang hidup didalam jiwa dan nilai hidup yang sangat ren­dah se­cara mo­ral (Ef 5:3). Minggu lalu saya telah me­ma­par­kan bah­wa istilah segala percabulan (por­no), ru­pa-rupa kecemaran atau keserakahan itu digambarkan se­­ba­gai suatu sampah yang jorok, men­­jijik­kan dan sangat tidak pantas, yang harus dibuang dari an­tara anak-anak Tuhan. Sebab se­gala ke­­ta­mak­an itu meng­gam­bar­kan satu naf­su yang be­gi­tu liar dan menggebu-gebu yang ti­dak dapat lagi melihat satu ke­be­nar­an. Demikian juga di dalam ayat 4 dikatakan, “…, perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono, (dalam ba­hasa Inggrisnya: ber­canda yang jorok).

Ayat dalam Efesus 5 ini saya rasa masih relavan dengan jaman kita sekarang karena problem diatas merupakan problem se­pan­jang jaman yang mana situasi abad 20 ini semakin me­nge­rikan baik dari aspek moralitas maupun seksualitas. Dunia yang sudah jatuh dalam dosa me­nga­kibatkan hubungan manusia terputus dari sum­ber kehidupan, ke­be­naran, kesucian, keadilan dan seluruh kemuliaan sehingga akhirnya kita ja­tuh kedalam kondisi negatif yang meracuni dan hi­­dup kita menjadi hidup yang sangat humanis, ma­terialistik dan sekuler sekali. Aki­batnya ma­nusia bukan lagi hidup didalam kepositifan atau pe­­nger­tian bagaimana bere­lasi dengan Allah, se­ba­­gai gambar dan rupa Allah tetapi justru hidup be­gitu liar, rusak dan me­la­wan semua sifat Allah. Pa­­da saat se­perti itu kehancuran mo­ral menjadi sa­tu ciri dasar yang tidak akan pernah selesai di te­­ngah du­nia. Ketika kita melihat hal seperti ini, per­la­wanan manusia berdosa muncul dari peng­han­­curan moral yang merupakan satu citra yang pa­ling dibenci oleh Tuhan karena itu meng­gam­bar­­­kan satu per­lawanan terhadap sifat Allah yang pa­­ling hakiki yaitu kesucian. Ke­sucian meng­gam­barkan satu hidup yang be­­nar di hadapan Tuhan sehingga kalau kita me­lang­gar ke­sucian berarti kita sudah hi­lang dari­pa­da unsur kebenaran, melawan kebenaran dan kea­dil­an Allah yang se­ha­rus­nya meng­ha­kimi kita. Se­­seorang yang hidup didalam kesucian maka ia akan sanggup ber­ha­dapan baik terhadap pe­nga­­­dilan Allah maupun siapapun. Ini satu kunci daripada ke­­hidupan dignity seorang yang hidup suci.

Waktu kita berada didalam kesucian maka saat itulah kita sedang menyatakan ke­mu­lia­an kehidupan yang Tuhan berikan. Namun ketika kita korbankan kesucian maka saat itulah kita se­­dang hidup hina dihadapan siapapun terlebih dihadapan Allah karena kita sudah men­jual ke­hor­matan kita bukan pada tempat yang tepat. Kesucian merupakan lam­bang daripada praktis ke­be­nar­an, keadilan dan kemuliaan yang menjadi atribusi Allah, yang diturunkan ke tengah ma­nusia. Namun Setan dengan sangat licik membujuk dan me­rusak kesucian manusia sehingga ia kehi­lang­an kehormatannya sebagai mahkluk mulia yang Tuhan ciptakan. Sebab Allah senantiasa mene­kan­kan, “Kuduslah kamu, se­bagai­mana Aku kudus adanya.” Disaat manusia semakin ma­ju ma­ka me­reka akan semakin ru­sak. Seperti halnya dengan kota Efesus, ketika diawal eksposisi ki­tab ter­sebut saya telah ke­mukakan bahwa di kota tersebut terdapat kuil dewi Artemis/ Diana yang ma­­na di­dalam­nya dila­kukan prostitusi suci, dan kuil itu merupakan kuil yang besar dan menonjol se­­kali. Sau­dara dapat membayangkan pengaruh kuil ini terhadap situasi kota yang merupakan ko­ta metro­po­lit­an seperti itu! Situasi kota yang begitu jorok dan rusak dengan orang-orang dari se­­gala bang­sa terdapat disana. Jika demikian, mampukah jemaat Kristen yang minoritas ter­se­but untuk bertahan dan memberikan dampak ditengah satu for­mat kota yang demikian gawat si­tu­­asi­nya dan pembicaraan jorok seperti itu sudah dianggap biasa.

Seringkali kita kemudian berdalih de­ngan ber­pikir bahwa ling­kung­an mereka semuanya juga berbuat hal yang sa­ma. Dan ditengah si­tua­si se­perti itu menyebabkan kita sa­ngat mudah dipakai oleh setan sehingga seolah-olah kita men­­­da­pat­kan pembenaran. Tetapi Paulus tidak membuat perkecualian dalam hal se­perti ini se­bab hal ini ter­jadi di­mulai dari langkah demi langkah yang kita ang­gap belum apa-apa. Ketika se­se­­­orang ja­tuh ke­da­lam kerusakan moral itu bukan terjadi langsung sa­at itu juga tetapi dimulai dari lang­­­kah-lang­kah kecil tahap demi tahap yang terus-menerus di­la­ku­kan hingga akhirnya benar-be­nar ja­tuh. Ma­ka Paulus mengatakan dalam bagian pertama ini su­paya kita hati-hati terhadap se­mua per­kataan ko­tor dan tidak beres, bahkan disebut sajapun jangan diantara kamu. Ini me­ru­pa­kan ka­limat yang pen­ting sekali dari as­pek bagaimana pertahanan moral se­orang anak Tuhan (ban­dingkan Mzm 1: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan me­nu­­rut nasehat orang fasik, yang ti­dak berdiri di­jalan orang berdosa dan yang tidak duduk da­lam kumpulan pen­ce­mooh”). Satu ben­­tuk puisi yang menarik sekali yang meng­gam­bar­kan hancurnya sese­orang yang jatuh dalam si­tu­asi orang fasik. Bahkan dalam II Tim jelas di­­katakan supaya kita men­jauhi kumpulan orang se­­perti itu dan jangan berbicara dengan­nya, se­hing­ga seolah kalimat itu be­gitu keras. Dimulai de­ngan saudara berbicara dan ber­canda dengan orang atau kalimat yang tidak tepat yang ak­hir­nya mem­­buat sau­dara jatuh, sebab pergaulan itu membuat saudara ru­sak. Sebab semua itu ti­dak co­cok dengan na­tur kita sebagai seorang anak Tuhan. Disini kun­cinya bagaimana kita hidup di­da­lam kesucian yang tidak tergantung pa­da lingkungan di­se­ke­li­ling kita sehingga kita dapat menjadi te­­­rang dan ga­ram. Dan Alkitab juga memberikan sa­tu gambaran yang pen­ting didalam figur Daud dan Goliat. Bukan masalah kita mino­ritas sehingga merasa takut di­ku­cil­kan tetapi ma­salah­nya ada­lah bagaimana kita hidup di ha­dapan Tuhan. Pan­tas­kah kita menjadi se­orang anak Tuhan ber­­buat seperti itu?

Untuk melihat hal seperti itu, disini terdapat beberapa aspek yang perlu kita uji kem­­­bali da­­lam diri kita: 1). Ketika kita ditebus dan dikembalikan kepada Tuhan maka kita harus sadar bah­­wa nilai hidup kita telah dibayar kembali. Dari seseorang yang sudah tidak memiliki ke­mu­­lia­an men­jadi seseorang yang mempunyai nilai yang mahal sekali. Orang ber­dosa, yang seharusnya di­buang ke neraka, hidupnya be­gitu hi­na dan rendah tetapi ke­mu­dian Tuhan tarik kembali untuk men­jadi anak-anak Allah dengan tebusan nyawa Kristus. Dalam I Kor dikatakan bahwa kita bukan di­­­­bayar de­­ngan emas atau perak tetapi dengan darah Anak Domba Allah. Semakin kita sadar bah­­wa nilai hidup kita begitu agung dan mahal maka saat itulah kita tidak akan bermain-main de­­ngan nilai hidup. Jikalau kita tidak dapat menghargai diri kita ma­hal maka orang lain juga akan le­bih ren­­­dah me­man­dang kita. Orang yang mempunyai pem­­ba­ngun­­an nilai hidup maka ia tidak akan mem­biar­kan hidupnya dibuang de­ngan harga yang murah.

2). Ditengah seluruh alam semesta Tuhan mencipta manusia menjadi mahkota ciptaan (crown of creation) yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah, sebagai pem­ba­wa harkat dite­ngah manusia. Dan itu men­ja­di­­kan kita tidak bermain-main dengan harkat hidup kita. Who knows that he is a human than he will act as a human. Terkadang manusia berpikir dengan pen­de­katan humanistik dimana ia merasa apa yang ia makan, pikir dan rasa itulah ia ja­­dinya. Kalau di tengah dunia ba­­nyak orang yang bertindak aneh, itu karena ia telah kehilangan kesadaran siapa dirinya sebenarnya. Bu­ku-buku yang ber­judul: “Humananimal” (manusia binatang) se­ka­rang muncul be­gitu banyak bah­kan men­jadi best seller di dunia, disitu salah satu sebab mengapa terjadi ke­ti­dak­su­­ci­an, kekotoran, kejijikan ka­­rena manusia tidak tahu lagi siapa dirinya, harkatnya hilang dan iden­­ti­tas di­ri­nya tidak jelas. Dan didunia baik dalam filafat maupun semua konsep agama) tidak ada pen­­je­las­an yang cukup yang menunjukkan harkat manusia secara te­pat. Alkitablah yang sang­­­gup memberikan jawaban bahwa manusia merupakan mahkluk yang dicipta me­nurut gam­­bar dan ru­pa Allah. Dengan demikian kita diminta untuk hidup tepat seperti har­­kat­ kita seharus­nya. Sehingga Allahlah yang berhak menilai dan memberikan harkat ke­­pada kita, bukan orang lain ataupun diri kita sendiri. Itulah harkat ter­­ting­gi yang di­nyatakan ke­­pada kita, ba­gaimana kita hidup ber­dasarkan apa yang Tuhan nyatakan pada kita.

3). Jikalau kita sudah merasakan anugerah Tuhan yang begitu besar kepada kita ma­ka seharusnya kita mempunyai satu keinginan untuk menjadi berkat kembali bagi Allah. ‘Mem­­ber­­kati Tuhan’ merupakan kalimat yang seringkali disalah mengerti sehingga se­­olah-olah kita le­bih he­­bat, namun arti sesungguhnya adalah bagaimana seluruh hidup kita akhirnya menjadi berkat bagi Allah. Pada hakekatnya tidak ada sesuatupun yang kita punyai karena semuanya milik Allah, se­hing­­­ga satu-satunya adalah bagaimana saya mem­berkati Allah dengan mempersembahkan tu­buh kita men­jadi persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan dihadapan Allah, itu­lah iba­dah kita yang sejati. Biarlah se­lu­ruh hidup kita yang telah ditebus oleh Tuhan, kita mem­ba­lik­an menjadi satu ucapan syukur, satu berkat yang naik kembali kepada Tuhan. Kalau Tuhan mem­berkati kita de­ngan ke­lim­pah­an ma­­­ka kita juga memberikan seluruh hidup kita kembali pada Tuhan se­ba­gai berkat. Apa yang akan kita kembalikan pada Tuhan jikalau kita menjual hidup kita de­­ngan rendah? Setiap pengalaman yang sudah membuat kita rusak tidak akan dapat di­tarik dan di­tebus kembali. Se­­­makin kita sadar betapa berdosanya kita maka kita dapat se­ma­kin dipakai Tuhan karena kita me­­nye­rah­kan hidup kita secara total. Banyak orang yang me­rasa hidupnya cu­kup baik sehingga ia tidak me­nyadari bahwa ia harus menye­rah­kan­nya kem­bali pada Tuhan tetapi man­tan seorang pen­ja­hat yang ber­tobat, ia lebih sadar dan tahu bah­wa Tuhan sudah menye­la­mat­kannya dan berapa be­­­sar anuge­rah yang telah dia terima se­hingga waktu itu ia dapat me­nye­rah­kan hidupnya secara lebih be­­­sar ke­pada Tuhan. Na­mun seharusnya kita dengan kesadaran diri yang sungguh-sungguh kembali pada Tuhan dan tidak tunggu hingga hidup kita rusak dan kotor.

Saya ingin setiap kita sadar untuk mem­pertahankan kesucian hidup kita se­hing­ga menjadi hidup yang mem­per­mu­liakan nama Tuhan. Disitulah kebe-naran dan keadilan akan be­serta de­ngan kita dan kita benar-benar dapat menjadi berkat bagi Tuhan. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)