Ringkasan Khotbah : 28 Mei 2000
TERANG
YANG AKTIF
Pengkhotbah :
Rev. Sutjipto Subeno
Minggu
lalu kita telah membicarakan bagaimana Paulus dalam Efesus 5 menekankan perubahan
yang bukan sekedar secara atribusi tetapi perubahan natur secara mendasar yaitu
dari kita yang adalah kegelapan menjadi kita yang adalah terang. Maka
kata ‘adalah’ bukanlah sesuatu yang boleh ada atau tidak tetapi
menjadi satu status natur yang esensial, menjadi dirinya daripada
orang tersebut. Hal tersebut sangatlah serius karena hanya mempunyai dua pilihan
yaitu gelap atau terang, dan itu menyangkut esensi natur diri kita yang
sesungguhnya. Maka iman Kristen bukan berbicara hal yang fenomena tetapi
menunjuk pada satu hakekat esensial yang ada didalam diri kita yang
kemudian baru menampilkan diri keluar. Sehingga penampilan merupakan
efek daripada natur dan bukannya penampilan dibentuk lalu natur
mengikutinya. Ini merupakan dua proses yang berbeda sama sekali.
Kita adalah terang karena kita sekarang diubah, dikeluarkan dari bapak
kegelapan menuju kepada bapak kita yang asasi. Sehingga jikalau sekarang
kita boleh menyebut Allah kita sebagai Bapa, Dia yang adalah terang,
maka kita pun yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah juga adalah
anak-anak terang. Itulah yang menjadi konsekuensi logis dari satu kaitan
natur yang harusnya terjadi!
Dalam
kaitan tersebut kita juga telah menyinggung sedikit tentang tugas kekristenan
yang mempunyai dua cara bersaksi, yang pertama: sebagai garam dunia yang
bersifat permiade (menggarami), yang berarti ia larut atau hilang dengan cara
merembes masuk, mengasinkan yang ada disekelilingnya. Kedua:
tuntutan menjadi terang dunia, yang berarti kita harus menerangi,
tampil di tempat paling atas dan bersinar secara terang, inilah yang disebut
dengan beradiasi (memancarkan terang). Alkitab mengatakan bahwa kamu
adalah garam dunia dan kamu yang sama adalah terang dunia. Dengan demikian kalau
kita adalah terang maka bagaimana kita berekstensi, melakukan
perbuatan dan aktivitas didalam terang. “Janganlah turut mengambil
bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak membuahkan
apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu,”
(ay. 11). Berarti menjadi terang bukan sekedar yang penting terang
tetapi melakukan aktivitas menelanjangi semua kegelapan sehingga
kegelapan itu boleh tampak. Hal ini berarti bahwa kegelapan itu tidak dapat
kita acuhkan begitu saja tetapi terang itu mempunyai tuntutan yang aktif
menyatakan terang itu keluar. Banyak orang seringkali merasa menjadi
terang atau begitu rohani ketika hidup secara terisolir dengan berdoa
dan berpuasa. Hal itu wajar apabila dilakukan untuk sekedar merefresh kembali
tetapi akan salah jikalau itu sudah mengubah konsep hidup rohani kita. Dalam
Yoh 17 dikatakan: “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka
dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka daripada yang jahat, …
Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah
mengutus mereka ke dalam dunia.” Tuhan memanggil kita supaya kita
masuk ke tengah dunia dan itulah spiritual sejati. Sehingga bagaimana
kita di tengah dunia yang penuh dengan kegelapan dapat meradiasikan
dan tidak menjadi sama dengan mereka yang berada didalam kegelapan.
Di
tengah dunia, panggilan ini membuat kita sadar bahwa didalamnya ada satu tuntutan
dimana kita tidak boleh mengekslusifkan diri tetapi naik ke atas kaki dian
supaya terpancar. Inilah panggilan menjadi terang Tuhan yang dipanggil untuk
kita maju kedepan. Didalam panggilan spiritual seperti ini seringkali
kita menghadapi tantangan yang paradoks sekali, khotbah yang menekankan
konsep terang dunia terkadang menimbulkan umpan balik yang terbawa didalam
format dualistik. Disinilah kemudian seolah timbul gap antara tuntutan menjadi
terang dengan realita yang harus dihadapi oleh orang Kristen saat ini. Satu tuntutan
proses yang menunjukkan adanya satu perubahan yang berjalan terus-menerus,
perubahan yang menuju pada satu titik kesempurnaan yang diharapkan. Tuhan
menuntut kita melakukan tindakan aktif yang benar-benar terjun dan mengarap
dunia kita dengan jiwa proses bertumbuh. Yang kedua, kita tidak merasakan
diri kita menjadi aman rohani ketika kita sendiri tetapi kita justru
dipanggil untuk terjun di tengah dunia ini. Ini yang didalam Reformed
Theology disebut sebagai Cultural Mindate (mandat budaya). Orang Kristen
bukan terang ketika ia berada di dalam gereja tetapi ia menjadi terang
ketika ia terjun ke setiap bidang yang ditekuninya. Terang sejati adalah
dimanapun kita berada kita adalah terang dan proses itu digarap disemua
bidang.
Semangat
menjadi terang harus merupakan semangat umpan balik kepada diri kita. Setiap
kali kita menjadi terang itu berarti Tuhan menuntut kita untuk rela
mendapatkan tantangan dari kegelapan dan ketika menjadi terang maka disitu
sifat-sifat ilahi akan memancar untuk meniadakan kegelapan. Ini
berarti ada satu pancaran yang begitu kuat untuk meradiasi keluar. Jiwa mau
belajar, bertumbuh dan rela untuk dievaluasi itu harus menjadi semangat
kita. Namun seringkali terutama didunia timur terdapat persaingan
yang tidak sehat, dimana ketika seseorang bertumbuh itu menjadikan
kesempatan orang yang melihat ingin belajar tetapi justru sebaliknya mereka
iri dan berkeinginan menghancurkannya. Jiwa seperti ini bukanlah jiwa
terang. Semangat seperti ini harus dibuang dari anak-anak Tuhan! Setiap kita
harus rela melihat orang lain lebih hebat dari kita dan disamping itu juga
harus memacu diri untuk melangkah maju lebih lagi. Semangat itu menjadikan
kita dapat menjadi terang yang besar sekali yang akan memancar ke tengah dunia
ini. Terang itu bukan karena kita berkapasitas top tetapi terang seringkali dimanifestasikan
dari integritas kita yang memancar keluar. Saya ingin kita bertumbuh didalam
kualitas seperti ini. Jangan kita mematikan kesempatan setiap orang untuk
menjadi terang yang sebesar-besarnya dan sebaliknya mari kita mulai dari
diri kita sendiri mau menjadi terang yang besar. Biarlah kalau melihat
orang lain maju itu bukan menjadikan kita iri ingin menghancurkannya tetapi justru
menjadi iri yang memacu kita maju, bersaing secara sehat. Sehingga dengan
semangat seperti itu, maka kita tidak pernah berhenti. Bagaimana
kekeristenan kita? Sebelum kita memancarkan terang (be a light), memancarkan
terang yang seterang-terangnya.
3).
Tuhan menginginkan ketika kita memancarkan terang maka terang itu bukan sekedar
untuk menyilaukan orang dan membuat orang menjadi begitu tidak suka tetapi di
satu pihak mempunyai satu jiwa supaya sambil memancarkan terang, orang lain
dapat menjadi terang. Dalam ayat 13, Paulus jelas memberikan motivasi ini.
“Tetapi segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang itu menjadi
tampak sebab semua yang tampak adalah terang.” Didalam bahasa Indonesia
penulisan kata menelanjangi cukup kaku namun idenya adalah bagaimana ketika kita
menyatakan terang kepada orang lain maka orang tersebut dapat menjadi terang.
Bagaimana pergumulan saya bukan sekedar untuk mengecam orang tetapi
mengubah orang. Didalam hal ini bagaimana semangat jiwa injilli kita
muncul sehinga setiap kita mempunyai kerelaan untuk dipakai Tuhan supaya
orang lain melihat terang dan menjadi terang. Itu semua harus digarap didalam
diri kita. Gereja Reformed Injili seringkali diasumsikan orang mempunyai
standar teologi yang baik tetapi didalam prakteknya kita mengecam atau
menghancurkan orang yang tidak berteologi Reformed. Memang itu mungkin tidak
seratus persen benar namun ada kemungkinan dapat terjadi hal seperti
ini. Jika gerakan reformed hanya dimengerti sebagai satu mercusuar teologi lalu
semua yang lain dikecam dan dihancurkan maka reformed akan berhenti dengan
jumlah yang tidak bertambah dan mati karena semuanya tidak dapat
diimplementasikan dengan baik. Itu bukanlah jiwa dari John Calvin yang
menegakkan teologi Reformed. Calvin adalah orang yang begitu setia melayani dengan
kehidupan yang terpancar, keinginan yang menjadikan semua orang mengerti teologi
Reformed dan tahu bagaimana belajar firman Tuhan dengan baik serta membina
mereka sehingga akhirnya teologi reformed dapat berkembang besar. Oleh sebab itu
teologi reformed yang kokoh harus disertai dengan satu jiwa injili. Sehingga
bagaimana dengan doa dan kerelaan, cinta kasih yang sekuat mungkin kita ingin
supaya orang lain juga dapat melihat, mengerti dan akhirnya menjadi
terang. Ini jiwa misi yang harusnya muncul di setiap anak Tuhan. Tanpa semangat
ini maka tidak ada artinya menjadi terang, radiasi dan sinar yang kita
lontarkan tidak akan menghasilkan apa-apa, hanya menghasilkan kehancuran.
Mari kita diubah dan dibentuk oleh Tuhan sehingga kita bukan saja mengerti
proses merembes masuk dan meradiasi di tengah dunia, rela berproses untuk
maju baik didalam diri maupun kepada orang lain, tetapi yang kedua kita juga mempunyai
kekuatan dan keinginan untuk mempertumbuhkan diri dengan kualitas yang
semakin tinggi, sehingga pancaran terang kita semakin lama semakin luas dan
kuat dan akhirnya dapat memancarkan terang.
Ketika
membicarakan terang, di ayat 22 hingga 33 Paulus langsung mengkaitkan dengan
konsep keluarga, dimana satu-persatu mulai dibereskan supaya kita tahu persis bagaimana
keluarga seharusnya dibina. Terang justru harus dimulai dari keluarga terlebih
dahulu sehingga disitu setiap orang dalam keluarga tersebut dapat
menjadi citra terang bagi seluruh keluarga. Jiwa masyarakat modern membuat
kita tidak pernah lagi mendapat pendidikan bagaimana membina sebuah rumah
tangga yang baik sehingga akibatnya keluarga modern terancam dengan kerusakan
yang mengerikan dan jiwa berkeluarga hilang. Sehingga itu membuat kita tidak
mengerti lagi peranan suami, istri dan anak dan akhirnya keintiman atau
keterikatan keluarga tidak terjalin. Dimana keluarga rusak maka disitu
terang tidak dapat menyala lagi dan ini yang setan sangat inginkan. Saya
rindu orang-orang kristen waspada terhadap hal seperti ini. Alkitab mengatakan
dunia ini makin lama makin mengerikan dan makin gelap, sehingga bagaimana
keluarga dikembalikan kepada porsi yang sesungguhnya.
Yang
terakhir sebagai tantangan, saya ingin kita lihat apa yang dikatakan didalam
ayat 11-13, yaitu kata dua kali diulang: “telanjangilah.” Istilah ini dalam
bahasa indonesia bagi saya masih terlalu netral dan bahkan dapat
berkonotasi macam-macam, tetapi ide kata ini ialah ‘egleso’ (membuka
borok/ luka lalu cuci hingga bersih). Yaitu satu kondisi dimana borok atau
luka dalam yang tertutup sehingga dari luar tidak terlihat dan sepertinya
bagus tetapi didalamnya borok itu semakin hari semakin membesar. Dan itu
bagaikan sebuah rumah kayu yang tampak secara luar sangat bagus karena
ditutup dengan wallpaper (kertas dinding) tetapi didalamnya kayunya
sudah habis dimakan rayap. Ketika terang tidak aktif maka kegelapan justru semakin
aktif. Sehingga istilah disini mempunyai pengertian membuka suatu kenajisan
atau luka yang perlu dibersihkan. Dengan demikian semua itu menuntut
kita untuk mengkoreksi hidup dan membereskan diri kita secara tepat.
Istilah egleso ini menjadikan kita sekali lagi bertanya, “Tuhan, seberapa
jauh aku rela membongkar, menelanjangi kegelapan tersebut?” Kita seringkali
tidak rela melihat luka itu sehingga akibatnya kegelapan makin lama makin
gelap dan mengerogoti. Dan kalau itu terjadi didalam hidup kita maka hidup
kita akan rusak.
Relakah
kita menjadi terang dengan rela membongkar semua borok-borok yang membuat
kita terikat didalam kegelapan? Kedua, relakah kita membongkar borok yang
ada didalam kegelapan masyarakat kita sehingga mereka dapat disadarkan bahwa
mereka didalam kegelapan, sekalipun itu beresiko terlalu besar dan terkadang
sakit tetapi itu harus dilakukan demi menyembuhkannya. Mari kita belajar
dipakai Tuhan untuk menjadi terang dengan cara menelanjangi kegelapan,
membuka kebusukan sehingga itu dapat dikembalikan kepada penyembuhan yang baik.
Maukah saudara melakukan hal itu? Kembali kepada setiap kita, tekad dan
keseriusan kita menjadi anak-anak terang. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)