Ringkasan Khotbah : 04 Juni 2000
KESIA-SIAAN HIDUP SECARA ATHEISTIC
Pengkhotbah :
Ev. Solomon Yo
Didalam
Mazmur 14 ini kita membaca bahwa orang ‘bodoh’ atau ‘bebal’ berkata
dalam hatinya bahwa tidak ada Allah. ‘Bodoh’ disini bukan sekedar secara
intelek tetapi berkaitan dengan moral atau rohani. Ketika saya membuat satu
skripsi yang membahas mengenai teori ilmu maka saya melihat bahwa ada hubungan
yang erat antara hati dengan otak. Ketika seseorang membuat suatu
argumentasi dan menyimpulkannya dengan begitu masuk akal (bagi mereka) tentang
hal-hal yang melawan Tuhan, itu semua sebenarnya berakar dari hati yang memberontak
kepada Tuhan, sehingga kita melihat disini pentingnya hati yang bersih
dihadapan Tuhan. Penolakan adanya Tuhan itulah yang akan mengakibatkan
satu kehidupan yang bejat, busuk dan jijik.
Sekarang,
bagaimana halnya dengan kehidupan orang Kristen? Sangat mungkin orang
Kristen yang mengaku beriman kepada Tuhan ternyata hidupnya tetap sama
seperti orang atheis (atheis praktis). Sebab seringkali apa yang kita wujudkan
melalui sikap itu lebih jujur daripada apa yang kita sampaikan lewat
kata-kata. Yesus pernah mengatakan, “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu:
Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam kerajaan Sorga, … Aku tidak pernah
mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Hari
ini mari kita belajar untuk mengevaluasi diri sebagaimana nasehat dari rasul
Paulus: “Periksalah dirimu, apakah kamu teguh dan jangan sampai kamu
goyah! Sebab aku sendiri berusaha untuk memeriksa, mengawasi dan mengekang
diriku supaya setelah aku memberitakan Injil, aku sendiri tidak ditolak.”
Rasul Paulus dengan jelas mengetahui bahwa kedaulatan Tuhan didalam
menyelamatkan kita tidak bertentangan dengan teguran yang keras bahwa kita
juga harus mengawasi diri kita. Dan justru karena kita adalah orang yang
sungguh-sungguh diselamatkan Allah maka kita seharusnya memeriksa diri
kita supaya jangan sampai hidup kita tidak sesuai dengan apa yang kita imani.
Manusia didalam segala sesuatu yang ia lakukan selalu melakukan apa yang disebut
dengan rasionalisasi dimana ia selalu mempunyai alasan untuk membenarkan diri.
Sejauh manakah kita mengerti apa artinya percaya pada Tuhan, menghargai
iman kita pada Yesus Kristus dan menghayati, menjalankan serta menikmatinya.
Jangan sampai kita berada di lumbung yang penuh dengan makanan tetapi kita
mati kelaparan. Janganlah kita dalam persekutuan Kristen/ anak-anak Tuhan
tetapi ternyata kita bukan menjadi orang yang dijamah, dibakar dan diberkati,
dan itu dapat terjadi jika kita tidak mawas diri.
Hari
ini saya mengajak kita menelusuri satu jalan yang disebut dengan ‘jalan
negatif.’ Disini kita akan melihat satu kontras bagaimana kehidupan
orang-orang yang tidak memiliki Tuhan, dengan demikian kita mampu menghargai apa
yang ada dalam diri kita. Kadangkala saya melihat bagaimana anak dari
keluarga yang berkecukupan dengan makanan yang berlimpah justru tidak
mensyukuri dan membuang-buang makanan bahkan marah terhadap orang tua. Ada
saatnya kita lupa akan anugerah yang ada pada diri kita dan menjadi begitu
biasa sehingga kita mungkin perlu bercermin dan belajar dari orang
berdosa, supaya kita dapat lebih menghargai. Jikalau dalam kehidupan ada
Allah berarti ada pembatasan, peraturan dan banyak kekangan serta penghakiman
yang membuat kita gentar. Dan bukankah terdapat hal yang sulit sekali untuk
tidak kita lakukan, tetapi jika kita lakukan maka itu berarti kita telah mengkompromikan
hati nurani dan mengingkari Tuhan. Tidak semua orang menyadari apa artinya hidup
tanpa Tuhan! Seorang Atheis yang sangat konsisten dan konsekuen dengan
kepercayaannya yang atheis, Frederich Nietzsche (1844-1900) membuat satu
perumpamaan yang sangat terkenal yaitu Mad Man (orang gila). Dikisahkan disana
bahwa pada suatu pagi yang cerah, seorang buta menyalakan lentera lalu pergi
ke pasar sambil berseru, “Aku mencari Tuhan!” Disitu terdapat sekelompok
orang yang sudah modern (atheis) menertawakannya dan mengejek, “Kamu mencari
Allah? Apakah Allahmu sedang tertidur, hilang, beremigrasi, atau takut
dengan kami?” Ketika mendengar ejekan itu, orang tersebut meloncat ke
tengah mereka dan berkata, “Apa yang kalian tertawakan? aku mencari Allah,
apakah kalian tahu dimana Allah?” “Kita sudah membunuh Allah, kamu dan
aku, tetapi tahukah kamu apa arti semuanya itu?” Kemudian ia membanting
lenteranya hingga berantakan dan padam. “Itu artinya suatu malapetaka
akan terjadi pada diri kita. Sesuatu yang begitu berkuasa dan
indah yang pernah ada dalam sejarah telah kita bunuh. Tetapi kita tidak
mungkin sanggup untuk menerima konsekuensinya!”
Bagi
Nietzsche fakta Allah ada itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah materi. Ia memakai
bahasa sastra untuk mengatakan bahwa kepercayaan Allah yang adalah
ciptaan (khayalan manusia) sekarang sudah dikenali dan dipahami sebagai
sesuatu yang bodoh, bohong dan kepercayaan itu sudah kita bunuh atau
tanggalkan. Namun ia memahami bahwa jikalau manusia tanpa Allah akan
mengalami apa yang disebut dengan nihilisme (kekosongan/kehampaan). Dan
hal ini sama seperti apa yang dikatakan Pengkhotbah bahwa semuanya
adalah sia-sia. Bagaimana manusia hidup tanpa makna kebenaran, keadilan,
kebajikan dan keagamaan yang sungguh-sungguh, dan itulah kehidupan moralitas
jaman sekarang. Bagi saya inti pencarian makna hidup manusia ada di
hati, dan kesimpulan tidak ada Allah bagi Nietzsche itu berakar dari masalah
agama. Tetapi satu hal yang saya kagumi dalam dirinya adalah dimana ia
mempunyai satu ketuntasan, untuk menjadi orang yang tidak tanggung-tanggung.
Tulisannya bukanlah bagi para teolog tetapi bagi para atheis yang tidak bertanggungjawab
dan hidup sembarangan. Pengaruh dari sekularisme yang sangat
atheis akan membuat manusia tidak akan pernah dihargai dengan sungguh-sungguh.
Kita
harus mengevaluasi bagaimana iman kita bekerja dalam diri kita. Jikalau tidak
ada Allah, apa yang menjadi tujuan hidup manusia? Adanya pengharapan dan
tujuan itulah yang membuat seseorang memiliki satu dinamika dan
motivasi untuk hidup. Mungkin kita berpikir lebih baik tidak ada Allah namun
para atheispun tahu jikalau tidak ada Allah maka hidup manusia akan seperti
kapal yang karam. Kita lihat bahwa murid-murid Nietzsche seperti Hitler dan
Stalin begitu kejam membunuh. Dalam tulisan yang ditempelkan disuatu tempat
di Auschwitz, yang menjadi tempat orang-orang Yahudi ditangkap dan bunuh
dengan gas beracun dikatakan: “Aku membebaskan Jerman dari buah pikiran
yang keliru dan bodoh yang menurunkan derajat yaitu hati nurani dan moralitas.
Kami akan melatih kaum muda dan dihadapan mereka dunia akan gemetar. Aku
menginginkan agar kaum muda sanggup melakukan tindak kekerasan,
sombong, telengas dan kejam.”
Ketika
manusia mencoba mengatur dirinya maka ia hanyalah mengatur untuk menghancurkan
sesama. Inilah konsekuensi daripada Atheisme dimana tidak ada suatu dasar moralitas
dan kebajikan serta sumber otoritas yang disetujui semua orang sehingga
kepadanya setiap kita harus taat. Seperti dalam kitab Samuel dikatakan bahwa
semua orang melakukan apa yang ia anggap benar. Benarlah apa yang dikatakan
oleh mantan sekjen PBB, Dag Hammarskjöld bahwa ketika manusia mengatakan
Allah mati maka waktu itu Allah tidak mati tetapi manusialah yang mati
karena tidak lagi menerima karunia Tuhan yang memberikan hidup didalam
diri mereka. Pada abad 20 moralitas hancur dan kita melihat beberapa perang
dunia yang besar terjadi, kemudian mulai munculnya kembali paganisme
(kekafiran seperti jaman Yunani yang dulu sudah dikalahkan oleh
kekristenan). Sehingga Kekristenan dan agama-agama sepetinya terdesak oleh segala
kekafiran, kekotoran, kenajisan dan hal-hal yang busuk yang dengan bebas masuk
dalam tayangan TV dan film yang menjadi budaya populer atau santapan
masyarakat setiap harinya. Semua itu merupakan akibat logis manusia
meninggalkan Tuhan. Disini pentingnya kita mengkoreksi kembali iman kita
dan apakah kita sudah memberikan tempat bagi Kristus sebagai Tuhan dan Raja
secara pribadi dalam hidup saudara!
Selanjutnya
kita melihat bahwa di dalam kekristenan juga terdapat satu permasalahan yang
sulit dideteksi yaitu adanya satu kehidupan yang suam-suam kuku dimana
seringkali mereka berada didalam konflik diri antara dua hal yang saling
bertentangan, yang sepertinya bersifat sakit jiwa. Disatu pihak kita sadar
bahwa kita tidak dapat hidup tanpa Allah, kita percaya Allah dan memerlukan
keselamatan namun dilain sisi ada keinginan untuk bebas dan tidak ingin
secara total berserah pada pimpinan Allah. Sehingga banyak agama sekuler
yang memberikan jawaban bahwa Allah hanyalah merupakan sarana untuk
memuaskan kebutuhan manusia, dan itulah agama yang antroposentris yang
sangat berbahaya. Maka pengajaran Reformed menegaskan adanya
satu kontras antara agama yang bersifat theosentris dan antroposentris.
Suatu agama yang theosentris akan menjadikan manusia menyadari kepapaannya
sehingga mereka hanya menggandalkan kasih karunia Tuhan. Iblis tidak
takut kepada mereka yang menyerahkan hidupnya pada Tuhan, namun ia tidak
akan pernah memberikan kesempatan seseorang membuat satu komitmen
yang sungguh dan total kepada Tuhan. Seperti halnya dengan istilah
‘monyet ditangkap oleh kacang’ demikian pula halnya dengan manusia yang ditangkap
iblis. Ia memberi kita kacang, kita mengambilnya dan kemudian tidak mampu melepaskannya
kembali karena kita tetap ingin memegang erat dosa yang menyebabkan
kita hancur. Bukankah kehidupan orang Kristen itu seperti kehidupan
bangsa Israel di padang gurun yang hanya berputar-putar antara bertobat dan
kembali berbuat dosa lagi? Seringkali kita melakukan aktivitas rohani,
tetapi mungkin secara realitanya tidak berbeda dengan orang lain yang
hidupnya tanpa makna, penuh dengan kebosanan dan terobsesi
dengan hal-hal duniawi, sehingga yang terpenting dalam hidup mereka bukanlah
Tuhan.
Ada
dua cara orang dapat sungguh-sungguh belajar menghayati betapa indahnya Yesus:
1). Jalan kesucian. Disini orang akan berusaha hidup sungguh-sungguh suci.
Seperti Martin Luther, ia akhirnya menyadari bahwa kesuciannya tidak dapat
menyelamatkan sehingga ia memerlukan tangan yang lebih berkuasa yaitu tangan
anugerah, pembenaran oleh iman. 2). Jalan kebiadaban, dosa yang begitu
mengerikan. Itu sebabnya banyak orang yang dulunya rusak namun ketika
sadar mereka menjadi hamba Tuhan yang lebih bersungguh-sungguh karena menyadari
apa artinya hidup yang hancur dan betapa indah hidup keselamatan. Kita melihat
bahwa justru orang yang hanya suam-suam kuku itulah yang paling berbahaya.
Seperti ketika kita meminum obat antibiotik, apabila dosis yang dianjurkan
tidak kita habiskan maka itu akan berakibat sesuatu yang sangat
resisten dan semakin membuat kebal tubuh kita. Demikian juga halnya dengan
kehidupan rohani kita, masalah dan komitmen kita harus tuntas diselesaikan.
Dalam Yak 1:8 dikatakan, “Sebab orang yang mendua hati tidak akan
tenang dalam hidupnya.” (lihat Yak 4:4). Ketika saya merenungkan mengenai
kejahatan yang seringkali terjadi, timbul pemikiran tentang dimanakah
orang Kristen yang boleh bangkit melihat hal seperti ini? Mereka sepertinya
sudah diumpani dengan kacang, dilumpuhkan didalam kenyamanan diri dan dosa.
Apakah
kita akan membiarkan kehidupan kita berlalu dengan sia-sia? Saya mengundang,
menghimbau dan mendesak, mari kita mempersembahkan hidup kita dalam satu
komitmen sungguh-sungguh pada Tuhan! Dunia ini milik Tuhan, mari kita
bekerja untuk melaksanakan mandat Tuhan didalam bidang kita masing-masing.
Musa tidak pernah menyesali telah memimpin umat Israel yang begitu degil,
sebab ia tahu bahwa hidupnya bukan demi manusia tetapi demi panggilan
Tuhan, dan ia telah memilih yang terbaik. Jikalau jendral dan prajurit
dunia rela mati bagi pemimpinnya, bagaimana dengan orang Kristen
yang telah mengalami keindahan keselamatan dari Allah? Marilah kita
kembali kepada iman yang sejati, yang mula-mula dengan mencintai dan
mengikut Dia lebih sungguh. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)