Ringkasan Khotbah : 16 Juli 2000

BE WISE!

Nats : Efesus 5:14-21 (ayat 15)

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Minggu lalu kita telah berbicara mengenai bagaimana hidup baru di dalam Kristus yang harus kita praktekkan dalam hidup kita. Disitu kita melihat bahwa seringkali antara be­la­jar firman Tuhan dengan ketika kita ha­rus mengaplikasikannya terdapat satu kesenjangan, ka­rena hal yang seolah-olah telah kita serap itu ter­nyata hanya mengendap dalam hidup kita dan tidak meng­­­­ha­sil­kan apa-apa. Disinilah Paulus (dlm. ay 14) merasa perlu meneriakkan, “Bangun­lah, hai ka­­­mu yang ti­dur dan bang­kitlah dari antara orang mati dan Kristus akan ber­ca­h­aya atas kamu.” Se­bab se­sung­­guhnya hidup Kristen harus menjadi hi­­dup yang me­man­car­kan terang ke tengah ja­man dan itu sangat dibutuhkan oleh dunia karena tanpa pancaran ter­sebut dunia semakin hari se­­­ma­­­kin redup dan mati.

Di tengah jaman yang penuh dengan segala kehebatan dunia, perkembangan tek­no­­lo­gi, glamoritas dan upaya untuk menyenangkan hidup, jikalau kita mau menelusur realita du­nia le­bih jauh, kita akan mendapati bahwa sebagian besar manusia meneriakkan di dalam hati mereka akan kekosongan dan kesendirian yang mengakibatkan timbulnya ketertekanan serta ke­kece­wa­an terhadap segala sesuatu. Mereka sadar bahwa hidup mereka seringkali ti­dak menghasilkan se­­suatu yang bermakna sehingga dunia mencoba menutup empat geja­la diatas dengan segala ma­­cam kenikmatan semu. Dan pada saat yang sama dunia juga men­coba mempengaruhi orang Kristen untuk masuk dalam situ­asi se­perti itu dan mereka di­bu­juk dengan pola-pola ‘bijaksana du­nia’ yang justru akan membuat me­re­ka han­cur. Disini ke­tika orang Kristen gagal mengerti apa yang menjadi tugas dan pang­gil­an­nya ma­ka saat itu ia akan dibawa oleh orang dunia dan me­nga­lami hal yang sama yaitu empat kon­di­si di­atas. Se­hingga kita tidak perlu heran jikalau banyak orang Kris­ten yang tertidur ditengah jaman ini ka­re­na sudah ti­dak mam­pu lagi mengimplikasikan iman­nya. Se­ba­gian orang dunia mungkin sadar bah­wa mereka berada dalam kondisi ketertekanan semacam itu tetapi tidak mampu keluar dari ma­salah itu karena mereka tidak mempunyai kunci pe­nye­le­sai­an yang paling mendasar dan ke­cermatan mata untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Ketika kita kemudian boleh disadarkan dari keterlenaan kita, Paulus selanjutnya dalam ayat 15 menguraikan apa yang seharusnya dikerjakan oleh anak-anak Tuhan: “Ka­re­na itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup!” Disini pertama-ta­ma yang Tuhan tun­tut adalah bagaimana kita harus kembali memperhatikan hidup kita diha­dap­an Tuhan dan me­man­carkan apa yang Tuhan inginkan. Istilah ‘perhatikan’ sebenarnya ko­no­tasinya sudah mengan­dung arti harus melihat dengan cermat (harus memperhatikan se­gala sesuatu dengan tepat). Na­mun istilah ‘perhatikan’ disitu masih ditambah atribusi lagi un­tuk memberikan penekanan yaitu ‘de­ngan seksama’ yang berarti memperhatikan dengan sa­ngat serius. Kemudian, Paulus tidak ha­nya berhenti hingga disana melainkan ia mene­rus­kan dengan kalimat yang memberi gambaran, “se­perti orang arif” (bijak) dan bukannya “seperti orang bebal.” Adapun kalimat tersebut mengguna­kan bentuk if supaya menggambarkan bah­­wa itu bukanlah realita. Anak Tuhan tidak seharusnya hi­dup bebal namun seringkali ba­nyak diantara mereka yang hidup seperti orang bebal. Ini yang per­lu kita perhatikan sekali lagi, bagaimana sebenarnya kondisi kehidupan kita. Format hidup di te­ngah sekularisme bu­kan­lah format Kristen melainkan format bebal dan itu sangat tidak cocok de­ngan format ke­kris­tenan. Orang Kristen harus mempunyai satu citra yang berbeda sama sekali de­ngan hidup orang dunia, sehingga disitulah terlihat bagaimana bijaksananya hidup anak Tuhan. Di­­sini perlu adanya kerelaan diri atau keberanian untuk menginsterospeksi diri yang tidak mu­­dah di­lakukan, dengan cara setia dan kembali kepada kearifan yang Tuhan sediakan bagi kita.

Selanjutnya kita akan mempelajari bagaimana pemilahan antara kebebalan de­ngan ke­­­­­arifan. Be­bal di dalam konsep kekristenan, pertama, mengandung arti bahwa kita ber­­diri di da­lam sa­tu po­si­si yang disebut dengan close system sehingga kita hanya berpikir apa yang kita pikir dan tidak per­nah dapat berpikir apa yang orang lain pikir. Hal ini sama hal­­nya dengan yang di­ala­mi oleh Paulus dimana ketika ia belum bertobat, ia tidak sadar bah­wa dirinya begitu bebal dan jus­­­tru me­la­­wan kebenaran. Orang yang sudah tertutup da­lam systemnya sendiri dan hanya mau ta­­­hu diri­nya sendiri adalah orang yang bebal dan ti­dak akan dapat bertumbuh. Kon­di­si be­bal jika­lau dilihat da­ri kata asalnya adalah kata ‘baal,’ ini dapat mengandung dua arti yai­tu te­bal (sebagai con­­toh li­dah yang sudah terlalu sering di beri makanan yang terlalu panas se­­­hing­ga tidak dapat la­­gi me­ra­sa­kan berbagai rasa atau urat syarafnya sudah tidak dapat ber­fung­­si) atau dalam arti ‘ber­­hala,’ yang keduanya me­ngan­dung arti negatif. Bebal menjadikan kita ti­­dak da­pat bereaksi se­­cara wajar la­gi dan hidup kita menjadi mati, dan kita hanya meng­gu­­­kuh­kan serta menutup diri ki­ta sendiri.

Kedua, orang yang hidup bebal adalah orang yang mendestruksi diri secara aktif. Di­­be­­­­lakang kebebalan sebenarnya ada pekerjaan iblis yang sedang mencengkeram kita se­hing­­ga ki­­­ta berada dalam satu beleggu dan tidak mampu membuka diri kita untuk me­lihat se­­­cara wajar la­gi. Seseorang yang di dalam kondisi bebal akan menutup diri dan ke­tika di­sa­dar­kan akan ke­sa­lah­­annya maka seringkali mereka justru marah dan tidak dapat me­ne­rima­nya (misalnya ketika seorang pecandu rokok diingatkan akan bahaya daripada rokok). Hal itu juga mem­bukti­kan apa yang Alkitab tegas­kan dan oleh Theologi Re­formed di­sebut se­ba­gai Predestinasi. Hanya oleh Roh Kudus yang be­ker­ja dalam hati seseorang maka orang ter­sebut dimam­pu­kan untuk sadar akan dosanya dan be­reak­si ter­ha­dap firman. Seseorang yang hidupnya be­bal akan semakin sulit untuk diperingatkan ka­rena ia akan semakin me­ne­kan­kan privacy dan de­ngan demikian ia akan semakin aman ber­bu­at dosa yang semakin hari akan merusak hi­dup­nya. Ketiga, kebebalan manusia mengakibatkan tim­bulnya penge­ru­sakan di dalam for­mat relasi kita dengan orang lain.  Kita dengan sengaja akan me­nutup re­lasi kita dengan orang lain dan hal itu akan mengakibatkan terjadinya dua hal: 1. Kita akan mendestruksi re­la­si secara pasif (hidup menyendiri dan terasing) atau 2. Kita akan men­des­truk­si relasi se­ca­ra aktif (merasa diri paling tahu, dsb. sehingga ia mulai menghina semua orang). Dan setiap kali ia terus merusak relasi maka hubungannya akan semakin hancur sa­tu-persatu dan ak­hir­nya ia akan masuk dalam empat kondisi diatas yaitu tersendiri, menga­lami kekosongan, hi­­dup tertekan dan kecewa.

Setelah kita mengetahui kondisi bebal seperti itu, sekarang kita akan menelusuri ba­gai­­mana hidup sebagai orang bijak. Pertama, Bijak secara esensial bukanlah ber­da­sar­kan ke­pan­daian in­te­lek­tual kita, melainkan merupakan satu kemampuan untuk membuka diri kita ke­pa­da firman Tuhan sehingga kita tahu apa yang menjadi prioritas utama hidup kita. Ke­tika kita mem­bu­­ka diri ma­ka kita harus membuka diri kepada sumber yang tepat, sumber bi­jak dan dirinya bijak itu sen­diri yaitu Tuhan sendiri, sehingga relasi kita boleh dipulihkan kem­bali. Orang dunia tidak per­­nah me­ngerti bijak karena ia gagal mengerti bijak, ini me­ru­pa­kan satu paradoksikal! Seperti di­ka­­takan di dalam Amsal, “Takut akan Tuhan adalah per­mu­la­an pengetahuan dan bijaksana.” Ke­dua, bijaksana selalu bersifat paradok. Orang yang bijak akan selalu merasa diri tidak bi­jak dan se­­baliknya mereka yang tidak bijak akan me­ra­sa dirinya sudah bijak. Orang yang bijaksana ada­lah orang yang mengerti bahwa ia belum bi­­jak­sana dan masih perlu banyak belajar supaya men­ja­­di lebih bijaksana. Seperti halnya orang yang tahu kalau diri­nya belum pan­dai maka ia adalah orang yang pandai dan orang yang selalu merasa dirinya paling pandai, itu justru orang yang ti­dak pan­dai, karena itu ber­arti ia sudah menutup semua pengetahuan ba­gi dirinya. Orang bijak­sa­na ada­lah orang yang ta­hu bagaimana ia merendahkan diri dihadapan Tuhan dan mau dididik oleh firman Tuhan. Amsal mengatakan bahwa berbahagialah orang yang bersedia di­didik oleh hik­mat ka­rena di­situ­lah ia akan mendapatkan pengetahuan. Bijaksana bukan timbul secara oto­ma­tis me­lain­kan harus disadari dengan rendah hati dan mau bersandar, memohon bijaksana dari yang em­­punya hikmat.

Ketiga, bijaksana adalah kesadaran dan kemampuan ketajaman kita untuk me­ngerti sia­pa orang yang lebih bijak dan berpengetahuan dari kita sehingga kita boleh belajar bijak dari­nya dan bertumbuh. Orang yang bijak juga akan mempunyai kemampuan untuk me­­­ngatasi ke­ada­­an diri untuk dapat menjadi lebih bijak dari orang yang kita lihat. Ketika saya pergi melihat be­be­­rapa tempat obyek wisata di Jerman, dari beberapa tempat tersebut saya mendapatkan satu ke­­san bahwa di tempat obyek wisata yang benar-benar bermutu pasti akan terdapat banyak orang Jepang disana. Disitu saya melihat bahwa hampir semua orang Jepang tersebut ketika per­gi ke suatu tempat wisata tertentu maka ia terlebih dahulu su­dah mempunyai dan mempelajari ten­­tang obyek wisata tersebut. Sehingga ketika ia ma­suk ke suatu museum atau tempat wisata ma­­ka ia sudah dapat mengetahui dengan pasti tem­­pat mana yang akan ia tuju dan itu tidak me­­nyebabkan waktu mereka tidak terbuang banyak.

Alkitab mengatakan bahwa kita harus mem­­perhatikan dengan seksama ba­gai­ma­na ki­ta hidup supaya hidup kita dapat menjadi hidup yang mempunyai nilai di tengah dunia dan kita bo­leh terus berkembang. Saya harapkan kita boleh menjadi orang yang mau belajar me­ngerti bijak yang se­jati. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)