Ringkasan
Khotbah : 16 Juli 2000
BE WISE!
Pengkhotbah :
Rev. Sutjipto Subeno
Minggu
lalu kita telah berbicara mengenai bagaimana hidup baru di dalam Kristus yang
harus kita praktekkan dalam hidup kita. Disitu kita melihat bahwa seringkali
antara belajar firman Tuhan dengan ketika kita harus mengaplikasikannya
terdapat satu kesenjangan, karena hal yang seolah-olah telah kita serap itu
ternyata hanya mengendap dalam hidup kita dan tidak menghasilkan
apa-apa. Disinilah Paulus (dlm. ay 14) merasa perlu meneriakkan, “Bangunlah,
hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus
akan bercahaya atas kamu.” Sebab sesungguhnya hidup Kristen
harus menjadi hidup yang memancarkan terang ke tengah jaman dan itu
sangat dibutuhkan oleh dunia karena tanpa pancaran tersebut dunia semakin hari
semakin redup dan mati.
Di
tengah jaman yang penuh dengan segala kehebatan dunia, perkembangan teknologi,
glamoritas dan upaya untuk menyenangkan hidup, jikalau kita mau menelusur
realita dunia lebih jauh, kita akan mendapati bahwa sebagian besar manusia
meneriakkan di dalam hati mereka akan kekosongan dan kesendirian yang
mengakibatkan timbulnya ketertekanan serta kekecewaan terhadap segala
sesuatu. Mereka sadar bahwa hidup mereka seringkali tidak menghasilkan sesuatu
yang bermakna sehingga dunia mencoba menutup empat gejala diatas dengan segala
macam kenikmatan semu. Dan pada saat yang sama dunia juga mencoba
mempengaruhi orang Kristen untuk masuk dalam situasi seperti itu dan mereka
dibujuk dengan pola-pola ‘bijaksana dunia’ yang justru akan membuat mereka
hancur. Disini ketika orang Kristen gagal mengerti apa yang menjadi tugas
dan panggilannya maka saat itu ia akan dibawa oleh orang dunia dan mengalami
hal yang sama yaitu empat kondisi diatas. Sehingga kita tidak perlu
heran jikalau banyak orang Kristen yang tertidur ditengah jaman ini karena
sudah tidak mampu lagi mengimplikasikan imannya. Sebagian orang dunia
mungkin sadar bahwa mereka berada dalam kondisi ketertekanan semacam itu
tetapi tidak mampu keluar dari masalah itu karena mereka tidak mempunyai kunci
penyelesaian yang paling mendasar dan kecermatan mata untuk melihat
apa yang sedang terjadi.
Ketika
kita kemudian boleh disadarkan dari keterlenaan kita, Paulus selanjutnya dalam
ayat 15 menguraikan apa yang seharusnya dikerjakan oleh anak-anak Tuhan: “Karena
itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup!” Disini pertama-tama
yang Tuhan tuntut adalah bagaimana kita harus kembali memperhatikan hidup kita
dihadapan Tuhan dan memancarkan apa yang Tuhan inginkan. Istilah
‘perhatikan’ sebenarnya konotasinya sudah mengandung arti harus
melihat dengan cermat (harus memperhatikan segala sesuatu dengan tepat). Namun
istilah ‘perhatikan’ disitu masih ditambah atribusi lagi untuk memberikan
penekanan yaitu ‘dengan seksama’ yang berarti memperhatikan dengan sangat
serius. Kemudian, Paulus tidak hanya berhenti hingga disana melainkan ia meneruskan
dengan kalimat yang memberi gambaran, “seperti orang arif” (bijak) dan
bukannya “seperti orang bebal.” Adapun kalimat tersebut menggunakan bentuk
if supaya menggambarkan bahwa itu bukanlah realita. Anak Tuhan tidak
seharusnya hidup bebal namun seringkali banyak diantara mereka yang hidup
seperti orang bebal. Ini yang perlu kita perhatikan sekali lagi, bagaimana
sebenarnya kondisi kehidupan kita. Format hidup di tengah sekularisme bukanlah
format Kristen melainkan format bebal dan itu sangat tidak cocok dengan format
kekristenan. Orang Kristen harus mempunyai satu citra yang berbeda sama
sekali dengan hidup orang dunia, sehingga disitulah terlihat bagaimana
bijaksananya hidup anak Tuhan. Disini perlu adanya kerelaan diri atau
keberanian untuk menginsterospeksi diri yang tidak mudah dilakukan, dengan
cara setia dan kembali kepada kearifan yang Tuhan sediakan bagi kita.
Selanjutnya
kita akan mempelajari bagaimana pemilahan antara kebebalan dengan kearifan.
Bebal di dalam konsep kekristenan, pertama, mengandung arti bahwa kita berdiri
di dalam satu posisi yang disebut dengan close system sehingga kita
hanya berpikir apa yang kita pikir dan tidak pernah dapat berpikir apa yang
orang lain pikir. Hal ini sama halnya dengan yang dialami oleh Paulus
dimana ketika ia belum bertobat, ia tidak sadar bahwa dirinya begitu bebal dan
justru melawan kebenaran. Orang yang sudah tertutup dalam
systemnya sendiri dan hanya mau tahu dirinya sendiri adalah orang yang
bebal dan tidak akan dapat bertumbuh. Kondisi bebal jikalau dilihat dari
kata asalnya adalah kata ‘baal,’ ini dapat mengandung dua arti yaitu tebal
(sebagai contoh lidah yang sudah terlalu sering di beri makanan yang
terlalu panas sehingga tidak dapat lagi merasakan berbagai
rasa atau urat syarafnya sudah tidak dapat berfungsi) atau dalam arti
‘berhala,’ yang keduanya mengandung arti negatif. Bebal menjadikan
kita tidak dapat bereaksi secara wajar lagi dan hidup kita menjadi
mati, dan kita hanya menggukuhkan serta menutup diri kita sendiri.
Kedua,
orang yang hidup bebal adalah orang yang mendestruksi diri secara aktif. Dibelakang
kebebalan sebenarnya ada pekerjaan iblis yang sedang mencengkeram kita sehingga
kita berada dalam satu beleggu dan tidak mampu membuka diri kita untuk melihat
secara wajar lagi. Seseorang yang di dalam kondisi bebal akan menutup
diri dan ketika disadarkan akan kesalahannya maka seringkali
mereka justru marah dan tidak dapat menerimanya (misalnya ketika seorang
pecandu rokok diingatkan akan bahaya daripada rokok). Hal itu juga membuktikan
apa yang Alkitab tegaskan dan oleh Theologi Reformed disebut sebagai
Predestinasi. Hanya oleh Roh Kudus yang bekerja dalam hati seseorang maka
orang tersebut dimampukan untuk sadar akan dosanya dan bereaksi terhadap
firman. Seseorang yang hidupnya bebal akan semakin sulit untuk diperingatkan
karena ia akan semakin menekankan privacy dan dengan demikian ia akan
semakin aman berbuat dosa yang semakin hari akan merusak hidupnya.
Ketiga, kebebalan manusia mengakibatkan timbulnya pengerusakan di dalam
format relasi kita dengan orang lain. Kita dengan sengaja akan menutup
relasi kita dengan orang lain dan hal itu akan mengakibatkan terjadinya dua
hal: 1. Kita akan mendestruksi relasi secara pasif (hidup menyendiri dan
terasing) atau 2. Kita akan mendestruksi relasi secara aktif (merasa
diri paling tahu, dsb. sehingga ia mulai menghina semua orang). Dan setiap kali
ia terus merusak relasi maka hubungannya akan semakin hancur satu-persatu dan
akhirnya ia akan masuk dalam empat kondisi diatas yaitu tersendiri, mengalami
kekosongan, hidup tertekan dan kecewa.
Setelah
kita mengetahui kondisi bebal seperti itu, sekarang kita akan menelusuri bagaimana
hidup sebagai orang bijak. Pertama, Bijak secara esensial bukanlah berdasarkan
kepandaian intelektual kita, melainkan merupakan satu kemampuan untuk
membuka diri kita kepada firman Tuhan sehingga kita tahu apa yang menjadi
prioritas utama hidup kita. Ketika kita membuka diri maka kita harus
membuka diri kepada sumber yang tepat, sumber bijak dan dirinya bijak itu sendiri
yaitu Tuhan sendiri, sehingga relasi kita boleh dipulihkan kembali. Orang
dunia tidak pernah mengerti bijak karena ia gagal mengerti bijak, ini merupakan
satu paradoksikal! Seperti dikatakan di dalam Amsal, “Takut akan Tuhan
adalah permulaan pengetahuan dan bijaksana.” Kedua, bijaksana selalu
bersifat paradok. Orang yang bijak akan selalu merasa diri tidak bijak dan sebaliknya
mereka yang tidak bijak akan merasa dirinya sudah bijak. Orang yang
bijaksana adalah orang yang mengerti bahwa ia belum bijaksana dan masih
perlu banyak belajar supaya menjadi lebih bijaksana. Seperti halnya orang
yang tahu kalau dirinya belum pandai maka ia adalah orang yang pandai dan
orang yang selalu merasa dirinya paling pandai, itu justru orang yang tidak
pandai, karena itu berarti ia sudah menutup semua pengetahuan bagi
dirinya. Orang bijaksana adalah orang yang tahu bagaimana ia merendahkan
diri dihadapan Tuhan dan mau dididik oleh firman Tuhan. Amsal mengatakan bahwa
berbahagialah orang yang bersedia dididik oleh hikmat karena disitulah
ia akan mendapatkan pengetahuan. Bijaksana bukan timbul secara otomatis melainkan
harus disadari dengan rendah hati dan mau bersandar, memohon bijaksana dari yang
empunya hikmat.
Ketiga,
bijaksana adalah kesadaran dan kemampuan ketajaman kita untuk mengerti siapa
orang yang lebih bijak dan berpengetahuan dari kita sehingga kita boleh belajar
bijak darinya dan bertumbuh. Orang yang bijak juga akan mempunyai kemampuan
untuk mengatasi keadaan diri untuk dapat menjadi lebih bijak dari
orang yang kita lihat. Ketika saya pergi melihat beberapa tempat obyek
wisata di Jerman, dari beberapa tempat tersebut saya mendapatkan satu kesan
bahwa di tempat obyek wisata yang benar-benar bermutu pasti akan terdapat banyak
orang Jepang disana. Disitu saya melihat bahwa hampir semua orang Jepang
tersebut ketika pergi ke suatu tempat wisata tertentu maka ia terlebih dahulu
sudah mempunyai dan mempelajari tentang obyek wisata tersebut. Sehingga
ketika ia masuk ke suatu museum atau tempat wisata maka ia sudah dapat
mengetahui dengan pasti tempat mana yang akan ia tuju dan itu tidak menyebabkan
waktu mereka tidak terbuang banyak.
Alkitab mengatakan bahwa kita harus memperhatikan dengan seksama bagaimana kita hidup supaya hidup kita dapat menjadi hidup yang mempunyai nilai di tengah dunia dan kita boleh terus berkembang. Saya harapkan kita boleh menjadi orang yang mau belajar mengerti bijak yang sejati. Amin.?
(Ringkasan
khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)