Ringkasan
Khotbah : 20 Agustus 2000
HIDUP
BERIBADAH
Pengkhotbah :
Rev. Sutjipto Subeno
Kita
telah berbicara tentang prinsip bagaimana kita hidup penuh dengan Roh yang diperbandingkan
dengan konsep mabuk oleh anggur yang mengakibatkan timbulnya hawa nafsu. Penuh
dengan Roh Kudus bukanlah pemikiran yang ber-ide kuantitatif (jumlah
anggur yang kita minum) tetapi itu merupakan dampak kualitatif, dimana Roh
Tuhan mengambil alih kontrol terhadap hidup kita. Istilah
kontrol (‘pleroo’ atau ‘pleroma,’)
dalam ayat ini merupakan satu istilah yang unik, yang menunjukkan satu tuntutan
keharusan untuk dijalankan tetapi sama sekali tidak menghilangkan
kesadaran orang yang mendapatkan urgensi tersebut. Itu berarti
penguasaan dan kepentingan bagaimana Roh Kudus mengambil alih kontrol,
bukan sama seperti banyak orang pada jaman ini yang terjebak dalam
pengajaran sesat, yang memikirkan bahwa hidup penuh dengan Roh adalah
hidup kesurupan (mis: Toronto Blessing). Karena kondisi seperti itu identik
dengan kemabukan yang digambarkan dalam ayat ini, yang idenya adalah satu pelampiasan
hawa nafsu yang tidak terkontrol lagi. Maka seharusnya Kekristenan pada
waktu melihat suatu gejala yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, dengan
cepat ia dapat mengerti bahwa itu bukan berasal dari Tuhan sehingga kita
tidak mudah terjebak.
Dalam
ayat selanjutnya Paulus menguraikan tiga bagian yang merupakan ciri kehidupan
spiritual yang baik, yang menunjukkan bagaimana seorang yang dipenuhi oleh
Roh dan hidup di dalam Roh: 1). “Berkata-katalah seorang kepada yang lain
dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan
bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.” Hidup kita menjadi hidup
yang penuh dengan mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani, dan itu
menjadi satu lingkungan pembincaraan kita setiap hari (ay 19). 2).
“Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita
Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” Di dalam segala hal penuh
dengan hati yang mengucap syukur karena pekerjaan daripada Kristus, Bapa
yang menggarapnya di dalam hidup kita dengan mediasi Tuhan Yesus
(ay 20). 3). “Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam
takut akan Kristus.” Hidup yang gentar di hadapan Tuhan. Tiga bagian
tersebut dalam Alkitab mengunakan struktur present tense (Present Tense (Yunani)
= Present Continuous (Inggris)), yang berarti suatu tindakan terus-menerus
dalam kehidupan kita sehari-hari, yang menjadi life style kita (ay
21).
Selanjutnya,
kalau kita perhatikan dengan lebih cermat, dalam kalimat, “Berkata-katalah
seorang kepada yang lain …,” kita akan menemukan suatu kejanggalan, yaitu
bahwa kalimat tersebut bukanlah seperti apa yang telah biasa kita
lakukan dalam kehidupan kita. Berkata-kata seorang kepada yang lain
seringkali kita pikir sebagai aspek humanistik kita dan tidak berhubungan
dengan Tuhan, sebab mazmur, kidung pujian dan nyanyian rohani tidak kita
pakai untuk berkata-kata seorang kepada yang lain. Ini satu bentuk
yang oleh Paulus digunakan untuk menyadarkan orang-orang di Efesus dalam
cara yang sama sekali berbeda. Kalau kita membaca ayat ini, lalu membandingkan
dengan apa yang di utarakan di dalam mitos-mitos Yunani kuno maka kita
akan melihat perbedaan yang sangat drastis dalam format yang Paulus ajarkan.
Konteks pembicaraan Efesus ps. 5 bukanlah konteks pembicaraan di tengah lingkungan
orang Yahudi yang boleh dibilang lebih bernuansa mistik spiritual,
melainkan konteks pembicaraan mereka lebih bernuansa materialis
karena lingkungan sangat sekuler, sama seperti hidup kita sekarang di
kota Surabaya. Sehingga yang menjadi kesulitan mereka untuk melakukan hal
tersebut adalah bahwa pembicaraan yang bernuansa rohani sedikit sekali
terjadi di dalam kehidupan mereka, dan hidup mereka lebih dikuasai dan diracuni
oleh sekularisme. Paulus mengatakan kalimat tersebut adalah dengan
maksud, ketika kita berbincang-bincang di dalam lingkungan kita
sehari-hari maka nuansa rohani kita tidak terlepas dari hidup kita, dan
setiap perbincangan kita secara horizontal, selalu terkait dengan aspek
vertikal pada saat yang sama. Jadi pada saat kita berbincang dengan
orang lain, sesama manusia maka pada saat yang sama pula hubungan saya dengan
Tuhan itu akan selalu terkait. Sehingga kehidupan kita benar-benar dapat dikatakan
spiritual life (hidup yang rohani). Spiritual life bukanlah hidup yang
terbagi-bagi, hidup yang ketika di dalam gereja saja kita dapat
bernyanyi terus, tetapi hidup yang dapat mengaplikasikan hubungan kita dengan
Allah di dalam seluruh relasi kita sehari-hari.
Ketika
di masa Modernisme, manusia mencoba mengeringkan masyarakat dari aspek rohani
sehingga mereka sangat membenci istilah Tuhan dan semua yang berbau rohani,
dan akibatnya terjadi kekeringan yang luar biasa karena manusia sebenarnya
adalah mahkluk rohani. Namun di jaman Postmodernisme manusia mulai goyang
dalam hidupnya dan ia membutuhkan satu nuansa spiritual, yang bukan
kembali berhubungan dengan Allah melainkan menjadi satu jiwa mengilahkan diri
dan menyukai suasana mistik. Maka ketika mereka beribadah, ibadah itu juga
menjadi ibadah yang hanya mau memuaskan diri sendiri dan mereka sangat
menikmati kerohaniannya dengan hanya menyanyi dan mendengarkan firman
Tuhan, dan disitulah muncul satu semangat ecstasy (fly melalui
mistik). Dan itu merupakan pengisian spiritualitas yang dulunya sudah
begitu jauh ditinggalkan. Namun itu bukanlah rohani yang sesungguhnya
karena apa yang saudara rasakan hanyalah hubungan secara vertikal dan bukannya
kehidupan kerohanian yang teraplikasi praktis di dalam kehidupan kita
bersama dengan sesama.
Karena
itu pertama kali kita perlu membereskan istilah yang dipakai disini, bagaimana
hidup worship (ibadah) yang benar. Istilah worship seringkali diselewengkan
secara pengertian dasar. Dalam beberapa gereja tertentu istilah
worship itu hanya dibatasi pada lagu-lagu jenis tertentu, yang biasanya
sangat bernuansa mystical yang akhirnya membuat kita fly. Namun itu merupakan
istilah yang sangat mengecilkan pengertian worship sesungguhnya.
Kata ibadah (Ibrani: Abodah) yang artinya adalah “to bow down” atau menundukkan
kepala kita di hadapan Allah dan kita menyadari bahwa hubungan
kita dengan Allah terelasi selama-lamanya, yang merupakan hidup yang dipersembahkan
secara total kepada Allah. Hal itu bagaikan seorang yang sudah menyerahkan
dirinya menjadi budak seumur hidup, taat di bawah tuannya. Maka hidup
ibadah kita adalah satu hidup yang seluruhnya harus memperkenankan
hati Tuhan.
Di
dalam ketiga kata yang kelihatannya paralel, antara komposisi lirik dengan musik
masing-masing terdapat sedikit perbedaan: a). Mazmur (salmos),
dominasi string besar dan sebagian besar mempunyai lirik; b). Kidung
puji-pujian (hymnos), mempunyai keseimbangan antara musik dengan lirik;
dan c). Nyanyian rohani (ode), lebih dominan dalam liriknya dan musiknya
sangat minoritas. Istilah mazmur di dalam ibadah Yahudi (nuansa
timur tengah) itu unik karena dikaitkan dengan satu nyanyian yang diarahkan
kepada Allah atau dewa dengan menggunakan string. Alat musik dasar
terdiri dari tiga jenis yaitu alat musik pukul/ perkusi, tiup dan senar/
dawai, (mis: piano). Satu hal yang unik adalah bagaimana musik string
itu menjadi musik yang biasa dipakai dalam ibadah untuk membawa satu
nuansa kepada Allah, satu gabungan yang indah dengan suara manusia yang
sangat dominan dalam seluruh aspek ini. Sehingga merupakan satu kesalahan
fatal kalau saudara menggunakan ide menaikkan pujian rohani tetapi dalam
pikiran saudara memakai filsafat musik duniawi karena itu merupakan
dua hal yang sangat berbeda. Sebab semua musik dunia mempunyai ide
membuat sesuatu yang enak untuk dinikmati dan demi kesenangan kuping
kita namun tidak memikirkan apakah Tuhan berkenan atau tidak. Hari ini
terlalu banyak lagu di dalam kasanah kekristenan yang diselewengkan sehingga
kehilangan makna dan akhirnya menjadikan orang bingung dan tidak tahu lagi mana
lagu yang mencerminkan ibadah yang benar.
Disini
terdapat tiga hal yang perlu kita evaluasi kembali sehubungan dengan ibadah:
Yang pertama, motivasi kita menyanyikan lagu tersebut. Itu yang akan membuat
kita langsung peka bahwa lagu itu beres atau tidak. Apakah lagu yang
sedang kita nyanyikan merupakan satu ibadah hati kita dihadapan Tuhan dan
ketika kita berani mengeluarkan kalimat pujian tersebut, benarkah hati
kita sedang mencari perkenanan Tuhan? Jangan sampai apa yang kita pujikan kepada
Tuhan tidak sesuai dengan keadaan hati kita yang sebenarnya sehingga akhirnya
pujian kita hanya sekedar di mulut dan bukan keluar dari hati kita. Hanya
hati saudara sendiri yang sanggup mengetahui seberapa jauh saudara
merenungkan firmanNya dan mau menyenangkan hatiNya.
Kedua,
mempunyai pengertian yang tepat terhadap ibadah kita. Ketika kita menyanyi
di hadapan Tuhan, Ia mengajarkan kita untuk menyanyi dengan kata-kata/
lirik dan setiap kata-kata itu dipertanggungjawabkan teologis
dan pengertian doktrinal kita dihadapan Tuhan. Bagaimana nyanyian
kita menggambarkan pengenalan kita terhadap Allah secara tepat,
pengenalan terhadap diri dan kehidupan kita, konsep dosa, keselamatan,
pemeliharaan Allah dan seluruh aspek relasi antara Allah, manusia
dan seluruh alam semesta. Dalam Alkitab kita dapat melihat bahwa kitab
yang paling tebal adalah kitab nyanyian. Kita dapat belajar dari Mazmur,
dimana seluruh pengungkapan bagaimana pengenalan kita akan
Allah diungkap kepada Allah melalui puji-pujian dan mazmur.
Ketiga,
musik yang tepat. Alat musik pada dasarnya bersifat objektif (tidak akan memberikan
pengaruh apa-apa), namun ketika ada orang yang memainkannya maka alat musik
tersebut akan bersifat subjektif. Karena alat musik itu sekarang menjadi alat
dari si pemain untuk menyalurkan nuansa perasaan, pengertian dan apa
yang ia ingin sampaikan kepada orang lain melalui apa yang ia mainkan.
Musik mempunyai dua pengaruh besar yang mempengaruhi hidup kita: musik
yang baik akan mempengaruhi kerohanian kita; musik yang rendah kualitasnya,
akan menyentuh aspek badan kita yang bergerak. Maka alat musik yang sama
yang dimainkan secara berbeda akan memberikan dampak yang sangat
berbeda. Sebagai contoh alat musik timur tengah (mis: kecapi, tamborin).
Musik bukan demikian sederhana, musik mempunyai pengaruh yang sangat besar
dan diantara alat musik yang paling berbahaya, yang menyentuh kedagingan
kita adalah yang bersifat perkusi. Itu sebabnya orang-orang dari agama kuno
dan yang ingin mendorong orang untuk berperang/ melakukan tindakan brutal,
selalu menggunakan perkusi.
Mari kita benar-benar peka bagaimana mempunyai hidup yang beribadah, mulai dengan pengertian filosofik teologis yang tepat sehingga boleh menghasilkan puji-pujian dan permainan musik kita sebagai satu hymne, pujian kepada Allah yang tepat. Biarlah hari ini hidup kita benar-benar diubah menjadi satu hidup yang beribadah. Jika salah satu aspek hidup kita tercemar dan tidak dapat dibereskan maka yang lain akan ikut tercemar. Biarlah ini menjadi satu keutuhan yang membuat hidup kita menjadi hidup ibadah yang sungguh. Amin.?
(Ringkasan
khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)