Ringkasan Khotbah : 20 Agustus 2000

HIDUP BERIBADAH

Nats : Efesus 5:19-21

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Kita telah berbicara tentang prinsip bagaimana kita hidup penuh dengan Roh yang di­­per­ban­­­­­dingkan dengan konsep mabuk oleh anggur yang mengakibatkan timbulnya ha­wa nafsu. Pe­nuh dengan Roh Kudus bukanlah pemikiran yang ber-ide ku­an­titatif (jum­lah anggur yang kita mi­num) tetapi itu merupakan dampak kualitatif, di­ma­na Roh Tuhan me­ng­­ambil alih kontrol terhadap hi­­­­­dup kita. Istilah kontrol (‘pleroo’ atau  ‘pleroma,’) da­lam ayat ini merupakan sa­tu istilah yang unik, yang menunjukkan satu tun­tut­an ke­ha­rus­an untuk dijalankan te­tapi sama se­kali tidak meng­hi­­lang­kan kesadaran orang yang men­dapatkan ur­gensi tersebut. Itu ber­­arti penguasaan dan ke­pen­­ting­­an bagaimana Roh Kudus mengambil alih kon­trol, bukan sama se­­perti banyak orang pada ja­­­man ini yang ter­jebak dalam pengajaran se­sat, yang memikirkan bah­­wa hidup penuh dengan Roh ada­lah hidup kesurupan (mis: Toronto Blessing). Karena kon­disi seperti itu iden­tik dengan ke­mabukan yang digambarkan dalam ayat ini, yang idenya ada­lah satu pe­lam­pias­an ha­wa nafsu yang ti­dak terkontrol lagi. Maka seharusnya Kekristenan pa­da wak­tu melihat sua­­tu gejala yang ti­dak sesuai dengan Firman Tuhan, dengan cepat ia dapat me­nger­ti bah­wa itu bukan berasal dari Tuhan sehingga kita ti­dak mudah terjebak.

Dalam ayat selanjutnya Paulus menguraikan tiga bagian yang merupakan ciri ke­hi­dup­­an spi­­­ritual yang baik, yang menunjukkan bagaimana seorang yang dipenuhi oleh Roh dan hidup di da­­lam Roh: 1). “Berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam maz­­­mur, kidung puji-pujian dan nya­­nyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan se­­genap hati.” Hidup kita men­ja­di hidup yang penuh dengan mazmur, ki­dung puji-pu­ji­an dan nyanyian rohani, dan itu men­jadi sa­tu lingkungan pembincaraan ki­­ta setiap hari (ay 19). 2). “Ucaplah syukur se­nan­tia­sa atas segala se­­suatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus ke­pada Allah dan Bapa kita.” Di da­lam segala hal pe­­nuh de­ngan hati yang mengucap syukur ka­re­na pekerjaan daripada Kristus, Bapa yang meng­ga­­­­rap­­nya di dalam hidup kita dengan mediasi Tuhan Yesus (ay 20). 3). “Ren­dah­kanlah di­­rimu se­orang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Hidup yang gentar di ha­­­dap­an Tuhan. Ti­ga ba­gian tersebut dalam Alkitab mengunakan struktur present tense (Present Tense (Yunani) = Pre­sent Con­ti­nuous (Inggris)), yang berarti sua­tu tindakan te­rus-me­ne­rus da­lam ke­­hi­dupan kita se­hari-hari, yang menjadi life style kita (ay 21).

Selanjutnya, kalau kita perhatikan dengan lebih cermat, dalam kalimat, “Berkata-ka­­talah se­orang kepada yang lain …,” kita akan menemukan suatu kejanggalan, yaitu bah­­wa kalimat ter­se­but bu­kanlah seperti apa yang telah biasa kita lakukan dalam ke­hi­dup­an kita. Berkata-kata se­orang ke­pada yang lain seringkali kita pikir sebagai aspek hu­manistik kita dan tidak ber­hu­bung­an de­ngan Tuhan, sebab mazmur, kidung pujian dan nya­nyian rohani tidak kita pakai un­tuk ber­ka­ta-ka­ta se­orang kepada yang lain. Ini satu ben­tuk yang oleh Paulus digunakan untuk me­nya­dar­kan orang-orang di Efesus dalam ca­ra yang sama sekali berbeda. Ka­lau ki­ta mem­ba­ca ayat ini, lalu mem­­bandingkan de­ngan apa yang di utarakan di dalam mitos-mitos Yu­na­ni ku­no maka kita akan me­­lihat per­bedaan yang sangat drastis dalam format yang Paulus ajar­kan. Kon­teks pembicaraan Efesus ps. 5 bukanlah konteks pembicaraan di te­ngah ling­kungan orang Yahudi yang bo­­leh di­bi­lang lebih bernuansa mistik spiritual, melainkan kon­teks pem­­bica­ra­an me­re­ka le­bih bernuansa materialis karena lingkungan sangat sekuler, sa­­ma seperti hidup kita se­ka­rang di kota Surabaya. Sehingga yang menjadi kesulitan me­re­ka untuk melakukan hal tersebut ada­­lah bahwa pembicaraan yang bernuansa rohani se­dikit sekali terjadi di da­lam kehidupan me­re­ka, dan hidup mereka lebih dikuasai dan di­racuni oleh seku­laris­me. Paulus mengatakan kalimat ter­­sebut adalah dengan maksud, ke­tika kita berbincang-bin­cang di dalam ling­kungan kita sehari-hari maka nuansa ro­ha­ni kita tidak terlepas da­ri hi­dup kita, dan setiap per­bincangan kita secara ho­rizontal, se­la­lu terkait dengan aspek ver­ti­kal pada saat yang sa­ma. Jadi pada saat kita ber­bin­cang de­ngan orang lain, sesama ma­nu­sia maka pada saat yang sama pula hu­bungan saya de­ngan Tuhan itu akan selalu ter­ka­it. Sehingga kehidupan kita benar-benar dapat di­katakan spiritual life (hi­dup yang ro­ha­ni). Spiritual life bukanlah hidup yang terbagi-bagi, hidup yang ketika di da­lam ge­­re­ja sa­ja kita dapat bernyanyi terus, tetapi hidup yang dapat mengaplikasikan hubungan kita de­­­ngan Allah di dalam seluruh relasi kita sehari-hari.

Ketika di masa Modernisme, manusia mencoba mengeringkan masyarakat dari as­pek ro­ha­ni sehingga mereka sangat membenci istilah Tuhan dan semua yang berbau ro­ha­­­ni, dan akibat­nya terjadi kekeringan yang luar biasa karena manusia se­benarnya ada­lah mahkluk rohani. Na­mun di jaman Postmodernisme manusia mulai goyang dalam hi­dup­nya dan ia membutuhkan satu nu­an­sa spiritual, yang bukan kembali berhubungan de­ngan Allah melainkan menjadi satu jiwa mengilahkan diri dan me­nyukai suasana mis­tik. Maka ketika mereka ber­ibadah, ibadah itu juga men­jadi iba­dah yang hanya mau me­mu­as­kan diri sendiri dan mereka sa­ngat menikmati ke­roha­nian­nya dengan hanya me­nya­nyi dan mendengarkan firman Tuhan, dan di­situlah muncul sa­tu semangat ecstasy (fly me­­­lalui mistik). Dan itu merupakan pengisian spi­ri­tua­­litas yang dulunya sudah begitu ja­uh di­ting­galkan. Namun itu bukanlah rohani yang se­sung­guh­­­­­nya karena apa yang sau­da­ra rasakan hanyalah hubungan secara ver­ti­kal dan bu­kan­nya kehidupan kerohanian yang ter­­aplikasi praktis di dalam kehidupan kita bersama de­ngan se­sama.

Karena itu pertama kali kita perlu membereskan is­tilah yang dipakai disini, ba­gai­ma­­na hidup worship (ibadah) yang benar. Istilah worship se­ring­kali diselewengkan se­ca­ra pengertian dasar. Da­­­­lam beberapa gereja tertentu istilah worship itu ha­nya dibatasi pa­­da lagu-lagu jenis tertentu, yang biasanya sangat bernuansa mystical yang akhirnya mem­­buat ki­ta fly. Namun itu me­ru­pa­kan istilah yang sangat me­nge­cilkan pengertian wor­­­ship se­sung­guhnya. Kata ibadah (Ibrani: Abo­dah) yang artinya adalah “to bow down” atau me­nun­duk­kan kepala kita di hadapan Allah dan ki­ta me­­­nya­dari bahwa hu­bung­­­an kita dengan Allah terelasi selama-la­ma­nya, yang merupakan hi­dup yang di­per­sem­­­bah­kan secara total kepada Allah. Hal itu bagaikan seorang yang su­dah me­nye­­rah­kan diri­nya menjadi bu­dak se­umur hidup, taat di ba­wah tuannya. Maka hidup ibadah ki­ta ada­lah sa­tu hidup yang seluruhnya ha­­rus memperkenankan hati Tuhan.

Di dalam ketiga kata yang kelihatannya paralel, antara komposisi lirik dengan mu­sik masing-ma­­­sing terdapat se­­dikit perbedaan: a). Mazmur (sal­mos), dominasi string be­sar dan se­bagian be­sar mempunyai lirik; b). Kidung puji-pujian (hymnos), mempunyai ke­­se­imbangan antara musik de­ngan lirik; dan c). Nyanyian rohani (ode), lebih dominan da­­lam liriknya dan musiknya sangat mi­no­­­ritas. Istilah mazmur di da­lam iba­dah Yahudi (nuansa timur tengah) itu unik karena dikaitkan de­­ngan satu nyanyian yang diarah­kan ke­­pa­da Allah atau dewa dengan menggunakan string. Alat mu­­­sik dasar terdiri dari tiga je­nis yaitu alat mu­sik pukul/ perkusi, tiup dan senar/ dawai, (mis: pia­no). Satu hal yang unik ada­lah ba­gai­mana mu­sik string itu men­jadi musik yang biasa dipakai da­lam ibadah un­­tuk mem­ba­wa satu nuansa kepada Allah, satu gabungan yang indah de­ngan sua­ra ma­nusia yang sangat do­minan da­lam seluruh as­pek ini. Sehingga merupakan satu ke­sa­lah­an fa­tal kalau sau­dara meng­gunakan ide menaikkan pu­jian rohani tetapi dalam pikir­an sau­dara me­ma­kai fil­safat mu­sik duniawi ka­re­na itu me­ru­pa­kan dua hal yang sangat ber­­be­da. Sebab semua mu­sik du­nia mem­punyai ide mem­buat se­sua­tu yang enak untuk di­nik­mati dan de­mi kesenangan ku­ping kita namun ti­dak memikirkan apakah Tuhan ber­ke­­nan atau tidak. Hari ini terlalu banyak lagu di dalam kasanah kekristenan yang di­se­le­weng­kan se­hing­ga kehilangan makna dan akhirnya menjadikan orang bingung dan tidak ta­hu lagi ma­na lagu yang mencerminkan ibadah yang benar.

Disini terdapat tiga hal yang perlu kita evaluasi kembali sehubungan dengan iba­dah: Yang per­tama, motivasi kita menyanyikan lagu tersebut. Itu yang akan membuat ki­ta langsung peka bah­­wa lagu itu beres atau tidak. Apakah lagu yang sedang kita nya­nyi­kan merupakan satu iba­dah hati kita dihadapan Tuhan dan ketika kita berani menge­luar­kan kalimat pujian tersebut, be­nar­kah hati kita sedang mencari perkenanan Tuhan? Ja­ngan sampai apa yang kita pujikan ke­pa­da Tuhan tidak sesuai dengan keadaan hati ki­ta yang sebenarnya sehingga akhirnya pujian kita ha­nya sekedar di mulut dan bukan ke­lu­ar dari hati kita. Hanya hati saudara sendiri yang sanggup me­­ngetahui seberapa jauh sau­­dara merenungkan firmanNya dan mau menyenangkan hatiNya.

Kedua, mempunyai pengertian yang tepat terhadap ibadah kita. Ketika kita me­nya­nyi di ha­dap­an Tuhan, Ia me­nga­jarkan kita untuk menyanyi dengan kata-kata/ lirik dan se­tiap kata-kata itu di­­­per­tang­gung­ja­wab­kan teologis dan pengertian doktrinal kita di­ha­dap­­an Tuhan. Bagaimana nya­nyi­­an kita meng­gam­­barkan pengenalan kita terhadap Allah se­­cara tepat, pengenalan terhadap diri dan kehidupan kita, kon­sep dosa, ke­se­la­matan, pe­me­­liharaan Allah dan seluruh aspek relasi an­tara Allah, ma­nu­sia dan seluruh alam se­mes­­ta. Dalam Alkitab kita dapat melihat bahwa kitab yang paling tebal adalah kitab nya­nyi­­an. Kita dapat belajar dari Mazmur, di­ma­na seluruh peng­ung­kapan ba­gai­mana penge­nal­­an kita akan Allah diungkap kepada Allah melalui puji-pujian dan maz­mur.

Ketiga, musik yang tepat. Alat musik pada dasarnya bersifat objektif (tidak akan mem­­­beri­kan pengaruh apa-apa), namun ketika ada orang yang memainkannya maka alat mu­­sik tersebut akan bersifat subjektif. Karena alat musik itu sekarang menjadi alat dari si pe­main untuk me­nya­lur­kan nuansa perasaan, pengertian dan apa yang ia ingin sam­pai­­kan ke­pa­da orang lain melalui apa yang ia mainkan. Musik mempunyai dua pengaruh be­­sar yang mem­penga­ruhi hidup kita: mu­sik yang ba­ik akan mempengaruhi ke­rohanian kita; musik yang rendah kualitasnya, akan me­nyen­tuh aspek ba­dan kita yang bergerak. Ma­ka alat musik yang sama yang dimainkan se­­cara berbeda akan mem­be­rikan dampak yang sangat berbeda. Sebagai contoh alat musik ti­mur tengah (mis: ke­ca­pi, tam­bo­rin). Mu­sik bukan demikian sederhana, musik mempunyai penga­ruh yang sa­ngat besar dan di­­an­tara alat musik yang paling berbahaya, yang menyentuh ke­da­ging­­­an kita adalah yang bersifat per­kusi. Itu sebabnya orang-orang dari agama ku­no dan yang ingin men­do­rong orang untuk berperang/ melakukan tindakan brutal, selalu meng­gu­­na­kan per­ku­si.

Mari kita benar-benar peka bagaimana mempunyai hidup yang beribadah, mulai de­­­ng­an pe­nger­tian filosofik teologis yang tepat sehingga boleh menghasilkan puji-pu­jian dan permainan mu­sik kita sebagai satu hymne, pujian kepada Allah yang tepat. Biarlah ha­­ri ini hidup kita benar-benar diubah menjadi satu hidup yang beribadah. Jika salah sa­tu aspek hidup kita tercemar dan tidak dapat dibereskan maka yang lain akan ikut ter­ce­mar. Biarlah ini menjadi sa­tu keutuhan yang membuat hidup kita menjadi hidup ibadah yang sungguh. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)