Ringkasan Khotbah : 03 September 2000

HIDUP MENGUCAP SYUKUR

Nats : Efesus 5:20

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Kita telah membicarakan bagaimana implikasi kehidupan Kristen yang dinyatakan da­lam Efesus 5:17-19: “Janganlah kamu bodoh tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehen­dak Tuhan.” Hidup mengerti kehendak Tuhan bukanlah hal yang sederhana melainkan harus di­ubah dan dibangun dengan fondasi yang tepat dari iman yang dimengerti secara tepat yang akan mem­bangun seluruh implikasi kehidupan kita. Dan kita telah melihat bagian pertama dari tiga point, bagaimana prinsip tersebut diturunkan dalam kehidupan kita. Dikatakan dalam ay. 19: “Ber­ka­ta-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.” Sua­tu hal yang mungkin tidak biasa kita lakukan sehari-hari namun itu merupakan prinsip yang di­se­but sebagai the worship life (hidup yang beribadah). Kehidupan kita seringkali mengalami dua­lis­tik sehingga menaikkan mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani kita anggap hanya se­ba­gai urusan vertikal dan tidak pernah kita lakukan dalam hubungan kita dengan sesama. De­ngan demikian kita tidak dapat mengerti dan tidak mampu ketika diminta untuk berkomunikasi se­ca­ra surgawi, sama seperti ketika kita berkomunikasi kepada Allah. Dan itu bukanlah masalah prak­tis biasa tetapi dibelakangnya terdapat satu masalah teologis yang sangat besar, yang sulit ki­ta terima sehingga tidak terimplikasi dalam hidup kita.

Selanjutnya kita masuk dalam bagian kedua: “Ucaplah syukur senantiasa atas segala se­­­suatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” (Yunani: di dalam se­­­gala sesuatu bersyukurlah selalu dalam nama Tuhan Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita). Kata segala sesuatu merupakan kata pertama, bersyukurlah (eukharisteō), dan se­nantiasa (meng­­­gunakan bentuk tenses present active participle = present continous active-Inggris) yaitu sa­­­tu format te­rus-menerus yang dija­lankan dalam hidup kita (habit/kebiasaan). Disini kita tahu bah­­­­wa se­be­nar­nya hidup ini harus pe­nuh dengan ucapan syukur namun secara fak­ta hidup kita ti­­dak demikian. Banyak orang tidak dapat hi­dup seperti apa yang Alkitab katakan, mereka hidup pe­­nuh de­ngan stress akibat tekanan kesulitan dan pen­de­­ritaan yang sangat berat dan semakin ha­­ri semakin bertambah, demikian juga orang Kristen tanpa kecuali.

Tujuh puluh persen orang Kristen dan mayoritas orang non Kristen ber­anggapan bah­wa manusia terdiri dari tiga unsur yaitu tubuh, jiwa dan roh (Trikotomi). Tetapi kalau kita mem­pe­la­­jari secara tepat maka sebenarnya Alkitab tegas menyatakan bahwa manusia hanya ter­diri dari dua unsur saja yaitu tubuh dan roh/ jiwa (Dikotomi). Seringkali aki­­bat kesalahan fatal ini maka kita me­­­lihat stress sebagai pro­­blem psikologis – aspek jiwa, tetapi itu sebenarnya adalah ajaran fil­­sa­fat Yuna­ni. Alkitab ti­­dak pernah mengatakan bahwa jiwa menjadi eksistensi yang lepas, be­da de­ngan roh, tetapi sebenarnya jiwa dan roh itu dipakai secara bergantian di dalam Alkitab. Ketika se­cara seratus persen saudara mampu men­ja­lan­kan “ber­syu­kur di dalam segala sesuatu se­nan­tia­­sa kepada Allah Bapa kita di dalam Tuhan Yesus Kristus,” ma­­ka kita tidak akan mungkin stress. Tetapi secara realita hal itu tidak mungkin dijalankan secara penuh dalam hidup kita ka­re­na kita lebih banyak bersunggut-sung­gut di dalam melewati hidup. Jikalau kita anggap hal diatas se­bagai aspek psikologis maka seolah-olah masalah ter­se­but dapat diselesaikan tanpa Tuhan per­lu ada (humanistik: konseling, therapi, dsb) dan itu hanyalah penyelesaian sejenak, yang nan­ti­­­nya akan menimbulkan efek yang lebih parah. Seperti cara-cara baru di Jepang yang me­nye­dia­kan suatu kamar khusus bagi orang yang stress supaya mereka dapat melampiaskan emosi me­re­­ka dengan berteriak sekuat-kuatnya. Alkitab hanya mengatakan satu hal: “Ucaplah syukur se­nan­­tiasa di dalam segala sesuatu kepada Allah Bapa di sorga di dalam Tuhan Yesus Kristus.” Mengapa kita tidak mampu mengerti apa yang dilakukan Paulus yang walaupun di dalam penjara yang paling dalam, gelap dan ter­be­leng­gu, ia masih dapat memuji Tuhan. Demikian juga Stefanus, ketika dirajam batu, ia justru mene­nga­­dahkan tangannya, menatap kedepan dan ber­syu­­kur kepada Tuhan. Mengapa kita se­ba­gai anak Tuhan sulit mengerti dan melakukan hal ini?

Disini kita akan melihat tiga aspek yang perlu kita evaluasi total dalam diri kita se­hu­bung­­­an dengan kesulitan kita untuk mengucap syukur: Pertama, Kita tidak mampu bersyukur ka­re­­na ki­ta gagal mengerti cinta Tuhan yang sesungguhnya baik dalam pikiran maupun prinsip hi­dup kita. Kita sudah terlalu banyak dicemari oleh format cinta dunia, cinta yang egoistik, ma­nipu­la­tif, yang mem­buat kita akhirnya gagal mengerti bahwa Allah kita mencintai dengan sungguh-sung­­guh. Mung­kin kita mampu bersyukur ketika Tuhan memberikan segala sesuatu yang meng­un­­tung­kan kita, tetapi akan sulit melakukannya ketika kita mendapatkan kesulitan dan berbagai per­­gu­mul­an hi­dup. Dan akhirnya seringkali kita mencurigai cinta kasih dalam hidup kita. Sikap men­­cu­ri­gai ka­sih sangat mungkin terjadi di dalam kehidupan manusia berdosa, tetapi jikalau hal se­­perti ini kita im­plikasikan kepada Tuhan dan mulai mencurigai Dia tidak mengasihi dan berbuat ja­hat pada kita, maka itu akan membuat kita kehilangan seluruh sukacita, ucapan syukur dan mem­­­buat kita hi­­dup di dalam kerusakan dan tekanan yang berkepanjangan. Siapa Allah kita dan ba­­gaimana Dia di dalam pengertian kita, akan sangat mempengaruhi sikap kita. Jikalau kita tahu bahwa di da­­­­lam segala hal Tuhan begitu mencintai kita maka tidak ada alasan bagi kita un­tuk tidak ber­syu­kur kepadaNya, sekalipun suatu hal yang sulit kita terima karena kita tahu itu demi kebaikan kita.

Kedua, Karena kita tidak pernah mengerti dengan tepat karya Tuhan Yesus di dalam hidup kita masing-masing. Yesus rela naik ke kayu salib bukan karena kita berjasa tetapi karena kita ber­dosa. Pada saat kita begitu jahat, berontak pada Tuhan, Ia mau menyelamatkan dan mati bagi sau­dara dan saya. Seberapa dalam kita mengerti Tuhan menebus dan menyelamatkan kita dari dosa kita. Ketika kita mengerti anugerah ini maka kita tahu bagaimana dapat bersyukur setiap hari. Tidak ada satu manusiapun yang sempurna dalam dunia ini, setiap hari kita masih berbuat do­sa, mungkin kita tidak pernah membunuh atau mencuri tetapi kita seringkali melawan dan tidak ta­at padaNya. Di dalam budaya, terutama budaya Tionghoa, ini merupakan satu hal yang sangat di­te­kankan. Bagi orang Tionghoa, yang dinamakan “u-hauw” (hormat/ berbakti) itu adalah mentaati se­cara mutlak apa yang dikatakan oleh orang tua. Terkadang ketika ayah-ibu kita salah, mereka te­tap meminta yang salah itupun harus diturut. Disini kita harus sadar bahwa ketika kita se­ba­gai orang tua, taat mutlak pada Allah sehingga anak kita taat kepada kita. Kalau orang tua tidak ta­at kepada Allah maka anak kita berhak melawan kita. Karena anak kita harus taat kepada Allah le­bih daripada kepada siapapun. Kalau kita taat kepada orang tua itu adalah karena kita taat ke­pa­da Allah yang memerintahkan kita untuk hormat kepada orang tua. Itu prinsip yang harus di­te­gas­kan tanpa kompromi di dalam aspek ini. Tetapi seringkali kita berjalan keluar dari jalur yang Tuhan inginkan dan tidak taat mutlak kepada Allah sehingga mengakibatkan hidup kita me­nga­lami tekanan dan berbagai pergumulan hidup yang tidak seharusnya kita alami. Hanya melalui da­rah Tuhan Yesus yang dicurahkan, itulah yang membuat kita kembali kepadaNya. Banyak orang Kristen bertahun-tahun datang ke gereja tetapi begitu kering dan tidak mengerti dalamnya arti penebusan Kristus bagi hidupnya dan itu mengakibatkan ia tidak pernah dapat bersyukur pa­da Tuhan. Sewaktu kita mengerti karya anugerah Tuhan Yesus, itu menjadikan hidup kita penuh de­ngan ucapan syukur dan hidup kita diubah menjadi baru, hidup yang mengerti kebenaran.

Ketiga, Kita tahu bagaimana Allah memelihara kita. Doktrin yang penting dan ditegakkan be­gitu tegas dalam teologi Reformed ialah The Providence of God (pemeliharaan Allah atas umat­Nya). Ini didasarkan pada konsep bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat. Hidup manusia ha­rus taat pada Allah karena Allah adalah Allah yang berdaulat atas sejarah. Karena ia berdaulat atas sejarah maka ia berdaulat juga atas kita yang hidup dalam sejarah kerajaanNya. Kalau kita me­ngerti ini maka kita tahu bahwa langkah hidup kita itu merupakan langkah yang berada dalam anu­gerah dan membuat kita mampu bersyukur, apapun yang terjadi. Kita seringkali tidak sadar ka­lau kita berada di dalam pemeliharaan Allah dan di dalam jalur benang merah keselamatan Tuhan dimana kita sedang berjalan di dalam figur sejarah utama keselamatan Allah.

Di dalam sebuah film, kadangkala providensia sutradara terlalu terlihat berlebihan. Se­orang sutradara sedang berperan seperti “Allah kecil” ketika ia sedang mempermainkan seja­rah­nya (film) dan ia akan menjaga supaya pemeran utamanya tetap bermain di sepanjang sejarah film­nya, dan itu demi mempertahankan benang merah sejarahnya. Tetapi ketika itu kita tidak sa­dar bahwa itu adalah cara sang sutradara mengatur. Namun Allah kita jauh lebih besar daripada se­kedar pengaturan sejarah seorang sutradara karena Ia tidak hanya bermain di dalam kurun waktu yang terbatas. Satu hal yang perlu dipikirkan adalah apakah saudara saat ini berada di da­lam garis benang merah utama sejarah ataukah hanya sebagai figuran saja. Kalau kita tahu bah­wa kita adalah umat Allah yang sedang berada di dalam jalur keselamatan Allah berarti kita ber­ada di dalam garis merah sejarah keselamatan Allah, dan Allah ingin bekerja di dalam diri sau­dara dan saya untuk menuntaskan sejarah keselamatan. Dan Allah akan memelihara hidup kita, apa­pun yang terjadi dalam diri kita tidak akan lepas dari providensia Allah. Allah yang mengatur, me­melihara dan menuntun setiap langkah kita dan sejauh kita taat padaNya maka Ia akan mem­bu­ka jalan bagi kita sebagai jalan yang terbaik dalam hidup kita.

Seberapa jauh kita sadar akan hal ini? Kita sulit menyadari providensia Allah karena kita hanya memikirkan apa yang sedang kita rancang, atur dan mainkan sehingga kita tidak me­li­hat Tuhan memelihara langkah demi langkah kita. Seringkali kita melewatkan anugerah Tuhan yang seharusnya dapat dinikmati di sepanjang sejarah hidup kita. Kita tidak melihat bagaimana Tuhan memperkenankan kita melewati tempat-tempat, kesempatan-kesempatan, pertemuan, dan ber­kat yang indah yang Tuhan berikan pada kita. Dan semuanya itu mengakibatkan kita tidak mam­pu bersyukur pada Tuhan. Kita lebih mudah melihat kejelekan dan keburukan dari setiap hal yang kita alami dan hidup kita dipenuhi segala gerutuan sepanjang hari. Sangat disayangkan jika­lau kita gagal mengerti providensia Allah. Seberapa saudara dapat mengucap syukur di dalam se­gala sesuatu senantiasa, sedemikian juga saudara akan menikmati kebahagiaan yang Tuhan se­diakan bagi kita.

Terdapat beberapa manfaat dari hidup yang penuh dengan ucapan syukur: 1). Syukur  me­matahkan pride (kesombongan); 2). Syukur memberikan kesadaran limitasi dan dependensi; 3). Syukur membawa pengharapan; 4). Syukur membawa sukacita; 5). Syukur memberikan apre­sia­si; 6). Syukur mendorong kesaksian; dan 7). Syukur memberikan semangat dan kelegaan.

Haruskah kita membelenggu diri kita di dalam tekanan-tekanan yang tidak ada pa­ha­la­nya yang kita buat sendiri untuk menghancurkan hidup kita ataukah kita akan bertobat saat ini, kem­bali pada Tuhan, mau belajar mengerti siapa Allah yang kita percayai. Biarlah pengenalan kita akan Allah mengubah seluruh hidup kita sehingga setiap hari kita boleh belajar bersyukur ke­pa­da Dia di dalam segala hal, bahkan dalam hal yang paling kecil, seperti misalnya bersyukur atas makanan yang boleh kita terima setiap harinya. Di tengah dunia yang penuh stress biarlah Tuhan memakai kita untuk menghibur supaya mereka melihat ada secercah harapan yang sung­guh indah dalam hidup kita. Kiranya ini boleh menjadi kekuatan bagi hidup kita untuk kembali ber­syu­kur di hadapan Tuhan, mengubah hidup kita di dalam satu hidup yang penuh ucapan syukur. Amin.?

 

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)