Ringkasan Khotbah : 17 September 2000

KELUARGA BAHAGIA: PRESUPOSISI DASAR

Nats : Efesus 5:22—33; Mat 19:1-12; Kej 2:18-25

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Dalam bagian ini kita akan memasuki konsep tentang keluarga. Di dalam mem­bica­ra­kan ten­­tang keluarga terdapat hal tertentu yang perlu kita mengerti kembali, dimana keluarga me­ru­­pa­­kan pergumulan setiap pribadi kita dan itu adalah satu hal yang begitu realistik ada di tengah du­­nia. Sehingga bagi iman Kristen, berbicara tentang keluarga merupakan salah satu hal yang be­­gi­tu penting. Di tengah jaman modern ini, pengerusakan keluarga sangat luar biasa, yang me­nga­­kibatkan banyak ke­luarga yang kehilangan prinsip, isi dan bagaimana mereka harus meng­hi­dup­kan for­mat ke­luar­ga mereka. Ketika kita mulai memasuki hidup berkeluarga tidak dengan cara yang tepat, di da­lam pikiran, ke­­inginan dan harapan kita yang begitu indah dan ingin kita lihat se­ca­ra po­sitif, maka itu se­ring­ka­li akan mengakibatkan suatu ledakan di dalam kehidupan keluarga ka­rena ternyata kon­sep yang ki­ta terima lebih banyak berasal dari konsep sekuler, opini-opini dan ka­sus realita yang ada.

Dengan demikian, hal pertama yang perlu kita selesaikan adalah bagaimana kita harus mu­­lai memasuki presuposisi, mengarap prinsip ke­luar­ga. Satu ke­sa­lah­an fatal adalah apabila di da­­­lam kita mengerti kebenaran, kita tidak kembali pada prin­sip firman Tuhan melainkan meng­ana­­lisa ber­­­­dasar­kan realita. Kita tidak boleh meng­gunakan struktur induktif se­perti yang diker­ja­kan oleh sekuler understanding daripada science (il­mu il­mi­ah modern) yang meng­guna­kan satu ti­­­pu­­an logika yang kita kenal dengan nama induksi. Dan dengan cara demikian kita anggap sah men­dapatkan suatu kebenaran. Hal tersebut tidak mungkin dijadikan basis kebenaran, ka­re­na: per­tama, secara faktual ke­­­benaran sejati itu ber­ada di­atas realita. Di dalam mem­pe­lajari apa­pun, the truth is the truth (ke­be­naran adalah ke­be­nar­an) sehingga realita ha­rus me­nyesuaikan de­ngan ke­­benaran. Prin­sip filsafat duniawi atau psi­ko­logis seringkali salah di dalam studi biblika de­ngan me­­lakukan pendekatan melalui jalur realita. Tetapi sebagai orang Kristen, kita tidak seha­rus­nya ber­­pijak seperti itu ka­rena kita memiliki kebenaran sejati yang bukan dirancang oleh ma­nusia me­lain­­­kan wah­yu yang diberikan oleh Tuhan, dan itu me­rupakan kebenaran yang me­lam­­paui semua pre­­suposisi manusia manapun. Ketika kita tidak mau balik kepada prinsip pertama ma­ka seluruh pe­nyelesaian keluarga hanya akan menghancurkan masyarakat dan merusak ta­tan­an.

Prinsip Alkitab yang mengungkapkan perlunya kita membangun keluarga, suatu per­­ni­kah­an yang monogami, pernikahan yang harus menjaga kesucian serta prinsip per­­nikahan yang ke­kal itu bukanlah tan­­pa alasan karena dibelakangnya seluruh prinsip hidup berdiri tegak di da­­lam kebenaran Allah, dan ketika itu dilanggar maka orang tersebut tidak akan mengalami ke­ba­ha­gia­an yang penuh. Salah satu aspek psikologi mengatakan bahwa penyebab banyaknya anak mu­da sekarang yang membikin ulah kekacauan, pertikaian anak remaja, pengeroyokan, dsb. itu ada­lah anak-anak yang anti sosial, yang tidak dapat bersosialisasi, hidupnya di dalam ke­ke­­ras­an dan berjiwa kekejaman. Dan mereka belajar anti sosial tersebut dari keluarga. Anak-anak yang di ru­mah tidak mempunyai format keluarga yang baik maka diluar akan men­jadi pe­rusak mas­ya­ra­kat. Sehingga dari keluarga-keluarga yang sakit akan menciptakan masyarakat yang sa­kit. Dan itu­lah yang akan terjadi jikalau kita membangun konsep ke­luar­ga de­ngan cara dunia.

Kedua, di dalam membicarakan tentang keluarga, kita harus kembali pada firman karena kita disadarkan dengan satu Teologi Reformed yang mengatakan bahwa dunia ini sudah menga­lami kerusakan total. Kita tidak mungkin membangun prinsip yang baik berdasarkan realita yang te­lah rusak karena itu sama seperti ketika kita diminta membuat definisi tentang mobil, tetapi di­de­pan kita disodori mobil yang sudah sangat rusak, maka yang kita buat adalah definisi dari ke­han­curan tersebut. Ketika kita mencontoh format dunia yang rusak untuk membangun satu teori rea­­lita berdasarkan model-model keluarga, yang kemudian kita induksi dan mengambil kesim­pul­an bahwa keluarga adalah seperti itu, maka itu merupakan basis pengerusakan sistem keluarga yang paling fatal. Sebab bukan sekedar akan menjadi teori kacau tetapi saudara akan menga­cau­kan orang-orang yang hidup benar. Induktif studi keluarga hanyalah untuk menunjukkan berapa ru­­sak­nya keluarga yang ada, dan bagaimana firman Tuhan harus mengkoreksinya. Disini kita per­­­­caya bahwa tidak ada kemampuan manusia yang sanggup memulihkan struktur ini kecuali Roh Kudus yang bekerja. Alkitab jelas mengatakan bahwa kita adalah manusia yang dicipta baru di dalam Kristus (recreated man), II Kor 5:17. Hari ini berbagai format yang disodorkan oleh ma­ja­lah dan film-film (Cinderella Syndrom) dimana semua memberikan opini-opini yang sangat me­nge­rikan tentang keluarga, dan itu­­lah yang membuat manusia semakin rusak dan hancur. Tetapi se­bagai anak Tuhan yang me­ngerti dan memiliki firman  tidak seharusnya kita turut dalam prinsip se­perti itu. Satu-satunya ada­lah kembali pada prinsip firman Tuhan, baru ketajaman penglihatan kita akan muncul sebab Roh Kudus akan menerangi dan membawa kita hanya dari titik pijak yang te­pat untuk melihat semua yang terjadi.

Ketiga, Studi induktif di dalam dirinya sendiri tidak valid. Realita merupakan hal yang tidak valid ka­­rena realita tidak pernah kita pelajari secara menyeluruh dan tidak pernah mungkin akan kita da­­­patkan secara menyeluruh juga. Kita tidak akan mungkin meneliti seluruh keluarga untuk men­­da­­patkan kesimpulan tentang keluarga dan sekalipun kita dapat mendapatkannya hari ini, itu­pun ti­­dak akan sah untuk besok. Sesungguhnya kita mempunyai prinsip yang begitu agung, yang ja­uh di­­atas realita yang sebenarnya dapat kita pakai sebagai prinsip pembangun teori yang sa­ngat sah, yang sangat kokoh dan tidak dapat digeser. Dan disini kita akan mempunyai konsep yang je­las bagaimana membangun konsep keluarga di dalam kekristenan. Keluarga Kristen yang ba­­ha­gia harus kembali pada kunci konsep firman Tuhan.

Terdapat tiga alasan mengapa keluarga begitu serius harus kita bicarakan dan pelajari ka­re­na: 1). Alkitab menegaskan bahwa keluarga adalah the define institution (institusi Ilahi). Tuhan men­cipta lembaga pernikahan sejak dunia belum jatuh di da­lam dosa. Kej 2 menyatakan bahwa Allah menciptakan pria dan wanita, dan mereka diper­sa­tu­kan di dalam lembaga pernikahan yang di­sahkan oleh Tuhan. Lembaga pernikahan bukan sekedar lembaga karena instingtif, melainkan per­nikahan dicipta oleh Tuhan dengan cara dan struktur penciptaan yang unik dan ini menjadi sa­tu lembaga yang be­gitu serius dikerjakan. Di dalam Injil Matius juga dikatakan bahwa apa yang te­lah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan manusia. Sehingga ketika manusia mencoba men­ceraikannya, maka ia sudah melawan dia­metris terhadap keberadaan Allah sendiri. Per­nikah­an bukanlah sekedar I love you, you love me, tetapi kekristenan melihat per­ni­kah­an itu sebagai hu­bungan antara Kristus dengan jemaat (hubungan yang vertikal antara Allah de­ngan manusia). Di dalam konsep Ilahi pernikahan me­rupa­kan satu institusi yang begitu agung dan mulia. Kita ti­dak akan tahu bagaimana keluarga yang te­pat kecuali kembali pada yang membuat membuat ke­luar­ga tersebut. Disini kita boleh me­nger­ti betapa indah, berharga dan agungnya sebuah per­ni­kah­an. Dan dengan demikian seluruh perjalanan pernikahan boleh digarap dengan serius karena ki­ta tahu basisnya yang akan membuat seluruh cara pandang terhadap pernikahan berubah.

2). Institusi Ilahi menjadikan pernikahan menjadi satu natur dasar daripada manusia itu sen­diri (the basic nature of human being). Ketika manusia itu hanya seorang pria atau wanita saja, ma­ka itu dapat dikatakan bahwa ia adalah “manusia yang belum utuh totalitasnya.” Pertama kali Alkitab mengatakan tidak baik, sesudah semua yang Ia ciptakan baik adanya adalah ketika ma­nu­sia masih sendiri (Kej 1). Kita seringkali mungkin hanya mengerti dari aspek prokreasi saja. Te­ta­­­pi kita harus menyadari bahwa di dalam semua segi antara pria dan wanita (bukan hanya di da­lam aspek fisik saja), melainkan di dalam cara berpikir, cara berelasi dan pola hidup, mereka sa­ling me­leng­kapi. Sehingga dengan demikian, basic nature daripada kehidupan keluarga adalah perni­kah­an antara seorang pria dan seorang wanita. Di dalam bahasa Ibrani kita akan lebih jelas melihat kait­­an hal ini yaitu: “Ia akan dinamai Haishshah karena ia berasal dari Haish,” (dimana Haisyah (pe­rem­puan) itu menjadi satu ekstensi dari Hais (laki-laki)). Sehingga ini menjadikan pernikahan se­ba­gai lembaga yang sah, yang Tuhan ciptakan.

3). Keluarga begitu penting karena keluarga adalah pembentuk unit masyarakat yang paling ke­cil. Manusia mempunyai dua unsur, yaitu individunya (satu struktur kepribadian secara inter­nal), dan instrinsik ia sebagai seorang manusia yang masih harus dijalankan dengan format eks­trin­sik­nya, yaitu bagaimana ia sebagai manusia berelasi dengan sesama (homo ho­mini­socius). Ma­nusia tidak dicipta secara tunggal melainkan plural sehingga dengan demikian ma­nusia harus ber­interaksi satu sama lain. Pernikahan adalah belajarnya seseorang bersosialisasi dengan orang lain, belajar tidak me­mentingkan/ memikirkan dirinya sendiri. Dan hal ini keluarga merupakan mi­nia­tur social con­dition dari intrinsik dan ektrinsik ekonomi Allah Tritunggal. Jadi kalau Allah tri­tunggal, Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus di dalam dirinya sendiri menjadi pribadi dan berelasi di da­lam diri antar pribadi tritunggal maka manusia juga secara miniatur disebut dwitunggal (lebih ke­­­cil dan kualitasnya lebih rendah), suami-istri dapat bersosialisasi. Dan sosialisasi dalam ke­luar­ga ini membentuk unit terkecil daripada sosial masyarakat yang besar. Dengan demikian ka­lau so­­sial condition masyarakat terkecil ini beres (setiap keluarga beres) maka akhirnya seluruh mas­ya­rakat menjadi masyarakat yang sehat, tetapi apabila yang terjadi sebaliknya maka mas­ya­ra­kat ter­sebut juga akan menjadi sakit dan relasi menjadi rusak. Sehingga didalam format ini bagai­ma­na pedidikan anak didalam Alkitab diajarkan dengan baik dengan demikian format ke­luar­ga di­kem­balikan pada tuntutan Alkitab.

Ketika Tuhan menciptakan istitusi keluarga, Ia tidak menciptakan itu untuk membuat manu­sia seng­sara tetapi justru Ia menyediakan the fullness of happiness untuk sebuah keluarga. Per­so­alan­nya ada­lah maukah kita masuk didalamnya ataukah kita hanya membayangkan keba­ha­gia­annya tetapi kita mau berjalan semau kita sendiri, yang menyebabkan kita tidak da­pat bertemu dengan ke­ba­ha­giaan yang Tuhan sediakan. Hari ini mari kita mengevaluasi kembali apa­kah per­ni­kah­an kita ha­nya merupakan suatu putaran yang tanpa arah yang akhirnya menjadi kering? Apa­­kah kita sebenarnya telah gagal mengerjakan pernikahan yang jauh lebih indah dan di­namik un­tuk ke­hidupan kita?

Biarlah tiga bagian ayat yang telah kita baca ini boleh memberikan konsep yang mendasar ten­tang pernikahan. Coba kita pikirkan kalau kita mau menikah, apa yang akan kita la­ku­kan, per­nikah­an itu apa, mau kemana, bagaimana kita merancang kehidupan yang akan da­tang, bagai­ma­na kita taat pada Tuhan, bagaimana belajar membentuk satu citra keluarga yang cin­ta Tuhan dan juga bagaimana memelihara dari sejak masa pacaran supaya jangan sampai kita jatuh ke da­lam kerusakan! Karena kerusakan itu akan membuat kita menyesal dan tidak dapat dipulihkan kem­­bali dan sejarah tidak mungkin dapat mundur atau diulang kembali. Biarlah ini boleh men­jadi satu pergumulan yang terus membentuk hidup kita, kehidupan pelayanan kita, seluruh ke­hidupan keluarga dan akhirnya boleh menciptakan satu kebahagiaan yang Tuhan inginkan. Saya rindu, kalau orang-orang Kristen boleh kembali pada format keluarga yang tepat dan baik se­hing­ga da­pat menjadi kesaksian yang baik, yang mampu memberikan dampak dunia melihat dan ingin men­contoh kita. Amin.?

 

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)