Ringkasan Khotbah : 24 September 2000

THE FEAR OF THE LORD

Nats : Mzm 25:12-15; 34:10-12; Yer: 20-25

Pengkhotbah : Ev. Solomon Yo

 

Hal takut akan Tuhan merupakan satu hal yang sangat penting dan esensial di dalam ke­­­­­­­hidupan kita sebagai orang Kristen, sebab hal itu merupakan dasar kerohanian dan moralitas yang sejati. Tanpa adanya takut akan Tuhan, orang mungkin me­mi­liki satu aktivitas rohani dan bah­­­­­­­kan kebajikan yang begitu indah namun sesungguhnya mereka melakukan sesuatu yang ha­nya secara tampak luar saja indah tetapi tidak berkenan dimata Tuhan. Se­perti yang di­ka­ta­­kan da­­­lam Matius 7:21, “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke da­­lam kerajaan sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga.” Tanpa ta­­­kut akan Tuhan semua hanya merupakan sesuatu yang sia-sia be­la­ka, palsu dan menjadi sum­ber­ kehancuran.

Raja Saul merupakan contoh tragis seorang tokoh rohani yang ketika me­layani Tuhan me­­­­mulai dengan begitu rendah hati tetapi berakhir dengan begitu iro­nis, yaitu dengan pergi men­ca­ri se­­­orang peramal dan orang yang dapat memanggil arwah orang mati. Salah sa­tu yang me­nye­­­­bab­­­kan Saul jatuh, yang akan kita soroti adalah bahwa ia tidak memiliki rasa takut akan Tuhan. Di­­katakan da­lam I Sam 15: 24-26: “Aku telah ber­dosa, sebab te­lah kulangkahi titah Tuhan dan per­­kataanmu; tetapi aku takut kepada rakyat, ka­rena itu aku meng­gabulkan permintaan me­re­­ka. …, sebab engkau telah menolak firman Tuhan; sebab itu Tuhan telah me­nolak engkau, se­ba­­­gai raja atas Israel.” Demikian juga Pilatus yang takut pada desakan orang banyak sehing­ga ia meng­­­­­kom­­promikan apa yang secara hati nuraninya, dan ketika istrinya mendapat mimpi dan meng­­­­­ingat­­kan, ia tidak berani dan tidak mampu melakukannya. Jadi di da­lam tidak adanya takut akan Allah terdapat sesuatu yang sangat ber­ba­haya.

Disini terdapat beberapa alasan jikalau kita takut akan manusia: 1). Takut akan ma­nu­sia mendorong kita menyerahkan diri men­ja­­di budak orang lain, dan itu men­jadikan diri ki­ta sen­­diri hina. Sebagai manusia, kita tidak mempunyai hak atas hidup kita sehingga apa yang ada ha­­rus kita pelihara dan akhirnya boleh dipertanggungjawabkan pada Tuhan. Orang Kristen ada­­lah orang yang hanya me­nye­rahkan lututnya pada Tuhan untuk kemudian menjadi saksiNya. Dan pe­nga­jar­an ini justru akan membuat orang Kristen men­­­jadi lebih sayang dan hormat ke­pada orang tua­­nya. Jikalau di te­ngah sistem masyarakat, kita me­nge­­nal adanya orang tua-anak kecil; pim­pin­an-bawahan, dsb., kita tahu bahwa anak muda harus meng­hor­mati orang yang lebih tua, se­orang pim­­pinan akan dihormati bawahannya, dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian se­tiap kita mem­pu­nyai satu sikap hormat, sopan santun dan keteraturan yang berada di da­lam sa­tu ke­se­­­im­bang­an. Kita hanya memuliakan dan takut akan Tuhan, tetapi juga mempunyai penghargaan ter­­hadap orang lain se­ba­­gai ciptaan di dalam aturan yang se­pan­tas­nya.

2). Takut akan manusia membuat orang menggantungkan hidupnya kepada orang lain ka­­­rena ia menganggap keputusan mereka adalah penentu hidup/matinya. Ada kalanya kita meng­­­anggap boss atau siapa saja mempunyai kuasa untuk menentukan kesejahteraan ki­ta dan kita sangat bergantung pada keputusan atau kebaikannya, sehingga kita menjadi tunduk dalam se­gala hal kepadanya. Orang Kristen tidak pernah diajar untuk menggantungkan hidup dan sejah­te­­ra­nya kepada siapapun juga, baik pada materi maupun seseorang. Firman Tuhan bahkan me­nga­­takan dengan tegas di dalam Yer 17: 5: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada Tuhan!” Karena orang yang menggantungkan kebahagiaan dan kesejahteraannya kepada sesuatu yang tidak ku­at dan dapat berubah adalah orang yang membahayakan dirinya untuk selalu tidak sejahtera. Se­bab ketika materi/ manusia itu menjadi lemah dan tidak berarti, kita menjadi tidak bahagia. Kita di­ajar­­­kan untuk membangun rumah kita bukan diatas pasir tetapi diatas batu karang yang teguh dan kesetiaanNya yaitu Yesus Kristus, dimana kebahagiaan kita akan ditegakkan. Tuhan dapat mem­­­­berikan orang/kekasih sebagai orang yang membahagiakan kita, tetapi sebagai orang Kristen kita harus sadar bahwa apabila mereka diambil, atau bahkan jikalau kita di-PHK, kita tidak a­kan men­jadi gila atau menghujat Tuhan. Dengan demikian kita tahu bahwa apapun yang kita te­ri­ma baik berkat, ke­lu­ar­ga, maupun tubuh yang sehat, selalu kita lihat bahwa lengan Tuhan yang ke­­kal itulah yang membimbing dan menopang kita.

3). Membuat kita mau melakukan apa saja demi orang yang kita takuti. Betapa sering di dalam perusahaan, bahkan orang Kristen, yang kemudian kompromi di dalam berbagai hal un­tuk dapat menyenangkan boss atau pimpinannya. Akibatnya kita telah menjual iman kita dan meng­­­khianati Tuhan demi suatu upah yang nilainya tidak seberapa. Takut pada manusia me­nye­bab­­­kan kita berbuat dosa dan kehilangan sesuatu yang penting, dan justru ketika kita menjual iman kita, orang tidak akan menghargai kita lagi. Itu adalah kerugian yang seringkali tidak kita sa­dari yang akan menghancurkan diri kita sendiri. 4). Hidup kita hanya untuk menyenangkan hati orang yang kita takuti, yang ironisnya sua­tu hari ia akan mencampakkan kita, ketika ia sudah ti­dak me­merlukan kita lagi. Manusia se­ba­gai mahkluk berdosa tidak dapat diandalkan, bahkan kita ti­­dak dapat mempercayai diri kita sen­diri. Berapa banyak kita berdoa ingin setia pada Tuhan te­ta­pi ak­­hir­nya kita melanggarnya. De­ngan demikian kita harus mohon kekuatan Tuhan untuk me­no­long, terutama ketika seseorang semakin memiliki kuasa, disitu potensi penyelewengan menjadi se­makin be­­sar. Disini kita tahu bahwa hanya Tuhan yang begitu se­tia dan tidak pernah meng­abai­kan setiap apa yang kita la­ku­kan, bahkan sesuatu yang paling ke­cil ketika kita lakukan de­ngan hati nurani yang tulus.

5). Orang yang takut akan manusia adalah orang yang memanfaatkan orang lain demi men­­capai tujuannya. Orang ini merasa bahwa sejahteranya bergantung pada orang lain, dan yang ia inginkan adalah supaya sejahterannya dapat terpelihara. Sehingga ketika ia takut, tunduk atau me­­lakukan apa saja termasuk kompromi, alasannya bukanlah cinta melainkan karena ke­ta­kut­­­­an jikalau kesejahteraannya terganggu. Dan tujuan orang tersebut adalah keuntungan, im­bal­an, keselamatan, dsb. Dan ketika ia bertemu dengan sesuatu yang lebih besar lagi, ia akan de­ngan mudah me­­­ninggalkan dan pergi kepada yang lain. 6). Mengakibatkan kita gagal untuk me­ngem­­­bangkan apa yang telah direncanakan Tuhan bagi kita karena kita telah menjual diri kita un­tuk men­dapat­kan keuntungan yang sepele. Kita mengorbankan kebenaran dan membiasakan diri me­lakukan kesalahan yang akhirnya menjadikan kita orang yang sa­ngat hina dan munafik karena kita dapat diatur oleh manusia. Hidup dalam dunia ini tidak ada satu jaminan akan selalu lan­car, bah­­kan orang yang memiliki segala sesuatu pun tidak lancar dan bukannya tanpa bahaya, te­tapi ki­ta tetap mempunyai perbedaan dimana kita memiliki jaminan pimpinan dan pemeliharaan Tuhan yang tidak akan goyah selama-lamanya.

Takut akan Tuhan bukan suatu takut yang memperbudak, yang membuat kita takut se­perti pada hantu atau suatu kuasa yang negatif, tetapi suatu esensi dari satu kerohanian/ sikap ba­tin yang benar di hadapan Tuhan. Di dalam takut akan Tuhan ada satu paradoks, yaitu ada se­ma­cam kegentaran/ ketakutan yang begitu dasyat kepada Allah yang suci, kudus dan benar se­hing­­ga sedikit kesalahan pun tidak akan Ia tolerir. Tetapi sekaligus di dalam takut akan Tuhan yang demikian, juga disertai satu kasih sayang Allah Bapa yang menyambut kita yang ber­do­­­sa se­besar apapun juga, sehingga kita boleh datang kehadiratNya seperti seorang anak kecil yang da­tang kepada bapanya, yang dengan kasih sayang dan keintiman boleh menyebutNya Bapa. Ke­gentaran pada Tuhan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh membuat kita gemetar, ta­­kut yang melebihi apapun juga. Sehingga orang yang berdosa berkata: “Hai bukit, hai gunung ja­­tuh­lah menimpa kami sebab kami sangat takut menghadap akan murka Allah.” Kita terlalu se­ring me­nekankan aspek positif Allah yaitu kasih, pengampunan dan damai sejahtera Tuhan yang me­ne­rima kita sehingga kita kehilangan sikap gentar dan takut akan Allah. Sikap takut akan Tuhan ha­rus menjadi landasan kerohanian yang sejati dan moralitas yang tulus iklas, karena di da­­lam ba­tinnya ia tahu kepada siapa ia berespon dan dihadapan siapa ia hidup sehingga tidak hi­dup sembarangan.

Takut akan Tuhan dapat kita mengerti dalam beberapa aspek: 1). Adanya suatu pa­ra­doks bahwa ketika kita hidup di dalam anugerah dan pim­­pinan­nya, maka kita boleh memiliki da­mai sejahtera dan dengan penuh kepercayaan meng­hampiri tah­ta Tuhan. Namun sebaliknya bagi orang yang hidup dalam dosa dan se­ngaja mem­be­ron­tak pada Tuhan, Ia akan menjatuhkan mur­ka­Nya atas kita. Mungkin kita memiliki rasa takut terhadap se­tan, penguasa atau mili­ter yang sang­­gup melakukan sesuatu yang buruk terhadap kita, tetapi itu tidak akan berarti jika diban­ding­kan de­ngan murka Tuhan. Alkitab de­ngan jelas me­negas­kan bahwa Allah tidak dapat diper­main­kan dan ia adalah api yang meng­ha­nguskan sehingga tidak ada se­suatu yang cemar yang boleh ha­dir dihadapanNya. 2). Takut akan Tuhan adalah menyadari dan mengakui Allah sebagai pribadi yang ter­ting­­gi, yang mengendalikan seluruh kehidupan umat manusia, bahkan alam semesta ini. Semua hal di dalam alam semesta ini memiliki ber­ba­gai derajat kuasa dan otoritas, tetapi diantara se­mua­nya itu hanya Tuhan satu-satunya yang patut di­sembah dan diperhitungkan. Seperti Yesaya di dalam bait Allah melihat kemuliaan Tuhan yang me­nguasai segala sesuatu dan menjulang ting­gi, dan kepada Tuhan ia bertekuk lutut serta bersembah sujud. Sehingga jikalau saya takut pada Allah di dalam sikap yang benar dan di dalam sejahtera dengan Dia maka saya tidak perlu takut ter­hadap apapun yang lain.

3). Mengakui Allah sebagai sumber berkat sejati, yang menjadi sumber se­jah­tera dan ba­hagia daripada kita semua. Ketika Allah ada di pihak kita maka tidak ada apapun yang sang­gup melawanNya. Orang yang takut akan Tuhan, yang telah melihat ke­muliaan Tuhan yang me­nga­tasi segala sesuatu akan mengakui bah­wa sumber sejahtera ada­lah Tuhan sehingga hanya ke­pada Dia, ia tunduk dan menggantungkan diri­nya.

4). Takut akan Tuhan berarti melibatkan Tuhan di dalam seluruh aspek kehidupan kita dan kita taat kepada pimpinanNya. Kita tahu bahwa di gunung yang tinggi, di lembah yang dalam, di lautan yang luas maupun di samudra angkasa, disitupun Allah berada dan disitu kita hidup di ha­­­dapannya, dinilai, berharap dan memuliakanNya. Firman Tuhan mengatakan bahwa orang yang takut akan Tuhan tidak akan kekurangan, singa-singga muda akan mati kelaparan dan me­ra­na tetapi orang yang mengandalkan dan hidup takut akan Tuhan tidak akan ke­kurang­an. De­ngan demikian tidak ada yang perlu kita khawatirkan dan dengan sejahtera kita boleh hi­dup dan ber­istirahat dengan tenang.

Takut akan Tuhan memberikan pada kita sejahtera yang besar dan kita tidak perlu di­kua­­­sai oleh orang lain. Salah satu kalimat Yesus yang bersifat revolusioner ada­lah, “Janganlah ka­mu ta­kut kepada manusia yang hanya mampu untuk membinasakan tubuh, teta­­­pi tidak seperti Tuhan yang sanggup membinasakan tubuh dan jiwa dalam neraka.” Ketika kita su­­­dah tidak takut ter­ha­dap kematian ataupun penganiayaan maka kita justru hidup dalam damai se­­­jahtera. Se­hing­ga di da­lam hubungan kita satu sama lain, yang pertama adalah takut akan Tuhan dan dalam hu­bung­an dengan sesama kita boleh menjalin satu saling menghormati dan mengasihi se­­­mua di da­lam ke­benaran. Kira­nya firman Tuhan hari ini boleh memberikan pada kita suatu terobosan dan ke­be­bas­an untuk hi­dup penuh sejahtera dengan satu kegentaran hidup benar dihadapan Tuhan. Mari ki­ta belajar takut akan Tuhan. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)