Ringkasan
Khotbah : 01 Oktober 2000
Tujuan
Keluarga I: Kebaikan
Pengkhotbah
:
Rev.
Sutjipto Subeno
Dua
minggu yang lalu kita sudah menekankan bagaimana konsep keluarga yang sejati tidak
dapat dimulai dengan case study (berdasar relativisme), karena jika demikian
maka setiap orang berhak mempunyai ide, menginterpretasi serta mengarahkan pada
apa yang ia inginkan, yang akhirnya akan menghancurkan diri mereka sendiri. Maka
tidak ada basis sah kecuali kembali pada struktur kebenaran firman Tuhan,
taat kepada apa yang Alkitab katakan dan dari terang pengertian firman Tuhan
yang tepat kita menganalisa realita.
Dalam
Kej. 2 kita akan melihat bahwa ketika suatu keluarga dijadikan oleh Tuhan, Ia
menginginkan adanya tiga sifat utama ada di dalam suatu keluarga yang
baik: 1). Sifat baik/ bajik. Allah tidak pernah menginginkan keluarga
dibentuk untuk menjadi satu bagian yang susah, sengsara, menderita,
hancur, dsb. Namun kita akan pesimis kalau melihat hubungan orang tua-anak, relasi
suami-istri, kehidupan seksual, moralitas dan trend masyarakat di dalam
format keluarga hari ini. Kalimat pertama dalam Kej. 2:18 jelas
mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia, dan ketika itu hanya
terdapat satu (pria) saja, maka Ia berfirman, “Tidak baik, kalau manusia
itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia.” Berarti Allah tidak menginginkan yang tidak baik!
Keluarga dicipta untuk menjadi keluarga yang baik, tetapi di dalam
kenyataannya jauh daripada apa yang Allah inginkan.
2).
Sifat tanggungjawab. Ketika Allah melihat manusia itu belum terbentuk
menjadi satu keluarga yang baik (sebelum Allah menciptakan Hawa bagi Adam),
maka Ia melakukan serangkaian penciptaan, yaitu dibentuk-Nyalah dari tanah
segala binatang hutan dan segala burung di udara (binatang dicipta dengan cara
yang sama seperti manusia, hanya tidak diberikan nafas hidup). Namun di dalam
struktur menggumulkan keluarga bagian ini seringkali dilewatkan. Banyak agama
lain maupun agama sesat jaman ini (hypercalvinistic) yang menganggap bahwa manusia
berkeluarga secara predestinasi, sehingga mereka menganggap Allah yang salah
ketika ia salah menetapkan pilihannya. Suatu keluarga bukan dicipta menjadi
keluarga robotik melainkan harus ada pemilihan, berproses dan berjuang sehingga
akhirnya ia harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Sehingga ketika
seseorang ingin membangun keluarga maka ia harus berani membangun
tanggungjawabnya secara tepat, dengan demikian keluarga itu dapat diproses
seperti yang Tuhan inginkan.
3).
Sifat kekudusan. Allah bukan sekedar menginginkan manusia berkeluarga
secara baik dan bertanggungjawab melainkan juga harus secara kudus. Alkitab
mengatakan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak
merasa malu.” Hidup di dalam kekudusan yang sejati mempunyai dua aspek: kekhususan
(spesifik, satu pria-satu wanita) dan kesucian secara keseluruhan
(tidak ada cemar/dosa). Sehingga ketika kekudusan itu dilanggar maka manusia
telah mencemarkan nama Allah yang kudus dan mengalami disharmonis karena
keluarga merupakan miniatur Allah Tritunggal. Ketika salah satu hal diatas
dilanggar maka keluarga akan mengalami kerugian karena tidak lagi mencapai
apa yang seharusnya didapatkan secara maksimal dalam Tuhan Allah.
Satu
kontras yang sedang terjadi saat ini dimana banyak orang yang membuka kesaksian
realita yang akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa hidup berkeluarga
itu akan menyulitkan, banyak masalah dan penderitaan sehingga itu tidak
baik. Demikian juga di dalam Kekristenan, ketika menikah maka kita
dianggap lebih bersifat duniawi/ kedagingan, tidak memperhatikan kerohanian
kita dan tidak suci. Maka timbul bias seolah pernikahan itu adalah suatu lembaga
yang tidak baik dan tidak bersifat rohani. Namun Alkitab dari awal menegaskan
bahwa ketika Adam seorang diri maka saat itu dikatakan tidak baik
karena sebagian natur yang menyempurnakan manusia masih belum ada (Haish
& Haishshah). Maka ketika pria atau wanita saja berarti ia baru
mempunyai separoh natur keutuhan semua kesempurnaan kemanusiaan karena ada unsur-unsur
manusia yang tidak dimiliki oleh pria dan demikian pula sebaliknya, dan
masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan yang ketika
keduanya disatukan baru mencapai kesempurnaan. Itulah integrity of
human being!
Satu
ide yang harus dimengerti adalah bahwa ketika kita mengarap sebuah pernikahan,
itu justru mengarap satu keindahan dimana kita boleh mendapatkan satu keutuhan
bersama yang tidak untuk dipertentangkan melainkan untuk dikomplementasikan. Di
dalam perjalanan manusia jatuh dalam dosa, aspek yang pertama kali
dirusak oleh Iblis adalah aspek keluarga (relasi antara Adam dan Hawa).
Sehingga relasi yang seharusnya menjadi relasi komplementasi menjadi relasi
yang destruktif dan disharmonis dan akhirnya satu sama lain saling menghancurkan
dan menjadi musuh bagi pasangannya sendiri. Dan keindahan pernikahan
yang harusnya dapat terjadi hari ini telah mengalami distorsi pemikiran,
realita, sosiologikal, psikologikal, dsb., yang semua mengakibatkan
dunia kita mempunyai image yang tidak tepat tentang keluarga.
Selanjutnya
di dalam Mat 19:12 Yesus mengemukakan tiga hal yang menyebabkan pernikahan
tidak dapat dijalankan: Kasus pertama, orang yang tidak dapat
menikah karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya (cacat
secara lahiriah/ cacat bawaan). Tetapi di dalam seluruh catatan medis,
orang yang cacat sejak lahir (mis: ketidakadaan alat kelamin, keanehan di
dalam struktur genetika, dsb.) itu menjadi sangat minoritas di dalam
dunia. Dan hal ini memang terjadi di dalam dunia sebagai efek
dosa. Namun ini bukanlah general understanding yang dapat dijadikan
alasan untuk tidak menikah. Kasus kedua, ada orang yang dijadikan
demikian oleh orang lain. Efek pelaksanaannya sangat banyak, baik
secara fisical, sosiological, hingga politik. Secara fisikal terjadi
pada sida-sida yang sengaja dikebiri supaya mereka tidak dapat menikah.
Adapun efek pelaksanaan secara sosiologikal terjadi karena pembentukan
keluarga dan masyarakat yang tidak beres. Beberapa data menunjukkan
bahwa jikalau dalam satu keluarga, struktur keluarga tersebut terbalik
(istri lebih dominan dan suami menjadi submisif), itu akan menghasilkan
anak yang mengalami problem dalam kehidupannya, kehilangan figur diri dan akhirnya
kesulitan mencari teman hidup. Ada juga anak-anak yang dididik secara
berbeda dari yang seharusnya (anak perempuan dididik dan di paksa
menjadi laki-laki, demikian pula sebaliknya), sehingga akibatnya ia
tidak dapat bergaul lagi dengan pria secara wajar karena sudah terlalu maskulin.
Adapun salah satu efek pelaksanaan secara politik yang hari ini sangat
relevan adalah kepincangan yang diakibatkan terlalu banyaknya
peperangan yang terjadi di dunia. Peperangan ini telah menyebabkan
berjuta-juta pria di usia pertumbuhan harus mati di medan pertempuran. Yang
akibatnya, saat ini wanita menjadi dominan secara quantitatif
dibandingkan pria, dan akhirnya akan banyak wanita yang menjadi korban
tidak mendapat bagian pria. Tetapi dengan demikian bukan berarti
setiap pria boleh memiliki istri lebih dari satu. Yang harus dijalankan adalah
menghentikan perang sehingga tidak banyak pria yang mati di
peperangan.
Disini
harus ada penyelesaian dengan tuntutan pertobatan yang sungguh dari setiap orang
untuk kembali pada kebenaran. Yang manusia lihat seringkali hanyalah begitu
banyaknya homo seksual, dan keanehan yang lain, namun mereka tidak
melihat dari mana semua itu berasal. Dan hari ini seolah semua itu disetujui
dan menjadi efek normal manusia. Disini bagaimana kekristenan harus
berteriak keras menyatakan bahwa hal itu merupakan kekejian dimata
Tuhan dan tidak ada kemungkinan lain selain hukuman mati. Setiap manusia
mempunyai bakat defiasi seksual sejak jatuh dalam dosa dan hal itu seharusnya
tidak boleh dibiarkan dan dilampiaskan, demikian juga free sex, pelacuran,
dan segala bentuk lain yang dikutuk oleh Tuhan sebagai perjinahan.
Disini gereja harus mengerti bagaimana mengampuni, tetapi juga tidak
mempermainkan kesucian gereja, sehingga harus bermain di tengah
secara seimbang dan tepat.
Kasus
ketiga, ada
orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Sorga. Di tengah berjuta manusia, ada orang yang Tuhan panggil untuk
mengkhususkan diri melayaniNya. Bagian I Kor 7:38 seringkali dipakai
orang-orang tertentu, dilepaskan dari konteksnya untuk membenarkan bahwa
nikah itu tidak baik. Padahal kalau kita perhatikan, ada dua hal yang harus
diperhatikan dan diwaspadai di dalam ayat sebelumnya(ay 24-26). Ketika dikatakan:
“Hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti
pada waktu ia dipanggil,” itu berarti bahwa kita berjalan bukan menurut
apa yang kita ataupun masyarakat mau tetapi menurut apa yang Tuhan mau
di dalam panggilanNya. Kemudian dalam ay. 25-26 terdapat perbedaan qualitatif
yang Paulus tegaskan. Sehingga ini harus dimengerti di dalam satu konteks
situasi tertentu dan di dalam kondisi yang tertentu pula, dan hal itu tidak dapat
dijadikan rumus umum yang diterapkan pada semua orang. Alkitab tidak
mengatakan bahwa kalau selama-lamanya kita tidak menikah dengan gadis kita
itu baik, tetapi hal ini adalah di dalam kasus tertentu dimana keadaan
sudah sangat kritikal sehingga dituntut keadaan seperti itu.
Untuk
itu Paulus memakai contoh dirinya, bagaimana akhirnya demi panggilan Allah yang
sangat krusial ia harus merelakan hal itu. Bagi orang tertentu dimana Tuhan
ingin pakai orang tersebut, ia harus rela menyerahkan segalanya, termasuk
mungkin orang yang dicintainya. Di dalam kasus seperti ini Tuhan memberikan satu
kemungkinan dimana akhirnya orang tersebut dikatakan dalam Alkitab
“dinikahkan dengan Allah.” Mungkin di dalam melakukan pelayanan misi
ia akhirnya harus mengalami kesengsaraan, pergi berkelana dari tempat ke
tempat yang sangat susah dan bahkan menjadi martir di hadapan Tuhan,
sehingga akan sangat rumit baginya kalau berkeluarga. Namun ketika
seseorang dipanggil khusus untuk menjalankan tugas maka Tuhan yang akan
memberikan kekuatan khusus bagi orang tersebut. Ini yang menjadi pertentangan
di dalam gerakan kekristenan dalam gereja Roma Katholik hari ini,
dimana di dalamnya mulai terdapat pertentangan keras karena menuntut
biarawan/biarawati yang bukan karena panggilan khusus supaya mereka
diperkenankan menikah. Bahkan sampai terbongkarnya banyak skandal di
dalam yang menunjukkan bahwa memang bukan seharusnya seperti itu,
tetapi suatu hal yang dipaksakan. Karena justru untuk kepentingan
pastoral dibutuhkan mereka yang menikah. Hal kedua yang perlu di
waspadai adalah ketika hal itu tidak seharusnya dijalankan maka gereja akan
kehilangan potensi bagaimana menjadi saksi. Sebab ketika tidak ada
pendeta yang menikah maka tidak ada yang dapat dijadikan contoh suatu keluarga
yang baik, karena yang ada hanyalah teori belaka.
Sehingga
disini kita melihat perlunya bagaimana secara tepat memproporsikan panggilan
Allah di dalam diri kita. Jangan karena kita terlalu cerewet dalam memilih
pasangan hidup dan kita merasa semua tidak cocok bagi kita, maka akhirnya kita
berkata bahwa Tuhan memanggil kita secara khusus untuk itu. Tuhan tidak
menentukan hal seperti itu, tetapi bagaimana kita harus mengarap
komplementasi yang tepat sehingga kita tidak mempermainkan ayat ini. Ini
menjadi satu gambaran, bagaimana kita boleh memancarkan satu proses dinamis sebagai
manusia yang berelasi, menjalankan kebajikan, tanggungjawab, dan kekudusan
yang Tuhan tuntut bagi setiap kita. Dengan format itulah baru kita bisa
menyaksikan pada dunia satu bentuk relasi yang terindah yang Tuhan
inginkan di dalam hidup kita.
Saya harap ini boleh membangun setiap kita sehingga boleh mengerti secara tepat bagaimana kita memproses hidup kita di dalam satu struktur kekeluargaan yang Tuhan inginkan. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)