Ringkasan
Khotbah : 08 Oktober 2000
Tujuan
Keluarga II: Bertanggungjawab
Pengkhotbah
:
Rev.
Sutjipto Subeno
Minggu
lalu kita telah membicarakan tentang aspek pertama dari tujuan keluarga yang dibentuk
oleh Tuhan, yang meliputi tiga aspek: pertama, Tuhan menciptakan keluarga
supaya menjadi baik. Ketika kita kembali pada kebenaran firman Tuhan maka
keluarga akan hidup di dalam pimpinan Tuhan dan mampu menyatakan
kemuliaan, kasih dan kebenaran Tuhan, yang akhirnya menunjukkan satu
kebahagiaan yang boleh terjadi di tengah dunia. Kedua, Tuhan menginginkan
keluarga itu bertanggungjawab. Ini harus menjadi elemen dan dasar dari
setiap keluarga dimana setiap anggotanya bertanggungjawab kepada
Tuhan. Ketiga, Tuhan menginginkan keluarga itu kudus karena ini
menjadi sifat Allah yang ingin dinyatakan melalui keberadaan keluarga.
Adapun
hari ini kita akan masuk dalam aspek kedua yaitu bagaimana Tuhan menginginkan
keluarga yang bertanggungjawab. Manusia adalah mahkluk yang dicipta dengan
akal budi dan kepadanya diberikan tugas untuk dapat memilih berdasarkan pada
satu bijaksana (wisdom), dimana setiap pemilihan harus disertai
dengan tanggungjawab. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah dicipta
mempunyai kemampuan untuk dapat memikirkan, mengatur dan melakukan pemilihan.
Dan hal ini tidak terlepas juga di dalam permasalahan keluarga. Ketika
kita mau berkeluarga, kita penuh dengan berbagai pilihan dan tuntutan
pertanggungjawaban. Dan ini memang menjadi natur dasar manusia agar
hidup dengan tepat. Jikalau kita lihat dari kitab Kejadian hingga Wahyu,
prinsip manusia harus bertanggungjawab merupakan satu prinsip yang harus
terus-menerus ditegaskan oleh Tuhan. Di dalam kitab Kejadian, ketika
Tuhan mencipta manusia di taman Eden, Tuhan sudah mulai menuntut
pertanggungjawaban manusia dan itu merupakan hak kedaulatan Allah
ketika mencipta. Sehingga ketika dikatakan, semua pohon boleh mereka makan, kecuali
satu yaitu pohon pengetahuan baik dan jahat yang berada di tengah taman
tersebut, banyak orang yang sengaja ingin melarikan diri dari tanggungjawab
mempermasalahkan, apakah Tuhan tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa karena
jikalau Allah tahu mengapa Ia tidak mencegahnya. Itu merupakan satu
sikap yang sangat tidak bertanggungjawab dimana manusia hanya mau
mengerti dari konsep manusia berdosa dan bukan dari sudut pandang Allah. Karena
peletakan pohon pengetahuan baik dan jahat di tengah taman itu merupakan
the absolute necessity (keharusan mutlak) supaya manusia
mempunyai tanggungjawab penuh memilih untuk makan ataupun untuk tidak makan.
Dan itu membuat manusia tahu bagaimana ia bertindak, dimana antara pilihan
dan tanggungjawab pilihan itu tidak dapat dilepaskan.
Saat
ini manusia modern sedang berusaha menyingkirkan seluruh tanggungjawab pemilihan.
Dan ini menjadi satu bahaya besar karena manusia hanya menginginkan hak dan tidak
mau kewajiban. Di dalam Mzm 37 dan 73 diceritakan bagaimana orang fasik yang
seolah-olah hidupnya begitu enak dan aman tetapi sebenarnya sedang akan
dibinasakan. Manusia tidak akan mungkin melewati tanggungjawabnya di hadapan
Allah karena yang mungkin ia lakukan hanya menunda tanggungjawabnya untuk
masuk kedalam pertanggungjawaban yang lebih besar, yang suatu saat tidak dapat
ditahan lagi olehnya. Ketika manusia hidup menikah, seringkali mereka hanya
mau memikirkan hak dan kalau bisa meninggalkan tanggungjawab. Dalam
konsep Alkitab jelas dikatakan tidak ada konsep “pacaran” karena yang ada
adalah “pertunangan.” Disini yang dipersoalkan bukanlah istilah,
melainkan content (isinya) karena itulah yang menjadi pusat. Di tengah
manusia sekarang ini kita seolah berada di dalam dualisme, masuk dalam dua
persoalan yang seolah keduanya sangat ekstrim dan sangat berbeda, namun
keduanya pada dasarnya ingin melepaskan tanggungjawab. Disatu pihak mereka
sangat ekstrim menekankan kedaulatan Allah (predestinasi) sehingga ketika
mereka menikah dengan orang non Kristen dan menemui permasalahan maka mereka
anggap, itu Tuhan juga yang menetapkan. Sedangkan yang lain sangat ekstrim menekankan kedaulatan manusia. Mereka berpendapat dating
atau pacaran adalah dua orang yang berjanji berjalan bersama dan tidak ada
keseriusan untuk menuju ke jenjang pernikahan, dan yang terutama dalam
semuanya itu Tuhan tidak turut campur. Ide-ide seperti ini membuat konsep
dunia tentang pernikahan menjadi rusak.
Kekristenan
menggunakan istilah pertunangan dengan ide membangun satu konsep bahwa
ketika berpacaran itu berarti kita sedang menuju pernikahan, dan tidak ada ide
untuk coba-coba. Dengan demikian kita benar-benar bergumul bagaimana Tuhan
memimpin kita menemui seseorang, melihat berdasar pada kriteria yang Tuhan
telah tetapkan, dan untuk secara tepat kita berproses dengannya. Hal
inilah yang secara mutlak harus ada dalam Kekristenan! Alkitab mengatakan dengan
jelas bahwa manusia bertanggungjawab memilih dan menentukan pilihannya
sehingga apapun konsekuensi yang ada di belakang pernikahan kita, itu adalah
tanggungjawab kita. Namun karena lembaga pernikahan merupakan lembaga yang
ditetapkan oleh Allah, maka Allah tetap turut campur dalam hal itu. Allah
yang memimpin pernikahan akan memimpin kita mendapatkan orang yang tepat
seperti yang Tuhan inginkan, jikalau kita taat berjalan dan diarahkan
olehNya. Secara jelas Alkitab telah menunjukkan dalam Kej 2:18 bahwa setelah
manusia memberi nama satu-persatu binatang itu maka ia menarik kesimpulan, tidak
ada seorangpun yang cocok menjadi teman sepandannya. Sehingga disini kita
harus tahu apa artinya memberi nama dalam kebudayaan Yahudi. Tuhan tidak
sekedar menginginkan Adam memberi nama semua binatang tetapi ketika ia
memberi nama, nama tersebut harus menjadi identifikasi dan kharakteristik dari
binatang itu. Hal demikian juga bukan tergantung pada banyaknya perempuan
yang diciptakan Allah, tetapi disini Allah ingin menunjukkan bahwa hak
pilih ada di tangan Adam, sekaligus membedakan antara wanita dengan binatang
untuk menunjukkan kesepadanan yang sejati. Allah dengan tegas telah
menunjukkan bahwa tidak ada kesepadanan antara manusia dengan binatang. Ini
hal penting yang saya lihat menjadi ciri dosa dalam abad ini. Manusia saat
ini dapat lebih dekat dengan binatang daripada dengan manusia lain,
bahkan ada yang sangat keterlaluan hingga berhubungan seks dengan binatang.
Ini merupakan perbuatan yang harus dituntut hukuman mati, karena itu adalah
satu bentuk penajisan struktur lembaga pernikahan. Tuhan dengan cara
yang begitu bijak telah mengatur semuanya dengan satu contoh dan peragaan
sehingga seluruh persoalan yang paling penting sudah diselesaikan.
Inilah bijaksana Tuhan yang melampau pemikiran manusia.
Selanjutnya,
ada beberapa kriteria yang Tuhan tetapkan di dalam lembaga pernikahan sehingga
ketika kita memenuhinya, itu menjadikan pernikahan itu terbaik buat kita. Yang
pertama, Ketika manusia itu separoh maka ia membutuhkan
komplemtasi yang sepadan. Orang seringkali salah mengartikan
kata sepadan dengan menganggap setingkat. Kata sepadan (Ibrani: neged)
berarti berseberangan dan berhadap-hadapan), dan ketika digabungkan dengan
kata ‘ki’ (bersama-sama) menjadi “kenegedo”, yang
artinya dua benda yang berseberangan, yang menempel bersama dan saling mengisi
kekurangan dan kelebihannya. Sebagai contoh, komplemen sudut 30 derajat adalah
sudut 60 derajat, supaya membentuk sudut keseluruhan 90 derajat. Kedua, Seiman.
Setelah jatuh dalam dosa maka manusia terbagi menjadi dua yaitu anak Tuhan,
orang yang percaya dan hidup di dalam prinsip Firman Tuhan dengan orang yang
tidak di dalam prinsip Firman Tuhan. Sehingga jelas disini bahwa terang tidak
dapat bersama dengan gelap karena fondasi dasarnya tidak mungkin sama,
dan ketika dilanggar itu menjadi masalah besar yang sulit diselesaikan. Maka
tidak ada yang lebih baik dari menemukan pasangan hidup yang sepadan
dan seiman. Kita seringkali menginginkan pasangan yang sangat
sempurna tetapi jika demikian maka saudara tidak tahu diri karena menganggap
diri sendiri juga sempurna, atau justru terlalu jelek sehingga pasangan kita
harus melengkapi seluruh kekurangan kita. Dan ketika ia begitu sempurna maka
orang tersebut sebenarnya sudah tidak membutuhkan orang lain untuk melengkapinya.
Sehingga untuk menikah kita perlu tahu diri kelebihan apa yang kita memiliki
untuk dibagi dan kekurangan apa yang bisa diisi oleh pasangan kita. Dan
memang yang Tuhan inginkan adalah supaya kita mencari yang seiman dan sepadan
sehingga menghasilkan kepenuhan dalam semuanya. Namun untuk mencari semua itu
kita membutuhkan bijaksana, ketelitian, dan berdoa, mohon pimpinan Tuhan untuk
mengarap komplementasi di dalam diri kita. Disini perlunya kita melibatkan
Tuhan menjadi Lord (Tuhan kita) untuk pernikahan kita.
Istilah
ditentukan, yang sesungguhnya dalam bahasa Inggris dikatakan, “has chosen
for” (Kej 24: 14; 44) seringkali menimbulkan salah penafsiran. Sehingga
para penganut “takdir pasangan hidup” menggunakan argumen tersebut
sebagai landasan bahwa Tuhan memang telah mempredestinasikan pasangan bagi
setiap orang. Padahal istilah “has chosen for”, NIV menerjemahkan
sebagai Tuhan memilihkan, berasal dari bahasa Ibrani (asyer-hokiah), yang
mengan-dung arti bagaimana Tuhan mengarahkan orang kepada yang benar
(memimpin pada kebenaran keadilan). Sehingga pemilihan tetap dilakukan
oleh hamba Abraham, namun Tuhan yang mengarahkannya sehingga hamba
tersebut dapat memilih apa yang menjadi kriteria Allah atau yang ditetapkan
oleh tuannya. Dengan demikian tidak satupun dari pengertian kata tersebut
yang berarti bahwa Allah telah menentukan dari semula siapa yang menjadi jodoh
bagi Ishak. Ini merupakan satu hal yang sangat serius, yang ditetapkan
oleh Tuhan dengan teliti sekali! Disini kita melihat providensia Allah
dan sifat perspective will (kehendak Allah yang bersifat perseptif)
yang dikerjakan di dalam kita dalam mengarap pernikahan kita. Suatu pernikahan
harus digarap di dalam pertanggungjawaban yang terus-menerus hingga akhirnya
dalam pasangan tersebut boleh muncul kemiripan (mutual).
Saya harap bagi saudara-saudara yang masih baru mau melangkah, silakan saudara sungguh-sungguh mengarap hal ini. Dan bagi saudara yang sudah melangkah, saudara harus memproses pernikahan saudara dengan penuh bertanggungjawab, sehingga akhirnya boleh mencapai apa yang Tuhan inginkan, yang akhirnya hal itu boleh menjadi satu kemuliaan bagi nama Tuhan. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa
oleh pengkhotbah)