Ringkasan Khotbah : 08 Oktober 2000

Tujuan Keluarga II: Bertanggungjawab

Nats : Kej 2:18-23; Mzm 37; 73; Kej 24:14; 44

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Minggu lalu kita telah membicarakan tentang aspek pertama dari tujuan keluarga yang di­­bentuk oleh Tuhan, yang meliputi tiga aspek: pertama, Tuhan menciptakan keluarga supaya men­jadi baik. Ke­­tika kita kembali pada kebenaran firman Tuhan maka keluarga akan hidup di da­lam pimpinan Tuhan dan mampu me­nya­ta­kan kemuliaan, kasih dan kebenaran Tuhan, yang ak­hir­nya me­nun­juk­­kan satu kebahagiaan yang boleh terjadi di tengah dunia. Kedua, Tuhan meng­­ingin­kan ke­luar­ga itu bertanggungjawab. Ini harus menjadi elemen dan dasar dari setiap ke­luar­ga di­mana se­ti­ap anggotanya bertanggungjawab kepada Tuhan. Ketiga, Tuhan meng­ingin­kan ke­lu­ar­ga itu kudus karena ini menjadi sifat Allah yang ingin dinyatakan me­lalui keberadaan ke­luar­ga.

Adapun hari ini kita akan masuk dalam aspek kedua yaitu bagaimana Tuhan mengin­gin­kan keluarga yang bertanggungjawab. Manusia adalah mah­­kluk yang dicipta dengan akal budi dan kepadanya diberikan tugas untuk dapat memilih berdasarkan pada satu bi­jak­sa­na (wisdom), dimana setiap pemilihan harus disertai dengan tang­gungjawab. Manusia sebagai gambar dan ru­pa Allah dicipta mempunyai kemampuan untuk dapat me­mi­kir­kan, mengatur dan melakukan pe­mi­­lihan. Dan hal ini tidak terlepas juga di dalam per­masa­lah­an keluarga. Ketika kita mau ber­ke­luar­ga, kita pe­nuh dengan berbagai pilihan dan tuntutan per­tang­­gungjawaban. Dan ini memang men­jadi natur da­sar manusia agar hidup dengan tepat. Jika­lau kita lihat dari kitab Kejadian hing­ga Wahyu, prin­sip manusia harus bertanggungjawab me­rupa­kan satu prinsip yang harus terus-me­nerus di­te­gas­kan oleh Tuhan. Di dalam kitab Kejadian, ke­ti­ka Tuhan mencipta ma­nusia di ta­man Eden, Tuhan sudah mulai menuntut pertanggungjawaban manusia dan itu merupakan hak ke­­dau­­­latan Allah ketika mencipta. Sehingga ketika dikatakan, semua pohon boleh mereka ma­kan, ke­­cuali sa­tu yaitu pohon pengetahuan baik dan jahat yang berada di tengah taman tersebut, ba­nyak orang yang sengaja ingin melarikan diri dari tanggungjawab mempermasalahkan, apakah Tuhan ta­hu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa karena jikalau Allah tahu mengapa Ia tidak men­­ce­gah­nya. Itu merupakan satu sikap yang sangat tidak ber­tang­gung­­jawab dimana manusia ha­nya mau mengerti dari konsep manusia berdosa dan bukan dari sudut pandang Allah. Karena pe­letakan po­hon pengetahuan baik dan jahat di tengah taman itu me­ru­pa­kan the absolute ne­ces­sity (ke­ha­ru­san mutlak) supaya manusia mempunyai tanggungjawab penuh memilih untuk ma­kan ataupun un­tuk tidak makan. Dan itu membuat manusia tahu bagaimana ia bertindak, di­ma­­na antara pilihan dan tanggungjawab pilihan itu tidak dapat dilepaskan.

Saat ini manusia modern sedang berusaha menyingkirkan seluruh tang­gung­ja­wab pe­m­i­lih­an. Dan ini menjadi satu bahaya besar karena manusia hanya menginginkan hak dan ti­dak mau kewajiban. Di dalam Mzm 37 dan 73 diceritakan bagaimana orang fasik yang seolah-olah hi­dup­nya begitu enak dan aman tetapi sebenarnya sedang akan dibinasakan. Manusia tidak akan mung­kin melewati tanggungjawabnya di ha­dap­an Allah karena yang mungkin ia lakukan ha­nya me­nunda tanggungjawabnya untuk masuk kedalam pertanggungjawaban yang lebih besar, yang sua­tu saat tidak dapat ditahan lagi olehnya. Ke­tika manusia hidup me­nikah, seringkali mereka ha­nya mau memikirkan hak dan kalau bi­sa me­ning­gal­kan tanggungjawab. Dalam konsep Alkitab jelas dikatakan ti­dak ada konsep “pacaran” karena yang ada ada­lah “pertunangan.” Disini yang di­­persoalkan bu­kan­lah istilah, melainkan content (isinya) ka­re­na itu­lah yang menjadi pusat. Di te­ngah manusia se­karang ini kita seolah berada di dalam dua­lisme, masuk dalam dua persoalan yang se­olah keduanya sangat ekstrim dan sangat ber­be­da, namun keduanya pada dasarnya ingin melepaskan tang­gung­jawab. Disatu pihak mereka sangat ekstrim menekankan ke­dau­latan Allah (predestinasi) sehingga ketika mereka menikah dengan orang non Kristen dan menemui per­­masalahan maka mereka anggap, itu Tuhan juga yang menetapkan. Sedangkan yang lain sa­ngat ekstrim  me­ne­kan­kan kedaulatan manusia. Mereka berpendapat dating atau pacaran adalah dua orang yang ber­janji berjalan bersama dan tidak ada keseriusan untuk menuju ke jen­jang per­ni­­kah­an, dan yang terutama dalam se­muanya itu Tuhan tidak turut campur. Ide-ide seperti ini mem­­buat konsep dunia ten­­tang pernikahan men­jadi rusak.

Kekristenan menggunakan istilah per­tu­nangan dengan ide mem­­bangun satu kon­sep bahwa ketika berpacaran itu berarti kita sedang me­nuju pernikahan, dan tidak ada ide un­tuk coba-coba. Dengan demikian kita benar-benar ber­gu­mul bagaimana Tuhan memimpin kita me­nemui seseorang, melihat berdasar pada kriteria yang Tuhan telah te­tap­­kan, dan untuk secara tepat kita berproses de­ngan­nya. Hal inilah yang secara mutlak harus ada dalam Kekristenan! Alkitab mengatakan dengan jelas bah­wa manusia bertanggungjawab memilih dan me­nen­tukan pilihannya sehingga apapun konsekuensi yang ada di belakang pernikahan kita, itu ada­lah tang­gung­jawab kita. Namun karena lembaga pernikahan merupakan lembaga yang di­te­tap­kan oleh Allah, maka Allah tetap turut campur dalam hal itu. Allah yang memimpin pernikahan akan me­mim­pin kita men­dapatkan orang yang tepat seperti yang Tuhan inginkan, jikalau kita taat ber­­ja­lan dan diarahkan olehNya. Secara jelas Alkitab telah menunjukkan dalam Kej 2:18 bah­wa setelah ma­nusia memberi nama satu-persatu binatang itu maka ia menarik kesimpulan, ti­dak ada se­orang­pun yang cocok menjadi teman sepandannya. Sehingga disini kita harus tahu apa artinya mem­beri nama dalam kebudayaan Yahudi. Tuhan tidak sekedar menginginkan Adam mem­beri na­ma semua binatang tetapi ketika ia memberi nama, nama tersebut harus menjadi iden­tifikasi dan kharakteristik dari binatang itu. Hal demikian juga bu­kan ter­gan­tung pada banyaknya pe­rem­puan yang diciptakan Allah, te­ta­pi disini Allah ingin me­nun­jukkan bah­wa hak pilih ada di tangan Adam, sekaligus membedakan an­tara wa­nita dengan bi­na­tang un­tuk menunjukkan kesepadanan yang sejati. Allah de­ngan te­gas telah menunjukkan bah­wa ti­dak ada kesepadanan antara manusia dengan binatang. Ini hal pen­ting yang saya lihat men­jadi ciri dosa dalam abad ini. Manusia saat ini da­pat lebih dekat de­ngan binatang daripada de­ngan ma­nusia lain, bahkan ada yang sangat keterlaluan hingga ber­hu­bung­an seks dengan bi­na­tang. Ini merupakan perbuatan yang harus dituntut hukuman mati, ka­re­na itu adalah satu ben­tuk pena­jis­an struk­tur lembaga per­ni­kahan. Tuhan dengan cara yang be­gi­tu bi­jak telah mengatur se­­mua­nya dengan satu contoh dan pe­ragaan sehingga seluruh persoalan yang pa­ling penting sudah di­se­le­sai­kan. Inilah bijak­sana Tuhan yang melampau pemikiran ma­nu­sia.

Selanjutnya, ada beberapa kriteria yang Tuhan tetapkan di dalam lembaga pernikahan se­­­hingga ketika kita memenuhinya, itu menjadikan pernikahan itu terbaik buat kita. Yang per­ta­ma, Ketika ma­nu­sia itu separoh maka ia membutuhkan komplemtasi yang se­pa­dan. Orang se­ring­kali salah meng­­artikan kata sepadan dengan menganggap setingkat. Kata sepadan (Ibrani: neged) berarti ber­­seberangan dan berhadap-hadapan), dan ketika digabungkan dengan kata ‘ki’ (ber­sama-sa­ma) menjadi “kenegedo”, yang artinya dua benda yang berseberangan, yang me­nempel bersama dan saling mengisi kekurangan dan kelebihannya. Sebagai contoh, komplemen sudut 30 derajat ada­lah sudut 60 derajat, supaya membentuk sudut keseluruhan 90 derajat. Kedua, Seiman. Setelah ja­tuh dalam dosa maka manusia terbagi menjadi dua yaitu anak Tuhan, orang yang percaya dan hi­dup di dalam prinsip Firman Tuhan dengan orang yang tidak di dalam prinsip Firman Tuhan. Sehingga jelas disini bahwa terang tidak dapat bersama dengan gelap ka­re­na fon­da­si dasarnya tidak mungkin sama, dan ketika dilanggar itu menjadi masalah besar yang sulit di­se­le­saikan. Ma­ka tidak ada yang lebih baik dari menemukan pasangan hidup yang se­pa­dan dan se­iman. Kita se­­ringkali menginginkan pasangan yang sangat sempurna tetapi jika de­mi­kian maka saudara ti­dak ta­hu diri karena meng­anggap diri sendiri juga sempurna, atau justru ter­la­lu jelek sehingga pasangan kita harus melengkapi seluruh kekurangan kita. Dan ketika ia begitu sempurna maka orang tersebut sebenarnya sudah ti­­dak membutuhkan orang lain untuk meleng­kapinya. Sehingga untuk menikah kita perlu tahu diri kelebihan apa yang kita memiliki untuk di­ba­gi dan kekurangan apa yang bisa diisi oleh pasangan kita. Dan memang yang Tuhan inginkan ada­lah supaya kita mencari yang seiman dan sepadan sehingga menghasilkan kepenuhan dalam se­muanya. Namun untuk mencari semua itu kita membutuhkan bijaksana, ketelitian, dan berdoa, mo­hon pimpinan Tuhan untuk mengarap komplementasi di dalam diri kita. Disini perlunya kita me­libatkan Tuhan menjadi Lord (Tuhan kita) untuk per­ni­kah­an kita.

Istilah ditentukan, yang sesungguhnya dalam bahasa Inggris dikatakan, “has chosen for” (Kej 24: 14; 44) seringkali menimbulkan salah penafsiran. Sehingga para penganut “takdir pa­sang­an hidup” menggunakan argumen tersebut sebagai landasan bahwa Tuhan memang telah mem­predestinasikan pasangan bagi setiap orang. Padahal istilah “has chosen for”, NIV me­ner­je­mah­kan sebagai Tuhan memilihkan, berasal dari bahasa Ibrani (asyer-hokiah), yang mengan-dung arti ba­gaimana Tuhan menga­rah­kan orang kepada yang benar (memimpin pada kebenaran kea­­dilan). Se­hingga pemilihan tetap di­la­ku­kan oleh hamba Abraham, namun Tuhan yang menga­rah­­kan­nya sehingga hamba tersebut da­pat memilih apa yang menjadi kriteria Allah atau yang di­te­tap­kan oleh tuannya. Dengan demikian tidak satupun dari pengertian kata tersebut yang berarti bahwa Allah telah menentukan dari semula siapa yang menjadi jodoh bagi Ishak. Ini merupakan sa­tu hal yang sangat serius, yang ditetapkan oleh Tuhan de­ngan teliti sekali! Disini kita melihat pro­vi­den­sia Allah dan sifat perspective will (kehendak Allah yang ber­sifat perseptif) yang dikerjakan di da­lam kita dalam me­nga­rap pernikahan kita. Suatu per­ni­kah­an harus digarap di dalam pertang­gung­jawaban yang terus-menerus hingga akhirnya dalam pa­sang­an tersebut bo­leh muncul ke­mi­rip­an (mutual).

Saya harap bagi saudara-saudara yang masih baru mau melangkah, silakan saudara sung­­guh-sungguh mengarap hal ini. Dan bagi saudara yang sudah melangkah, saudara harus mem­­proses pernikahan saudara dengan penuh bertanggungjawab, sehingga akhirnya boleh men­­­­capai apa yang Tuhan inginkan, yang akhirnya hal itu boleh menjadi satu kemuliaan bagi na­ma Tuhan. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)