Ringkasan
Khotbah : 15 Oktober 2000
Tujuan
Keluarga III: Be Holy
Pengkhotbah
:
Rev.
Sutjipto Subeno
Pertama
kali membicarakan aspek keluarga dalam serial ini saya telah menekankan bagaimana
keluarga Kristen tidak boleh membangun konsep berdasarkan realita atau studi induksi
dari kondisi yang ada di dunia, melainkan kembali pada Tuhan sebagai pencipta
keluarga yang mempunyai maksud dan tujuan yang jelas dalam
membentuk lembaga pernikahan. Maka keluarga dicipta dengan sifat pertama baik
(Kej 2:18), yaitu ketika dilihatNya manusia itu seorang diri saja,
itu tidak baik. Selanjutnya Allah menciptakan komplementasi atau kesepadanan
bagi manusia supaya tercapai kesempurnaan dan kebaikan. Dan dalam hal
ini Tuhan tidak langsung mencipta Hawa, melainkan Ia memberikan hak
untuk memilih supaya Adam tahu mana yang tepat sepadan dengan yang
tidak, dan di dalam pemilihan tersebut ada pertanggungjawaban pemilihan.
Dengan demikian Adam mulai belajar bertanggungjawab atas apa yang ia
putuskan. Maka sifat kedua dari sebuah keluarga harus dibangun dengan
jiwa pertanggungjawaban yang serius.
Dan
hari ini kita melanjutkan bagian ketiga dari bagian ini, dalam Kej. 24-25 dimana
keluarga dicipta dengan sifat kekudusan. Kata kudus
dengan suci merupakan dua kata yang sangat terkait erat sekalipun
kudus dengan suci mempunyai pengertian yang berbeda. Kudus mempunyai
pengertian dikhususkan/dipisahkan untuk satu tugas yang Allah ingin
kerjakan melalui mereka dan di dalam diri mereka. Sebagai orang kudus
kita dipisahkan dan mempunyai relasi khusus dengan Allah, dan
specifikasi ini membuat hubungan kita dengan Allah baik. Namun ketika
hubungan yang baik ini dirusak atau diselewengkan (ketika kita
memiliki ilah lain), itu disebut sebagai perzinahan rohani. Dan untuk
menghindar dari hal itu, kita mengkaitkannya dengan kesucian,
dan inilah yang membuat tiga kata itu tercampur menjadi satu. Maka dalam
aspek ini kita harus kembali memilah dan mengerti sifat kudus yang
dinyatakan dalam ayat 24.
Ketika
seorang laki-laki dipisahkan dan bersatu dengan isterinya, dan keduanya
menjadi satu daging, maka mulai muncul sifat kekhususan atau exclusive
dalam keluarga tersebut, yang meliputi beberapa aspek: pertama,
Two become one (1 + 1 = 1). Alkitab jelas menegaskan bahwa konsep
kudus pernikahan adalah satu pria (tunggal) dan satu wanita
(tunggal) sehingga keduanya menjadi satu daging, dan kalimat ini
diulang beberapa kali dengan kata dan jumlah angka yang tepat.
Pernikahan Kristen adalah monogami murni dan mutlak supaya terjadi kesempurnaan.
Tetapi apabila kesempurnaan itu ditambah ataupun dikurangi akan mengakibatkan
kerusakan internal karena menjadi tidak sempurna. Maka monogami di dalam kekristenan
bukan sekedar rekayasa manusia tetapi didalamnya ada unsur bagaimana
kekekalan dan kesempurnaan ingin digenapkan melalui keluarga dan
bagaimana manusia, pria dan wanita sedang menggambarkan satu
komplementasi yang sangat penting untuk menjaga kekudusan mereka di
dalam menjalankan misi Allah. Politik di dunia membuat komposisi pria-wanita
menjadi tidak seimbang karena setiap tahun berjuta-juta pria dikorbankan
dalam peperangan. Namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
mereka yang poligami, justru yang harus mereka lakukan adalah menghentikan
peperangan dan komposisi dikembalikan. Tetapi hal itu akan sangat sulit dilakukan
akibat dosa sudah merusak moralitas dunia kita. Di jaman Musa (+ 1600
SM), ide monogami bukanlah konsep umum yang dapat diimport melainkan konsep
murni yang Allah tetapkan, yang menjadi perbedaan besar antara iman Kristen
dengan seluruh konsep dunia hingga hari ini. Sehingga betapa indah kalau Tuhan
mengajarkan suatu pengertian moralitas yang begitu tinggi untuk menjaga harkat
manusia di dalam satu keutuhan supaya keluarga tetap kudus dan dipakai Tuhan
sebagai saksi menyatakan kemuliaanNya. Namun sekarang ketika hukum sedang memperjuangkan
harkat wanita, ada wanita yang senang dimadu. Ini menjadi pertanyaan serius bagaimana
caranya harkat seorang wanita dapat ditegakkan dengan baik kalau ide seperti itu
yang dikembangkan ditengah abad 20 ini?
Kedua,
Monolitik eksklusif – suatu ungkapan keutuhan komplementasi. Nuansa
eksklusifitas keluarga terjadi ketika suatu keluarga mempunyai bentuk monolitik
(mono=satu; litik= satu batu utuh yang keras dan tidak dapat dipecahkan),
yang artinya menjadi satu kesatuan yang unik, kekal dan sangat terikat. Hal yang
penting dalam bagian ini adalah ketika seorang pria menikah, prinsip yang
pertama kali yang harus dipikirkan adalah ia harus berani bertanggungjawab menjadi
mandiri. Pria yang belum mampu berdiri, belum mampu bertanggungjawab dan tidak
tahu bagaimana mengurus keluarga maka ia belum layak untuk menikah karena ia
belum dewasa! Seorang pria harus mempunyai digniti, keberanian dan
berjuang sekuat tenaga bekerja karena ia bertanggungjawab atas istri dan
anaknya, membangun keluarga menjadi satu keutuhan monolitik eksklusif.
Satu jiwa yang tidak boleh cengeng dan lemah melainkan terus berani berjuang di
tengah hidup.
Ketiga,
Independence and Responsibility (meninggalkan ayah dan ibu). Dilain pihak
orang tua tidak boleh mengacak-acak keluarga anaknya. Anak setelah dewasa dan
menikah maka ia keluar dan lepas dari ikatan keluarga dengan ayahnya.
Seringkali di dalam budaya timur, apalagi dalam konsep confusionism
aspek ini sangat berbahaya karena tidak mempunyai konsep Allah yang berpribadi
dan yang berdaulat, sehingga ide seluruhnya hanya menegakkan humanisme
murni. Sehingga konsep kedaulatan otoritas dipindahkan ke konsep yang paling
tua/ paling besar dan timbul konsep otoritas ditangan yang lebih tinggi dan
tidak bisa salah (seperti: raja berkuasa atas bawahannya; orang tua
berkuasa atas anaknya). Maka kalau keluarga dikuasai oleh konsep confusionism,
biasanya yang terjadi: ayah menjadi diktator dan semua yang dilakukan orang tua
adalah benar dan tidak ada protes; biasanya istri takut sekali terhadap suami
sehingga banyak aspek yang tidak dapat diceritakan pada suami, khususnya yang
bersifat negatif. Sehingga hubungan suami-istri tidak dapat “telanjang”
lagi; dan anak-anak ketika di dalam rumah bersikap baik karena takut tetapi
diluar rumah menjadi minder atau liar (kalau mempunyai jiwa berontak). Alkitab
mengajarkan bahwa bagaimanapun ayah adalah orang dan dapat berbuat salah sehingga
ketika anak mereka sudah menikah maka orang tua tidak berhak turut campur dalam
urusan keluarga anak, sekalipun anak tetap harus hormat terhadap orang tua.
Karena hormat bukan berarti taat mutlak melainkan bagaimana menghargai orang
tua. Disini kita harus sadar bahwa setiap keluarga mempunyai satu keunikan
monolitik yang dijaga oleh firman Tuhan dan firman Tuhan mempunyai satu tuntutan
bagaimana keluarga itu nanti akan dipakai oleh Tuhan untuk menjadi saksi Tuhan
dimanapun mereka berada.
Banyak
orang yang beranggapan salah bahwa anak merupakan milik mereka sehingga kita
merasa berhak menentukan seluruh kehidupannya. Kita harus sadar bahwa setiap
anak merupakan milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita sehingga kita harus
membesarkan dan mendidik dengan tepat dan bertanggungjawab pada Tuhan.
Banyak keluarga muda harus diam-diam menghadapi kesulitan dan pertengkaran
dikarenakan harus menuruti orang tua dan tidak dapat menjalankan kehendak
Tuhan atas pernikahan mereka serta kehilangan otoritas. Maka sebagai orang
tua kita harus belajar bagaimana mengerti wilayah kerja, nasehat dan pengaruh
orang tua terhadap anaknya. Dan firman Tuhan dalam hal ini melalui Musa
menegaskan bahwa ini merupakan satu pengertian umum yang harus diterapkan kepada
semua manusia di segala jaman, dan bukan hanya untuk Adam dan Hawa saja.
Keempat,
Holiness/ Kesucian – tidak tercemar vs. Nude. ay. 25 mengatakan: “Keduanya
telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.”
Alkitab membedakan antara arom/ naked
(arumim: plural) dengan “’nude”. Kata “arom”
lebih menunjukkan satu keterbukaan spiritual dimana antara saya dengan
orang lain sudah terjadi keterbukaan relasi yang tanpa batasan lagi. Kata “telanjang”
saat ini sudah mengalami pengerusakan makna dan diselewengkan sehingga
menjadi pengertian yang sangat duniawi sekali. Disini yang
dipermasalahkan bukanlah telanjang-nya melainkan keutuhannya, yaitu suatu
gambaran keintiman. Sehingga beda dengan kata “nude” yang lebih
mengarah kepada ketelanjangan secara fisikal/ seksual. Maka ide tidak malu
disini tidak sama dengan binatang atau nudisme karena pada binatang memang
tidak perlu ada malu sedangkan malu yang sejati bukan atar manusia melainkan
lebih kepada Allah (band Kej. 3:9). Ketika dikatakan keduanya telanjang dan
tidak menjadi malu, yang ditekankan di dalam kalimat ini adalah keduanya
berada dalam satu keterbukaan total sehingga relasi ini berjalan secara polos
dan tidak ada hal yang perlu disembunyikan dan tidak ada satu ketakutan
berhadapan dengan orang lain. Maka ketika Adam berdosa dan akan berhadapan
dengan Allah ia merasa malu karena telanjang. Sehingga ide “malu” adalah
penggambaran suatu kecemaran dimana relasi sudah tidak murni lagi akibat
dosa! Demikian juga halnya dengan hubungan suami-istri yang sudah tercemar
oleh hal-hal yang berdosa akan mengakibatkan mereka kehilangan
hubungan relasi pribadi yang sangat eksklusif. Dengan demikian di dalam membicarakan
keluarga as a holy family kita harus kembali melihat bagaimana sifat
kekudusan yang Tuhan nyatakan di dalam format keluarga tersebut, dimana
hubungan suami-istri yang terbuka, menjadi satu daging dan satu kesatuan
relasi spiritual yang begitu indah.
Kelima,
Spirituality vs. Sexuality. Keil dan Delitzsch melihat
relasi suami-isteri yang masih dalam kesucian adalah “terbuka” dan “tidak
malu.” Sehingga ide “telanjang” disini bukan merupakan ide fisikal
melainkan spiritual (kerohanian kita) dimana satu hubungan batin antara
kita dengan suami/ istri sama dengan hubungan kita dengan Allah yang dapat
berjalan dengan baik satu sama lain. Sehingga ini perupakan aspek yang sangat
serius dari arti pengudusan keluarga. Namun ketika dosa masuk, maka
spiritualitas menjadi rusak dan manusia hanya melihat “ketelanjangan”/sifat
seksualitas dan bukan “keterbukaan” ataupun sifat spiritual. Maka hubungan
suami-istri hanya dilihat secara seksual dan bukannya spiritualm yang akhirnya
menimbulkan banyak masalah karena sangat bersifat kedagingan. Aspek
seksualitas sesungguhnya hanya menjadi pelengkap dan bukan merupakan tujuan
yang utama dalam pernikahan. Disini tidak heran ketika dunia mendengar
kata “telanjang” selalu beridekan seksualitas yang tanpa sadar sudah meracuni
banyak orang, termasuk orang Kristen, sehingga kita tidak mampu lagi melihat
apa artinya telanjang sebenarnya. Sehingga kita sebagai orang Kristen harus
mengembalikan pengertian eksklusifitas sifat kudus yang tidak melanggar
kesucian, karena ketika kita kudus, itu bukan berarti kesucian kita boleh
dicemarkan melainkan kekudusan itu sangat terkait erat dengan sifat kesucian
di dalam keluarga. Saya harapkan keluarga kita mempunyai konsep Kristen yang
tepat sehingga relasi spiritual suami-istri juga boleh dipulihkan. Kitab
Kejadian ps. 2 telah ditulis sejak 3600 tahun yang lalu, namun seringkali orang
Kristen sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan diri ke tengah
dunia.
Mari kita belajar baik-baik dan terus memperbaharui diri, dan kembali bertekad membina keluarga, belajar menjadi pengaruh bagi orang lain sehingga kita boleh menjadi berkat di dunia, di abad ini. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa
oleh pengkhotbah)