Ringkasan
Khotbah : 22 Oktober 2000
The
Great Mystery
Pengkhotbah
:
Rev.
Sutjipto Subeno
Di
dalam Efesus 5 kita melihat satu konsep tentang keluarga yang lebih limpah
lagi. Ef 5:31 merupakan kutipan Kej 2:25 yang telah kita renungkan minggu lalu
tentang bagaimana suami dan isteri menjadi satu daging, dimana keduanya telanjang
dan tidak menjadi malu. Namun Kej 2:25 tidak menjelaskan mengapa konsep ini
dapat menjadi demikian dan barulah di PB hal ini dibukakan sehingga menjadi
satu pengertian yang limpah.
Dunia
kita mau mengerti dan berspekulasi tentang pernikahan tetapi mereka tetap
tidak mampu mengerti dan tidak mempunyai jawaban yang beres tentang pernikahan
sedalam yang dimengerti oleh kekristenan. Pernikahan bukanlah sekedar
lembaga di tengah dunia yang dispekulasikan, apalagi kalau dianggap bahwa munculnya
suami-isteri/ keluarga hanya sekedar bakat naluriah yang terjadi di dunia
manusia seperti seekor anjing yang berpasangan hanya untuk prokreasi/ punya anak.
Orang dunia tidak pernah mau mengerti pernikahan dari sudut Pencipta pernikahan
itu sendiri dan selama manusia tidak mau taat pada Tuhan, manusia tidak pernah
mengerti.
Paulus
membukakan satu prinsip yang begitu agung, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu
menjadi satu daging.” Ini adalah sesuatu yang begitu luar biasa karena
yang ia menyebutnya sebagai suatu rahasia besar. Ketika Alkitab bicara
tentang rahasia besar (musterion)
itu bukan main-main. Rahasia disini bukan berarti sesuatu yang disembunyikan
tetapi berarti adanya satu limitasi yang tidak mungkin kita mengerti atau
terobos kecuali jika Tuhan membukakannya kepada kita. Kalau kita mencoba
menerobosnya maka bukan hal yang baik yang kita dapat melainkan kita akan masuk
ke dalam spekulasi dan itu akan menjatuhkan dan merusak kita sendiri. Ketika
manusia mau mencoba menspekulasikan Allah, yang ditemui bukan Allah tetapi
ia justru merusak konsep tentang Allah. Tidak ada yang mengerti dua natur
Kristus maupun arti daripada kebangkitan kehadiran Kristus kembali kecuali
Allah membuka hal itu kepada manusia. Maka disinilah terletak tugas panggilan
kita.
Kalau
kita membaca Ef 5, saya enggan memulai dari ayat ke 22 karena itu akan membuat
kita masuk ke dalam polemik-polemik Dunia tidak pernah mengerti bahwa
pernikahan sesungguhnya adalah hubungan antara Kristus dengan jemaat dan
itu berarti, pernikahan bukanlah sekedar adanya perasaan cinta di antara seorang
laki-laki dengan perempuan. Pernikahan adalah satu representatif/
perwakilan dari hubungan Kristus dengan jemaat, sehingga di saat kita dengan
isteri kita maju ke depan altar, itu berarti kita sedang mewakili Kristus dengan
jemaat dan hubungan antara Kristus dengan jemaat itu harus di tonjolkan/
dinyatakan melalui kehidupan pernikahan. Oleh karena itu, orang
seharusnya dapat melihat hubungan antara Kristus dengan jemaat melalui pernikahan.
Ketika anak Tuhan menikah, maka pernikahan itu seharusnya dapat membawa
kepada dunia satu representasi seperti ini dan ini merupakan satu gambaran yang
begitu agung, yang merupakan rahasia besar (refiled
apocaliptic)/ satu wahyu yang dibuka dari sesuatu yang tertudung/ pembukaan
rahasia yang diberikan pada manusia.
Namun
yang sungguh disayangkan adalah kalau orang Kristen ketika menikah tidak mengetahui
konsep ini. Akibatnya, begitu banyak orang Kristen yang ketika masuk dalam
pernikahan tidak mengerti mengapa pernikahan harus sedemikian
uniknya dan kekristenan begitu serius mengurus pernikahan karena memang di dalamnya
bukan sekedar pernikahan melainkan ada representasi antara Kristus dengan
jemaat. Jikalau menikah menggambarkan representasi Kristus dan jemaat, maka
apakah yang harus dimunculkan di dalam
pernikahan
Kristen.
Pertama:
Pernikahan harus bersifat agung dan sakral
karena pernikahan merupakan suatu relasi yang bersifat spiritual. Isteri
taat mutlak kepada suami seperti jemaat taat mutlak kepada Kristus dan
suami mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat.
Keagungan
pernikahan harus dimulai dari sejak pertama kali kita menikah dan dijaga di
dalam perjalanan pernikahan. Kita tidak boleh membiarkan pencemaran terjadi
di dalam pernikahan kita. Akan tetapi, dunia tidak mengerti hal ini sehingga
seringkali the glorious married digantikan
dengan the glamour married. Banyak
pernikahan yang terlalu mewah tetapi tidak terdapat keagungan di dalamnya.
Pernikahan tidak tergantung dari berapa mewahnya tetapi betapa agungnya. Agung
dan mewah merupakan dua hal yang berbeda.
Saya
pernah menghadiri pesta pernikahan yang dirayakan secara besar-besaran. Pada
waktu itu, karena kemacetan lalu-lintas, mempelai tidak dapat datang tepat
waktu. Namun demikian, karena padatnya acara-acara lain yang akan memakai
gedung itu maka pengelola gedung itu mengeluarkan makanan di waktu yang telah
ditetapkan, meskipun kedua mempelai belum datang. Pada waktu mereka tiba, maka
para hadirin sudah asyik makan dan mengacuhkan mempelai yang berjalan masuk.
Sampai akhir acara, para hadiri sibuk sendiri dan tidak memperdulikan apa
yang dilakukan oleh mempelai. Waktu itu saya sungguh-sungguh marah dan bertanya
untuk apa sebenarnya mereka datang? Apakah mereka datang untuk menghormati
mempelai ataukah hanya untuk makan? Seluruh acara itu sangat menghina mereka
yang menikah seolah-olah mereka hanya hiasan di depan saja.
Oleh
karena itu kami pada akhirnya memutuskan untuk tidak menyelenggarakan
pesta pernikahan dan hanya kebaktian di gereja saja. Ketika kami menikah, hal
ini menjadi suatu pergumulan yang besar. Kami ingin agar pernikahan kami tidak
menjadi pernikahan yang mewah tetapi hina. Prinsip pertama adalah bahwa ibadah
pernikahan haruslah sungguh-sungguh agung, dijaga dan dipelihara. Seluruh jalannya
acara harus dijaga agar orang yang datang dapat melihat keagungan pernikahan
itu.
Kita
berada di dalam tantangan dunia yang besar. Bagaimana kita mau membangun pernikahan
yang agung jikalau kita sudah memulainya tanpa keagungan? Jikalau kita
sudah melecehkan pernikahan kita sendiri maka kita tidak mungkin dapat membangunnya
dengan baik. Saya bukannya seorang yang anti pesta, tetapi yang saya tuntut
adalah sakralitas dari pesta kita.
Kedua:
Pernikahan juga mengandung aspek
pertanggung-jawaban dari kita sebagai duta besar Allah di dalam dunia ini.
Jikalau dunia ingin melihat mengenai bagaimana Allah kita, mereka seharusnya
dapat melihatnya dari hubungan suami-isteri orang Kristen. Seorang anak yang mau
melihat siapa Allahnya seharusnya dapat melihatnya dari hubungan orang
tuanya. Melalui hubungan suami-isterilah dunia dapat melihat secara
konkrit hubungan antara Kristus dan jemaat. Jikalau kita gagal
merepresentasikan hubungan ini maka yang rusak bukan hanya kita melainkan
nama Kristus dan jemaat.
Setiap
kali seorang duta besar mengeluarkan pernyataan maka pernyataan itu tidak dapat
bersifat pribadi tetapi mewakili satu negara sehingga jikalau ia berkata salah
maka seluruh negara harus menanggung akibatnya. Seorang duta besar datang
dengan disambut oleh permadani merah tetapi di saat yang sama ia juga membawa
pertanggung-jawaban yang besar. Jikalau duta besar negara sudah demikian
bagaimana dengan kita yang merepresentasikan hubungan Kristus dengan jemaat?
Jikalau banyak orang Kristen yang menikah dan kemudian bercerai maka statistik
akan berbunyi bahwa banyak pernikahan Kristen
yang pada akhirnya hancur, sehingga hal itu menunjukkan bahwa moralitas
Kristen tidak baik.
Oleh
karena itu pernikahan Kristen haruslah merupakan sesuatu yang diperjuangkan
baik-baik, dengan takut dan gentar. Ini tidak terjadi secara otomatis. Banyak
suami-isteri yang merasa pernikahan mereka lambat laun menjadi begitu membosankan
dan serasa hanya berputar-putar, karena mereka sebenarnya tidak tahu apakah
itu tujuan pernikahan. Jikalau mereka tahu betapa pentingnya arti pernikahan
mereka, maka suami-isteri akan bersama-sama mencari bagaimana mereka dapat
menjadi duta besar yang bertanggung-jawab.
Ketiga:
Pernikahan seperti harus ditandai dengan sifat
kekal. Hubungan Kristus dengan jemaat tidak dapat dihentikan dan tidak
mengenal istilah kontrak, demikian pula hubungan suami-isteri berlangsung
sampai kematian memisahkan. Di dalam hubungan seperti ini janganlah kita
mengharapkan kesempurnaan tetapi lebih merupakan proses yang harus digarap
terus-menerus sehingga menjadi sempurna.
Jikalau kita mengerti ketiga aspek ini maka kita mengerti apa artinya jikalau dikatakan bahwa pernikahan Kristen bukanlah sembarang pernikahan tetapi menjadi suatu representasi dari hubungan Kristus dan jemaat. Kita perlu membagi kebenaran ini kepada sesama orang Kristen karena terlalu sedikit orang Kristen yang mengerti hal ini. Di saat Saudara mulai membagikan kebenaran ini, maka Saudara akan menjadi berkat bagi orang lain. Saudara pun akan semakin mengingat kebenaran ini dan kehidupan pernikahan Saudara akan terus menerus dikoreksi.?
(Ringkasan
khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)