Ringkasan
Khotbah : 12 November 2000
Dinamika
Iman Daniel
Pengkhotbah
: Ev.
Thomy J. Matakupan
Kitab
Daniel mempunyai latar belakang dimana kerajaan Yehuda dikepung oleh bangsa
Babel, dikalahkan, ditawan dan akhirnya dibawa ke Babel sebagai budak. Ini
memang hal yang Allah pakai untuk mengajar orang Israel atas dosa yang telah
mereka lakukan. Orang Timur Tengah kuno yang hidup saat itu memahami bahwa
jikalau terdapat dua bangsa berperang, maka yang berperang bukan hanya kedua
bangsa tersebut melainkan allah mereka pun turut berperang diatas. Sehingga
kalau dijumpai bahwa salah satu bangsa tersebut kalah maka itu berarti dewa mereka
diatas pun juga kalah. Padahal bangsa Yehuda percaya bahwa di sepanjang catatan
sejarah, bangsa mereka memiliki Allah Yahwe yang maha kuasa dan mampu
mengalahkan segala-galanya, namun pada kenyataannya Allah Yahwe kalah dan
harus tunduk pada dewa baal. Dan bukan hanya itu saja, kalau kita mulai
melihat ayat 2, ternyata perkakas-perkakas yang ada di dalam bait suci
juga dibawa dan dimasukkan ke dalam rumah dewa baal. Disini kita mencoba melihat
bagaimana sulitnya penerimaan iman bangsa Yehuda pada masa itu untuk
dapat mensinkronkan pengertian yang diwariskan turun-temurun, dengan
kenyataan kekalahan mereka terhadap bangsa Babel.
Selanjutnya,
Alkitab mencatat adanya beberapa indoktrinasi yang dilakukan raja Nebukadnezar
terhadap bangsa Yehuda. Pertama-tama, kepala istana diperintahkan untuk
memilih beberapa orang Israel (termasuk Daniel dan ketiga kawannya)
untuk dididik di dalam istana raja. Mereka diajar mengenai tulisan,
bahasa dan kebudayaan bangsa Babel supaya identitas mereka sebagai orang
Yehuda hilang. Mereka (menurut beberapa catatan tradisi yang diwariskan) ketika
dibawa ke istana raja berumur 15 atau paling tua sekitar 17 tahun dan
sangat memenuhi kriteria yang Raja tetapkan yaitu berperawakan baik,
berpengatahuan banyak dan mempunyai pengertian tentang ilmu. Dan bukan hanya
itu saja, setelah mereka dimasukkan ke dalam istana, itu berarti mereka
sudah terisolasi dari bangsanya sedemikian rupa sehingga tidak akan bertemu
dengan orang tuanya, apalagi dengan lingkungan bangsa mereka. Usaha
Nebukadnezar menghilangkan identitas tidak hanya dari luar melainkan
juga dari dalam, yaitu dengan cara mengganti nama mereka. Perihal nama
bagi orang Israel sangat penting oleh karena mencerminkan sifat orang yang
percaya kepada Allah Yahwe. Daniel yang artinya God is my judge menjadi
Beltsazar (Belt protect his life atau dewa Baal melindungi dirinya); Hananya
(God shows His grace) menjadi Sadrakh (comment of Aku; dewa bulan bangsa
Sumerian); Misael (who is what God is) menjadi Mesakh (who is what Aku is);
Azarya (Lord helps) menjadi Abednego (the servant of Nebo). Namun mungkin
sekali walaupun nama mereka diganti, di dalam persekutuan empat orang Yehuda muda
ini mereka tetap memanggil dengan nama asli mereka, sehingga mereka dapat saling
mendukung satu sama lain di dalam iman.
Tetapi
yang menarik disini adalah dimana Daniel, Hananya, Misael dan Azarya mempunyai
ketetapan hati untuk tidak pernah menajiskan diri dengan mengambil
makanan yang sudah dipersembahkan pada raja. Walaupun mereka sudah
putus hubungan sama sekali dengan bangsa dan orang tuanya tetapi fokus
iman dan pikiran mereka tetap pada Allah Yahwe dan kalau mereka mengambil
makanan tersebut, mereka berarti sudah menajiskan diri dan tidak menyenangkan
Allah Yahwe. Ayat 8 merupakan satu ayat yang sangat penting tentang bagaimana
prinsip pendidikan anak diajarkan. Memang Alkitab tidak mencatat tentang
hal ini, tetapi secara urutan logis Alkitab, sangat mungkin orang tua Daniel
dan ketiga kawannya menanamkan prinsip penting hukum taurat dan prinsip
takut akan Allah Yahwe (yang terdapat dalam Ul 6:4) semenjak mereka masih
bersama-sama. Sehingga walaupun mereka harus menjadi orang yang “terhilang,”
masuk dalam bangsa Babel dan dididik selama 3 tahun, mereka tidak akan pernah
berubah oleh karena fondasi iman mereka sudah tertanam dengan begitu kokoh.
Dalam kitab Amsal dikatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut
baginya sehingga pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang daripada jalan
tersebut.” Hal kedua yang perlu kita pelajari disini adalah dimana Daniel dan
kawan-kawannya melihat disitu bukan sekedar hal tentang boleh makan atau tidak
makan, melainkan dalam budaya tersebut mereka tahu bahwa ketika seseorang
mengambil makanan yang telah dipersembahkan pada raja, maka itu berarti
orang tersebut berhutang budi, berjanji setia dan mau tunduk mutlak pada
raja, yang saat itu dipercaya sebagai titisan dewa mereka (dewa Babel). Kedua,
itu juga berarti bahwa orang tersebut ingin diperkenan oleh dewa baal. Hal semacam
ini pasti sudah dimengerti dengan jelas oleh Daniel
Maka
selanjutnya kita akan mempelajari empat hal tentang pergumulan iman Daniel dan
ketiga kawannya: 1). Iman sejati berkaitan dengan pengetahuan. Seorang tidak
dapat mengatakan bahwa ia beriman tetapi ia tidak mengerti dengan jelas
fondasi yang bagaimanakah yang harus ia bangun dan apakah yang menjadi objek
daripada imannya. Sebab tidak ada seorang pun yang dapat membangun iman
yang sejati (iman yang dapat menolong dia menghadapi kesulitan demi kesulitan)
tanpa adanya fondasi Tuhan dan firmanNya. Alkitab dari awal hingga akhir
menjelaskan dengan tuntas bahwa diri Tuhan adalah objek iman yang dapat
dipercaya. Sebelum saudara Tuhan panggil pulang, hal inilah yang menjadi
tanggung-jawab kita untuk mengenal siapa diriNya, sebab ada dimensi dan
sifat Allah yang lain yang tidak kita pahami, demikian pula dalam mengenal
kehendaknya. Inilah hal yang harus kita pergumulkan seumur hidup kita! Jangan
harap engkau dapat mengenal dan memahami pribadi dan karakter Tuhan selengkap-lengkapnya
dan apa yang menjadi kehendakNya jikalau engkau tidak pernah membaca Alktiab.
2).
Iman sejati berkaitan dengan pengharapan. Yang dimaksud pengharapan disini adalah
hasil yang didapat, walaupun kenyataan sepertinya sangat bertolak belakang
dengan apa yang dimengerti. Walaupun secara pemikiran bangsa Yehuda Allah Yahwe
kalah, tetapi itu tidak akan pernah menggoncangkan pengharapan Daniel
beserta kawan-kawannya karena mereka percaya pada saatnya nanti Allah
Yahwe akan kembali menopang dan memberikan kekuatan. Dan itu menjadi sumber kekuatan
untuk terus-menerus berjalan di dalam iman dan percaya terhadap Tuhan. Namun
di dalam realita hidup kita sehari-hari secara pribadi, kita seakan sulit
sekali menerjemahkan dam melihat tangan Tuhan dibalik lembah bayang-bayang
maut. Bahkan akhirnya banyak orang yang kecewa dan menolak terhadap
Tuhan. Padahal, kalau kita mau mencoba menelusuri, ada banyak hal dimana kita
tidak berhak untuk protes terhadap Tuhan, bahkan bagi orang-orang seperti
Yeremia, Yesaya ataupun Yunus. Sebab ketika mereka dengan begitu cepat kecewa
dan menolak Tuhan, maka mereka tidak dapat melihat sesuatu yang melampaui, yang
akan terjadi. Mata iman adalah mata yang dapat melihat sesuatu yang melampaui
apa yang dapat dilihat dan dipahami di dalam pertolongan Allah. Alangkah
menyedihkan kalau orang Kristen melewati kesulitan dengan tanpa memiliki
harapan seperti ini!
3).
Iman berkaitan dengan hal percaya dan mempercayakan diri. Ini merupakan dua hal
yang sangat berkaitan erat sekali. Kita pasti memiliki percaya terhadap Allah
Yahwe dan janji-janjiNya, namun pada kenyataannya kita sulit sekali untuk
sungguh-sungguh percaya. Sungguh-sungguh percaya dalam arti kita mau hidup
di dalam percaya kita, yaitu dengan menyerahkan hidup kita dibawah diri
Tuhan. Ini suatu hal yang sangat berbeda dari sekedar percaya! Ada banyak
hal yang kita tahu tentang Alkitab dan janji Tuhan dalam firmannya tetapi
seringkali kita bertindak seperti kita tidak pernah tahu janji Tuhan dalam
firmanNya. Disini yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mempercayakan
hidup kita pada Allah, yang memang harus kita sembah di dalam Roh.
4).
Iman yang sejati berkaitan dengan bijaksana dari Tuhan. Bijaksana hanya datang
dari Allah yang benar (Ams 3:5-8; Mzm 119:97-100). Bijaksana Tuhan mengandung
arti bahwa hal yang menjadi pemikiran daripada Tuhan itulah yang mendominasi
pikiran kita. Berapa banyak hal yang kita lewati tiap-tiap kalinya, kita
pikirkan dan masukan dalam pertimbangan Tuhan atau kerap kali kita mengambil
keputusan tanpa perduli, hanya berdasarkan hukum dan logika yang ada dalam
pikiran kita. Jikalau kita hanya bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan
logika dan urutan-urutan logis maka mungkin sekali ada hal yang tidak menjadi
bijaksana Tuhan yang kita ijinkan terjadi. Alktiab mengatakan, “Percayalah
kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan jangan bersandar pada pengertianmu
sendiri.” Banyak kali kita mengatakan tahu firman Tuhan tetapi yang kita tahu
seringkali tidak mendominasi pikiran kita, menjadi dasar kita berpijak untuk
melangkah. Kalau kita mau jujur, maka berapa persen dari semua tindakan yang
kita lewati, kita lewati dengan pertimbangan bahwa itu yang menjadi kehendak
Tuhan?
Mari
kita mencoba transparan terhadap diri sendiri, apakah itu diwarnai oleh kebenaran
firman Tuhan yang ada di dalam pikiran kita, atau justru kita bertindak
berdasarkan urutan logika atau bijaksana kita sendiri? Bijaksana Tuhan hanya
bagi mereka yang berani untuk melangkah dan mempercayakan hidup tia-tiap
kalinya bersama dengan Tuhan! Jangan pernah berharap saudara akan melihat
kebenaran firman Tuhan dan mengalami kelimpahan berjalan bersama Tuhan kalau
saudara tidak pernah berani melangkah mempercayai dan mempercayakan diri masuk
berpegang pada janji Tuhan. Sebab di dalam pengalaman demi pengalaman yang
ada, bijaksana Tuhan selalu menjadi nyata pada saat kita berani melangkah dan
memegang janji Tuhan dalam praktek hidup tiap-tiap kalinya. Bagaimana kita
dapat melihat pertolongan Tuhan itu sungguh nyata, walaupun ketika orang
lain melihat tidak ada pengharapan sama sekali, karena bijaksana Tuhan
memberikan pengharapan yang lain. Hanya melalui firman Tuhan kita dapat membandingkan
antara bijaksana dunia dengan apa yang Tuhan sudah nyatakan dalam dan melalui
firmanNya. Disini kita sebagai orang Kristen harus menganut prinsip pintu terbuka
dan pintu tertutup. Prinsip bagaimana bijaksana Tuhan selalu menolong kita
melihat bahwa ada pintu yang selalu terbuka yang tidak pernah kita pikir dan
pertimbangkan sebelumnya, tetapi jikalau Tuhan tidak berkehendak maka
Ia akan menutupnya. Rm 10:17 mengatakan, “Jadi iman timbul dari pendengaran,
dan pendengaran akan firman.”
Saya berharap dan berdoa supaya kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan untuk masuk dalam pengalaman dan dimensi-dimensi iman bersama dengan Tuhan dalam hidup kita masing-masing secara pribadi, satu demi satu. Tuhan memberkati kita. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh
pengkhotbah)