Ringkasan
Khotbah : 19 November 2000
Christ
Centered Submissive
Pengkhotbah
:
Rev. Sutjipto
Subeno
Dua
bagian besar sudah kita coba bangun di dalam mengerti kerangka seluruh konsep
pembangunan keluarga Kristen yaitu bagaimana kita melihat dari awal di
dalam Kej 2 dan selanjutnya dalam Ef 5, sehingga kini kita tahu
bagaimana kembali pada kebenaran dan menghakimi realita. Bagaimana keluarga
dibangun di dalam basis yang Tuhan inginkan, yaitu kembali pada pencipta
yang menciptakan pernikahan. Dengan demikian kita mempunyai seluruh gabungan
prinsip pemikiran yang paling mendasar tentang bagaimana suatu keluarga
dibangun.
Dan
hari ini kita mulai masuk dalam bagian yang lebih spesifik dan mulai melihat secara
mendetail ayat demi ayat di dalam kitab Efesus. Disini dimulai dengan basis yang
penting yaitu di dalam Efesus 5:21: “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada
yang lain di dalam takut akan Kristus. Isteri kepada suami seperti kepada Tuhan,
dan jemaat kepada Kristus.” Kalimat ini seringkali menimbulkan reaksi
besar di kalangan para wanita sehingga saya mengawali bagian ini dari prinsip
dasar supaya setiap orang boleh mengerti mengapa konsep tersebut dibangun. Apa
yang dikatakan di dalam Efesus 5:21 hingga Efesus 6:9 itu sebenarnya merupakan
satu keutuhan bagaimana kehidupan Kristen secara utuh dikerjakan. Ayat
21-22 seharusnya bukan merupakan topik yang terpisah karena kalau kita
pelajari, kata kerja dalam bagian tersebut terletak di dalam ay. 21 dan di dalam
Efesus 5:22 sebenarnya tidak ada kata “tunduklah.” Maka kata “rendahkanlah”
dalam kalimat “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain,” sebenarnya
bukan “rendahkanlah” melainkan “tundukkanlah” (menundukkan
diri/submissive). Dan kata menundukkan diri di ay. 21 dipakai untuk
mempararelkan dengan ay. 22, sehingga kalimat tersebut merupakan tiga bagian
yang dipararel. Maka kalimat itu seharusnya: “Tundukkanlah dirimu seorang pada
yang lain, isteri kepada suami dan jemaat kepada Kristus.” Dan disini kita
melihat adanya tiga hubungan: 1). Antar anak Tuhan, 2). Isteri kepada
suami dan 3). Jemaat kepada Kristus. Dan kunci dari semua itu adalah apa
yang disebut sebagai satu penundukan diri yang berpusatkan kepada Kristus
(Christ Centered Submissiveness).
Disatu
pihak dunia kita mengerti ordo (order; urutan/tatanan siapa tunduk kepada siapa).
Di dunia kerja kita mengetahui struktur perusahaan dengan sangat jelas, yang
harus ditaati, karena memang hal tersebut harus ada. Bahkan di tengah filsafat
dunia banyak sekali hal tentang aspek tatanan masyarakat yang dipikirkan,
sehingga timbul istilah politika, yang sebenarnya diartikan sebagai suatu
tatanan masyarakat yang dipikirkan begitu rupa demi mengatur kesejahteraan.
Namun politika sekarang identik dengan jalur kekuasaan, sehingga itu sudah
merupakan dua hal yang sangat berbeda. Filsafat dunia yang begitu serius
memikirkan tentang order adalah Confucius. Mereka sangat memikirkan setiap
relasi tetapi kita tahu bahwa dampak akhirnya selalu menimbulkan kekacauan,
kerusakan, dan penindasan. Dan disitu sering terjadi kekecewaan dimana anak,
isteri dan semua yang dibawah menjadi obyek manipulasi yang diatasnya. Maka
ini menjadi satu gejala yang mengerikan dan kontradiksi yang besar, yaitu
disatu pihak kesadaran adanya tatanan, namun di lain pihak menyebabkan timbulnya
jiwa-jiwa pemberontak. Disatu sisi di dalam dunia kita terlalu banyak kasus
dimana anak tidak diasuh dengan tepat dan hanya menjadi objek manipulasi
orang tua, isteri banyak yang mengalami aniaya dan diperlakukan tidak beres
oleh suami; bawahan atau rakyat yang ditindas dengan kejam dan seolah-olah hanya
mementingkan order. Tetapi dilain pihak, di dalam jaman Postmodern
kita melihat bahwa semua menjadi anti tatanan, sehingga semua dijalankan
dengan suka-suka, tidak ada pemimpin maupun bawahan dan tidak ada yang diatas
maupun dibawah. Namun itu semua tetap menimbulkan dampak terjadinya
kekacauan akibat tidak adanya urutan pertanggungjawaban dan urutan pemerintahan.
Sebab dimana dunia tidak lagi mengenal bagaimana suatu hirarki dijalankan,
disitu tatanan akan hancur total dan saat itu terjadi kekacauan yang luar
biasa!
Dengan
demikian tidak heran ketika dikatakan dalam Alkitab: “Hai istri, tunduklah kepada
suamimu seperti kepada Tuhan,” mereka sangat tidak setuju dan menentang keras.
Di dalam mengerti hal ini kita harus terlebih dahulu melihat di dalam konteks
yang lebih besar, dimana kejadian tersebut merupakan hasil jaman
akibat dari satu problematik umum yang bukan terjadi sekedar di wilayah
hubungan suami-isteri melainkan juga di dalam struktur filosofik masyarakat
secara umum. Problema antara pria dan wanita merupakan bagian kecil dari satu
konteks besar, dimana dunia kita sedang mengalami permasalahan antara ordo
dan pemberontakan terhadap ordo, efek kecil dari satu struktur yang
dikatakan dalam Alkitab: “Saling menundukkan dirilah satu sama lain di dalam
takut akan Kristus.” Inilah yang menjadi kunci utama dari semua hirarki!
Masyarakat dunia maupun filsafat mencoba membangun hirarki, tetapi justru mereka
tidak dapat menemukan kunci hirarkinya. Semua hirarki hanya dapat dijalankan
dengan tepat kalau semua pelaku di dalam jalur hirarki mempunyai takut akan
Kristus karena ketaatan adalah penundukan diri yang berpusatkan kepada
Kristus (Christ Centered Submissiveness). Inilah yang menjadi kunci penting
hubungan kita di dalam relasi antar manusia dalam tatanan dunia. Seringkali yang
menjadi persoalan adalah ketika berelasi kita mencoba mau mengerti ordo tetapi
kita tidak mau mengerti esensi ordo, sehingga akibatnya ketika gereja tidak
membedakan bagaimana ordo ditegakkan dengan tepat, sesuai dengan iman
Kristen maka yang terjadi filsafat humanisme dan fenimisme dunia
masuk dalam gereja. Ajaran feminisme telah merembes masuk ke dalam gereja sehingga
akhirnya gereja sudah mengalami kontaminasi filsafat dan menyetujui untuk ikut
dan mengajarkan konsep yang tidak benar. Disini ternyata jemaat tidak
dididik membedakan mana ordo yang tepat dan bagaimana kita membangunnya
dengan benar, sehingga mereka bukan memikirkan bahwa itu merupakan
akibat pemikiran dunia yang masuk dalam gereja tetapi justru mereka
melihat itu sebagai satu realita untuk membangun teori. Maka disitu akan terjadi
satu putaran pengerusakan, dimana ketika satu order dirusak dan terjadi
upaya memulihkan, upaya itu akan menimbulkan satu gejolak balik yang akan
menghancurkan diri sendiri.
Ketika
figur pria dan wanita rusak, maka suami-isteri yang seharusnya menjadi figur representasi
antara Kristus dengan jemaat juga menjadi rusak. Dan gambaran yang rusak ini
membuat semua orang tidak dapat lagi melihat hubungan Kristus dengan
jemaat dengan tepat. Ketika seorang isteri berusaha melawan otoritas
suami, maka waktu itu suami akan lebih menyatakan otoritas, dan
akhirnya yang terjadi adalah penindasan, keinginan berusaha saling menundukkan
dan berakibat pertengkaran. Maka pernikahan idenya bukan kebahagiaan melainkan
pertempuran dan hidup mereka sudah menjadi hidup yang saling
menghancurkan. Banyak wanita tidak rela tunduk kepada suami dengan dalih
suaminya akan menganiaya dan meninggalkannya. Dalam hal ini wanita
sering mengalami kekacauan pemikiran di dalam mencari pasangan hidup.
Hal pertama yang harus kita konsep dalam pemikiran kita adalah bagaimana pria
yang tepat untuk menjadi suami kita, dan ini harus kembali pada satu status
yaitu bahwa wanita bukan pria dan pria bukan wanita. Jikalau kita mengalami
kebingungan dengan natur kita sendiri, tidak heran kalau kita juga akan
bingung di dalam memikirkan pria/wanita seperti apa yang layak menjadi suami/isteri
kita. Hari ini banyak wanita yang mencari figur seperti artis yang berbadan
kekar atau pria dengan segala sesuatu yang bernuansa material dan seolah
mampu membeli apapun, sehingga ketika menikah tidak heran isteri
akhirnya menjadi korban. Inilah format yang ditanamkan setiap hari kepada
kita maupun para remaja saat ini. Image yang salah akan menimbulkan efek
yang salah juga! Kita sadar bahwa kita mempunyai rasa gentar dan takut salah
di dalam memilih pasangan hidup yang beresiko seumur hidup namun Tuhan juga
memberikan bijaksana pada kita sehingga kita tahu bagaimana memilih yang
tepat, memberikan rambu-rambu yang cukup jelas dan Ia masih memberikan
pimpinan, selama kita rela mohon pimpinanNya. Sejauh kita bergumul dihadapan
Tuhan, Ia akan memberikan bijaksana sehingga kita boleh mendapatkan seorang yang
tepat.
Namun
ketika seorang wanita/pria ingin mencari pasangan yang tepat, maka ia juga harus
mengevaluasi dirinya terlebih dahulu apakah dirinya cukup layak bagi orang
tersebut. Maka sebelum saudara mencari suami/isteri yang baik maka
hendaklah saudara menjadikan diri saudara sebagai calon isteri/suami yang
baik, karena pria/wanita yang baik juga akan mencari isteri/suami yang baik.
Disini hal pertama yang harus ada adalah “saling menundukkan diri di dalam takut
akan Kristus.” Seorang wanita yang menjaga kehidupannya di dalam takut akan
Kristus maka di dalam seluruh langkahnya, ia benar-benar dimodali dengan satu
jiwa yang hanya mau menyenangkan Tuhan, sehingga di dalam mengerjakan
segala sesuatu terpancar bijaksana dan keanggunannya. Hal yang kedua:
kembali pada kebenaran firman Tuhan. Saat ini konsep kita lebih banyak
didikte oleh media massa sehingga kita kehilangan natur bagaimana seharusnya
menjadi wanita yang baik. Kembali pada kebenaran firman menjadikan kita
sebagai seorang wanita yang tepat seperti yang Tuhan inginkan dan
memancarkan spirit seorang wanita yang sesungguhnya. Dan itu akhirnya
menjadi daya tarik yang luar biasa bagi seorang pria yang baik. Ketiga: obedience/
kerelaan untuk taat yang dibangun di dalam hidupnya. Seorang isteri harus merepresentasikan
jemaat di dalam seluruh relasi dengan suaminya. Ketika jiwa ketaatan muncul
di dalam diri seorang wanita maka di dalamnya juga terdapat kelembutan.
Saat
ini trend jaman sedang menyodorkan feminisme melalui apa yang disebut dengan
woman supremasi (mengkudeta posisi pria dan ia menjadi pria), sehingga wanita disodorkan
kedepan dan tidak perlu tunduk terhadap suami, bahkan mereka menganggap bahwa
suami yang baik adalah yang menyetujui semua keputusan isterinya. Tetapi pada
hakekatnya wanita itu ingin menjadi penguasa. Sehingga hal ini akhirnya
justru melecehkan harkat dan posisi wanita. Disini gereja bukannya melakukan
kritik keras/counter konsep tetapi justru mengimport masuk konsep itu.
Hari ini saya harap kita memikirkan kembali, “who are you, who am I?”
Kalau Tuhan mengajarkan “Hai wanita, tundukkan kepada suamimu di dalam
segala hal, sama seperti jemaat tunduk pada Kristus,” itu bukan dirancang
untuk merusak/melecehkan melainkan demi kebaikan wanita sehingga mendapatkan
harkat yang sejati. Seorang wanita yang taat, lembut dan anggun justru
akan mendapatkan respek dan aspirasi yang tinggi dari semua pria. Saya
harap hari ini kita bukan hanya tidak ikut, melainkan kita dengan
agresif dan aktif akan menolak pikiran seperti itu lalu memberikan counter
teori/alternatif jawaban kepada dunia, karena kita tahu bahwa firman itu
yang mewahyukan kepada kita.
Satu hal yang juga perlu kita sadari adalah ketika wanita tidak berhati-hati maka ia akan menjadi lubang yang paling besar, dipakai oleh setan untuk merusak dan menghancurkan tatanan. Wanita di dalam naturnya mempunyai posisi yang sangat paradoks, karena disatu pihak wanita itu memiliki keindahan dan keanggunan yang menjadikan keindahan bagi dunia, namun sekaligus disitu mengandung bahaya yang besar jikalau tidak dipakai dengan kunci pertama yaitu “the christ centered submissiveness” atau jiwa kerelaan untuk taat dan takut akan Tuhan. Demikian halnya dengan saat ini, wanita akan dipakai oleh setan untuk merusak dan menghancurkan tatanan dunia maupun gereja melalui gerakan-gerakan yang ada. biarlah setiap wanita sadar untuk memakai setiap potensinya yang ada di dalam takut akan Tuhan dan sesuai dengan natur yang Tuhan berikan, sehingga posisi ini tidak akan memberikan peluang sedikitpun bagi setan untuk ambil bagian didalamnya. Dan ketika kita dapat menjalankannya, maka gereja akan menjadi gereja yang memberikan alternatif bagi dunia secara tepat. Saya rindu hal ini dapat dipakai melalui pelayanan kita. Mau saudara? Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa
oleh pengkhotbah)