Ringkasan
Khotbah : 10 Desember 2000
The
Nature of A Man
Pengkhotbah
: Rev.
Sutjipto Subeno
Minggu
lalu kita sudah mencoba melihat bagaimana natur wanita yang menjadi seorang
istri seturut dengan firman dan kehendak Tuhan, yaitu yang disebut dengan
Christ-centered submissiveness (satu penundukan diri yang berpusat kepada
Kristus). Maka sekarang kita akan melihat kasus ini disertai dengan satu
keseimbangan, yaitu ketika dikatakan: “Hai isteri, tunduklah kepada
suamimu seperti kepada Tuhan,” maka dalam ay. 25 langsung dilanjutkan dengan,
“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi
jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.”
Kekristenan
sebenarnya tidak memberikan opsi bagi pria untuk menindas wanita, namun
ide tersebut muncul di dunia pagan (kafir) dan agama yang tingkat moralitasnya
tidak mencapai standar yang Alkitab tuntut dan inginkan. Dan ketika
standar ini tidak tercapai maka terjadi satu tindakan yang tidak
menghargai sesama manusia yang lain, khususnya perbedaan
gender. Pria akibatnya tidak lagi menghargai wanita dan demikian pula sebaliknya,
dan akhirnya itu memungkinkan seorang wanita ditindas oleh
pria. Alkitab memang mengajarkan supaya wanita tunduk kepada
suaminya namun itu bukan berarti bahwa suami boleh menindas isterinya,
sebab ketika wanita tunduk kepada suaminya maka penundukan isteri
kepada suami tersebut harus diresponi oleh sikap kedua yaitu
bagaimana suami mencintai isterinya sebagaimana Kristus mengasihi jemaat.
Dengan demikian di dalam bagian ini kita melihat bagaimana suami-isteri
yang boleh berelasi dengan indah, ditata menurut satu konsep yang
berbeda sama sekali dengan ide yang ada di tengah dunia. Seperti yang
digambarkan di Efesus 5, seorang suami sejati ketika berelasi dengan
isterinya harus kembali kepada esensi the Christ-centered headship yaitu kekepalaan
yang berpusat kepada Kristus. Sehingga bagaimana seorang suami berelasi dengan
istrinya, itu harus menggambarkan relasi antara Kristus (sebagai kepala)
dengan jemaat (sebagai tubuhnya), dan ia harus memperlakukan isterinya
seperti memperlakukan tubuhnya sendiri. Ide kekepalaan yang berpusat
kepada Kristus tidaklah sama dengan kepemimpinan yang berpusat kepada
Kristus, sebab kepemimpinan akan menggambarkan satu garis otoritas/kedaulatan
atas ke bawah. Suami tidak diidekan menjadi pemimpin di dalam relasi suami-isteri
(leadership/direktur rumah tangga), tetapi suami diidekan sebagai kepala
daripada isterinya, sama seperti yang sering disebutkan yaitu kepala rumah
tangga (headship).
Dunia
modern sekarang mulai memunculkan satu konsep yang disebut sebagai satu kepemimpinan
yang manusiawi (Leadership yang humanistik). Istilah
“leadership” itu sendiri sebenarnya belum menuntaskan ide, karena
bagaimanapun di dalam pemikirannya akan mengandung ide bahwa ia
mempunyai otoritas, berdaulat, dsb; tetapi di dalam “headship” penekanannya
adalah satu perawatan, perlindungan, pengarahan dan cinta kasih yang
sesungguhnya. Jadi sebagai seorang kepala rumah tangga seorang suami
mempunyai tanggung-jawab menjadi kepala atas seluruh tubuhnya. Dunia selalu
mencoba memikirkan bagaimanakah seorang pria sejati itu; bagaimana
seorang pria itu seharusnya berlaku dan siapa yang berhak disebut sebagai pria
sejati itu? Plato mengatakan bahwa manusia pria adalah orang yang harus
mengerti dengan rasional, sangat berkemampuan dan mengambil keputusan
secara rasional serta ukuran kesuksesannya ditentukan oleh rasionya.
Hal seperti ini menjadi aneh karena secara dunia faktual, pria dikenal
sebagai manusia yang memiliki rasio lebih, namun di dalam relasi
suami-isteri aspek rasional tidak pernah ditonjolkan menjadi satu inti natur
pria sejati. Seringkali rasio menjadi satu hal yang terlalu diagungkan dan
seolah tidak ada tempat bagi perasaan dan emosi. Padahal Alkitab justru
mengajarkan supaya kita mencintai dan mengasihi istri kita dan bukan secara
rasional saja melainkan itu merupakan satu keutuhan mulai dari rasio, emosi, perasaan,
kehendak hingga tindakannya.
Di
dalam ide yang sepertinya lebih tinggi lagi, dalam dunia timur (Confusionism)
kita mendengar istilah “lie” (gentleman), yaitu manusia yang mempunyai
cara hidup/tingkah laku yang dianggap aristokratis, agung, dan mulia dan
mampu berelasi dengan baik di tengah masyarakat. Mereka berpikir bahwa
manusia dapat menjadi munafik demi suatu relasi, oleh sebab itu mereka memprotek
kelemahan teorinya dengan istilah “jen,” yaitu bagaimana mereka menjadi
orang yang benar-benar tulus. Hal itu membuat mereka merasa telah sukses
menjadi pria, namun mereka tidak sadar bahwa satu ketulusan dan jiwa
kesetiaan seringkali tidak disertai dengan satu tuntutan prinsip hidup
yang tegas dan keras. Dan didalamnya juga terdapat kelemahan yang fatal dimana
Tuhan tidak ada tempat dalam hidupnya. Bahkan ada seorang filsuf yang mengatakan
bahwa konsep “lie” mengakibatkan konsep gentleman seorang pria ditentukan
oleh masyarakat disekelilingnya dan akhirnya kita hidup untuk menyenangkan
semua orang tetapi kita kehilangan prinsip bagaimana kembali pada Tuhan
dengan prinsip kebenaran yang sejati.
Unsur
ketiga, konsep gentleman menurut Hollywood. Pria sejati modern menurut konsep
Hollywood adalah pria yang “macho,” yang keren, merokok, badannya gagah
dan kekar seperti yang banyak ditanamkan melalui film-film. Dan disini konsep
pria menjadi sangat rendah karena hanya dilihat sebatas aspek
tubuh (jasmaniah saja), sehingga tidak heran kalau banyak wanita yang
tidak mencari pria sejati melainkan mencari tukang pukul. Dan Hollywood memberikan
dua warna berbeda dalam dunia entertaiment, disatu format ditampilkan pria
yang macho, namun karena efek feminisme juga masuk dalam dunia
entertaiment maka tipe pria menjadi feminim, berambut panjang, baby
face dan kalau perlu memakai anting-anting. Dan konsep pria sejati yang paling
umum adalah mampu menyediakan uang yang banyak. Dunia kita berupaya untuk
menanamkan konsep yang merusak natur kita dan akhirnya para pria menjadi
gila dan berjuang keras memenuhi apa yang diidekan oleh dunia dan tidak
kembali kepada naturnya yang sejati.
Selanjutnya
kita akan mencoba melihat beberapa hal yang menjadi esensi pria sejati dalam
firman Tuhan: pertama, pria yang takut akan Tuhan dan menjadi kepala yang
berpusatkan kepada Kristus (Christ-centered headship). Ketika seorang pria
tidak mempunyai takut akan Tuhan, itu memberi segala peluang bagi dosa dan
itu berarti ia sudah masuk ke dalam esensi dosa yang sesungguhnya. Pria sejati
adalah pria yang tahu siapa dirinya di hadapan Tuhan, Allahnya dan
bagaimana dia merepresentasikan Kristus di tengah masyarakat. Headship
sejati adalah headship yang berpusat kepada Kristus dan sebuah keluarga yang
sejati adalah keluarga yang dibangun oleh seorang kepala rumah tangga yang
takut akan Kristus. Dalam Korintus dikatakan, kepala dari wanita adalah
pria/suaminya, kepala dari pria adalah Kristus, dan kepala dari Kristus adalah
Allah. Jadi ketika seorang pria ingin menjadi suami/kepala yang baik, ia harus
tahu bahwa diatasnya masih ada kepala yang sejati yaitu Kristus. Itu alasan
ketika seorang suami tidak takut kepada Allah dan hanya takut kepada manusia
maka yang paling kasihan adalah isterinya. Alkitab memandang pernikahan
bukan sekedar antara suami-isteri melainkan pernikahan tersebut harus
merepresentasikan hubungan Kristus dengan jemaat. Dengan kembali pada
Christ-centered hidup kita mempunyai standar mutlak dan tidak tergantung
oleh siapapun, termasuk diri kita maupun orang lain.
Kedua,
pria yang sungguh-sungguh mencintai isterinya. Alkitab mengatakan bagaimana
seorang suami mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat. Kata
“mengasihi” disini tidak menggunakan “eros” (sekalipun
suami-isteri) tetapi dalam aspek ini menggunakan bentuk “agape” yaitu satu
kasih yang unconditional. Ketika seorang suami mencintai isterinya, maka ia
mencintai dengan sesungguhnya, dengan satu sikap gentleman dan satu hati
yang benar-benar mau memikirkan yang terbaik bagi isterinya. Berarti
seorang suami yang sejati ketika isterinya tunduk maka itu bukan kesempatan
baginya untuk menindasnya melainkan bagaimana ia memikirkan yang terbaik
yang bisa diberikan bagi isterinya. Bahkan seperti Kristus hingga rela
menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan bagi jemaat. Suami bukan menunjukkan
kekuatannya hanya untuk menyelamatkan diri tetapi untuk membela isteri
dan anak-anaknya karena ia bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik
bagi isteri dan anak-anaknya. Dan itulah yang menjadikan keluarga itu akan
indah sekali karena seorang isteri yang tunduk mutlak kepada suaminya tidak akan
merasa bahwa penundukan dirinya dimanipulasi melainkan ia akan merasa puas
untuk tunduk kepada suaminya. Itu sebab lebih baik kita mencari orang yang
mencintai kita daripada yang kita cintai, karena itu akan membuat kita belajar
bagaimana mengerti seluruh relasi ini dengan baik.
Ketiga,
pria itu menguduskan dan menyucikan isterinya sehingga ia nantinya dapat mengaktualisasikan
dirinya sebagai seorang wanita sejati. Ef 5:26 mengatakan, “Untuk mengguduskannya,
sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman.” Pria
yang sejati ketika ia benar-benar menjalankan dengan takut dan berpusat kepada
Kristus, benar-benar mencintai isterinya, maka ada efek ketiga yang
menjadi esensi paling besar yaitu ia akan mengguduskannya (men-set-apart
isterinya/memisahkan keluar), menyucikannya (memurnikan/membersihkan),
dan memandikannya dengan air dan firman. Beberapa penafsir mengkaitkan ini
dengan budaya Yahudi/Yunani/ bahkan di pulau Jawa, bagaimana seorang isteri yang
ketika akan menikah dimandikan dahulu. Itu menggambarkan satu
kemurniannya yang akan menjadi bagian bersatu di dalam relasi eksklusif
dengan suaminya. Dan ketika dikuduskan seperti itu, pengudusan tersebut
bukan dikerjakan oleh si isteri melainkan isteri telah memasukkan diri dan pemisahan
tersebut dikerjakan oleh suaminya. Dengan demikian, jikalau terjadi problem
terhadap isterinya maka suami tetap memiliki andil didalamnya. Ketika
isteri sudah menundukkan diri dan memasukkan diri kepada suaminya,
maka keberadaan isteri ini berada di dalam satu perlindungan, penyucian
daripada suaminya. Ini menjadi panggilan yang luar biasa rumit di dalam kita mengerti
tentang pria sejati.
Dalam bagian ini “firman” bukan berarti firman yang tertulis, tetapi seolah menjadi satu bagian firman yang hidup, yang termanifestasi di dalam kehidupannya. Artinya: kehidupan isterinya menjadi hidup yang benar-benar menggambarkan kehidupan di dalam Tuhan, di dalam firman Tuhan secara praktis. Ketika ia tunduk dan suaminya menguduskannya maka isterinya dapat hidup takut akan Tuhan secara puas, menjalankan natur sebagai wanita sejati dan benar-benar teresistensi secara mutlak. Maka peranan suami di dalam mengasihi isteri menjadi bagian yang terbesar supaya si isteri tidak merasa perlu untuk mencari sesuatu diluar lagi. Isteri yang benar-benar terpisahkan di dalam relasi dengan suaminya, maka disitu ia merasa dipuaskan di dalam seluruh ketotalitasan hidupnya. Isteri tidak akan pernah puas/betah dirumah sekalipun dilimpahi oleh banyak material, dipuaskan secara seksualitas, ataupun hal-hal lain. Seorang isteri yang baik, bahkan siapapun dia sekalipun sangat materialistik, di dalam hati nuraninya tidak akan mengingkari bahwa ia akan menikmati kepuasan tertinggi ketika suaminya mencintainya dengan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu pria yang sejati bukanlah pria yang tidak mempunyai perasaan dan tidak mampu tersenyum melainkan seorang pria yang mampu mengasihi istrinya. Dan kriteria dasar seorang pria yang sukses adalah pria yang dapat menjadikan isterinya seorang wanita sejati dengan takut akan Tuhan. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)