Ringkasan Khotbah : 17 Desember 2000

Roti Jasmani atau Roti Rohani

Nats : Yohanes 6:41-48; 60-61; 66

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Hari ini kita melihat cerita panjang di dalam Yoh 6 yang diawali de­ngan satu berita yang kelihatannya begitu hebat yaitu ketika Yesus berkhotbah dan mem­beri ma­kan sekitar se­puluh ribu orang. Alkitab memang ha­nya mencatat 5000 laki-laki yang makan, na­mun itu artinya perempuan dan anak-anak belum dihitung. Yesus tahu bahwa mereka mengejarNya hingga ke se­­berang danau bukan karena mengerti tanda tetapi karena ma­kan dan pe­­rut mereka menjadi ke­nyang. Akhirnya Yesus terus melanjutkan khotbahnya hingga menimbulkan re­ak­si keras dari orang-orang Yahudi, bahkan semakin rumit dan tidak dapat menerimanya. Disini Yesus justru mempertajam esensi apa yang sedang terjadi di tengah murid-murid tersebut, dimana mereka mu­lai mengalami kegoncangan iman dan bahkan akhirnya meninggalkanNya.

Kita melihat kontras yang luar biasa sedang terjadi disini. Pada awal ps. 6 dikatakan beribu-ribu orang datang kepada Kristus dan ingin mengikutiNya namun akhirnya begitu banyak orang yang meninggalkan Tuhan. Bukankah konsep ini bertentangan mutlak dengan apa yang kita pikirkan sebagai kesuksesan di dalam dunia ataupun dalam pemberitaan injil. Menurut teori, jika pada awalnya sepuluh ribu orang mengikuti Yesus maka selanjutnya akan menjadi tiga puluh ribu atau bahkan lebih banyak lagi. Tetapi justru khotbah yang paling penting seringkali berakibat begitu banyak orang meninggalkan Tuhan Yesus.

Istilah “roti” dalam Yoh 6:41 bukan sekedar menggambarkan roti dalam arti makanan, tetapi lebih menunjuk kepada makanan pokok atau kebutuhan pangan yang mendasar. Kita dapat bandingkan dengan doa Bapa Kami yang di dalam satu petisinya mengatakan: “Berikanlah ke­pa­da kami makanan kami yang secukupnya pada hari ini.” Kata “makanan kami,” di dalam Alkitab ba­ha­sa aslinya adalah “roti yang cukup untuk hari ini.” Namun istilah ini dalam bahasa Indonesia di­terjemahkan sebagai makanan karena memang inti pengertiannya bukan roti secara benda (ansih) namun roti sebagai satu figur/simbol daripada makanan pokok kita. Inilah yang menjadi ide penting yang ingin diungkapkan! Ketika orang-orang Yahudi selesai makan roti dan menjadi ke­nyang maka mereka merasa kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi dan itu dianggap se­gala­nya. Hingga detik ini konsep seperti ini tetap dipegang. Abraham Maslow, seorang tokoh psikolog hu­manis yang paling terkenal mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling men­da­sar dan tidak dapat diganggu gugat adalah kebutuhan pangan. Manusia jika kebutuhan perut­nya sampai ter­ganggu akan berbuat apa saja bagi perutnya, dan ini memang nyata terjadi, tanpa terkecuali di negara barat maupun di timur. Maka Yesus kemudian membawa hal ini masuk ke dalam realita di­balik realita. Ketika mereka melihat suatu realita yang ada yaitu “roti,” mereka belum melihat rea­lita yang sesungguhnya karena kita masih harus menerobos realita tersebut untuk men­dapat­kan realita yang hakiki yaitu roti hidup, yang merupakan tawaran yang lebih besar daripada se­mua kebutuhan yang kita miliki. Dan itulah yang oleh Tuhan Yesus disebut sebagai “sign” (tanda). Na­mun orang-orang saat itu hanya melihat roti yang dapat mengenyangkan perut mereka dan tidak melihat tanda yang lebih esensial daripada kondisi realita yang tampak dan akhirnya itu yang membuat mereka semakin rumit.

Selanjutnya kita akan melihat beberapa kerumitan yang manusia seringkali sulit te­rima Pertama, kesulitan membedakan roti yang secara manusia dengan roti yang ditawarkan oleh Tuhan, yang bersifat kekal. Ketika manusia melihat roti, ia hanya berpikir tentang roti yang dapat me­­ngenyangkan/memuaskan pe­rutnya, dan itu dianggap cukup jika sudah dapat memenuhinya. Te­tapi Yesus justru mengatakan bahwa itu bukanlah segala-galanya dan Ia menawarkan satu kebu­tuhan yang lebih menda­sar bagi manusia yaitu roti hi­dup, roti kekal, yang akan membawa manusia ke da­lam kekekalan sehingga tidak akan pernah merasa lapar kembali. Namun mereka tetap mempunyai kesulitan merelasikan hal ini karena realita yang satu dengan yang lain berbeda sama sekali. Ada satu sumber spiritual yang membuat hal itu dapat terjadi dan mereka tidak mau melihatnya. Mereka hanya mau melihat apa yang didepan mata dan mereka tidak mau lebih me­lihat bahwa ada sesuatu yang tidak kelihatan secara langsung tetapi sedang terjadi didalamnya. Me­reka hanya melihat hal rohani sebagai satu hal yang sangat menyulitkan dan mereka berpi­kir­an bahwa jika mereka harus menerima yang bersifat rohani maka yang jasmani harus diting­galkan sehingga akhirnya orang Kristen menjadi dualisme, kalau ke gereja itu berurusan dengan roti rohani tetapi kalau ke dunia itu berurusan dengan roti jasmani. Padahal seharusnya dua hal tersebut dihubungkan secara paradoks.

Kesulitan kedua, kalimat di dalam ayat 45-46 membuat orang Yahudi terheran-heran karena mereka tahu bahwa Yesus adalah anak Yusuf dan Maria dan dibesarkan di Nazaret dan anak tukang kayu. Sekali lagi mereka tidak dapat melihat apa yang tidak tampak di depan mata. Yesus memang anak Yusuf tetapi Ia juga adalah Anak Allah yang berinkarnasi ke tengah dunia. Mereka kesulitan memparadokskan antara Yesus yang adalah inkarnasi Allah dan turun menjadi manusia dengan Yesus yang adalah anak Yusuf dan Maria. Lima roti dan dua ikan dapat men­jadikan sepuluh ribu orang makan dan sisa dua belas bakul, itu pasti bukan sembarang manusia, te­tapi mereka tidak dapat melihat tanda tersebut. Disini kesulitan karena tidak mampu meng­ko­nek­sikan dua hal ini.

Kesulitan ketiga, mereka berpikir kalau mereka dapat datang, itu adalah hak mereka untuk datang tetapi Yesus berkata bahwa yang akan datang kepadaNya itu adalah yang di utus oleh Bapa untuk datang kepadaNya dan yang tidak diutus kepadaNya tidak mungkin dapat da­tang. Kesulitan ini dari dahulu hingga hari ini adalah sama. Banyak orang berpikir kalau ia di­sela­mat­kan dan datang kepada Tuhan Yesus, bertobat, itu adalah hasil usahanya sendiri. Disini se­tiap kalimat Tuhan Yesus membuat mereka bertambah kesulitan untuk mengerti apa sebe­narnya yang Yesus mau, karena mereka tidak mampu memparadokskan relasi mereka. Padahal Yesus me­ngatakan bahwa kalau kita dapat datang kepadanya itu karena Tuhan yang meng­ge­rak­kan kita untuk datang dan yang dapat datang itu hanya yang dipilih oleh Bapa untuk datang. Dan ke­su­litan seperti ini bukan hanya dua ribu tahun yang lalu tetapi hingga detik ini. Banyak orang ber­pikir bahwa kalau ia berinisiatif maka itu mutlak adalah hak dia. Namun alkitab mengatakan bah­wa kalau kita dapat sampai tiba kepada Kristus itu karena Bapa mengutus kita untuk datang ke­pa­da Kristus sehingga waktu kita bertobat kita tidak mungkin akan membangga­kan bahwa itu ada­lah hasil usaha kita. Jadi ketika Tuhan beranugerah, itu tidak akan berlawanan dengan inisiatif se­seorang berjalan menuju kepada Kristus karena itu harus direlasikan secara paradoks juga.

Maka dari tiga contoh yang dibukakan di Alkitab kita melihat bahwa kesulitannya terletak pada bagaimana cara berpikir orang Yahudi yang terjebak ke dalam pemikiran linier dan tidak bisa berpikir secara paradoksikal. Secara fenomena kita melihat bahwa sepertinya Tuhan Yesus gagal tetapi justru itulah kesuksesan esensial yang didapatkan ketika Kristus akhirnya mengokohkan umat pilihanNya yang sesungguhnya. Dan akhirnya terbukti yang benar-benar da­tang kepadanya adalah dua belas orang. Ini merupakan satu hal yang seringkali manusia tidak mam­pu lihat dan tidak secara serius gumulkan. Seringkali kita terkecoh antara arti sukses dan ti­dak sukses, kita anggap kalau produksi masal dan besar itu kesuksesan dan setiap kali kita ter­je­bak dengan hal ini dan akhirnya kita rusak. Sehingga kita pikir Yesus paling gagal ketika ia harus naik ke kayu salib dan disalibkan.

Dihadapan manusia, ketika Yesus harus mati di dipaku diatas kayu salib itu dipandang sebagai misi kegagalan total, tetapi justru itulah puncak dari kesuksesan total, dan itulah yang dinamakan reality behind the reality. Kita tidak menyangkali realita Yesus sebagai manusia tetapi realita tidak seharusnya demikian. Celaka kalau manusia hanya dapat melihat realita yang tam­pak di depan mata dan gagal menangkap realita di belakang realita.

Satu hal yang saya sedih sekali dimana negara ini begitu hancur karena negara ini ti­dak mau mengerti reality behind the reality. Kita seringkali terjebak dengan fenomena dan kadang ca­ra penyelesaiannya sangat pragmatis sekali. Saya ingin mengajak kita melihat dibelakang ini ada satu yang sangat mengerikan. Jika negara ini terus-menerus berganti rezim/ pemimpin tetapi kejadiannya tetap sama maka berarti ada satu masalah yang sangat serius dibelakang semua yang tampil. Problem yang sangat mendasar, yang merupakan problem nasio­nal kita secara total adalah tentang pribadi kemanusiaan kita dan bukan problem sekedar KKN. Bahkan sekarang saya melihat satu kondisi yang sangat kacau sekali, yang mungkin saja kita anggap sudah biasa yaitu dimana kalau seseorang yang kedapatan mencuri satu sepeda motor dan tertangkap maka ia akan dibakar hidup-hidup, ditonton dan masa bisa dengan tenang dan sukacita melihat hal se­ma­cam itu. Apa arti sebuah jiwa bagi mereka yang masih dapat melihat seperti itu hingga tidak mem­punyai perasaan belas kasihan sama sekali? Apakah problemnya karena hukumnya kurang ke­ras? Firman Tuhan mengatakan, “Apa artinya engkau mendapatkan seluruh isi dunia ini tetapi ke­hilangan nyawamu? Berapa harga sebuah nyawa bisa diganti? Manusia seringkali tidak bisa me­lihat numena/satu hakekat esensial dibelakang fenomena. Akankah kita hanya sekedar me­lihat hal-hal yang tampak seperti KKN ataukah kita dapat menerambah/melihat dibelakang dan me­lihat ada satu masalah serius yaitu masalah hidup yang kekal, nilai sebuah jiwa yang tidak kita per­hitungkan. Tuhan Yesus mengatakan bahwa yang mereka ributkan adalah roti yang membuat perut­mu kenyang tetapi ia menawarkan satu hal yang esensial dibelakangnya yaitu keselamatan nyawa mereka. kembalilah pada roti hidup, roti yang kekal itu, karena itulah yang kita butuhkan untuk hidup.

Seringkali kita kesulitan memberitakan injil kepada orang lain karena mereka mau mencari bukti riil. Mengikut Yesus itu menyangkut esensi nasib di belakang nasib yang kita lihat di depan mata. kalau kita mendapatkan esensi yang mendasar maka baru realita fenomenanya mengikuti dibelakangnya. Bagaimana kita mencoba menyadarkan dunia dan orang di sekeliling kita untuk mengerti realita yang hakiki dibelakang realita yang kelihatan. Mari kita belajar tidak dikunci oleh fenomena kita tetapi melihat sesuatu behind the reality dan kalau saudara mengerti hal itu, mari kita menyadarkan rekan-rekan kita yang lain yang masih di dalam kondisi seperti itu. Memang hal ini sulit karena mereka terjebak ke dalam satu opini dunia secara umum hidup manusia berdosa dan terkunci dalam satu lingkaran tertutup yang membuat bisa terbuka lagi dan mengerti ada sesuatu pengajaran yang melampaui apa yang ia pikirkan. Tetapi ini masih mungkin dilakukan dan itu berarti ada penerobosan. Sehingga Alkitab mengatakan “bukan aku yang dapat datang kepada Kristus melainkan karena Tuhan mengutus aku untuk datang kepada Kristus.” Dan itu mutlak karena anugerah yang datang pada kita dan disitu justru yang akan menunjukkan siapa murid Tuhan Yesus yang sesungguhnya.

Saya harapkan ini menjadi satu kekuatan untuk kita mengerti dan Tuhan memakai kita. siapa yang dapat menyadarkan orang melihat realita di be­lakang realita kalau bukan orang yang sudah menerobos realita itu. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)