Ringkasan Khotbah : 24 Desember 2000

The Song of A Servant

Nats : Lukas 1:38; 46-55

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

Ketika Maria mendapatkan berita dari malaikat bahwa ia akan mengandung Yesus maka ia menjadi terkejut karena ia belum bersuami. Akan tetapi malaikat itu men­­jawab bahwa bagi Allah semua itu mungkin. Pada saat Maria berada di dalam kon­disi yang amat kritis ini ia ternyata dapat memberikan sebuah respon yang sangat in­dah, yaitu ia berkata: "Aku ini hamba Tuhan, jadilah kepadaku menurut perkataanmu."

Se­telah itu Maria pergi ke rumah Elisabet dan tinggal tiga bulan disana. Pada waktu itu Elisabet sudah mengandung enam bulan sementara Maria baru satu bulan sehingga kan­­dungannya itu belum kelihatan dari luar. Tetapi di saat Maria memberikan salam ma­ka bayi yang ada di kandungan Elisabet melonjak gembira dan Elisabet pun penuh de­­ngan Roh Kudus dan kemudian berkata: "Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku da­tang mengunjungi aku?" (ay.43). Jikalau hal ini terjadi pada kita maka kita mungkin akan bahagia sekali dan merasa diri hebat. Tetapi Maria justru berkata: "Jiwa­ku me­mu­lia­kan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku" (ay.46). Ke­ti­ka kita melihat suatu realita maka yang menjadi masalah adalah ba­gai­ma­na­­kah kita meng­­interpretasi realita tersebut dan setiap interpretasi itu akan melahirkan re­­aksi yang ber­beda. Di saat seorang ateis menolak Allah maka ia akan menganggap di­ri­nya men­jadi yang paling utama. Orang seperti ini akan menginterpretasi segala se­sua­tu dari su­dut pandang subyektifnya. Tetapi saat seseorang percaya bahwa Allah ada­­­lah Allah yang berdaulat maka ia akan melihat bagaimana Allah bekerja di dalam di­ri­­nya.

Kita akan melihat apakah yang mendasari ucapan Maria ini. Apakah itu hanya se­­kedar ucapan di bibir saja? Disini saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh Agustinus dan kemudian diulangi lagi oleh Calvin. Ia berkata bahwa di saat kita melihat rea­lita dan mau mengerti realita itu dengan tepat maka hal ini harus dimulai dengan pe­nge­nalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Jikalau saya mengenal Allah secara sa­lah maka saya juga akan mengenal diri secara salah sehingga saya pun akan mengin­ter­pretasi alam semesta secara salah. Maka yang menjadi masalah di dalam cara pan­dang kita terhadap dunia bukanlah hanya masalah interpretasi. Di belakang interpretasi ada suatu pengenalan dasar yang membuat cara pandang kita menjadi berbeda. Di be­la­kang interpretasi saya terhadap seseorang terdapat pengenalan dasar saya terhadap orang itu. Jika orang itu saya kenal jahat maka interpretasi saya terhadap apa yang ia la­kukan juga akan menjadi jahat. Inilah yang disebut prasangka yang hanya dapat kita hi­langkan jika kita mengerti orang tersebut dengan tepat.

Di saat Maria dapat bereaksi dengan tepat maka kalimat Maria itu bukanlah tan­pa dasar tetapi karena ia telah mempunyai pengenalan yang baik dan tepat tentang Allah. Bagaimana kita dapat berespon dengan tepat kepada Allah dimulai dengan ba­gai­mana kita mengenal Dia dengan tepat. The Song of Mary mengungkapkan apa yang men­jadi pengenalan Maria akan Allah. Disini kita melihat empat hal:

1. Tuhan memperhatikan kerendahan hambaNya (ay. 48-50)

2. Tuhan memperlihatkan kuasaNya (ay. 51).

3. Tuhan memelihara umat pilihanNya (ay. 53)

4. Tuhan menolong Israel hambaNya, sesuai janjiNya (ay.54-55).

Pertama: Maria sadar bahwa Allah adalah Allah yang memperhatikan ke­ren­dah­­an hambaNya. Maria adalah seorang wanita sejati karena ia sadar bahwa ia se­be­nar­­nya begitu kecil dan rendah tetapi justru di dalam semua itu ia mempunyai pengaruh yang luar biasa, dan ini dikarenakan Tuhan adalah Tuhan yang mem­perhatikan ke­ren­dah­an hambaNya. Seringkali kita berpikir bahwa supaya kita dapat dipakai Tuhan maka ki­ta harus kelihatan hebat, tetapi ini bertolak belakang dengan Maria. Bahkan di saat Maria menerima tugas dari Tuhan maka tugas ini sepintas tampak begitu sederhana dan bia­sa, yaitu hanya mengandung. Dan di dalam proses kehamilan ini juga tidak di­ki­sah­­kan bahwa Maria begitu kesakitan atau terus-menerus muntah-muntah sehingga ti­dak dapat bangun dari tempat tidur. Tetapi yang menjadi inti disini adalah siapakah yang dikan­dung oleh Maria. Kita seringkali menolak melayani karena kita berpikir bah­wa Tuhan adalah Tuhan yang memakai extraordinary people untuk ordinary task, tetapi Tuhan justru memakai ordinary people untuk extraordinary task. Maria menyadari hal ini da­­­­pat, kemudian menyerahkan dirinya dan segala apa yang ada padanya sehingga Tuhan memakai dia secara luar biasa. Jikalau Tuhan memakai kita yang biasa untuk me­­­­­­ngerjakan pekerjaan yang luar biasa maka orang akan melihat bahwa yang hebat me­­­­­­mang bukan kita tetapi adalah Tuhan kita sehingga mereka akan memuliakan Tuhan.

Kedua: Maria bukan hanya menyadari bahwa Allah adalah Allah yang mem­per­­­hatikan tetapi juga adalah Allah yang berkuasa dan berdaulat. Tuhan kita bukan ha­nya Tuhan yang melankolik, yang hanya dapat mengerti kesulitan kita tanpa dapat mem­­­berikan pertolongan apapun. Kita saat ini menghadapi kondisi yang sangat mem­bi­ngung­kan dimana manusia tidak lagi mau melihat Allah yang berdaulat dan berkuasa atas diri kita yang begitu hina dan yang akan menggenapkan rencanaNya di dalam kita. Ba­­nyak orang sekarang yang melihat kedaulatan Allah sebagai hal untuk menggenapi apa yang menjadi kemauannya sehingga karena Allah berdaulat maka tidak ada yang mus­­­tahil bagiku dan bukannya bagi Allah. Di saat kita mau melayani Tuhan, kita se­ring­kali merasa begitu gentar melihat beban kesulitan yang ada di depan sehingga kita ti­dak berani melangkah. Kita lebih dapat melihat dunia ini dan bukannya Allah. Ada satu ka­­­limat yang berkata bahwa dimana kesulitan kita besar maka itu membuktikan bahwa Allah kita kecil dan sebaliknya, pada saat Allah kita besar maka segala kesulitan kita akan menjadi kecil. Kesulitan yang dihadapi oleh Maria begitu besar tetapi ia ternyata da­­­pat melihat bahwa Tuhan lebih besar daripada semua kesulitannya.

Ketiga: Seorang hamba yang sejati tahu bahwa Allah adalah Allah yang me­me­­lihara umat pilihanNya. Allah bukannya memberikan kita tugas dan kemudian me­ning­­galkan kita begitu saja. Ia akan menyertai kita bahkan hingga ke detil-detilnya. Di da­­lam kisah Maria kita melihat bukti dari hal ini. Begitu Maria hamil maka Allah lang­sung mengung­sikan dia ke tempat Elisabet selama tiga bulan. Diperkirakan Maria ting­gal di rumah Elisabet sampai Yohanes dilahirkan dan baru setelah itu kembali ke ru­mah­nya. Setelah ia pulang maka ia harus kembali pergi ke Betlehem dan setelah Yesus la­hir ia harus mengungsi di Mesir. Sepintas ini merupakan satu beban yang begitu mem­­­­beratkan Maria tetapi ini sebenarnya justru merupakan bagian dari pemeliharaan Allah. Jikalau Maria kedapatan hamil di tempat tinggalnya maka ia akan langsung di­tu­duh berjinah. Tetapi Tuhan justru mengatur supaya Maria berpindah-pindah tempat de­ngan maksud untuk memelihara kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Hamba Tuhan pedesaan seringkali lebih mengerti providensia Allah. Mereka berkeku­rangan se­ca­­ra keuangan tetapi anehnya selalu dapat hidup bulan demi bulan. Mereka disana be­nar-benar hidup dengan iman mereka karena mereka tidak tahu apakah yang dapat di­ma­­kan besok terlebih lagi minggu depannya. Kita seringkali tidak percaya bahwa Tuhan me­­melihara, tetapi jikalau kita masih dapat hidup hingga hari ini maka itu semua se­be­nar­­nya merupakan anugerah Tuhan yang terlalu besar.

Keempat: Tuhan juga adalah Tuhan yang menggenapkan janjiNya. Saat kita mau melakukan kehendak Tuhan maka kita harus terus melihat kepada rencana Tuhan. Seringkali kita kehilangan kesabaran di saat menunggu janji-janji Tuhan, tetapi Tuhan mempunyai waktu dan caraNya sendiri. Tidak ada satu hal yang dapat mem­ba­wa hasil yang efektif kecuali jika hal itu tepat secara waktu. Seorang teolog bahkan mem­­­per­ta­nya­kan anggapan kita bahwa Tuhan itu pastilah Tuhan yang berencana ka­re­na menu­rut­nya hanya manusia yang berencana sementara kita tidak pernah tahu apa­kah Tuhan itu berencana ataukah tidak. Akan tetapi, jikalau manusia dapat berencana ma­­ka da­ri­mana­kah manusia dapat mempunyai kapasitas untuk berencana? Celaka se­ka­li jikalau Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak berencana dan dapat berubah-ubah se­ke­hendak ha­tinya. Tetapi dari Alkitab kita melihat segala sesuatu telah teratur rapi dari alfa hingga omega dan setelah genap waktunya maka Allah mengutus AnakNya untuk la­hir ke da­lam dunia ini. jikalau Allah berjanji maka Ia tidak akan pernah meleset di dalam me­nepati janjiNya. Maria sadar bahwa Tuhan bukanlah Tuhan yang sembarangan dan bu­kanlah Tuhan yang dapat dipermainkan karena Tuhan adalah Tuhan yang begitu tertib dan teratur. Jikalau kita menyadari bahwa Tuhan kita begitu tertib dan teratur ma­ka itu seharus­nya menjadikan suatu kekuatan bagi kita melangkah di dalam hidup kita. Kita percaya bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Di saat kita melayani Tuhan, jangan sampai kita terlalu cepat atau terlalu lambat. Jikalau belum tiba waktunya maka jangan melangkah, karena waktu bukanlah milik kita sehingga da­pat menga­tur­nya sekehendak hati kita. Jikalau waktunya telah tiba, maka kita harus se­se­gera mung­kin mengerjakannya dan tidak lagi berdalih bahwa kita belum siap.

Jikalau kita mengerti keempat hal ini maka semua ini akan membuat hidup kita berpusat kepada Allah. Dan inilah yang Maria mengerti. Biarlah kerinduan kita ada­lah supaya rencana Allah dapat digenapi di dalam kehidupan kita. Jikalau ini gagal ma­ka bukankah seluruh hidup kita tidak akan ada artinya. Biarlah pujian Maria ini dapat men­jadi perenungan bagi kita.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)