Ringkasan Khotbah : 7 Januari 2001  

Practical Aspect of A Gentleman        

Nats : Efesus 5:25-30

Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno

 

          Beberapa minggu yang lalu kita sudah melewati dua sesion di dalam mem­bi­ca­rakan seorang wanita yang sejati, dan kita sudah mulai masuk ke dalam tiga konsep pria yang sejati yang digambarkan dalam Alkitab: pertama, pria yang takut akan Tuhan. Ke­dua, pria yang cinta, melindungi dan memelihara isteri dan anak-anaknya, seperti Kristus mencintai jemaat. Ketiga, pria yang akan menguduskan isterinya, menjadikan iste­rinya cemerlang, tidak bercacat, kerut atau serupa itu.

Alkitab mengatakan, “Kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi je­maat dan telah menyerahkan diriNya baginya.” Dan gambaran ini ingin menunjukkan ba­gaimana Kristus menjadi mo­del dasar bagaimana seorang suami berlaku. Terdapat em­pat hal yang akan kita pikir­kan dan gumulkan bersama mengenai bagaimana se­orang pria/suami mem­per­kem­bang­­kan pergumulan dan pertumbuhannya se­hing­ga se­suai dengan apa yang Tuhan tetapkan sebagai natur pria: pertama, pria yang ber­tang­gung ja­wab ( yang mem­punyai respon­sibility). Banyak upaya pengem­bang­an res­pon­sibility di tengah du­nia yang sudah mulai men­­­jadi luntur saat ini. Bahkan be­be­rapa orang guru mengatakan sa­ngat sulit men­di­dik anak untuk memiliki tanggung ja­wab yang baik saat ini. Dan ini se­mua dise­bab­kan oleh be­­­be­rapa hal, yang antara lain ada­lah hilangnya teladan. Pen­di­dikanlah yang menentu­kan seorang anak mampu ti­dak­nya mengem­bang­kan tang­gung-jawab, dan pendidikan yang dilatihkan ke­pa­danya itu se­karang sudah mengalami pe­nurunan secara dras­tis di­ka­­­renakan te­kanan so­sial mas­ya­rakat yang sangat besar ser­ta adanya hak asasi ma­nu­sia yang di­te­gaskan be­gitu ru­pa.

Ide suami menjadi kepala se­ha­rusnya menekankan pertanggung-jawabannya, ba­­­gai­ma­na ia mengayomi seluruh ke­luar­ganya. Tetapi saat ini banyak keluarga yang mem­punyai format ke­luar­ga terbalik disebabkan isteri-isteri versi Margaret Thatcher dan sua­mi yang mengikut dibelakangnya. Seperti contoh negatif yang ditunjukkan da­lam Alkitab yaitu tentang Debora dan Barak. Hal itu dapat terjadi ka­re­na waktu itu pria yang bernama Barak tidak mampu me­nunjukkan hal yang seharusnya di­­la­kukan pria se­­hing­ga akhirnya Debora harus turun tangan menggantikannya. Namun ia berkata ke­pa­da Barak: “Saya maju, tetapi ke­ta­hui­lah bahwa kemuliaanmu se­­bagai pria hilang.” Alkitab men­­catat dengan jelas bahwa ketika pria gagal men­ja­lankan tugas pert­ang­gung-ja­­­wab­an­nya sebagai pria maka sa­­at itu naturnya hilang dan ia tidak layak lagi men­jadi pria, dan ia akan di­­lecehkan oleh siapapun juga. Inilah jiwa res­po­sibility, jiwa bagaima­na se­orang pria ketika menghadapi sesuatu ia dapat ber­tang­gung jawab pe­nuh untuk itu dan ba­gaimana ia menjaga seluruh keluarganya.

Kedua, pria harus mengembangkan pemikiran yang relasional dan kon­sep­tu­al. Manusia dicipta Tuhan dengan modal yang se­suai dengan tugas naturnya, se­hingga pria dan wanita terlihat berbeda bukan hanya secara tampilan tubuh saja, me­lain­kan ber­beda hingga dalam hal yang paling esensial/hakekatnya. Seorang pria di­berikan tugas sebagai kepala, maka ia harus menjadi pengarah di dalam seluruh per­jalanan ke­luar­ganya di dalam mencapai sasaran yang tepat. Maka seorang pria se­harusnya telah di­beri satu kemampuan untuk melihat kedepan dengan cara pikir yang sangat relasional dan konseptual, sehingga ia dapat melihat seluruh kaitan bersama-sama lalu mene­tap­kan langkah selanjutnya. Dan ketika pria berpikir secara relasional dan konseptual, ia ti­dak mungkin memikirkan detailnya, sehingga wanita diberikan ke­mam­puan untuk ber­pikir secara lokal supaya ia dapat mengisi secara rinci detail yang be­lum terpikirkan oleh suaminya. Maka sebagai head, di dalam mengambil setiap ke­pu­tus­an harus di­per­tim­bangkan secara masak sehingga keluarganya tidak sampai men­jadi korban kalau ke­putusan yang diambilnya salah. Para pria sesungguhnya sudah di­be­rikan kapasitas un­tuk itu maka ia hanya perlu untuk melatih mengembangkannya de­ngan lebih baik. Ba­­nyak pria modern saat ini tidak lagi dilatih untuk berpikir secara ko­sep­tual dan rela­sio­­nal, melainkan diajar masuk dalam konsep pemikiran yang bersifat lokal, yang bukan me­­rupakan dunia pria. Dan ketika pria maupun wanita dipaksa untuk mengerjakan apa yang berlawanan dengan natur mereka, maka apa yang mereka ker­ja­kan tidak mungkin da­­pat mencapai maksimal. Di dalam setiap kemampuan yang di­miliki pria maupun wa­nita, mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang sa­ngat mungkin men­ca­­­­pai hasil terbaik secara konseptual maupun detailnya jikalau ke­dua unsur tersebut di­kom­plementasikan. Dan saat ini yang terjadi adalah pria gagal men­­jalankan progress pe­mikiran konseptual dan relasional sehingga wanita yang me­ngi­si posisi tersebut.

Ketiga, pria perlu mengembangkan cinta kasih yang bersifat Kristus centric/ me­lindungi. Alkitab berbicara dengan jelas bahwa yang seharusnya menjadi love sym­bol adalah pria, dan bukan wanita. Tuhan menuntut pria mencintai dengan sungguh-sung­guh, cinta yang melindungi, yang memberikan diri dan mengorbankan se­lu­ruh hi­dup­nya. Alkitab menunjukkan bagaimana ketika Kristus mengasihi jemaat, Ia men­jaga, me­nyucikan hingga merawati dan memelihara. Maka cinta seperti inilah yang se­ha­rus­nya muncul dan dikembangkan tanpa henti oleh seorang pria, bagaimana ia be­la­jar men­­cu­rahkan cinta kasihnya dengan melindungi dan merawati isterinya serta ba­gai­­ma­na ia dapat memikirkan yang terbaik bagi isterinya. Dikatakan dalam Alkitab: jika­lau ke­pa­la tidak merawati tubuhnya maka itu bukan kepala yang sejati. Maka pria se­ha­rus­nya me­ngasihi isterinya sama seperti Kristus yang mengasihi tubuhnya, yaitu je­maat. De­ngan demikian keseimbangan antara suami bekerja, suami dirumah dan suami mela­yani semua menjadi kaitan yang tidak terlepas satu sama lain.

Keempat, pria/suami yang mempunyai jiwa besar. Suami yang berani maju me­nger­­­jakan sesuatu, mengarahkan dan berani megakui kegagalan. Seorang suami yang men­­­jadi pemimpin di dalam keluarga sangat memerlukan jiwa besar untuk ber­jalan di te­­­ngah dunia ini. Jikalau tidak maka ia akan menjadi per­main­an daripada situa­si, mem­per­­malukan dan meng­han­cur­kan diri maupun keluarganya. Tuhan sesung­guh­nya sudah mem­­berikan kapa­si­tas ini tetapi tekanan masyarakat yang mengubah value sys­tem/kon­sep nilai kehidupan manusia kerapkali membuat para pria kehilangan kon­sep jiwa be­sar. Manusia seringkali dinilai dari aksesori yang ada disekelilingnya (ke­ka­ya­an, ke­dudukan ataupun kepandaian) dan tidak dari esen­si manusianya. Dan akibat­nya ke­tika seorang pria mulai maju dan ber­juang ia mempunyai ketakutan dan rasa malu yang begitu besar apabila ia mengalami kegagalan. Akibatnya kita akan terus mencari ak­se­sori seperti itu dan apabila kita gagal mencarinya maka se­lu­ruh esensi pun ikut gagal dan me­ngor­bankan diri kita sendiri. Jiwa be­sar adalah waktu saya berani mem­per­tang­gung-jawabkan diri saya di hadapan Tuhan dan bukan didepan ma­nusia. Maka ketika saya berjalan, bagaimana saya sadar siapa diri saya, siapa Tuhan dan bagaimana Tuhan berlaku atas diri saya. Sehingga kita dapat meng­konek­si­kan esensi kita kembali pa­­­da Tuhan dan ketika kita berada di posisi atas, kita bukan ber­ada di bawah semua orang atau se­mua aksesoris tetapi diatas kita ada Tuhan yang men­jadi penentu kita. Ba­nyak orang ketika mengalami kegagalan bu­kan­nya sadar bah­wa ia ada­lah manusia, be­lajar dan bangun kembali melainkan mereka men­­jadi hancur dan bahkan lari kepada obat-obat­an dan tempat-tempat yang kacau, atau yang paling halus ia pulang dan ke­luar­­ga­nya menjadi sasaran amarahnya.

Setiap hi­dup kita sangat berfluktuasi, kadang dibawah dan kadang pula dapat ber­­ada di atas, te­ta­pi kita harus tahu jelas bahwa kalau Tuhan mengatur kita dalam ke­ta­­atan kita terhadap Tuhan maka itu terbaik bagi hidup kita, dan sadar jikalau kita meng­­­­hancurkan diri kita maka itu saatnya kita sedang melawan apa yang Tuhan ingin­kan un­tuk kita kerjakan dalam hi­dup kita. Terkadang melalui kegagalan, Tuhan melatih hi­­dup kita untuk bertumbuh lebih be­sar, dan melalui pengalaman yang mungkin sangat me­­nya­kitkan, itu menjadikan kita le­bih mengerti lagi berbagai realita kehidupan serta le­bih was­pada di tengah dunia. Po­sisi head itu sangat membahagiakan tetapi sekaligus ju­­ga mem­bahayakan sehingga ka­lau posisi ini tidak disertai dengan jiwa besar akan ber­­­­­ba­ha­ya! Untuk itu diperlukan be­rani berjuang, memulai lagi dan mengakui kegagalan  kita se­hingga itu menjadikan hi­dup kita jauh lebih kuat. Saya harapkan ini menjadi citra pria yang baik sehingga di da­lam pertumbuhan hidup, saudara dapat menjadi pe­nga­yom bagi seluruh ke­luar­ga dan mampu men­ja­lankan tugas dengan tepat. Saya harap ini bo­leh me­ngu­atkan kita semua. Amin.?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)